• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS GUGATAN ACTIO PAULIANA SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP KREDITUR DALAM UNDANG-UNDANG

NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PKPU (Studi Kasus Putusan 018PK/PDT.SUS/2007)

TESIS

OLEH :

AIDA NUR HASANAH 157005049/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

ANALISIS YURIDIS GUGATAN ACTIO PAULIANA SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP KREDITUR DALAM UNDANG-UNDANG

NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PKPU (Studi Kasus Putusan 018PK/PDT.SUS/2007)

TESIS

DiajukanSebagai Salah SatuSyaratUntukMemperolehGelar Magister HukumDalamProgram Studi MagisterIlmuHukum

PadaFakultasHukumUniversitas Sumatera Utara

OLEH :

AIDA NUR HASANAH 157005049/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(3)
(4)

Telah Diuji

Pada Tanggal : 12 April 2018

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua : 1. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum Anggota : 2. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum

3. Dr. Dedi Harianto, SH, M.Hum 4. Prof. Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum

5. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum

(5)

(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Aida Nur Hasanah

NIM : 157005049

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 13 November 1992

Program Studi : Magister ilmu Hukum/Hukum Bisnis Nama Bapak : dr. Irwansyah

Nama Ibu : Siti Rahma br. Bukit Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jl. Sei Mencirim No. 36 A, Medan Krio, Kec. Sunggal, Kab. Deli Serdang, Sumatera Utara

LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

1998-2001 : SD/SMP TP. Daya Cipta Medan 2001-2003 : SDN 142925 Sibuhuan

2003-2004 : SDN 114618 Kota Pinang 2004-2007 : SMP Negeri I Kota Pinang 2007 : SMA Negeri I Kota Pinang 2008-2010 : SMA Negeri 4 Medan

2010-2014 : Strata I Muamalah Universitas Islam Negeri Sumatera Utara 2015-2018 : Strata II Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(7)

ABSTRAK

Actio Pauliana diberikan sebagai bentuk perlindungan kepada kreditur atas perbuatan debitur yang merugikan kreditur. Actio Pauliana diatur di dalam Pasal 41 s.d. Pasal 50 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Penerapan Actio Pauliana secara nyata pada pengajuan permohonan Actio Pauliana yang diajukan oleh Ketua Balai Harta Peninggalan (BHP) Semarang selaku kurator. Berdasarkan putusan No. 02/ PAILIT/ 2006/ PN.Niaga.Smg jo 017 K/N/ 2007 jo 018 PK/

Pdt.Sus/ 2007, Majelis Hakim menolak permohonan peninjauan kembali BHP.

Majelis Hakim berdalil bahwa bukti-bukti yang diajukan tidak dapat membuktikan bahwa debitur pailit maupun pihak ketiga mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa jual beli tersebut akan merugikan kreditur. Akan tetapi, akibat dari jual beli yang dilakukan oleh debitur dengan pihak ketiga menyebabkan berkurangnya harta pailit, sehingga merugikan para kreditur.

Penelitian diadakan untuk mengetahui actio puliana dapat memberikan perlindungan hukum yang dilaksanakan oleh kurator terhadap kreditur, batasan antara debitur yang beritikad baik dengan debitur yang beritikad buruk dalam mengalihkan sebagian harta pailit dan penerapan hukum Actio Pauliana oleh Majelis Hakim dalam Putusan Nomor: 018PK/Pdt.Sus/2007.

Penelitian ini merupakan penelitian Hukum Normatif bersifat Deskriptif Analitis yang menggunakan penelitian terhadap Sinkronisasi Hukum. Pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan Undang-Undang dan pendekatan kasus. Sumber data yang digunakan berupa data sekunder. Lokasi penelitian ini diadakan pada Pengadilan Negeri Medan kelas I A khusus dengan mewawancarai Hakim Niaga dan Kurator. Penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan/ dokumen dan wawancara. Analisis data dilakukan secara kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa gugatan Actio Pauliana pada putusan nomor: 018PK/Pdt.Sus/2007 belum memberikan perlindungan kepada kreditur pailit lainnya. Putusan menolak dari Majelis Hakim membuat tidak terjadinya pembatalan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur pailit dan pihak ketiga, sehingga harta pailit masih tetap berada di tangan pihak ketiga dan menyebabkan berkurangnya harta pailit. Putusan menolak dari Majelis Hakim dalam memutuskan perkara Actio Pauliana ini, yaitu dikarenakan kurangnya pembuktian yang diajukan oleh kurator sebagai penggugat terhadap itikad buruk perjanjian jual beli aset antara debitur pailit dengan pihak ketiga. Sedangkan berdasarkan dari fakta kejadian, perjanjian jual beli aset pailit dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum putusan pailit diucapkan, dan perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan debitur. Perjanjian jual beli yang dilakukan oleh debitur pailit dan pihak ketiga juga jauh dibawah harga pasar. Sehingga menyebabkan berkurangnya harta pailit dan menyebabkan kerugian terhadap kreditur pailit lainnya. Tidak adanya spesifikasi terhadap itikad baik dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menyebabkan perbedaan perspektif bagi para hakim dalam memberi keputusan terkait gugatan Actio Pauliana.

Kata Kunci: Kepailitan, Actio Pauliana, Kreditur

(8)

ABSTRACT

Actio Pauliana granted as a protection to creditors for debtors that inflict a financial loss. Actio Pauliana is regulated on article 41 to article 50 of insolvency constitutional and PKPU. The real practice of Actio Pauliana took case on the submission of the head of Association House of Legacy or Balai Harta Peninggalan (BHP) Semarang as the curator. Based on verdict no.

02/PAILIT/2006/PN.Niaga.Smg jo 017K/N/2007 jo 018PK/Pdt.Sus/2007, The Panel of Judges repudiate the judicial review of BHP. The Panel of Judges Propositions was neither the evidence could prove the debtor’s bankruptcy nor the thrid party ascertains that the sales and purchases agreement will cause a financial loss for the creditors. However, the transactions between debtors and the thrid party effects on the diminished of the bankrupt assets, that leads to a financial loss for the creditor. This research is conducted to find out that Actio Pauliana could give law protection from curator to creditor, the circumscription of well-doing an unwell-doing debtors on their bankrutcy assets transfer, and the application of Actio Pauliana law by the Panel Judges according to verdict number 018PK/Pdt.Sus/2007.

