• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Oleh"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

TEGUH CHRISTIAN TARIGAN NIM : 150200375

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)
(3)

Pada Pasal 102 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, disebutkan bahwa dalam rangka melakukan penegakan hukum di wilayah ZEEI, Indonesia tidak diperbolehkan menjatuhkan hukuman berupa kurungan kepada pelaku tindak pidana perikanan. Ini berkesesuaian dengan ketentuan yang terdapat dalam UNCLOS 1982. Apabila ditinjau dari sudut pandang penegakan kedaulatan negara, negara pantai tidak cukup hanya menjatuhkan pidana denda kepada pelaku tindak pidana pencurian ikan di wilayah ZEEI. Hal ini dikarenakan banyaknya pelaku pencurian ikan yang tidak mampu membayar denda yang diberikan oleh negara pantai kepadanya. Menghadapi permasalahan ini, negara pantai perlu melakukan pengkajian terhadap peraturan tersebut dalam rangka menyelaraskan antara ketentuan perundang-undangan dengan pengimplementasiannya dalam penegakan kedaulatan negara.

Penelitian ini bersifat deskriptif dan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Data diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research). Penelitian Kepustakaan dilakukan dengan menganalisis peraturan terkait.

Pengaturan Zona Ekonomi Eksklusif diatur dalam Pasal 55 UNCLOS 1982 menegaskan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif sebagai perairan (laut) yang terletak di luar dan berdampingan dengan laut teritorial, tunduk pada rezim hukum khusus (special legal regime) yang ditetapkan dalam Bab ini berdasarkan mana hak-hak dan yurisdiksi negara pantai, hak- hak, serta kebebasan-kebebasan negara lain, diatur oleh ketentuanketentuan yang relevan dari konvensi ini. Rezim hukum khusus ini tampak dalam kekhususan dari hukum yang berlaku pada ZEE tersebut sebagai suatu keterpaduan. Ketentuan sanksi yang diberikan kepada Warga Negara Asing dalam kaitannya dengan penegakan hukum di ZEE, pidana yang dijatuhkan pada pelaku pencurian ikan di ZEE merupakan pidana denda, yang notabenenya merupakan pidana yang dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, seperti pelanggaran atau kejahatan ringan. Pidana denda memiliki kemiripan dengan pembayaran yang diharuskan dalam perkara perdata, hanya saja kedudukan antara keduanya yang berbeda. Pada pidana denda, uang dibayarkan kepada negara atau masyarakat. Penegakan hukum terhadap Warga Negara Asing pada ketentuan-ketentuan penegakan hukum di Zona Ekonomi Eksklusif berdasarkan pada United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS) 1982, maka secara garis besar diatur dalam Pasal 73 ayat (1) sebagai berikut :Dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk mengeksplorasi, mengeksploitasi, melestarikan, dan mengelola sumber daya alam hayati di Zona Ekonomi Eksklusif, negara pantai dapat mengambil tindakantindakan seperti menaiki kapal,menginspeksi,menahan, dan melakukan penuntutan hukum sesuai kebutuhan untuk menegakan hukum negaranya dengan mempertimbangkan ketentuanketentuan dalam konvensi ini.

Kata Kunci: Laut, ZEE, Perikanan

*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**) Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***) Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(4)

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah, kasih karunia, hikmat dan sukacita sehingga penulis dapat menyelsaikan skripsi ini dengan judul “TINJAUAN YURIDIS PENANGKAPAN IKAN ILLEGAL (ILLEGAL FISHING) DI WILAYAH ZEE INDONESIA YANG DILAKUKAN OLEH WARGA NEGARA ASING BERDASARKAN PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL” sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum (S-1) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak sekali mendapatkan bimbingan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini.

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Prof. Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum Selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum Selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum Selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

5. Terima kasih juga saya ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH., M.H selaku Ketua Departemen Hukum Internasional di Fakultas Hukum USU.

(5)

6. Terima kasih saya ucapkan kepada bapak Arif, SH. M.Hum selaku Dosen Pembimbing I saya, yang telah banyak membantu dan memberi bimbingan dalam penulisan skripsi ini.

7. Terima kasih saya ucapkan kepada bapak Abdul Rahman, SH. M.Hum selaku Dosen Pembimbing II saya, yang telah banyak membantu dan memberi bimbingan dalam penulisan skripsi ini.

8. Terima kasih kepada kedua orang tua saya Ir. Jhoni Halintar Tarigan dan Dra. Ingantaras Peranginangin yang selalu memberi dukungan dan tidak pernah lelah memberikan semangat kepada saya baik secara moral maupun secara materi.

9. Terima kasih kepada adik-adik saya Hizkia Figo Arihta Tarigan dan Nalya Naomi Tarigan yang memberi dukungan saya dalam menyusun skripsi ini 10. Terima kasih kepada teman teman saya di Fakutas Hukum USU, Surya,

Bradley, Ryan, Alvi, Lucky, Gomgom, Petra, Erick, Landova, Adnan, Salomo, Dipo, Fikri, Rizky, yang telah memberi saya bantuan dan memotivasi saya selama pengerjaan skripsi ini.

Mudah- mudahan skripsi saya ini dapat bermanfaat khususnya dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan dan berguna bagi masyarakat.

Medan, November 2020

Penulis

Teguh Christian Tarigan

(6)

iv

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 10

F. Metode Penelitian ... 13

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II : KETENTUAN YANG MENGATUR MENGENAI WILAYAH LAUT SUATU NEGARA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Sejarah Hukum Laut ... 19

B. Hukum Laut Internasional ... 26

C. Pembagian Wilayah Laut ... 28

BAB III : KETENTUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP WARGA NEGARA ASING YANG MELAKUKAN ILLEGAL FISHING DI WILAYAH ZEE INDONESIA A. Illegal Fishing yang Dilakukan Oleh Warga Negara Asing ... 42

B. Ketentuan Hukum Internasional yang Berkaitan dengan Tindakan Illegal Fishing ... 56 BAB IV : PENEGAKAN HUKUM TERHADAP WARGA ASING YANG

MELAKUKAN ILLEGAL FISHING DI WILAYAH PERIKANAN INDONESIA

(7)

A. Hubungan Teori Kedaulatan dengan Penegakan Hukum Illegal Fishing ... 62 B. Penegakan Hukum terhadap Warga Negara Asing yang

Melakukan Illegal Fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia Menurut Hukum Internasional ... 67 C. Prosedur Penegakan Hukum terhadap Warga Negara Asing yang

Melakukan Illegal Fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia ... 78 BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 82 B. Saran ... 83 DAFTAR PUSTAKA ... 85 LAMPIRAN

(8)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Laut adalah salah satu sumber daya alam yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada rakyat Indonesia. Kekayaan alam Indonesia tentu saja tidak diragukan lagi. Secara umum, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki 17.480 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km.

berdasarkan konvensi hukum laut (selanjutnya disingkat KLH) 1982 , indonesia memiliki kedaulatan atas wilayah perairan seluas 3,2 juta km2 dan laut teritorial seluas 0,3 juta km2.1

Begitu luasnya lautan Indonesia, negara kita bahkan mempunyai hak eksklusif untuk memanfaatkan sumber daya kelautan seluas 2,7 km2 pada perairan Zona Ekonomi Eksklusif (selanjutnya disingkat ZEE). Perairan laut yang luas dan kaya akan jenis-jenis maupun potensi perikanannya dimana di bidang penangkapan 6,4 juta ton/ tahun serta potensi perikanan umum sebesar 305.650 ton/tahun serta potensi kelautan kurang lebih 4 milyrad USD/ tahun.2 Sektor perikanan yang memiliki potensi yang cukup kaya tersebut mengundang banyak nelayan asing maupun lokal melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan di perairan Indonesia.3

1 Nunung Mahmuda, Illegal Fishing (Pertanggung Jawaban Pidana di Wilayah Perairan Indonesia), Jakarta, Sinar Grafika, 2015, hal. 1

2 Supriadi dan Alimudin, Hukum Perikanan di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2001, hal. 2

3 Marlina dan Faisal, Aspek Hukum Peran Masyarakat dalam Mencegah Tindak Pidana Perikanan, Jakarta Sofmedia, 2013, hal. 2

(9)

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut Tahun 1982 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nation Convention On The Law of The Sea 1982, menempatkan Indonesia memiliki hak berdaulat untuk melakukan pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dan laut lepas.4

Pada regulasi domestik, ZEE diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yaitu:

Pasal 1 Ayat 21 yang menegaskan bahwa: “Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, yang selanjutnya disebut ZEEI, adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya, dan air di atasnya dengan batas terluas 200 (dua ratus) mil laut yang diukur dari garis pangkal laut teritorial Indonesia. Pengaturan tentang penangkapan ikan di Indoensia juga terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Hayati Laut di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.”

