• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : SISTEM PENYELESAIAN SENGKETA DI INDONESIA

D. Mediasi

1. Pengertian Mediasi

Mediasi merupakan kosakata atau istilah yang berasal dari kosakata Inggris yaitu mediation. Mediasi ialah suatu perundingan antara pihak-pihak yang bersengketa dengan dibantu oleh seorang atau lebih mediator yang netral dalam rangka untuk mencapai kata mufakat dalam penyelesaian sengketa, yang saling

menguntungkan kedua belah pihak. Pendekatan konsensus atau mufakat dalam proses mediasi mengandung pengertian bahwa segala sesuatu yang dihasilkan dalam proses mediasi harus merupakan hasil kesepakatan atau persetujuan para pihak. Mediasi dapat ditempuh oleh para pihak yang terdiri atas dua pihak yang bersengketa maupun lebih dari dua pihak (multiparties).

Penyelesaian dapat dicapai atau dihasilkan jika semua pihak yang bersengketa dapat menerima penyelesaian itu. Namun, ada kalanya karena berbagai faktor, para pihak tidak mampu mencapai penyelesaian sehingga mediasi berakhir dengan jalan buntu (deadlock, stalemate). Situasi ini yang membedakan mediasi dari litigasi. Litigasi pasti berakhir dengan sebuah penyelesaian hukum, berupa putusan hakim, meskipun penyelesaian hukum belum tentu mengakhiri sebuah sengketa karena ketegangan diantara para pihak masih berlangsung dan pihak yang kalah selalu tidak puas.

Mediator yang netral mengandung pengertian bahwa mediator tidak berpihak (impartial), tidak memiliki kepentingan dengan perselisihan yang sedang terjadi, serta tidak diuntungkan atau dirugikan jika sengketa dapat diselesaikan atau jika mediasi menemui jalan buntu. Bantuan mediator yang bersifat prosedural antara lain mencakup tugastugas memimpin, memandu, dan merancang sesi-sesi pertemuan atau perundingan, sedangkan bantuan substansial berupa pemberian saransaran kepada pihak yang bersengketa tentang penyelesaian pokok sengketa.

Peran mediator dapat bersifat aktif maupun pasif dalam membantu para pihak. Peran aktif harus dilakukan bila para pihak yang bersengketa tidak mampu

melaksanakan perundingan yang konstruktif. Sebaliknya mediator memainkan peran pasif jika para pihak sendiri mampu melaksanakan perundingan yang konstruktif dalam arti para pihak sendiri mampu mengusulkan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dan membahas usulan pemecahan masalah itu guna mengakhiri sengketa. Dengan demikian, tingkatan peran mediator dalam membantu para pihak menyelesaikan perbedaan-perbedaan mereka sangat situasional, yaitu tergantung pada kemampuan para pihak dalam melaksanakan perundingan.

Pilihan penyelesaian sengketa dalam sengketa pada gugatan ini adalah melalui jalur mediasi. Mediasi menjadi langkah pertama yang dianjurkan dalam gugatan perceraian ini. Hal ini sesuai dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2016.

Penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi banyak dipilih karena lebih memberikan solusi bagi kedua belah pihak.

2. Keuntungan Mediasi

Keuntungan penyelesaian sengketa melalui mediasi antara lain:

a. Penyelesaian bersifat informal

b. Penyelesaian sengketa dilakukan para pihak sendiri c. Jangka waktu penyelesaian pendek

d. Biaya ringan

e. Aturan pembuktian tidak perlu

f. Proses penyelesaian bersifat konfidensial g. Hubungan para pihak bersifat kooperatif

h. Komunikasi dan fokus penyelesaian i. Hasil yang dituju sama menang j. Bebas emosi dan dendam 3. Kelebihan dan Kelemahan Mediasi

Mediasi sebagai bentuk penyelesaian sengketa memiliki kekuatankekuatan sehingga mediasi menjadi salah satu pilihan yang dapat dimafaatkan oleh mereka yang tengah bersengketa. Kelebihan mediasi dapat dilihat seperti di bawah ini:

a. Keluwesan atau fleksibilitas dari proses mediasi dibandingkan dengan proses litigasi, merupakan unsur yang menjadi daya tarik dari mediasi karena para pihak dapat dengan segera membahas masalah-masalah substansial, dan tidak terperangkap dalam membahas atau memperdebatkan hal-hal teknis hukum.

b. Pada umumnya mediasi diselenggarakan secara tertutup atau rahasia.