This study is an analytical descriptive study of normative law which is using of Law Synchronization. Constitutional and cases basis approach is used for this research. The data comes from secondary data resources. The location of this research is on Medan District Court class IA, particularly by interviewing commercial judge and the curator. This research is conducted by literature study and interview. The data qualitatively analyzed.

The result showed that Actio Pauliana legal action number: 018 PK/Pdt.Sus/2007 hasn’t granted protection to creditors. The repudiate verdict from panel judges cause an improbability of annulment of insolvency debtors and thrid parties law action, thus the insolvency assets stand still on the thrid party side and reduce the book price of the assets. This Panel Judge’s repudiate verdict as a final judgment was taken because of lack of evidence from the curator.

Meanwhile based on the fact of the case, insolvency assets sales and purchases agreement should be held within 1 year before the insolvency proceedings being announced, and this action is not compulsory for the debtors. Insolvency assets sales and purchases agreement agreed upon debtors and third parties are for lawer than the market price, affecting the diminished of insolvency assets that continuously cause a financial loss for another insolvency creditors. The absence of good will specification on the insolvency constitution. Insolvency constitutional and PKPU, is determined to be the cause of different perspective for the judges to finalize the judgement of Actio Pauliana submission.

Keyword : Insolvency, Actio Pauliana, Creditors

(9)

KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahhirabbil’alamin, penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat, hidayat serta karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik. Penulisan tesis ini disusun dan diajukan untuk memenuhi dan melengkapi persyaratan guna memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul tesis ini adalah “Analisis Yuridis Gugatan Actio Pauliana Sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap Kreditur Dalam Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU (Studi Kasus Putusan 018PK/Pdt.Sus/2007)”.

Penulis telah berusaha mengarahkan segala kemampuan yang dimiliki dalam penulisan tesis ini. Akan tetapi penulis menyadari bahwa tesis ini tidak luput dari segala kekurangan dan mungkin jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis memohon saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan tesis ini.

Pada kesempatan yang berharga ini penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

iii

(10)

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H, M.Hum, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

5. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H, M.Hum, selaku Ketua Komisi Pembimbing/

Dosen Pembimbing I Penulis, yang telah meluangkan waktu memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan tesis ini, bahkan nasehat, motivasi dalam menyelesaikan persoalan perkuliahan.

6. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II penulis yang sering berdiskusi dan bertukar pikiran dengan penulis, juga telah memberikan bimbingan dan memberi masukan bagi penulis dalam pendalaman materi tesis ini.

7. Bapak Dr. Dedi Harianto, S.H, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing III penulis yang sering berdiskusi dan bertukar pikiran dengan penulis, juga telah memberikan bimbingan dan memberi masukan bagi penulis dalam penulisan untuk kesempurnaan tesis ini.

8. Bapak Prof. Dr. Hasyim Purba, S.H, M.Hum, selaku Dosen Penguji I tesis penulis, yang telah memberikan masukan secara teliti, baik dalam seminar proposal penelitian, seminar hasil penelitian maupun sidang meja hijau supaya tesis penulis menjadi lebih baik.

iv

(11)

9. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H, CN, M.Hum, selaku Dosen Penguji II tesis penulis, yang telah memberikan masukan secara teliti, baik dalam seminar proposal penelitian, seminar hasil penelitian maupun sidang meja hijau supaya tesis penulis menjadi lebih baik.

10. Bapak dan Ibu Guru Besar/ Dosen/ Staf pengajaran dan Staf administrasi Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mentransfer ilmunya dan membantu penulis selama menjalani perkuliahan.

11. Ayahanda tercinta dr. Irwansyah dan Ibunda tercinta Siti Rahma br. Bukit, atas seluruh pengorbanan dan cinta kasih baik moril maupun materil, yang telah berjuang dengan segenap kemampuan untuk membesarkan, mendidik, memberi semangat dan dorongan serta doa sehingga membawa penulis menjadi manusia yang bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, agama, bangsa dan negara. Hal yang sama juga penulis ingin sampaikan kepada saudara penulis adik tercinta Irma Nur Aini dan juga hal yang sama ingin penulis ucapkan kepada adik tercinta Nazliyanti Nur Hidayah yang telah mendukung penulis dalam menyelesaikan Program Studi S2 serta kepada seluruh keluarga yang senantiasa berdoa untuk keberhasilan penulis.

12. Kepada dosen penulis di Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Kakanda Cahaya Permata, S.H.I, M.H, Ibunda Fatimah Zahara, MA, Abangda Dr.

Zulham, M.Hum, Abangda Dr. Mustafa Kamal Rokan, M.H, Ibunda Tetty Marlina Tarigan, S.H, M.Kn, yang telah memberikan masukan keilmuan dan dukungan kepada penulis untuk penyelesaian penulisan tesis ini.

v

(12)

13. Kepada sahabat kesayangan Fatimah Islamy Nasution, S.H.I, M.H, Eka Yuzendri Rahim, S.H.I, Syarifah Sarah, S.H, Dedek Srikartika Manik, S.H.I, Ewi Riani Pratiwi, S.H.I, Ayu Jani Puspita Sari, AMKeb, SST, M.Keb yang menemani penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

14. Kepada teman-teman stambuk 2015 kelas Reguler A pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

15. Kepada teman-teman kelas bisnis Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

16. Kepada teman-teman seperjuangan dan sudah penulis anggap sebagai saudara adalah Lianta Adam Nasution, S.H.I, M.H, Rudi Hartanto, S.H, Abangda Alif Oemry, S.H, Fahmi Tanjung, S.H, M.H, Rahman Tahrir Harahap, S.H, M.Kn atas segala duka dan suka yang kita alami bersama, semoga pertemanan dan persaudaraan kita tetap di ridhoi oleh Allah SWT.

Semoga semua bantuan materil dan immateril, motivasi dan doa yang telah diberikan, dibalas oleh Allah SWT sebagai amalan shaleh.