Namun pada saat ini telah terjadi permasalahan hukum di zona ekonomi eksklusif diluar kegiatan eksplorasi, eksploitasi, dan pengelolaan sumber daya hayati. Terutama penangkapan ikan illegal (illegal fishing) yang berkaitan dengan tindak pidana secara terorganisir dan internasional. Keberadaaan nelayan asing yang mengambil ikan di wilayah laut Indonesia tentu saja tidak hanya merugikan secara ekonomi, namun juga mengganggu wilayah kedaulatan Indonesia itu sendiri. Pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis

4 Djoko Tribawono, Hukum Perikanan Indonesia, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2013, hal. 13

(10)

3

beserta segenap unsur terkait di dalamnya, yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan pada aspek Administratif dan atau aspek Fungsional.5

Terhitung sejak tahun 2014 sampai Agustus 2018, jumlah kapal yang melakukan tindak pidana perikanan di Indonesia dan sudah dikenakan sanksi berupa penenggelaman kapal sebanyak 488 unit dengan rincian 23 unit kapal perikanan Indonesia, 41 unit kapal perikanan Malaysia, 90 unit kapal perikanan Filipina, 1 unit kapal perikanan Republik Rakyat Cina atau Tiongkok, 50 unit kapal perikanan Thailand, 276 unit kapal perikanan Vietnam 2 unit kapal perikanan Papua Nugini, 1 unit kapal perikanan Belize, dan 1 unit kapal tanpa bendera. Berdasarkan potensi sumber daya laut yang dimiliki Indonesia dan lemahnya pengawasan oleh pemerintah, menjadi wajar bila tindak pidana perikanan terjadi di Indonesia dan mengancam kedaulatan wilayah laut Indonesia.6

Salah satu peristiwa terjadinya pencurian ikan di wilayah Indonesia adalah pada akhir tahun 2019. Peristiwa ini terjadi di Pulau Natuna, Kepulauan Riau.

Aksi kapal nelayan dan penjaga pantai China (Coast Guard China) yang mengitari perairan Natuna, Kepulauan Riau, pada akhir tahun 2019 memicu ketegangan hubungan Indonesia dan China. Aktivitas mereka terpantau ada di perbatasan dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, berdasarkan konvensi United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS).

Permasalahan-permasalahan tersebut diantaranya adalah mengancam kelestarian stok ikan nasional maupun regional serta kerusakan ekosistem laut dan juga mendorong hilangnya rantai sumber daya perikanan. Beberapa penyimpangan yang sering terjadi antara lain:

a. Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan bahan beracun.

5 Dina Sunyowati, Buku Ajar Hukum Laut, Surabaya, Unair, 2013, hal. 9

6 Doddy Risky, KKP ungkap 135 Kasus Illegal Fishing per tahun, Warta Malang.com diakses pada 28 Agustus 2020

(11)

b. Penggunaan alat tangkap yang tidak sesuai misalnya pukat harimau dengan ukuran mata jaring yang terlalu kecil dan terlebih dengan dilakukan pada daerah-daerah tangkap yang telah rawan kualitasnya banyak menimbulkan masalah kelestarian sumber daya hayati.

Sebagai konsekuensi dari diratifikasinya UNCLOS 1982 ke dalam bentuk Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of the Sea (UNCLOS 1982), maka undang-undang perikanan sebagai landasan yuridis penegakan praktek perikanan di Indonesia akan secara otomatis menyesuaikan substansi dari UNCLOS 1982. Pasal 93 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan mengatur bahwa ketentuan tindak pidana dalam undang-undang perikanan tidak berlaku bagi pelaku pencurian ikan di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), kecuali ada kesepakatan antara negara-negara yang bersangkutan.

Dalam undang-undang perikanan, ketentuan pemidanaan terhadap pelaku pencurian ikan pada dasarnya diatur secara merata. Tidak ada perbedaan antara ketentuan pidana yang dijatuhkan pada kapal berbendera asing maupun kapal berbendera Indonesia. Begitupula ketentuan pidana yang dijatuhkan pada tindak pidana pencurian ikan di wilayah ZEEI. Dalam undang-undang ini, ketentuan tersebut mulai diatur dalam Pasal 93. Pada Pasal 93 khususnya ayat (2) dan ayat (4), dinyatakan bahwa setiap orang yang mengoperasikan kapal berbendera asing di wilayah ZEEI tanpa membawa Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) asli akan dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dengan pidana denda paling banyak

(12)

5

Rp20.000.000.000 (dua puluh miliar rupiah). Namun, ketentuan ini kemudian dikecualikan dalam Pasal 102 yang menyatakan bahwa segala bentuk pidana penjara yang terdapat dalam undang-undang ini tidak berlaku bagi tindak pidana perikanan yang terjadi di wilayah ZEEI, kecuali terdapat perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan negara yang bersangkutan.

Pada Pasal 102 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, disebutkan bahwa dalam rangka melakukan penegakan hukum di wilayah ZEEI, Indonesia tidak diperbolehkan menjatuhkan hukuman berupa kurungan kepada pelaku tindak pidana perikanan. Ini berkesesuaian dengan ketentuan yang terdapat dalam UNCLOS 1982. Apabila ditinjau dari sudut pandang penegakan kedaulatan negara, negara pantai tidak cukup hanya menjatuhkan pidana denda kepada pelaku tindak pidana pencurian ikan di wilayah ZEEI. Hal ini dikarenakan banyaknya pelaku pencurian ikan yang tidak mampu membayar denda yang diberikan oleh negara pantai kepadanya. Menghadapi permasalahan ini, negara pantai perlu melakukan pengkajian terhadap peraturan tersebut dalam rangka menyelaraskan antara ketentuan perundang-undangan dengan pengimplementasiannya dalam penegakan kedaulatan negara.

Pengecualian yang terdapat pada Pasal 102 dalam hal ini menimbulkan beberapa masalah baru dalam mengimplementasikan undang-undang perikanan.

Pada dasarnya, luas wilayah Indonesia yang melebihi daratan membuktikan bahwa Indonesia memiliki kekayaan laut yang mewah dan beragam. Kekayaan laut yang dimiliki seperti ikan, udang, dan berbagai jenis hewan laut lainnya membuat perhatian masyarakat luar negeri menjadi menyukai hasil laut Indonesia.

(13)

Persoalan yang kemudian muncul adalah, apabila awak kapal merupakan warga negara Indonesia namun kapal yang melakukan tindak pidana pencurian ikan merupakan kapal berbendera asing atau kapal yang melakukan pencurian ikan adalah kapal berbendera Indonesia namun awak kapalnya adalah warga negara asing.