Artinya adalah bahwa hanya para pihak dan mediator yang menghadiri proses mediasi, sedangkan pihak lain tidak diperkenankan untuk menghadiri sidang-sidang mediasi. Kerahasiaan dan ketertutupan ini sering kali menjadi daya tarik bagi kalangan tertentu terutama pengusaha, yang tidak menginginkan masalahnya dipublikasikan.

c. Para pihak dalam proses mediasi dapat menggunakan bahasa sehari-hari yang lazim mereka gunakan, dan sebaliknya tidak perlu menggunakan bahasa-bahasa atau istilah-istilah hukum seperti yang lazim digunakan oleh para advokat dalam beracara di persidangan pengadilan.

d. Para pihak melalui proses mediasi dapat membahas berbagai aspek atau berbagai sisi dari perselisihan mereka, tidak hanya aspek hukum, tetapi juga aspek-aspek lainnya.

e. Sesuai sifatnya yang konsensual atau mufakat dan kolaboratif, mediasi dapat menghasilkan penyelesaian menang-menang bagi para pihak (win-win solution). Sebaliknya, litigasi dan arbitrase cenderung menghasilkan penyelesaian menang-kalah (win-lose solution).

f. Mediasi merupakan proses penyelesaian sengketa yang relatif murah dan tidak makan waktu jika dibandingkan dengan proses litigasi atau berperkara di pengadilan.

Selain memiliki kelebihan, mediasi juga memiliki beberapa kelemahan, antara lain :

a. Mediasi hanya dapat diselenggarakan secara efektif jika para pihak memiliki kemauan atau keinginan untuk menyelesaikan sengketa secara konsensus. Jika hanya salah satu pihak saja yang memiliki keinginan menempuh mediasi, sedangkan pihak lawannya tidak memiliki keinginan yang sama, maka mediasi tidak akan pernah terjadi dan jikapun terlaksana tidak berjalan efektif. Keadaan ini terutama jika penggunaan mediasi bersifat sukarela.

b. Pihak yang tidak beriktikad baik dapat memanfaatkan proses mediasi sebagai taktik untuk mengulur-ulur waktu penyelesaian sengketa, misalnya dengan tidak mematuhi jadwal sesi-sesi mediasi atau

berunding sekedar untuk memperoleh informasi tentang kelemahan lawan.

c. Beberapa jenis kasus mungkin tidak dapat dimediasi, terutama kasuskasus yang berkaitan dengan masalah ideologis dan nilai dasar yang tidak menyediakan ruang bagi para pihak untuk melakukan kompromi-kompromi.

d. Mediasi dipandang tidak tepat untuk digunakan jika masalah pokok dalam sebuah sengketa adalah soal penentuan hak karena soal penentuan hak haruslah diputus oleh hakim, sedangkan mediasi lebih tepat untuk digunakan menyelesaikan sengketa terkait dengan kepentingan.

e. Secara normatif mediasi hanya dapat ditempuh atau digunakan dalam lapangan hukum privat dan tidak dalam lapangan hukum pidana.

4. Bentuk-bentuk Mediasi a. Mediasi di Pengadilan

Landasan formil adanya integrasi mediasi dalam sistem peradilan pada dasarnya bertitik tolak dari ketentuan Pasal 130 HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) dan Pasal 154 RBg (Rechreglement Biutengewesten). Namun, untuk lebih memberdayakan dan mengefektifkannya, Mahmakah Agung memodifikasikannya ke dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

b. Mediasi di luar Pengadilan

Proses mediasi di luar pengadilan pada dasarnya tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, akan tetapi didasarkan pada pengalaman para praktisi. Oleh karenanya, pengetahuan tentang proses dan teknik-teknik mediasi dapat diperoleh melalui karya-karya tulis para praktisi mediasi.