Besar harapan penulis, tesis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan pengetahuan ilmu hukum bisnis khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca. Wassalam

Medan, 5 Maret 2018

Aida Nur Hasanah

vi

(13)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 15

1. Kerangka Teori ... 15

2. Kerangka Konsepsi ... 26

G. Metode Penelitian ... 28

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 28

2. Sumber Data ... 30

3. Tehnik Pengumpulan Data ... 31

4. Alat Pengumpulan Data ... 32

5. Analisis Data ... 33

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR PADA GUGATAN ACTIO PAULIANA ... 35

A. Gugatan Actio Pauliana Dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU ... 35

1. Latar Belakang Eksistensi Actio Pauliana ... 36

2. Proses Berlaku Gugatan Actio Pauliana ... 40

B. Akibat Hukum Pemberlakuan Actio Pauliana ... 48

C. Perlindungan Hukum Kepada Kreditur Dalam Gugatan Actio Pauliana ... 51

BAB III KUALIFIKASI DEBITUR YANG BERITIKAD BAIK DAN BERITIKAD BURUK DALAM MENGALIHKAN SEBAGIAN HARTA PAILIT ... 60

A. Debitur dalam Proses Pengalihan Harta ... 60

1. Proses Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit ... 61

a) Tahap Pengurusan Harta Pailit ... 62

b) Tahap Pemberesan Harta Pailit ... 72

2. Akibat Hukum Pernyataan Pailit ... 77

3. Proses Pengalihan Harta Pailit Oleh Debitur ... 84

B. Itikad Baik dan Itikad Buruk Debitur Dalam Proses Pengalihan Harta Pailit ... 90

1. Batasan Kreditur Beritikad Baik dan Beritikad Buruk ... 90

(14)

2. Kriteria Debitur Beritikad Buruk ... 94

3. Kriteria Debitur Beritikad Baik ... 97

C. Perlindungan Hukum Pada Kreditur Beritikad Baik ... 101

BAB IV ANALISIS HUKUM PERLINDUNGAN KEPADA KREDITUR MENURUT PUTUSAN NOMOR 018PK/PDT.SUS/2007 ... 105

A. Kasus Posisi ... 105

1. Pengadilan Negeri Semarang ... 106

2. Kasasi Mahkamah Agung ... 112

3. Peninjauan Kembali Mahkamah Agung ... 114

B. Pertimbangan Hakim ... 118

1. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang ... 118

2. Majelis Hakim Kasasi Mahkamah Agung ... 130

3. Majelis Hakim Peninjauan Kembali ... 132

C. Analisis Pertimbangan Hakim ... 134

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 144

A. Kesimpulan ... 144

B. Saran ... 147 DAFTAR PUSTAKA ...

(15)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kegiatan usaha atau bisnis senantiasa berkembang seiring dengan meningkatnya kebutuhan manusia. Pada dimensinya yang kompleks, bisnis harus berada dalam ruang pengaturan hukum yang baik agar tidak terjadi ketimpangan atau ketidakadilan.1 Modal kerja diperlukan untuk mencapai tujuan perusahaan yaitu memperoleh laba maksimal agar dapat mempertahankan kegiatan perusahaan di masa yang akan datang. Untuk mencapai hal tersebut, perusahaan harus mengoptimalkan dengan baik seluruh sumber daya yang ada. Salah satunya jalan yang ditempuh oleh pelaku usaha adalah melakukan peminjaman kepada kreditor dengan konsekuensi pengembalian modal usaha sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan sebelumnya oleh kedua belah pihak.2

Kemajuan usaha suatu perusahaan berarti lancarnya pengembalian pinjaman modal, sedangkan kemunduran suatu usaha melahirkan kondisi terhambatnya pengembalian modal, bahkan tidak dapat melunasi pinjaman tersebut (gagal bayar). Namun, jika para kreditor serentak menagih piutang-piutang mereka dari debitur tersebut, kreditor yang terlebih dahulu meminta sisa harta debitor akan dapat pembayaran terlebih dahulu, sedangkan yang terbelakang mungkin tidak menerima apa-apa lagi jika kemudian terbukti bahwa harta debitur tidak mencukupi untuk membayar utangnya. Menghindari perlombaan dari kreditor-

1I Gede AB Wiranata, Etika, Bisnis & Hukum Bisnis, (Bandar Lampung: Penerbit Universitas Lampung, 2012), halaman. 52.

2Derita Prapti Rahayu, Pengantar Hukum Kepailitan, (Bangka Belitung: UBB Press, 2012), halaman. 8.

(16)

kreditor atas harta debitur tersebut, debitur terlebih dahulu ditetapkan dalam keadaan pailit terhadap hartanya, dan dia diperlakukan sebagai seseorang dibawah pengawasan (curatele).3

Lembaga kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus yaitu:4

1. Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditor bahwa debitur tidak akan berbuat curang. Dan tetap bertanggung jawab terhadap semua hutang-hutangnya kepada semua kreditur.

2. Kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada kreditur terhadap kemungkinan eksekusi masal oleh krediturnya. Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.

Dijatuhkannya putusan pailit oleh Pengadilan Niaga, menyebabkan debitur demi hukum kehilangan haknya untuk berbuat sesuatu untuk penguasaan dan pengurusan harta kekayaan yang termasuk dalam kepailitan terhitung sejak tanggal kepailitan itu. Kepailitan mengakibatkan seluruh harta kekayaan debitur serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan berada didalam sitaan umum sejak saat putusan pernyataan pailit diucapkan, kecuali5

1. Benda termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitur sehubungan dengan, pekerjaannya perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan debitur dan keluarganya, yang terdapat ditempat itu;

:

2. Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang

3 Djatmiko, Pengetahuan Hukum Perdata dan Hukum Dagang, (Bandung: Angkasa, 1996), halaman. 156.

4Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, (Malang: UMM Press, 2008), halaman. 15.

5Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), halaman. 107.

(17)

tunggu atau uang tujangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas; atau

3. Uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang.

Kurator memiliki tugas untuk melakukan pengurusan dan pemberesan boedel pailit atau harta pailit.6 Kurator dalam menjalankan tugasnya dalam hal pengurusan harta pailit harus menempuh beberapa tahapan,7 salah satunya adalah tahap pendaftaran harta pailit atau tahap inventarisasi harta pailit. Apabila sebelum pernyataan pailit diucapkan, debitur pailit melakukan suatu perbuatan hukum yang tidak wajib dilakukannya8

6Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kantor Wilayah DKI Jakarta-Balai Harta Peninggalan Jakarta, Buku Saku Tugas dan Fungsi Balai Harta Peninggalan, (Jakarta: 2013), halaman. 24.