Atas dasar itu kemudian dirasa perlu untuk melakukan penelitian tentang pencurian ikan di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia khususnya yang dilakukan Warga Negara Asing menurut hukum internasional. Adapun penelitian ini dituangkan dalam bentuk penulisan skripsi dengan judul: “Tinjauan Yuridis Penangkapan Ikan Illegal (Illegal Fishing) di Wilayah ZEE Indonesia yang Dilakukan Oleh Warga Negara Asing Berdasarkan Perspektif Hukum Internasional”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, kemudian disusun rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah ketentuan yang mengatur mengenai wilayah laut suatu negara menurut hukum internasional?

2. Bagaimanakah ketentuan hukum internasional terhadap warga negara asing yang melakukan illegal fishing di wilayah ZEE Indonesia?

3. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap warga asing yang melakukan illegal fishing di wilayah perikanan Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

(14)

7

Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mencapai hal-hal sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui ketentuan yang mengatur mengenai illegal fishing menurut hukum internasional.

2. Untuk mengetahui siapa saja yang dapat melakukan illegal fishing di wilayah ZEE Indonesia.

3. Untuk mengetahui tindakan apa yang dilakukan negara Indonesia terhadap orang-orang yang melakukan illegal fishing di wilayah perikanan Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Sedangkan manfaat yang hendak diberikan melalui penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum internasional, yang terkhusus berkaitan dengan illegal fishing yang dilakukan oleh Warga Negara Asing di ZEE Indonesia menurut hukum internasional.

2. Manfaat Praktis

a. Untuk mengetahui tindakan negara Indonesia terhadap warha negara asing yang melakukan illegal fishing di wilayah ZEE Indonesia

b. Agar menjadi rujukan terhadap mahasiswa Fakultas Hukum USU Departemen Hukum Internasional yang berkaitan tentang illegal fishing

(15)

c. Dapat dijadikan sebagai rujukan dalam hal pengetahuan mengenai illegal fishing yang oleh Warga Negara Asing di ZEE Indonesia yang dalam hal ini dipersempit ruang lingkupnya.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran pada perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan beberapa Universitas yang ada di Indonesia baik secara fisik maupun online khususnya Fakultas Hukum, tidak didapati bahwa judul skripsi Tinjauan Yuridis Penangkapan Ikan Illegal (Illegal Fishing) di Wilayah ZEE Indonesia yang Dilakukan Oleh Warga Negara Asing Berdasarkan Perspektif Hukum Internasional. Namun ada beberapa judul penelitian yang berkaitan dengan peranan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan illegal fishing, antara lain:

Stephanie Situmorang (2015), Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan judul penelitian Tindakan Eksploitasi Sumber Daya Perikanan di Wilayah Laut ZEE Oleh Kapal Asing Menurut Hukum Internasional. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Pengaturan atas eksploitasi sumber daya perikanan di wilayah laut ZEE oleh kapal asing menurut Hukum Internasional.

2. Pengaturan atas eksploitasi sumber daya perikanan di wilayah laut ZEE oleh kapal asing menurut Hukum Nasional.

3. Penegakan atas eksploitasi sumber daya perikanan di wilayah laut ZEE oleh kapal asing menurut Hukum Nasional.

Mohammad Maulidan Kamal (2018), Fakultas Hukum Universitas Airlangga dengan judul penelitian Penegakan Hukum Pencurian Ikan di Wilayah

(16)

9

Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Tindak pidana pencurian ikan di Wilayah ZEEI menurut Undang- Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.

2. Pidana Denda bagi Pelaku WNA yang mencuri ikan di ZEEI.

3. Pertimbangan Hakim dalam memutus Perkara Pencurian Ikan oleh Warga Negara Asing di ZEEI.

Arlen Tyas Pangestu (2020), Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul penelitian Illegal Fishing di Wilayah Yurisdiksi Indonesia dalam Perspektif Hukum Internasional, Hukum Nasional dan Hukum Islam: Analisis Penenggelaman Kapal Oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Periode 2014 – 2019. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penindakan penenggelaman kapal pelaku tindak pidana illegal fishing di wilayah yurisdiksi Indonesia oleh KKP pada periode 2014-2019 memiliki landasan yang sesuai dengan Hukum Internasional.

2. Penindakan penenggelaman kapal pelaku tindak pidana illegal fishing di wilayah yurisdiksi Indonesia oleh KKP pada periode 2014-2019 memiliki landasan yang sesuai dengan Hukum Nasional.

3. Pandangan Hukum Islam terhadap penindakan penenggelaman kapal pelaku tindak pidana illegal fishing di wilayah yurisdiksi oleh KKP pada periode 2014-2019.

(17)

Adapun perbedaan penelitian di atas dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini difokuskan pada illegal fishing yang dilakukan oleh Warga Negara Asing.

2. Penelitian ini dilakukan dengan menitikberatkan pada Zona Ekonomi Ekslusif.

3. Penelitian di atas dilakukan dengan meneliti sumber daya ZEE secara umum, sedangkan penelitian ini dilakukan hanya sebatas illegal fishing.

Penelitian yang dilakukan saat ini berjudul Tinjauan Yuridis Penangkapan Ikan Illegal (Illegal Fishing) di Wilayah ZEE Indonesia yang Dilakukan Oleh Warga Negara Asing Berdasarkan Perspektif Hukum Internasional, dengan permasalahan tentang ketentuan yang mengatur mengenai wilayah laut suatu negara menurut hukum internasional, ketentuan hukum internasional terhadap warga negara asing yang melakukan illegal fishing di wilayah ZEE Indonesia dan penegakan hukum terhadap warga asing yang melakukan illegal fishing di wilayah perikanan Indonesia.

Skripsi ini belum ditulis dan diteliti dalam bentuk yang sama, sehingga tulisan ini asli, atau dengan kata lain tidak ada judul yang sama dengan tulisan yang telah dilakukan di Fakultas Hukum manapun. Maka dari itu, keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maupun secara akademik, jika diketahui ada judul yang sama maka saya akan mengulanig penulisan kembali.

F. Tinjauan Kepustakaan

(18)

11

Adapun judul yang dikemukakan oleh adalah Tinjauan Yuridis Penangkapan Ikan Illegal (Illegal Fishing) di Wilayah ZEE Indonesia yang Dilakukan Oleh Warga Negara Asing Berdasarkan Perspektif Hukum Internasional. Dalam tinjauan dicoba untuk mengemukakan beberapa ketentuan dan batasan yang menjadi sorotan dalam mengadakan studi kepustakaan. Hal ini akan berguna untuk membantu melihat ruang lingkup skripsi agar tetap berada di dalam topik yang diangkat dari permasalahan di atas. Adapun yang menjadi pengertian secara etimologis daripada judul skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Zona Ekonomi Eksklusif

Hubungan-hubungan internasional yang dilakukan antar negara tidak selamanya berlangsung dengan baik. Seringkali hubungan menimbulkan perselisihan di antara keduanya. Perselisihan dapat bermula dari berbagai hal berupa perbatasan, eksploitasi sumber daya alam oleh kapal asing, kerusakan lingkungan, dan lain-lain. Pada zona ekonomi eksklusif (ZEE) sering terjadi eksploitasi sumber daya alam oleh kapal asing yang sangat merugikan negara, oleh karena itu, penegakan hukum yang tegas dari hukum internasional dan nasional sangat berperan penting di dalamnya.

Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah suatu zona selebar tidak lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal. Pada zona ini negara pantai memiliki hak-hak berdaulat yang eksklusif untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alam serta yurisdiksi tertentu terhadap:7

a. Pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalansi dan bangunan;

7 Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2010, hal. 215

(19)

b. Riset ilmiah kelautan;

c. Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.

2. Illegal Fishing

Illegal fishing secara istilah adalah istilah asing yang dipopulerkan oleh para pakar hukum di Indonesia yang kemudian menjadi istilah populer di media massa dan dijadikan sebagai kajian hukum yang menarik bagi para aktivis lingkungan hidup. Secara terminologi illegal fishing dari pengertian secara harfiah yaitu berasal dari bahasa Inggris yaitu terdiri dari dua kata illegal dan fishing.