Hakim dihadapan para pihak hanya akan menguatkan kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian apabila kesepakatan perdamaian tersebut memenuhi syarat-syarat: sesuai kehendak para pihak, tidak bertentangan dengan hukum, tidak merugikan pihak ketiga, dapat dieksekusi, dengan iktikad baik.

5. Jenis-jenis Perkara yang dapat diselesaikan melalui Mediasi

Kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator, hal ini terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

6. Peran dan Fungsi Mediator

Mediator dalam mediasi, berbeda halnya dengan arbiter atau hakim.

Mediator tidak mempunyai kekuasaan untuk memaksakan suatu penyelesaian pada pihak-pihak yang bersengketa. Kelebihan penyelesaian sengketa melalui

mediasi adalah penyelesaian sengketa dilakukan oleh orang yang benar-benar dipercaya kemampuannya untuk mempertemukan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa. Mediator membimbing para pihak untuk melakukan perundingan sampai terdapat kesepakatan yang mengikat para pihak. Kesepakatan ini selanjutnya dituangkan dalam suatu perjanjian. Dalam mediasi tidak ada pihak yang menang atau kalah. Masing-masing pihak sama-sama menang, karena kesepakatan akhir yang diambil adalah hasil dari kemauan para pihak itu sendiri.

Kemampuan seorang mediator sangat menentukan keberhasilan proses mediasi, apalagi dalam sengketa yang bersifat internasional. Tidak saja berupa pemahaman dan penguasaan terhadap konsep dan teknik mediasi, tetapi juga mengenai substansi masalah yang menjadi objek sengketa.

Mediasi dapat berhasil baik jika para pihak mempunyai posisi tawar menawar yang setara dan mereka masih menghargai hubungan antara mereka dimasa depan. Jika ada keinginan untuk menyelesaikan persoalan tanpa niat permusuhan secara lama dan mendalam, maka mediasi adalah pilihan yang tepat.

7. Faktor-faktor yang Mendorong Para Pihak Berkehendak Menempuh Mediasi

Alasan orang atau para pihak yang bersengketa berkehendak menyelesaikan sengketa melalui cara konsensus atau mufakat yaitu:

a. Pandangan teoritis pertama merujuk pada kebudayaan sebagai faktor dominan. Berdasarkan pandangan ini, cara-cara penyelesaian konsensus seperti negosiasi dan mediasi dapat diterima dan digunakan

oleh masyarakat karena pendekatan itu sesuai dengan cara pandang kehidupan masyarakat. Orang-orang atau masyarakat yang mewarisi tradisi kebudayaan yang menekankan hal penting keharmonisan dan kebersamaan dalam kehidupan akan lebih dapat menerima dan menggunakan cara-cara konsensus dalam penyelesaian sengketa.

b. Pandangan teoritis kedua lebih melihat kekuatan (power) yang dimiliki oleh para pihak yang bersengketa sebagai faktor dominan. Menurut pandangan ini, orang bersedia untuk menempuh mediasi lebih disebabkan oleh adanya kekuatan (power) para pihak yang relatif seimbang. Orang bersedia menempuh perundingan bukan karena ia merasa belas kasihan pada pihak lawannya atau karena terikat dengan nilai budaya atau nilai spiritual tetapi karena ia memang membutuhkan kerjasama dari pihak lawan agar ia dapat mencapai tujuannya atau mewujudkan kepentingannya.