7Hal-hal yang dilakukan dalam tahap pemberesan harta pailit: a). mengusulkan agar perusahaan debitur pailit dilanjutkan; b). mengusulkan dan melaksanakan penjualan harta pailit; c).

mengadakan rapat kreditur; d). membuat daftar pembagian; e). membuat daftar perhitungan dan pertanggungjawaban pengurusan dan pemberesan kepailita kepada hakim pengawas.

8Perbuatan hukum yang tidak wajib untuk dilakukan oleh debitor adalah segala perbuatan hukum selain perbuatan hukum yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan. Perbuatan hukum yang wajib untuk dilakukan oleh debitor adalah perbuatan hukum yang diwajibkan untukdilakukan oleh debitor berdasarkan peraturan perundang-undangan, misalnya pembayaran pajak.

dan perbuatan hukum tersebut mengakibatkan kerugian bagi kreditor, maka demi kepentingan harta pailit dapat diajukan permohonan pembatalan perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh debitor pailit tersebut. Perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh debitur pailit tersebut dapat digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum. Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mengatur bahwa kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Kewenangan kurator yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU tersebut juga meliputi

(18)

permohonan pembatalan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur pailit, dengan tujuan agar nilai harta pailit dapat bertambah. Permohonan pembatalan perbuatan hukum ini dikenal sebagai Actio Pauliana.9

Actio pauliana merupakan bentuk perlindungan hukum kepada kreditur terhadap debitur yang tidak beritikad baik yang mengalihkan terlebih dahulu hak kebendaannya kepada pihak lain, sebelum utang-utangnya mulai jatuh tempo sehingga pada saatnya kreditur kesulitan untuk mengambil pelunasan dari harta benda milik debitur karena terlebih dahulu dialihkan kepada pihak ketiga.

Kreditur mempunyai hak untuk mengajukan pembatalan kepada pengadilan terhadap segala perbuatan yang dilakukan oleh debitur sebelum dinyatakan pailit, karena perbuatan tersebut tidak diwajibkan dan debitur mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan merugikan kreditur.10

Penggunaan actio pauliana dalam perkara kepailitan merupakan sebuah lembaga yang sangat penting bagi kurator. Hal ini dikarenakan banyaknya debitur

Kurator satu-satunya pihak yang diberikan kemampuan oleh Undang- Undang untuk dapat mengajukan permohonan pembatalan perbuatan hukum yang dilaksanakan oleh debitur pailit dengan menggugat secara actio pauliana.

Kemampuan ini didapat oleh kedudukan kurator sebagai pihak yang bertugas untuk melindungi dan mengurus harta pailit untuk kepentingan seluruh pihak yang berkepentingan dengan harta pailit.

9Pailit merupakan keadaan dimana debitur tidak mampu lagi untuk melakukan pembayaran terhadap utang-utangnya pada kreditur. Lihat di M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, (Surabaya: Kencana Prenadamedia Group, 2008), halaman. 4.

10Siti Anisah, Perlindungan Kepentingan Kreditur dan Debitur dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, (Yogyakarta: Total Media, 2008), halaman. 201.

(19)

nakal yang mencoba untuk mengalihkan asetnya agar ia tetap mendapat keuntungan atau minimal mengurangi kerugian yang akan diperolehnya. Selain itu perlunya actio pauliana juga untuk menghindarkan pertentangan apabila muncul kreditur yang ingin mendapatkan hak tertentu, yang memaksa untuk menjual sendiri barang milik debitur atau menguasai sendiri barang itu tanpa mempedulikan hak kreditur lainnya.11

Actio pauliana sebagai lembaga yang melindungi hak kreditur memiliki beberapa persyaratan yang bersifat kumulatif yaitu

Actio pauliana diberikan sebagai bentuk perlindungan kepada kreditur atas perbuatan debitur yang merugikan kreditur. Pada umumnya seorang dapat membuat perjanjian apa saja menurut kehendak hatinya, namun undang-undang tidak menghendaki setiap orang berhutang menggunakan perjanjian untuk mengalihkan boedel pailit kepada pihak lain, sehingga mengakibatkan hartanya berkurang hingga sedemikian rupa, dan menyebabkan kreditur lainnya kesulitan untuk mendapatkan pelunasan hutang yang adil.

12

1. Debitur telah melakukan sutau perbuatan hukum;

:

2. Perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan oleh debitur;

3. Perbuatan hukum tersebut telah merugikan kepentingan kreditur;

4. Pada saat melakukan perbuatan hukum tersebut debitur mengetahui bahwa perbuatan hukum yang dilakukannya akan merugikan pihak kreditur;

5. Pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan pihak yang dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur.

11Andriani Nurdin, “Masalah Seputar Actio Pauliana “, Dalam: Emmy Yuhassarie, Kepailitan dan Transfer Aset Secara Melawan Hukum, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2004), halaman. 263.

12 Ibid., halaman. 201-202

(20)

Actio pauliana diatur dalam Pasal 1341 KUHPerdata, Pasal 1061 KUHPerdata yang mengatur actio pauliana dalam kewarisan, dan Pasal 41 s.d.

Pasal 50 UU Kepailitan dan PKPU. Dalam UU Kepailitan dan PKPU diatur bahwa “untuk kepentingan harta pailit, kepada pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum debitur yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditur, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan”.13

Penerapan lembaga actio pauliana hanya dapat dilakukan dan dilaksanakan berdasarkan putusan hakim pengadilan. Hal tersebut berarti setiap pembatalan perjanjian, apapun juga alasannya, pihak maupun juga yang mengajukannya tetap menjadi wewenang pengadilan. Melalui putusan yang membatalkan perjanjian atau tindakan yang merugikan kepentingan kreditur (khususnya harta kekayaan debitur), maka seluruh orang dan kebendaannya dikembalikan seperti semula.