Illegal artinya tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum. Fish artinya ikan atau daging dan fishing artinya penangkapan ikan sebagai mata pencaharian atau tempat menangkap ikan. Berdasarkan pengertian secara harfiah tersebut dapat dikatakan bahwa illegal fishing menurut bahasa berarti menangkap ikan atau kegiatan perikanan yang dilakukan secara tidak sah.8

Illegal fishing berasal dari kata illegal yang berarti tidak sah atau tidak resmi. Fishing merupakan kata benda yang berarti perikanan; dari kata fish dalam bahasa inggris yang berarti ikan; mengambil, merogoh; mengail, atau memancing.

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan menyebutkan bahwa Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya. Penangkapan ikan secara ilegal berarti segala bentuk kegiatan penangkapan ikan yang

8 Nunung Mahmudah, Op.Cit. hal. 80

(20)

13

melanggar Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 dan peraturan perundangan lainnya yang masih berlaku.

3. Warga Negara Asing

Warga negara dapat diartikan menjadi sekelompok orang yang berdasarkan ketentuan hukum berstatus sebagai pendukung tertib hukum negara.

Mereka mempunyai hak-hak dari negara dan kewajiban-kewajiban tertentu terhadap negara.9

Orang asing adalah warga negara asing yang bertempat tinggal pada suatu negara tertentu. Bahwa orang asing tersebut adalah semua orang-orang yang bertempat tinggal pada suatu negara tertentu tetapi ia bukan warga negara dari negara tersebut.10

Setiap orang asing dapat dibatasi ruang geraknya, bahkan dapat dideportasi, atau diserahkan kepada negara lain, terutama apabila melakukan tindak pidana. Di bidang politik, orang asing tidak diperkenankan untuk ikut campur dalam politik dalam negeri negara yang didiaminya. Oleh karena itu, orang asing tidak memiliki hak pilih, baik hak pilih aktif maupun hak pilih pasif dalam pemilihan umum di Indonesia. Dengan demikian, orang asing tidak mempunyai hak untuk turut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan dan badan perwakilan rakyat. Orang asing tidak berhak menduduki jabatan-jabatan publik, baik pemerintahan maupun perwakilan rakyat.

G. Metode Penelitian

9 Dasril Radjab, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, 2005, hal. 160

10 Abubakar Busroh dan Abu Busroh, Hukum Tata Negara, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1985, hal. 185

(21)

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.

Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana (ilmiah) bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metodologi penelitian yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.

Penulisan skripsi ini, menggunakan metodologi penulisan sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar ilmiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Fenomena yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai illegal fishing yang dilakukan oleh Warga Negara Asing di wilayah ZEE

Indonesia ditinjau dari hukum internasional. Penelitian ini juga didasarkan pada upaya untuk membangun pandangan subjek penelitian yang rinci, dibentuk dengan kata-kata, gambaran holistik dan rumit agar dapat membantu memperjelas hasil penelitian.11

2. Metode penelitian

Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif yaitu penelitian yang mengkonsepkan hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in book) atau hukum dikonsepkan sebagai

11 Moeleong, Lexy.J, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung, PT.Remaja Rosdakarya, 2007 hal. 6

(22)

15

kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analitis (Analitical Approach).

Pendekatan Analitis (Analitical Approach) tujuannya adalah mengetahui makna yang dikandung dalam peraturan perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik.12 Penggunaan metode penelitian yuridis normatif dan pendekatan Analitis disesuaikan dengan judul penelitian ini yaitu illegal fishing yang dilakukan oleh Warga Negara Asing di wilayah ZEE Indonesia. Metode ini digunakan untuk menyesuaikan peraturan yang ada dengan realita.

3. Data dan sumber data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Data sekunder pada umumnya ada dalam keadaan siap terbuat.

b. Bentuk maupun isinya data sekunder telah dibentuk dan diisi oleh peneliti- peneliti terdahulu.

c. Data sekunder tanpa terikat/dibatasi oleh waktu dan tempat.

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi : a. Bahan-bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang erat

hubungannya dengan bahan hukum dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer seperti buku dan jurnal berkaitan dengan illegal fishing.

12 Ibrahim, Johny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Edisi Revisi).

Malang, Bayu Media Publishing, 2007 hal. 303

(23)

b. Bahan-bahan hukum tersier,meliputi kamus hukum, kamus bahasa Indonesia.

H. Sistematika Penulisan

Keseluruhan sistematika dalam penulisan skripsi ini adalah satu kesatuan yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya dan tidak terpisahkan.

Sistematika penulisan adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar di dalamnya terurai mengenai latar belakang, perumusan masalah, kemudian dilanjutkan, dengan tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II : KETENTUAN YANG MENGATUR

MENGENAI WILAYAH LAUT SUATU

NEGARA MENURUT HUKUM

INTERNASIONAL

Bab ini merupakan bab yang membahas tentang Sejarah Hukum Laut, Hukum Laut Internasional dan Pembagian Wilayah Laut.

BAB III : KETENTUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP WARGA NEGARA ASING YANG

(24)

17

MELAKUKAN ILLEGAL FISHING DI WILAYAH ZEE INDONESIA

Bab ini merupakan bab yang membahas tentang Illegal Fishing yang Dilakukan Oleh Warga Negara Asing yang memuat tentang Pengertian Illegal Fishing dan Ketentuan Mengenai Warga Negara Asing serta Ketentuan Hukum Internasional yang Berkaitan dengan Tindakan Illegal Fishing.

BAB IV : PENEGAKAN HUKUM TERHADAP WARGA ASING YANG MELAKUKAN ILLEGAL FISHING DI WILAYAH PERIKANAN INDONESIA

Bab ini merupakan bab yang membahas tentang Hubungan Teori Kedaulatan dengan Penegakan Hukum Illegal Fishing, Penegakan Hukum terhadap Warga Negara Asing yang Melakukan Illegal Fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia Menurut Hukum Internasional dan Prosedur Penegakan Hukum terhadap Warga Negara Asing yang Melakukan Illegal Fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

BAB V : PENUTUP

(25)

Berisikan tentang kesimpulan dari bab-bab yang telah dibahas sebelumnya dan saran-saran yang mungkin berguna.

(26)

19 BAB II

KETENTUAN YANG MENGATUR MENGENAI WILAYAH LAUT SUATU NEGARA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Sejarah Hukum Laut

Grotius memiliki pendapat mengenai wilayah laut yang berbunyi “Tuhan menciptakan bumi ini sekalian dengan laut-lautnya,dan ini berarti agar bangsa bangsa di dunia dapat berhubungan satu sama lain untuk kepentingan berhembus bersama, angin berhembus dari segala jurusan dan membawa kapal-kapal ke seluruh pantai benua. Hal ini menandakan bahwa laut itu bebas dan dapat digunakan oleh siapa pun.”13

Sejak berakhirnya Perang Dunia I dan Perang Dunia II negara-negara di seluruh belahan dunia menjadi sadar akan potensi positif dan negatif dari laut, dan menyadari pula bahwa laut harus diatur sedemikian rupa supaya berbagai kepentingan negara-negara atas laut dapat terjaga. Dari pengalaman itulah negara- negara menganggap hal ini penting dan sepakat untuk membentuk suatu aturan (hukum) yang kemudian dikenal dengan sebutan hukum laut internasional.14

Kepentingan-kepentingan dunia atas hukum laut yang telah terlihat dalam perjalanan sejarah dunia mencapai puncaknya pada abad ke-20. Modernisasi dan Globalisasi dalam segala bidang kehidupan, bertambah pesatnya perdagangan dunia, tambah canggihnya komunikasi internasional, dan pertambahan penduduk

13 Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung, Penerbit Alumni , 2017, hal. 317