E. Prosedur Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2016

Pada dasarnya ketentuan prosedur mediasi dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2016 adalah sama dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2008. Perbedaannya hanya ada 3 yaitu waktu yang dipersingkat menjadi 30 hari, para pihak harus hadir secara langsung dalam mediasi, serta harus adanya unsur itikad baik para pihak yang berperkara. Prosedur mediasi akan dijelaskan seperti di bawah ini:

a. Pra Mediasi

Hal-hal yang harus diperhatikan sebelum dilakukannya mediasi adalah meliputi: Kehadiran kedua pihak yang berperkara, Penyampaian Prosuder Mediasi oleh majelis Hakim, pemilihan Mediator, Penetapan mediator dan Hakim pemeriksa perkara wajib menunda pemeriksaan perkaranya. Para pihak menghadiri secara langsung mediasi tanpa didampingi oleh kuasa hukum. Hal ini sesuai dengan Pasal 6 PERMA Nomor 1 Tahun 2016.

b. Pembentukan Forum dan Pendalaman Masalah

Proses mediasi akan berjalan dengan lancar jika para pihak mau duduk bersama dalam sebuah forum untuk membicarakan langkah-langkah menuju perdamaian, karena tanpa adanya forum sulit suatu kesepakatan dapat dibentuk . Dengan kata lain forum adalah sarana untuk terciptanya dialog dan komunikasi timbal balik antara pihak-pihak yang bersengketa.

Proses mediasi selalu mengedepankan pendekatan komunikasi yang baik antara mediator dan para pihak yang bersengketa. Dalam hal ini peran mediator dalam mencairkan kebekuan komunikasi antara para pihak sangat berperan sekali. Untuk itulah untuk menjadi mediator dalam suatu berperkara diperlukan keahlian khusus terutama dalam menyambungkomunikasi yang terputus antara para pihak yang memang sedang bermasalah.Komunikasi yang dapat ditempuh dengan cara perkenalan, mediator juga harus dapat menciptakan suasana yang tidak kaku, mencair antara para pihak dengan cara menciptakan

obrolan-obrolan sederhana diluar pokok perkara, dengan demikian suasana dingin penuh ketegangan berubah menjadi hangat penuh keakraban. Dalam situasi yang demikian mediator akan dapat menangkap celah-celah yang memungkinkan adanya respon dan partisipasi para pihak untuk perdamaian tersebut.Mediator harus mampu mengendalikan komunikasi agar tidak memberikan ruang perseteruan yang konfrontatif.

c. Penyelesaian Akhir dan Penentuan Hasil Kesepakatan

Ketika proses mediasi mulai memasuki tahap penyelesaian, maka masingmasing pihak akan menyampaikan kehendaknya berdasarkan kepentingan mereka dalam bentuk butir-butir kesepakatan. Pada tahap tersebut mediator akan menampung kehendak para pihak dalam catatan dan menuangkannya ke dalam dokumen kesepakatan. Dalam hal ini Mediator tidak boleh melakukan intervensi terhadap materi yang disepakati, tetapi ia tetap harus memperhatikan isi kesepakatan yang dibuat, karena dalam beberapa hal mediator tetap untuk melihat kemungkinan-kemungkinan adanya itikad buruk dari salah satu pihak.

Jika Mediasi berhasil mencapai kesepakatan, Para Pihak dengan bantuan Mediator wajib merumuskan kesepakatan secara tertulis dalam Kesepakatan Perdamaian yang ditandatangani oleh Para Pihak dan Mediator. Dalam membantu merumuskan Kesepakatan Perdamaian, Mediator wajib memastikan Kesepakatan Perdamaian tidak memuat ketentuan yang: a. bertentangan dengan hukum, ketertiban umum,

dan/atau kesusilaan; b. merugikan pihak ketiga; atau c. tidak dapat dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 27 PERMA Nomor 1 Tahun 2016.