Selanjutnya untuk pembatalan perbuatan debitur yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan diatur dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 49. Lebih lanjut dalam UUK-PKPU mengatur pula mengenai actio pauliana sesudah pernyataan pailit diucapkan. Pasal 50 UUK- PKPU mengatur bahwa “setiap orang yang melakukan pembayaran piutang debitur pailit yang dilakukan sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan dibebaskan dari harta pailit sejauh tidak dibuktikan bahwa yang bersangkutan mengetahui adanya putusan pernyataan pailit tersebut”.

14

13Undang-Undang Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, UU No. 37 Tahun 2004. LN. No. 131, TLN.No. 4443. Pasal 41.

14Sri Soedewi Masjhadoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Perutangan, bag. 8, (Jogjakarta: Liberty, 2006), halaman. 44.

(21)

Meskipun lembaga actio pauliana secara teoritis dan normatif tersedia dalam kepailitan, akan tetapi dalam prakteknya tidak mudah untuk mengajukan tuntutan menggunakan lembaga actio pauliana sampai dikabulkan oleh Hakim.

Penyebab ditolaknya tuntutan menggunakan lembaga actio pauliana dalam kepailitan adalah karena terdapatnya pembedaan persepsi di antara para Hakim Pengadilan Niaga baik pada peradilan tingkat pertama maupun Tingkat Mahkamah Agung mengenai apakah tindakan-tindakan ataupun transaksi yang dilakukan oleh debitur merupakan suatu kecurangan, sehingga merugikan para kreditur dan karenanya dapat diajukan permohonan pembatalan atau actio pauliana, serta mengenai yurisdiksi peradilan yang berwenang memeriksa dan mengadili permohonan actio pauliana.15

Kurator dalam hal ini sebagai pihak yang mengajukan gugatan actio pauliana, harus dapat memberikan pembuktian di depan pengadilan terkait itikad buruk yang dilakukan oleh debitur tersebut, dengan menyertakan bukti-bukti

Bukan hanya itu, penerapan lembaga actio pauliana juga sering terkendala dengan adanya kewajiban untuk pembuktian dalam hukum perdata terhadap tuntutan atas dasar adanya itikad buruk dalam sebuah hubungan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 533 KUHPerdata yang berbunyi: “Itikad baik harus selamanya dianggap ada bagi tiap-tiap pemegang kedudukan, barang siapa menuduh itikad buruk kepadanya harus membuktikan tuduhan itu.”

15Andriani Nurdin, Masalah Seputar Actio Pauliana , Dalam: Emmi Yuhassarie, Kepailitan dan Transfer Aset Secara Melawan Hukum, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2004), halaman.

261.

(22)

didalam pengadilan.16

Putusan Nomor 018PK/Pdt.Sus/2007 terkait pengajuan pembatalan perjanjian jual-beli yang dilakukan Wijayati (Tergugat I) dengan debitur pailit di

Disinilah sering terjadi kesulitan serta kendala oleh kurator.

Sehingga dalam praktek, banyak gugatan actio pauliana tidak dikabulkan oleh majelis hakim, dikarenakan kurangnya pembuktian yang diberikan oleh kurator.

Selain itu, hakim juga harus berpikir cermat dalam menganalisa kelakuan- kelakuan debitur pailit ataupun pihak ketiga yang merugikan kreditur. UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang juga tidak memaparkan secara jelas terkait kualifikasi dari debitur yang beritikad baik yang mengalihkan harta pailit. Sehingga banyak terjadi permasalahan dalam pembuktian itikad baik tersebut.

Permasalahan yang telah diuraikan diatas terdapat dalam penerapan actio pauliana secara nyata pada pengajuan permohonan actio pauliana yang diajukan oleh Popy Indrajati (Ketua Balai Harta Peninggalan Semarang) selaku Kurator Soeharsono (debitur pailit). Berdasarkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang No: 02/PAILIT/2006/PN.NIAGA.Smg, tanggal 13 Juni 2006 jo Putusan kasasi No. 020K/N/2006 tanggal 4 September 2006, telah menjatuhkan putusan pernyataan pailit terhadap saudara Soerhasono.

Popy Indrajati selaku Kurator mempunyai hak untuk meminta pembatalan hukum perbuatan Wijiati (Tergugat I sekaligus salah satu kreditur) berdasarkan Pasal 41 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, yang selanjutnya unsur-unsur pemenuhannya termaktub dalam Pasal 41 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU.

16Timur Sukirno, Tanggungjawab Kurator Terhadap Harta Pailit dan Penerapan Actio Pauliana, dalam Rudhy A.Lontoh, dkk, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Kepailitan atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001), halaman 369

(23)

hadapan Lembaga Priyadi Daljono selaku Notaris/PPAT pada tanggal 16 Januari 2006 dengan akta No. 08/CPU/2006 yang mana objek dari yang dijualbelikan adalah sebidang tanah dan bangunan yang berdiri di atasnya adalah persil Hak Milik No. 1664 seluas 2.180 m2 terletak di Desa Cepu, Kecamatan. Cepu, Kabupaten. Blora. Transaksi jual beli objek sengketa seperti yang telah diuraikan belum ada satu tahun dari putusan pailit Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang .

Perjanjian jual beli yang dilakukan oleh Wijayati (Tergugat I) dan debitur pailit dibawah harga pasar. Menurut harga pasaran objek sengketa tersebut seharga Rp. 5.500.000.000,00 (lima milyar lima ratus juta rupiah) akan tetapi dalam perjanjian hanyalah ditetapkan sebesar Rp. 1.355.000.000,00 (satu milyar tiga ratus lima puluh lima juta rupiah) sebagaimana dicantum dalam ketentuan Pasal 2 akta perjanjian No. 16 tanggal 10 Januari 2006 sehingga perjanjian tersebut jelas-jelas merupakan perbuatan yang sebesar-besarnya tidak memperdulikan pihak lain sehingga sangat merugikan para kreditur. Akibat dari perjanjian jual beli tersebut tagihan yang dilakukan oleh beberapa kreditur kepada debitur pailit belum mampu dibayar sehingga pada klimaksnya salah satu kreditur yaitu Dewi Eka Kencana wati mengajukan permohonan pailit terhadap debitur pailit.