14 Mirza Satria Buana, Hukum Internasional Teori dan Praktek, Bandung, Penerbit Nusamedia, 2007, hal. 68

(27)

dunia, kesemuanya itu telah membuat dunia membutuhkan suatu pengaturan dan tatanan hukum laut yang lebih sempurna.15

Di dalam dekade-dekade dari Abad ke-20 telah empat kali diadakan usaha- usaha untuk memproleh suatu himpunan hukum laut yang menyeluruh, yaitu:

1. The Hague Codification Conference in 1930 (Konferensi Kodifikasi Den Haag 1930 di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa)

Konvensi ini adalah Konvensi pertama yang membahas tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara pantai atas laut. Tetapi Konvensi ini gagal menghasilkan ketetapan-ketetapan internasional dikarenakan tidak terdapatnya persesuaian paham tentang lebar laut teritorial dan pengertian mengenai zona tambahan. 16

2. The UN Conference on the Law of the Sea in 1958 (Konferensi PBB tentang Hukum Laut)

Konvensi kedua atau Konvensi pertama yang diselengarakan dibawah naungan PBB adalah Konvensi Hukum Laut 1958 di Jenewa, yang mana Konvensi ini merupakan tahap yang penting dan bersejarah bagi perkembangan Hukum Laut Kontemporer, karena berhasil menghasilkan 4 (empat) kesepakatan internasional, seperti:17

a. Convention on the Territorial Sea and Contigious Zone (Konvensi Tentang Laut Teritorial Dan Zona Tambahan)

b. Convention on the High Sea (Konvensi tentang laut lepas).

15 Ibid, hal. 69

16 P. Joko Subagyo, Hukum Laut - Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, 1993, hal. 3

17 Boer Mauna, Op.Cit, hal. 308

(28)

21

c. Convention on Fishing amd Conservation of the Living Resources of the High Sea (Konvensi tentang perikanan dan kekayaan alam hayati di laut lepas).

d. Convention on Continental Shelf (Konvensi tentang Landas dan Kontinen)

3. The UN Conference on the Law of the Sea in 1960 (Konferensi PBB tentang Hukum Laut 1960)

Pada tahun 1960 diselenggarakan konferensi Hukum Laut PBB II (UNCLOS II). Setelah selesainya Konferensi Hukum Laut PP II, masalah lautan terus berkembang kearah yang tidak terkendali sehingga menimbulkan ketidakpastian, seperti masih tetap berlangsungnya klaim-klaim sepihak atas laut yang berupa tindakan pelebaran laut teritorial. Negara-negara dunia saat itu, secara sendiri- sendiri ataupun bersama-sama mulai memperkenalkan pranata hukum laut yang baru, seperti zona eksklusif, zona ekonomi, zona perikanan, dan berbagai klaim yang lainnya. Terjadilah perlombaan yang tidak terkendali antara negara-negara tersebut dalam menguasai lautan dan mengeksplorasi lautan serta mengeksploitasi sumber daya alamnya.

4. The UN Conference on The Law of the Sea in 1982 (Konferensi Hukum Laut 1982)

Pada bulan Desember 1982, para wakil dari lebih dari 100 Negara berkumpul di Jamaika dalam rangka menandatangani Konvensi Hukum Laut yang baru (United Nations Convention on the Law of the Sea) atau dikenal dengan

(29)

UNCLOS 1982. Kejadian ini menandai era baru dari aktivitas UN Seabed Committee dan Konferensi Hukum Laut III selama 15 tahun. 18

Indonesia adalah salah satu negara kepulauan terluas di dunia, sebagai negara dengan kepulauan dan garis pantai terpanjang didunia, ini menjadi salah satu keuntungan bagi negara Indonesia, sektor maritim dan laut Indonesia sangat strategis baik dari faktor pariwisata, perdagangan, dan juga menjadi jalur lintas nasional maupun internasional. Konsep negara kepulauan Indonesia ini sendiri di dapat pada tahun 1957 melalui Deklarasi Juanda. Pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja, adalah deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.

Jauh sebelum era kemerdekaan, perairan Indonesia diatur oleh Territoriale Zee En Marietieme Kringen Ordonnantie Tahun 1939, tercantum dalam Staatsblad 1939 No. 442 dan yang mulai berlaku tanggal 25 September 1939.

Mengenai laut wilayah, pasal 1 Ordonasi tersebut antara lain menyatakan bahwa:19

“Lebar laut Indonesia adalah 3 mil laut, diukur dari garis air rendah dari pulau-pulau yang termasuk dalam daerah Indonesia.”

Ketentuan yang dilahirkan di zaman penjajahan ini masih tetap kita pakai sampai tahun 1957, walaupun lama sebelumnya sudah terasa bahwa ketentuan tersebut tidak sesuai lagi dengan kepentingan-kepentingan pokok Indonesia, baik dibidang ekonomi, politik maupun dibidang keamanan.

18 Etty R Agoes, “Praktik Negara-Negara Atas Konsepsi Negara Kepulauan”, Jurnal Hukum Internasional, Vol. 1 No.3, April 2004, hal. 441

19 Boer Mauna, Op.Cit., hal. 378

(30)

23

Penentuan batas laut yang demikian ini sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan zaman, tidak sesuai dengan kepentingan rakyat banyak karena sifat khusus Indonesia yang merupakan Negara kepulauan serta letaknya yang strategis. Kalau kita teruskan menganut dan melaksanakan ketentuan-ketentuan lama ini akibatnya akan sangat merugikan kepentingan-kepentingan nasional kita.

Bila cara pengukuran yang lama tetap dipakai yaitu lebar laut wilayah yang di ukur dari garis pangkal air rendah maka sebagian besar dari pulau-pulau kita akan mempunyai laut wilayahnya sendiri-sendiri dan sebagai akibatnya di antara laut- laut wilayah tersebut terdapat pula bagian-bagian laut lepas. Walaupun diantara ribuan pulau-pulau tersebut masih banyak terdapat pulau-pulau yang jaraknya satu sama lain kurang dari 6 mil, jadi hanya akan merupakan kelompok pulau-pulau atau pulau-pulau yang mempunyai laut wilayahnya sendiri-sendiri karena jaraknya satu sama lain lebih dari 6 mil dan demikian mempunyai kantong- kantong laut lepas.20

Berdasarkan pemaparan diatas penulis menyimpulkan bahwa banyaknya laut-laut wilayah dengan kantong-kantong laut lepas dalam kepulauan Indonesia akan menimbulkan banyak persoalan dan bahkan dapat membahayakan keutuhan wilayah nasional. Dari segi keamanan, bentuk laut yang demikian akan menimbulkan banyak kesulitan dalam melakukan pengawasan. Kita dapat bayangkan betapa berat dan rumitnya tugas kapal-kapal perang atau kapal-kapal pengawas pantai untuk menjaga perairan kita terhadap usaha-usaha penyelundupan, kegiatan-kegiatan subversive asing dan usaha-usaha pelanggaran

20 Ibid, hal. 378

(31)

hukum lainya, karena banyak dan berbelit-belitnya susunan kepulauan yang harus diawasi. Tugas yang sudah berat ini di persulit lagi dengan adanya kantong- kantong laut lepas di sana sini. Setiap waktu kapal-kapal pengawas harus menentukan posisinya apakah berada di laut wilayah atau laut lepas karena pada saat itu peraturan hukum tentang bagian-bagian laut tersebut berbeda satu sama lain.

Selanjutnya kantong-kantong laut lepas yang terdapat di antara pulau- pulau dan kelompok pulau-pulau tersebut akan menyebabkan terdapatnya pula kantong-kantong udara bebas di wilayah udara kita yang akan menimbulkan pula persoalan-persoalan dari segi penerbangan. Adanya kantong-kantong laut lepas menyebabkan wilayah udara kita tidak homogen dan hal ini akan merupakan ancaman terhadap keamanan nasional.