65

Menurut Yahya Harahap, dalam prakteknya upaya hakim untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa itu lebih merupakan suatu upaya formalitas belaka. Pasal 130 dan 131 HIR dalam pelaksanaannya belum cukup efektif meningkatkan jumlah perdamaian dalam sengketa dan mengurangi tumpukan perkara di Mahkamah Agung. Kurang efektifnya pasal-pasal tersebut dalam menciptakan perdamaian, merupakan motivasi dibentuknya regulasi teknis yang lebih memaksa (imperatif). Dengan motivasi itu, kemudian Mahakamah Agung (MA) membentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 yang merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari pasal 130 dan 131 HIR, yang secara tegas mengintegrasikan proses mediasi kedalam proses beracara di pengadilan. Sifat memaksa PERMA tersebut, tercermin dalam pasal 12 ayat (2), dimana dijelaskan bahwa pengadilan baru diperbolehkan memeriksa perkara melalui hukum acara perdata biasa apabila proses mediasi gagal menghasilkan kesepakatan.

Menurut PERMA MEDIASI merupakan proses penyelesaian sengketa di pengadilan yang dilakukan melalui perundingan diantara pihak-pihak yang berperkara. Perundingan itu dibantu oleh mediator yang berkedudukan dan berfungsi sebagai pihak ketiga yang netral. Mediator berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai alternatif penyelesaian sengketa yang sebaik-baiknya dan saling menguntungkan. Mediator yang mendamaikan itu dapat

berasal dari mediator pengadilan maupun mediator luar pengadilan. Dari manapun asalnya, mediator harus memenuhi syarat memiliki sertifikat mediator.

Perkara gugatan Nomor 540/Pdt.G/2016/PN.Mdn adalah perkara gugatan tentang perceraian. Gugatan perceraian ini diajukan oleh penggugat yang bernama Even Anastasia yang dalam hal ini adalah penggugat, mengajukan gugatan perceraian kepada suaminya Hartono Tio. Adapun alasan gugatan perceraian adalah karena beberapa hal dan ketentuan yang telah disebutkan dalam gugatan perceraian.

Kasus ini berawal dari gugatan dari Penggugat yang dalam hal ini adalah Even Anastasia yang merupakan isteri dari Tergugat. Dalam dalil gugatan disebutkan bahwa ada dugaan bahwa Tergugat melakukan perselingkungan dengan wanita lain. Selain adanya dugaan perselingkuhan Tergugat, Penggugat juga mengalami kekerasan fisik yang dilakukan oleh Tergugat sekitar bulan Januari 2013. Selanjutnya seiring berjalannya waktu, pada tahun 2014, Penggugat dicaki maki oleh Tergugat atas tuduhan terhadap Tergugat.

Selama 12 tahun perjalanan rumah tangga Penggugat dan Tergugat, rumah tangga tersebut berjalan tidak harmonis sekalipun telah melahirkan 2 orang anak.

Pertengkaran yang terjadi secara terus- menerus mengakibatkan Penggugat melayangkan gugatan perceraian kepada Tergugat melalui Gugatan Nomor 540/Pdt.G/2016/PN.Mdn.

Setelah gugatan diajukan, pada persidangan pertama, hakim ketua majelis memerintahkan kedua belah pihak untuk melakukan mediasi terlebih dahulu

sesuai ketentuan yang telah diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2016.

Ketentuan ini juga sekaligus langkah awal dalam upaya pencapai perdamaian antara para pihak yang bersengketa di pengadilan. Sepanjang sejarah hukum di Indonesia, konsep penyelesaian sengketa melalui mediasi telah lama dikenal dalam hukum adat Indonesia. Penyelesaiannya menggunakan musyawarah dengan konsep win-win solution atau penyelesaian menang sama menang. Hal ini dilakukan jauh sebelum sistem litigasi diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Penyelesaian sengketa menurut hukum adat selalu diarahkan kepada pemulihan dan keseimbangan tatanan yang terganggu karena adanya sengketa, dan tidak bersifat penghukuman. Ketua adat didalam menyelesaikan sengketa tidak untuk mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah, melainkan sebagai penengah untuk memberi jalan terbaik bagi penyelesaian masalah. Pada zaman itu, dikenal apa yang disebut dengan Hakim perdamaian desa. Lembaga perdamaian desa mendapat pengakuan secara hukum berdasarkan Pasal 3A RO (Rechtelijke Organisatie) yang antara lain menyatakan bahwa hakim-hakim adat tidak boleh menjatuhkan hukuman. Oleh karena tidak boleh menjatuhkan hukuman, ditempuhlah suatu usaha “perdamaian”. Dalam menegakkan hukum adat, lembaga perdamaian desa ini menjalankan peranan mendamaikan dan membina ketertiban.42