Pembuatan perjanjian yang dilakukan oleh Wijayati (Tergugat I) jelas nampak kesengajaan untuk mempersingkat waktu transaksi jual beli obyek sengketa yang sangat dipaksakan sehingga mengindakasikan kalau Wijayati (Tergugat I) mempunyai tujuan yang tidak wajar dan beritikad buruk dalam

(24)

melakukan transaksi sehingga sangat merugikan kreditur. Hal ini dapat diketahui dari harga pasaran sehingga sangat merugikan kreditur dan lagi transaksi perjanjian jual beli dilakukan 1 (satu) tahun sebelum putusan pernyataan pailit oleh Pengailan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang. Apa yang dilakukan Tergugat I secara sadar dan disengaja untuk bisa menikmati keuntungan lebih dahulu daripada kreditur-kreditur lain yang sama-sama masih punya tagihan terhadap debitur pailit.

Selain itu Kurator juga mempunyai sangkaan terhadap itikad buruk (tekwader trow), Wijayati (Tergugat I) mengalihkan maupun memindahtangankan objek sengketa. Maka dengan ini Kurator mengajukan gugatan actio pauliana, agar Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang berkenan melaksanakan sita jaminan (conservatoir beslag) terhadap objek sengketa berupa sebidang tanah dan bangunan yang berdiri diatasnya.

Menetapkan pula jual-beli yang dilakukan oleh Tergugat I dengan debitur pailit yang dibuat dihadapan Priyadi Daljono selaku Notaris/PPAT adalah tidak sah, batal dan tidak memiliki kekuatan hukum. Menghukum Tergugat I menyerahkan secara langsung tanpa syarat sertifikat pengganti HM No. 1664 kepada Penggugat selaku Kurator pailit serta mencoret nama Tergugat I di dalam sertifikat pengganti HM No. 1664 untuk dipulihkan kembali dalam keadaan semula.

Akan tetapi Majelis Hakim menolak permohonan Kasasi actio pauliana Popy Indrajati selaku Kurator. Sehingga Kurator kembali mengajukan permohonan Peninjauan Kembali dengan pokok perkara yang sama, namun Majelis Hakim menolak permohonan peninjauan kembali Balai Harta Peninggalan

(25)

Semarang. Putusan yang diberikan oleh Majelis Hakim dengan berdalil bahwa bukti-bukti yang diajukan Penggugat tidak dapat membuktikan bahwa debitur pailit maupun Tergugat I, Tergugat II dan III mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa jual beli tersebut akan merugikan kreditur .

Akan tetapi pada kenyataannya, akibat dari jual beli yang dilakukan oleh debitur dengan Tergugat I menyebabkan berkurangnya harta pailit, sehingga mengurangi pelunasan utang debitur kepada para kreditur, dan tentu saja dalam hal ini perjanjian jual beli tersebut merugikan para kreditur.

Berdasarkan uraian tersebut, maka pada kesempatan ini tertarik untuk mengkaji dan menelaah tinjauan yuridis terhadap Putusan Nomor:

018PK/Pdt.Sus/2007. Mengenai penerapan actio pauliana dalam pertimbangan hukum hakim memutuskan perkara tersebut, dan menjadikan judul : “Analisis Yuridis Gugatan Actio Pauliana Sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap Kreditur Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 (Studi Kasus Putusan Nomor:

018PK/Pdt.Sus/2007)” sebagai judul.

B. Perumusan Masalah

Sejalan dengan hal-hal tersebut diatas, maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana gugatan Actio Pauliana dapat memberikan perlindungan hukum yang dilaksanakan oleh kurator terhadap kreditur?

2. Bagaimana batasan antara debitur yang beritikad baik dengan debitur yang beritikad buruk dalam mengalihkan sebagian dari harta pailit?

(26)

3. Bagaimana penerapan hukum Actio Pauliana oleh Majelis Hakim dalam Putusan 018PK/Pdt.Sus/2007?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian tesis ini adalah:

1. Untuk menganalisis bentuk gugatan actio pauliana yang dapat memberikan perlindungan hukum yang dilaksanakan oleh kurator terhadap kreditur.

2. Untuk menganalisis batasan antara debitur yang beritikad baik dengan debitur yang beritikad buruk dalam mengalihkan sebagian harta pailit.

3. Untuk menganalisis penerapan hukum actio pauliana oleh Majelis Hakim dalam Putusan 018PK/Pdt.Sus/2007.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoretis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan penambahan wawasan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum kepailitan khususnya bagi kurator dalam mengajukan gugatan actio pauliana terhadap debitur pailit. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan bagi perlindungan hak kreditur terhadap harta pailit melalui gugatan actio pauliana yang diajukan untuk membatalkan perbuatan hukum dari debitur yang beritikad buruk. Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai langkah awal bagi pengembangan dan penelitian yang lebih lanjut.

(27)

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang sangat berharga bagi masyarakat dan pihak yang berkepentingan yaitu Kurator dalam melaksanakan pemberesan dan pengurusan harta pailit, serta pihak yang mempunyai kewajiban untuk melindungi hak kreditur pada harta pailit.

Memberikan masukan bagi penyempurnaan Undang-Undang Kepalitan dan PKPU kedepan. Memberikan masukan bagi Hakim yang memutuskan masalah gugatan actio pauliana juga dapat memberikan putusan yang seadil- adilnya dalam memberikan perlindungan terhadap hak kreditur. Bagi kalangan praktisi hukum (Advokat/Pengacara maupun Konsultan Hukum) hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan dalam menjalankan profesi mereka masing-masing.

E. Keaslian Penelitian

Sebelum memulai penulisan ini, terlebih dahulu melakukan penelitian mengenai belum pernah dilakukan oleh pihak lain untuk mendapatkan gelar akademik (Sarjana, Magister, dan/atau Doktor) baik pada Universitas Sumatera Utara maupun pada Perguruan Tinggi Lainnya, jika ada tulisan yang sama dengan yang ditulis oleh penulis sehingga diharapkan tulisan ini menjadi pelengkap dari tulisan yang sudah ada sebelumnya, yaitu:

1. Tesis yang disusun oleh Doan Rakasiwi, dengan judul “Penerapan Lembaga Actio Pauliana Pada Boedel Pailit Sebagai Upaya Perlindungan Bagi Kreditur (Study Kasus Putusan Pengadilan Niaga No.Reg:

07/Pdt.Sus-Actio Pauliana/2015/Pengadilan.Niaga.Mdn)”.