Demikian demi untuk mengamankan kepentingan-kepentingan pokok Indonesia, baik dari segi ekonomi, pelayaran, politik maupun dari segi hankamnas pemerintah merasa perlu merombak ketentuan-ketentuan lama dan mengumumkan ketentuan-ketentuan baru di bidang perairan nasional.

Ketentuan-ketentuan baru ini pada mulanya dikeluarkan dalam bentuk pengumuman pemerintah tanggal 13 Desember 1957, yang kemudian dikenal dengan nama Deklarasi Djuanda yang isinya sebagai berikut:

“Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada dibawah kedaulatan mutlak dari Negara Republik Indonesia.

Lalu lintas damai di perairan pedalaman ini bagi kapal asing terjamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan

(32)

25

Negara Indonesia. Penentuan batas laut territorial yang lebarnya 12 mil yang di ukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik terluar pada pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan di tentukan dengan undang- undang.”

Berdasarkan hal di atas, dapat disimpulkan bahwa lebar laut Indonesia menjadi 12 mil yang diukur dari garis pangkal yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau Indonesia terluar. Selanjutnya, wilayah Republik Indonesia merupakan paduan tunggal yang tidak dapat dipisah-pisahkan antara daratan dan lautan serta udara diatasnya. Konsepsi baru ini kemudian diperkokoh dengan Undang-Undang No. 4 Prp. Tahun 1960.

Melalui ketentuan hukum yang baru tersebut, seluruh kepulauan dan perairan Indonesia adalah suatu satu kesatuan dimana dasar laut, lapisan tanah dibawahnya, udara diatasnya, serta seluruh kekayaan alamnya berada di bawah kedaulatan Indonesia.

Berikut adalah ketentuan-ketentuan baru yang mengatur perairan Indonesia sesuai Undang-undang No. 4 Prp. Tahun 1960 yang antara lain: 21

1. Perairan Indonesia adalah laut wilayah Indonesia beserta perairan pedalaman Indonesia.

2. Laut wilayah Indonesia ialah lajur laut selebar 12 mil laut yang garis luarnya di ukur tegak lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah dari pada pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang terluar dalam wilayah Indonesia dengan ketentuan bahwa jika ada selat yang lebarnya tidak melebihi 24 mil laut dan Negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya Negara tepi, garis batas laut wilayah Indonesia ditarik pada tengah selat.

3. Perairan pedalaman Indonesia ialah semua perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis dasar.

4. Lalu lintas laut damai dalam perairan pedalaman Indonesia terbuka bagi kendaraan asing.

21 Ibid, hal. 382

(33)

Diterimanya dan berlakunya konsepsi hukum laut territorial 12 mil adalah pada konsepsi hukum laut internasional I ( UNCLOS ) pada tahun 1958, bahwa laut territorial di tetapkan 12 mil dari garis pangkal surut air pantai.22

B. Hukum Laut Internasional

Laut terutama lautan samudera, mempunyai sifat istimewa bagi manusia.

Begitu pula hukum laut, oleh karena hukum pada umumnya adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota masyarakat dan bertujuan mengadakan tata tertib diantara anggota-anggota masyarakat itu. Laut adalah suatu keluasan air yang meluas diantara berbagai benua dan pulau-pulau di dunia.23

Tetapi bagi manusia yang berdiam di tepi laut, sejak dahulu kala dirasakan dapat dan berhak menguasai sebagian kecil dari laut yang terbatas pada pesisir itu.

Ini justru karena didasarkan tidak ada orang lain yang berhak atas laut selaku suatu keluasan air. Maka ada kecenderungan untuk memperluas lingkaran berlakunya peraturan-peraturan hukum di tanah pesisir itu sampai meliputi sebagian dari laut yang berada di sekitarnya. Sampai berapa jauh kearah laut peraturan-peraturan hukum dari tanah pesisir ini berlaku, adalah hal yang mungkin menjadi soal, terutama apabila tidak jauh dari tanah pesisir itu ada tanah pesisir di bawah kekuasaan negara lain.24

Maka dengan ini sudah mulai tergambar suatu persoalan internasional, apabila orang menaruh perhatian pada hukum mengenai laut. Maka dapat dimaknai bahwa hukum laut internasional adalah kaidah-kaidah hukum yang

22 T. May Rudi, Hukum Internasional 2, Bandung, Penerbit Refika Aditama, 2009, hal. 8

23 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Laut Bagi Indonesia, Jakarta, Sumur, 1984, hal. 8

24 Ibid, hal. 9

(34)

27

mengatur hak dan kewenangan suatu negara atas kawasan laut yang berada dibawah yurisdiksi nasionalnya (national jurisdiction).25 Pentingnya laut dalam hubungan antar bangsa menyebabkan pentingnya pula arti hukum laut internasional. Tujuan hukum ini adalah untuk mengatur kegunaan rangkap dari laut yaitu sebagai jalan raya dan sebagai sumber kekayaan serta sumber tenaga. Di samping itu hukum laut juga mengatur kompetisi antara negara-negara dalam mencari dan menggunakan kekayaan yang diberikan laut, terutama sekali antara negara-negara maju dan berkembang.26

Kebiasaan internasional adalah sumber hukum laut yang paling penting.

Kebiasaan internasional ini lahir dari perbuatan yang sama dan dilakukan secara terus-menerus atas dasar kesamaan kebutuhan di laut. Kebiasaan internasional juga merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum. Perlu diperingatkan bahwa kebiasaan internasionalsebagai sumber hukum tidak berdiri sendiri. Kebiasaan internasional sebagai sumber hukum erat sekali hubungannya dengan perjanjian internasional. Hubungan ini merupakan hubungan timbal balik.

Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu. Sumber-sumber hukum laut yang sah adalah hasil konferensi PBB pada tahun 1958 di Jenewa. Konferensi yang dilaksanakan pada 24 Februari sampai dengan 27 April 1958 itu dinamakan Konferensi PBB I tentang Hukum Laut, berhasil menyepakati empat konvensi, yaitu sebagai berikut:

25 Ibid, hal. 11

26 Boer Mauna, Op.Cit. Hal. 307

(35)

a. Convention on the Territorial Sea and the Contiguous Zone (Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan), mulai berlaku pada tanggal 10 September 1964;

b. Convention on the High Seas (Konvensi tentang Laut Lepas), mulai berlaku pada tanggal 30 September 1962;

c. Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas (Konvensi tentang Perikanan dan Perlindungan Sumber- Sumber Daya Hayati Laut Lepas), mulai berlaku pada tanggal 20 Maret 1966;

d. Convention on the Continental Shelf (Konvensi tentang Landas Kontinen), mulai berlaku pada tanggal 10 Juni 1964.

C. Pembagian Wilayah Laut 1. Zona Ekonomi Eksklusif

Zona Ekonomi Eksklusif diartikan sebagai suatu daerah di luar laut teritorial yang lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial.27

Pasal 55 UNCLOS 1982 menegaskan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif sebagai perairan (laut) yang terletak di luar dan berdampingan dengan laut teritorial, tunduk pada rezim hukum khusus (special legal regime) yang ditetapkan dalam pasal ini berdasarkan mana hak-hak dan yurisdiksi negara pantai, hak-hak, serta kebebasan-kebebasan negara lain, diatur oleh ketentuanketentuan yang relevan dari konvensi ini. Rezim hukum khusus ini

27 Albert W. Koers, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut, Yogyakarta, Penerbit Gadjah Mada University Press, 1994, hal. 8

(36)

29

tampak dalam kekhususan dari hukum yang berlaku pada ZEE tersebut sebagai suatu keterpaduan yang meliputi:

a. hak-hak berdaulat, yurisdiksi, dan kewajiban negara pantai;

b. hak-hak serta kebebasan dari negara-negara lain;

c. kebebasan-kebebasan laut lepas; dan

d. kaidah-kaidah hukum internasional sebagaimana ditentukan dalam konvensi.