Pada kasus gugatan ini, ternyata kedua belah pihak memenuhi untuk hadir dalam panggilan mediasi yang dilakukan oleh pihak pengadilan. Keduanya bagik Even dan Hartono telah beritikad baik untuk menyelesaikan sengketa secara

42 Nailul Sukri, Kedudukan Mediasi dan Tahkim di Indonesia, Skripsi, Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah, 2002, hal. 30

damai. Pada akhirnya, kedua pihak sepakat untuk melanjutkan proses perdamaian ke dalam bentuk akta perdamaian. Dengan begitu, maka gugatan perceraian yang diajukan menjadi tidak dapat dikabulkan karena kedua pihak telah berhasil mencapai kata damai dan untuk rujuk kembali.

Rangkuman akta perdamaian tersebut memuat pernyataan bahwa kedua belah pihak telah bersepakat berdamai dalam perkara gugatan perceraian antara Even Anastasia dengan Hartono Tio. Dengan demikian, pihak Penggugat diperintahkan oleh pengadilan untuk mencabut gugatan perceraian terhadap tergugat.

Hal ini terjadi sebagai konsekuensi terhadap kesepekatan damai yang telah dilakukan oleh Penggugat dengan Tergugat sehingga dianggap bahwa keduanya telah menyatakan untuk melanjutkan ikatan rumah tangga. Dengan demikian maka terhadap akta perdamaian tersebut, dapat dikatakan telah memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat bagi kedua belah pihak. Tidak ada alasan bagi kedua belah pihak untuk tidak melaksanakan putusan dalam akta perdamaian. Apabila di kemudian hari terjadi pelanggaran terhadap isi akta perdamaian, maka akan melahirkan sengketa yang baru. Sengketa tersebut dapat diputus dengan melakukan pembatalan terhadap akta perdamaian.

B. Kepastian Hukum dengan Adanya Perjanjian Perdamaian dalam Upaya Penyelesaian Perkara

Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma

adalah produk dan aksi manusia yang deliberative. UndangUndang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungan dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu.

Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersbut menimbulkan kepastian hukum.43

Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai identitas, yaitu sebagai berikut:

1. Asas kepastian hukum (rechmatigheid), Asas ini meninjau dari sudut yuridis.

2. Asas keadilan hukum (gerectigheit), Asas ini meninjau dari sudut filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan.

3. Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid) atau doelmatigheid atau utility.

Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih menekankan pada kepastian hukum, sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan kemanfaatan hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa “summon ius, summa injuria, summa lex, summa crux” yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan bukan

43 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana, 2008, hal. 58

merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang substantive adalah keadilan.44

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahu apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran Positivisme di dunia hukum yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom yang mandiri, karena bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain sekedar menjamin terwujudnya oleh hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.45

Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu:

kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Ketiga unsur tersebut harus ada kompromi, harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang. Tetapi dalam praktek tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut. Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu

44 Dosminikus Rato, Filasafat Hukum Mencari dan Memahami Hukum, Yogyakarta, PT Presindo, 2010, hal. 59

45 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya, 1999, hal.

23

menitik beratkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil.

Adanya kepastian hukum merupakan harapan bagi pencari keadilan terhadap tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum yang terkadang selalu arogansi dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum. Karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan tahu kejelasan akan hak dan kewajiban menurut hukum. Tanpa ada kepastian hukum maka orang akan tidak

Adanya kepastian hukum merupakan harapan bagi pencari keadilan terhadap tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum yang terkadang selalu arogansi dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum. Karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan tahu kejelasan akan hak dan kewajiban menurut hukum. Tanpa ada kepastian hukum maka orang akan tidak

Dokumen terkait