(28)

a. Bagaimana lembaga Actio Pauliana dapat memberikan perlindungan hukum kepada kreditur terhadap boedel pailit dan tindakan debitur yang merugikan kreditur (study kasus Putusan Pengadilan Niaga Medan No.Reg: 07/Pdt.Sus-Actio Pauliana/2015/Pengadilan. Niaga.

Mdn?

b. Mengapa pengajuan permohonan penerapan actio pauliana masih sulit dilaksanakan pada perkara kepailitan?

2. Tesis yang disusun oleh Eki Nurjana, dengan judul “Tinjauan Yuridis Atas Putusan Pengadilan Niaga Nomor: 01/A.P/2007/PN.Niaga.SMG Tentang Perkara Actio Pauliana Dalam Kepailitan”.

a. Apakah pertimbangan Hakim Pengadilan Niaga dalam memutus perkara nomor: 01/A.P/2007/PN.Niaga.SMG tentang Actio Pauliana dalam kepailitan tersebut telah sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku?

b. Apakah Pengadilan Niaga wenang menangani perkara Acti Pauliana dalam Kepailitan?

3. Tesis yang disusun oleh Ivo Donna Yusvita, dengan judul “Pembatalan Perbuatan Hukum Debitur Dalam Perkara Kepailitan PT. Fiskar Agung Tbk.”

a. Apakah pembatalan perbuatan hukum debitur (Actio Pauliana) yang digunakan sebagai sarana untuk pembatalan perkara kepailitan sesuai dengan ketentuan UUK dan PKPU?

(29)

b. Upaya hukum apa saja yang dapat dilakukan terkait dengan permohonan pembatalan perbuatan hukum debitur (Actio Pauliana)?

Adapun penelitian yang sebelumnya tersebut berbeda permasalahan yang akan diteliti dan dengan demikian, maka penelitianini dapat dijamin keasliannya dan dapat dipertanggung-jawabkan dari segi isinya.

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsional 1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis,

mengenai sesuatu atau kasus atau permasalahan (problem) yang dapat dijadikan

sebagai bahan perbandingan, pandangan teoritis, yang mungkin ia setujui atau pun

tidak disetujuinya dan ini merupakan masukan eksternal bagi pembaca.17

Di dalam penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis sebagaimana yang

dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro bahwa “untuk memberikan landasan yang

mantap pada umumnya setiap penelitian haruslah selalu disertai dengan

pemikiran-pemikiran teoritis”.18

Menurut Kaelan M.S, “landasan teori pada suatu penelitian merupakan dasar-dasar operasional penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian adalah

17Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), halaman. 80.

18Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Ghalia, 1982), halaman. 37.

(30)

bersifat starategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian”.19

a. Teori tersebut berguna untuk mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau di uji kebenarannya.

Oleh sebab itu, kerangka teoritis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan sebagai berikut:

b. Teori sangat berguna bagi mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan defenisi- defenisi.

c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtiar dari pada hal-hal yang diteliti.

d. Teori memberikan kemung kinan pada prediksinya fakta mendatang, oleh karena itu telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tesebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.20

Teori digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini diantaranya adalah:

a. Teori Perlindungan Hukum

Menurut Fitzgerald sebagaimana dikutip Satjipto Raharjo awal mula dari munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelajari oleh Plato, Aristoteles (murid Plato), dan Seno (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa

“hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral”.21

19Kaelan M.S, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma Bagi Pengembangan Penelitian Indiplisine Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semioyika, Sastra, Hukum dan Seni), (Yogyakarta: Paradigma, 2005), halaman. 239.

20Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), halaman. 2.

21Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2000), halaman. 53.

(31)

Fitzgerald menjelaskan teori perlindungan hukum Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan sebagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan dilain pihak. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi. Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat”.22

perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam kepentingan tersebut. selanjutnya dikemukakan pula bahwa salah satu sifat dan sekaligus merupakan tujuan dari hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat.

Soetjipto Rahardjo mengemukakan bahwa,

23

Menurut pendapat Philipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif.

Perlindungan hukum yang preventif dan represif. Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan putusan berdasarkan

22Ibid., halaman. 54.

23Soetjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia, (Bandung: Alumni, 2004), halaman. 121.

(32)

diskresi. Perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penanganan di lembaga peradilan.24

Perlindungan hukum bagi rakyat meliputi dua hal, yakni

Sesuai dengan uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa fungsi hukum adalah melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun penguasa. Selain itu berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Perlindungan hukum yang diberikan bagi rakyat Indonesia merupakan implementasi atas prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada pancasila dan prinsip negara hukum yang berdasarkan pancasilla. Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum. Hampir seluruh hubungan hukum harus dapat perlindungan dari hukum.

Oleh karena itu, terdapat banyak macam perlindungan hukum.

25

a. Perlindungan hukum preventif, yakni bentuk perlindungan hukum dimana kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapat sebelum keputusan pemerintah mendapat bentuk yang defenitif.

Dalam hal ini terkait regulasi terhadap permasalahan yang terjadi dalam prakteknya yang berhubungan dengan gugatan actio pauliana.

:

b. Perlindungan hukum represif, yakni bentuk perlindungan hukum dimana dalam penyelesaian sengketa.26

24Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: PT. Bima Ilmu, 1987), halaman. 41.

25Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Bandung: Citra AdityaBakti, 2009), halaman.

38.

Kurator sebagai pihak yang diberikan kewenangan dalam UU Kepailitan dan PKPU untuk membereskan dan mengurus harta pailit, dapat mengajukan gugatan actio pauliana kepada pengadilan untuk membatalkan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur pailit yang merugikan para kreditur. Penyelesaian sengketa dari pengadilan tersebut dapat memberikan perlindungan terhadap hak kreditur dalam perkara kepailitan.