Berkaitan dengan hak-hak, yurisdiksi dan kewajiban suatu negara pantai, telah ditentukan dalam UNCLOS 1982 yaitu sebagai berikut:28

Dalam Zona Ekonomi Eksklusif, negara pantai mempunyai:

a. hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan suber kekayaan alam, baik hayati maupun non hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi Zona Ekonomi Eksklusif tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin.

b. yurisdiksi sebagaimana ditentukan dalam ketentuan yang relevan dari konvensi ini berkenaan dengan pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan, riset ilmiah kelautan dan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.

c. hak dan kewajiban lain sebagaimana ditentukan dalam konvensi ini.

28 Article 56 United Nations Convention on the Law of the Sea 1982

(37)

Dalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajiban berdasarkan konvensi ini dalam Zona Ekonomi Eksklusif, Negara pantai harus memperhatidi kan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban negara lain dan harus bertindak dengan suatu cara sesuai dengan ketentuan konvensi ini. Hak-hak yang tercantum dalam pasal ini berkenaan dengan dasar laut dan tanah di bawahnya harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Bab VI UNCLOS.

Dalam melaksanakan hak berdaulat dan yurisdiksinya maka negara pantai harus memperhatikan hak-hak dan kewajiban dari negara lain di Zona Ekonomi Eksklusif. Hak dan Kewajiban negara lain di ZEE diatur dalam Pasal 58 UNCLOS 1982, yaitu sebagai berikut:

1) Di Zona Ekonomi Eksklusif, semua negara, baik negara berpantai atau tak berpantai, menikmati, tunduk pada ketentuan yang relevan dengan konvensi ini, kebebasan-kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan meletakkan kabel dan pipa bawah laut yang disebutkan dalam Pasal 87 dan penggunaan laut yang berkaitan dengan pengoperasian kapal, pesawat udara, dan kabel serta pipa di bawah laut, dan sejalan dengan ketentuan-ketentuan lain konvensi ini.

2) Pasal 88 sampai Pasal 115 dan ketentuan hukum internasional lain yang berlaku diterapkan bagi Zona Ekonomi Eksklusif sepanjang tidak bertentangan dengan bab ini.

3) Dalam melaksanakan hak-hak memenuhi kewajiban berdasarkan konvensi ini di Zona Ekonomi Eksklusif, negara-negara harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban negara

(38)

31

pantai dan harus mentaati peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh negara pantai sesuai dengan ketentuan konvensi ini dan peraturan hukum internasional sepanjang ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan bab ini.

Ketiga macam hak dan kewajiban ini merupakan peninggalan dari kebebasan laut lepas yang sudah diakui dalam Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958 dimana bagian laut yang sekarang merupakan Zona Ekonomi Eksklusif dan sebelumnya merupakan bagian dari laut lepas dengan empat kebebasan laut lepasnya. Hanya kebebasan perikanan saja yang terhapus, disebabkan maksud dan tujuan dari pranata hukum Zona Ekonomi Eksklusif ini adalah demi pencadangan sumber daya alam hayati dan non hayatinya bagi kepentingan negara pantai itu sendiri. Sumber daya alam inilah yang menjadi intinya dalam rangka memenuhi kepentingan negara pantai.29

2. Landas Kontinen

Landas kontinen merupakan istilah geologi yang kemudian menjadi bagian dalam istilah hukum. Secara sederhana landas kontinen dapat dijelaskan sebagai daerah pantai yang tanahnya menurun ke dalam laut sampai akhirnya di suatu tempat tanah tersebut jatuh curam ke dalam laut dan pada umumnya tidak terlalu dalam, agar sumber daya alam dari landas kontinen dapat di manfaatkan dengan teknologi yang ada.

Berdasarkan Pasal 76 ayat (1) UNCLOS 1982, dikatakan bahwa landas kontinen Negara pantai terdiri dari dasar laut dan kekayaan alam yang terdapat

29 I Made Andi Arsana, Ketika Capres bicara Kedaulatan, Batas Maritim dan Laut China Selatan, 2014, hal. 74

(39)

dibawahnya dari area laut yang merupakan penambahan dari laut teritorialnya, yang mencakup keseluruhan perpanjangan alami dari wilayah territorial daratnya ke bagian luar yang memagari garis continental, atau sejauh 200 mil dari garis pangkal dimana garis teritorial di ukur jika bagian luar yang memagari garis continental tidak bisa diperpanjang sampai pada jarak tersebut.30

Penjelasan pada Pasal 76 UNCLOS merupakan pencerminan dari kompromi antara Negara-negara pantai yang memiliki landas kontinen yang luas seperti kanada yang mendasarkan kriteria eksploitasibilitas sebagaimana yang termuat dalam UNCLOS 1958 karena penjelasan pada UNCLOS 1958 tentang landas kontinen sangat berbeda dengan pengertian Pasal 76 UNCLOS 1982, sehingga Negara-negara pantai dengan landas kontinen yang luas tetap mempertahankan posisi bahwa mereka memiliki hak diseluruh landas kontinenya dengan Negara-negara yang menginginkan kawasan internasional seluas mungkin.

Kemudian terkait dengan hak dan penggunaan landas kontinen sebuah Negara pantai, hal tersebut diatur dalam Pasal 79 UNCLOS 1982. Negara pantai yang bersangkutan hanya bisa menentukan jalur kabel atau pipa yang akan di tanam akan tetapi tidak dapat melarang atau mengharuskan ketentuan penanaman kabel atau pipa tersebut.

30 Pasal 76 ayat (1) UNCLOS 1982 Tentang Landas Kontinen

(40)

33

3. Laut Teritorial

Laut teritorial adalah laut yang terletak di sisi luar garis pangkal yang tidak lebih lebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Konsep laut teritorial ini ada dikarenakan kebutuhan untuk menumpas pembajakan juga sebagai jalur pelayaran dan perdagangan antar Negara. Prinsip ini mengizinkan bahwa setiap Negara berhak memperluas yuridiksinya melebihi batas wilayah pantainya untuk alasan keamanan. Secara konseptual, laut teritorial merupakan perluasan dari wilayah territorial daratnya. Sejak konferensi Den Haag 1930 kemudian konvensi hukum laut internasional tahun 1958, Negara-negara pantai mendukung rencana untuk konsep laut teritorial ditetapkan dalam doktrin hukum laut. Kemudian ketentuan laut territorial dikodifikasikan dalam konvensi hukum laut internasional tahun 1982 (UNCLOS), dengan tunduk pada Konvensi Hukum Laut 1982, kapal semua negara, baik berpantai maupun tak berpantai, dapat menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial.31

Menurut konvensi baru ini, kedaulatan negara menyambung keluar dari wilayah daratan dan perairan pedalamanya atau perairan kepulauanya ke kawasan laut yang disebut laut teritorial. Kedaulatan ini menyambung ke ruang udara di atas laut teritorial, demikian pula ke dasar lautan dan tanah dibawahnya, serta negara-negara akan melaksanakan kedaulatanya atas laut teritorial dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan konvensi Hukum Laut Internasional 1982, dan aturan lain dari hukum internasional.

31 Pasal 17 UNCLOS 1982 Tentang Pengesahan UNCLOS

(41)

Apabila melihat uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa batas laut Teritorial ini ditentukan bahwa setiap negara berhak menetapkan lebar dari laut teritorialnya sampai ke batas 12 mil laut dari garis pangkal pantai.

4. Zona Tambahan

Zona tambahan adalah suatu jalur perairan yang berdekatan dengan batas maritim atau teritorial, tidak termasuk kedaulatan Negara pantai , tetapi dalam zona tersebut Negara pantai dapat melaksanakan hak-hak pengawasan tertentu untuk mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangan, bea cukai, fiscal, dan ke imigrasian di wilayah laut teritorialnya. Sepanjang 12 mill atau tidak melebihi 24 mill dari garis pangkal.

Zona tambahan di dalam Pasal 24 (1) UNCLOS III dinyatakan bahwa suatu zona didalam laut lepas yang bersambungan dengan laut territorial Negara pantai tersebut dapat melakukan pengawasan atau dapat menindak pelanggaran di zona tersebut:

1. Mencegah pelanggaran-pelanggaran perundang-undangan, yang berkenaan dengan masalah bea cukai, fiscal dan keimigrasian;

2. Menghukum pelanggaran-pelanggaran atau peraturan perundang- undangan seperti disebut di atas.

Didalam ayat (2) ditegaskan tentang lebar maksimum tentang zona tambahan tidak boleh melebihi dari 12 mil laut di ukur dari garis pangkal, hal ini berarti bahwa zona tambahan itu hanya memiliki arti bagi Negara-negara yang mempunyai lebar laut teritorial kurang dari 12 mil (ini menurut konvensi laut jenewa 1958), dan tidak berlaku lagi setelah adanya ketentuan baru dalam

(42)

35

konvensi hukum laut internasional tahun 1982, menurut Pasal 33 ayat (2) konvensi hukum laut internasional 1982, zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial itu di ukur.

Dari uraian diatas dapat dikemukakan beberapa hal untuk memperjelas posisi zona tambahan, yaitu: 32

1. Pertama, tentang tempat atau garis darimana zona tambahan itu di ukur, yaitu dari garis pangkal menuju ke laut.

2. Kedua, tentang lebar dari zona tambahan, yaitu tidak boleh melebihi 24 mil laut di ukur dari garis pangkal.

3. Ketiga, oleh karena bagian laut dengan lebar maksimum 12 mil laut diukur dari garis pangkal sudah ditetapkan sebagai laut territorial, maka secara praktis bagian laut yang merupakan zona tambahan itu tergantung dari lebar laut territorial yang dianut oleh masing-masing Negara, kearah laut sampai batas 24 mil laut.

4. Keempat, pada zona tambahan Negara pantai hanya memiliki kewenangan yang terbatas seperti yang ditegaskan pada ayat (1), berbeda dengan di laut territorial dimana Negara pantai memiliki kedaulatan yang dibatasi oleh kewajiban untuk mengakomodasikan hak lintas damai bagi kapal-kapal asing.

Guna mencegah Negara pantai tidak menyamakan zona tambahan dengan laut teritorial maka dalam Pasal 24 ayat (1) dari konvensi laut teritorial dan zona tambahan 1958, diatur mengenai kekuasaan pengawasan Negara pantai dimana

32 Etty R. Agoes, Analisis dan Evaluasi Hokum Tentang Zona Tambahan, Jakarta, Penerbit Pengayoman, 2008, hal. 9

(43)

dikatakan bahwa yang dilaksanakan Negara pantai ialah suatu pengawasan dan bukan suatu yuridiksi untuk:33

a. Mencegah pelanggaran peraturan fiscal, imigrasi, dan kesehatan di didalam laut teritorial Negara tersebut.

b. Menghukum pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tersebut diatas yang dilakukan pada laut teritorial Negara tersebut.

Dalam melaksanakan kekuasaan pengawasan prosedur yang harus dilakukan negara pantai untuk melakukan pengawasan adalah dengan pemeriksaan dilakukan pada waktu kapal masih berada di zona tambahan. Batasan tersebut diperlukan untuk mencegah Negara pantai tidak menyamakan zona tambahan dengan laut teritorial.

UNCLOS 1982 telah membuat sebuah peraturan yang mengatur hak lintas kapal asing di dalam perairan suatu Negara. Dalam peraturan ini setidaknya dibuat 3 (tiga) jenis hak lintas, yaitu hak lintas damai, hak lintas transit, hak lintas alur laut kepulauan.

1) Hak Lintas Damai (The Right Of Innocent Passage)

Zaman dahulu laut dipandang sebagai entitas yang tidak dimiliki oleh Negara manapun (res nullius), dan oleh karena itu setiap negara bebas memanfaatkanya untuk apapun, seperti berlayar atau mencari sumber daya alam, barulah ketika status hukum laut dipersoalkan, akhirnya melahirkan pranata hukum laut, yakni laut teritorial dan laut lepas. Laut teritorial merupakan kedaulautan dari suatu Negara sehingga membatasi kebebasan berlayar dan

33 Kolonel Karmin Suharna, “Konflik dan Solusi Laut China Selatan dan dampaknya bagi Ketahanan Nasional”, Majalah Komunikasi dan Informasi edisi 94 tahun 2012, hal. 34

(44)

37

ekplorasi sumber daya alam bagi kapal asing. sedangkan laut lepas adalah bukan kedaulatan suatu negara masih diakui adanya kebebasan sehingga kapal asing masih bebas berlayar (freeom of navigation).

Namun hal ini lah yang menjadi masalah, sebab ketiadaan kebebasan berlayar pada suatu laut teritorial terutama untuk tujuan perdagangan dan lalu lintas orang, mengakibatkan mengalami kendala yang pada akhirnya merugikan negara-negara itu sendiri. Dan untuk mengatasi masalah itu ditempuhlah jalan tengah, yakni laut teritorial tetap merupakan kedaulatan dan wilayah negara pantai, tetapi bagi kapal-kapal asing diberikan hak untuk tetap bisa berlayar, hak inilah yang kemudian disebut sebagai hak lintas damai. Hak ini kemudian diakui, dihormati dan diterima lalu dipraktekan secara luas serta dirasakan sebagai kaidah hukum di semua Negara, dengan kata lain hak lintas damai sudah menjadi kebiasaan hukum internasional dalam bidang hukum laut.

Pengaturan Hak Lintas Damai pada UNCLOS 1982 dapat dilihat dalam bagian 3 (Pasal 17-26) yang terbagi kedalam tiga sub bagian, yakni peraturan yang berlaku bagi semua kapal, peraturan yang berlaku bagi kapal dagang dan pemerintah untuk tujuan komersial dan peraturan berlaku bagi kapal perang dan kapal pemerintah lainya untuk tujuan non komersial. Selanjutnya pasal 19 UNCLOS 1982 memberikan pengertian mengenai hak lintas damai. Lintas adalah damai selagi tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban atau keamanan bagi Negara pantai. Mengenai hak lintas damai sendiri Indonesia telah mengundangkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang Perairan Indonesia dan Perarturan

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Melakukan usaha pertambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK” sebagaimana yang didakwakan

Pasal tersebut menyatakan bahwa asuransi pada umumnya adalah suatu persetujuan dimana penanggung dengan menikmati suatu premi mengikat dirinya terhadap tertanggung

Data diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian Kepustakaan dilakukan dengan menganalisis Putusan

1) Selama masih dalam pemeriksaan dan untuk mencegah kerugian yang lebih besar, pemilik Merek dan/atau penerima Lisensi selaku penggugat dapat mengajukan permohonan

Seperti diantaranya adalah praktik perjanjian jual beli tanah hak milik oleh pihak asing dengan cara pinjam nama (nominee) yang seolah-olah bahwa pembeli tanah

Ketidakterlaksanaannya suatu kontrak konstruksi dapat menimbulkan perselisihan atau yang sering disebut dengan “sengketa konstruksi” diantara pihak pengguna dengan pihak

3) Periksa dengan seksama kondisi kamera dan lensa tersebut, mulai dari kondisi fisik dan tombol-tombol fungsi produk. 4) Cek kelengkapan dari paket tersebut, mulai

Maka dengan demikian, berdasarkan pembahasan yang dijelaskan sebagaimana yang dimaksud di atas, timbul keinginan untuk mengkaji tentang keringanan pajak sebagai bentuk insentif