(33)

Dalam melindungi hak kreditur, maka kreditur yang diwakili oleh kurator dapat mengajukan gugatan actio pauliana sebagai bentuk keberatan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh debitur pailit. Pengajuan gugatan actio pauliana sebagai bentuk upaya hukum yang dapat membatalkan pengalihan aset pailit yang dilakukan oleh debitur pailit kepada pihak ketiga. Perlu adanya anlisis yang lebih jauh lagi terhadap permasalahan tersebut, sehingga hak kreditur dapat lebih terlindungi. Teori perlindungan hukum sangat tepat sebagai teori yang digunakan untuk menerangkan dan mengkaji bentuk gugatan Actio Pauliana yang dapat memberikan perlindungan hukum yang dilaksanakan oleh kurator terhadap kreditur.

b. Teori Keadilan

Teori keadilan menurut Aristoteles ialah “perlakuan yang sama bagi mereka yang sederajat di depan hukum, tetap menjadi urusan tatanan politik untuk menentukan siapa yang harus diperlakukan sama atau sebaliknya”.27

27Lawrence. M. Friedman, American Law an Introduction, Terjemahan Wisma Bhakti, (Jakarta: PT. Tata Nusa, 2001), halaman. 4.

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, dalam pembuatan hukum fungsinya sebagai pengatur kehidupan bersama manusia, oleh karena itu hukum harus melibatkan aktifitas dengan kualitas yang berbeda-beda. Perbuatan hukum merupakan awal dari bergulirnya proses pengaturan tersebut, merupakan momentum yang dimiliki keadaan tanpa hukum dengan keadaan yang diatur oleh hukum. Hukum sebagai perwujudan nilai-nilai yang mengandung arti, bahwa

(34)

kehadirannya adalah untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.28

Teori keadilan melahirkan teori kemanfaatan, teori hukum tentang kemanfaatan yang berasal dari Jeremy Bentham yang menerapkan salah satu prinsip dari aliran utilitarianisme ke dalam lingkungan hukum, yaitu: manusia akan bertindak untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan. Bentham selanjutnya berpendapat bahwa pembentuk undang-undang hendaknya dapat melahirkan undang-undang yang dapat mencerminkan keadilan bagi semua individu. Dengan berpegang pada prinsip tersebut diatas, perundangan itu hendaknya dapat memberikan kebahagiaan yang terbesar bagi sebagian besar masyarakat (the greates happiness for the greatest number).29

28Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Hukum, (Suarakarta: Universitas Muhammadiyah, 2004), halaman. 60.

29Lili Rasjidi dan Ira Tania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2002), halaman. 61.

Teori kemanfaatan merupakan rasionalisme dari keadilan, bila keadilan telah tercapai otomatis akan memberikan manfaat bagi para pihak. Dalam hal ini kewenangan Kurator mengajukan gugatan actio pauliana, diharapkan dapat memberikan kemanfaatan baik bagi perlindungan terhadap hak kreditur dalam harta pailit debitur. Selain itu, pencantuman lebih jelas terkait kualifikasi debitur yang beritikad baik didalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, dapat memberikan keadilan terhadap kreditur melalui putusan yang akan diberikan oleh Hakim Pengadilan Niaga terkait gugatan actio pauliana yang diajukan oleh Kurator.

(35)

Perlu adanya kualifikasi dari itikad baik debitur yang termuat dalam aturan- aturan hukum terkait kepailitan, agar lebih jelas bentuk dari itikad baik yang dilakukan oleh debitur. Karena banyak debitur yang melakukan pembelaan diri didepan pengadilan dengan beralih kepada itikad baik, padahal pengalihan aset yang dilakukan debitur mengurangi harta pailit dan merugikan kreditur. Oleh karena itu perlu adanya pengkajian terhadap bentuk kualifikasi dari itikad baik tersebut dengan menggunakan teori keadilan.

c. Teori Perjanjian

Perjanjian dalam bahasa Belanda diistilahkan dengan overeenkomst dan dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan contract diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata.30 Van Dunne sebagai pencetus teori baru mengartikan perjanjian adalah suatu hubungan antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.31

30Tan Tong Kie, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000), halaman. 402.

31Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), halaman. 42.

Teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus melihat perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya.

Hukum tentang perjanjian diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perikatan. Mempunyai sifat sistem terbuka, maksudnya dalam hukum perikatan / perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada subyek hukum untuk mengadakn perjanjian yang telah berisi apa saja, asalkan tidak melanggar perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.

(36)

Syarat sahnya suatu atau sebuah perjanjian terdapat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang berbunyi, “sahnya sebuah perjanjian diperlukan empat syarat: sepakat mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan sebab yang halal.”32

Keempat syarat tersebut merupakan syarat yang mutlak yang harus ada atau dipenuhi dari suatu perjanjian, tanpa syarat-syarat tersebut maka perjanjian dianggap tidak pernah ada. Kedua syarat yang pertama yaitu kesepakatan para pihak dan kecakapan untuk membuat membuat suatu perikatan dinamakan syarat subyektif karena mengenai orang-orang atau subyek yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir yaitu suatu hal tertentu dan sebab yang halal, dinamakan syarat obyektif dari perbuatan hukum yang dilakukan.

33

1) Asas Konsensualisme

Apabila syarat subyektif tidak terpenuhi salah satu atau keduanya, maka perjanjian dapat dituntut pembatalannya. Dalam arti, bahwa salah satu pihak mempunya hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang menuntut pembatalan tersebut, adalah salah satu pihak yang dirugikan atau pihak yang tidak cakap. Sedangkan dalam hal apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum.

Adapun asas-asas hukum yang perlu diperhatikan oleh para pihak dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian adalah sebagai berikut:

32Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), halaman. 466.

33Ibid

(37)

Perajanjian terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak (concensus)dari pihak-pihak. Perjanjian pada pokoknya dapat dibut bebas, tidak terikat bentuk dan tercapai tidak secara formil tetapi cukup melalui konsesus belaka.34 Pada asas konsensualisme ini diatur dalam Pasal 1320 butir (1) KUHPerdata yang berarti bahwa pada asasnya perjanjian itu timbul atau sudah dianggap lahir sejak detik tercapainya konsesus atau kesepakatan.35 Perjanjian itu sudah sah dan mempunyai akibat hukum sejak saat tercapai kata sepakat antara para pihak, mengenai pokok perjanjian. Dari asas ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang dibuat itu dapat secara lisan maupun secara tulisan berupa akta jika dikehendaki sebagai alat bukti.36

2) Asas kebebasan berkontrak

Undang-undang menetapkan pengecualian, bahwa untuks sahnya suatu perjanjian diharukan perjanjian itu diadakan secara tertulis (perjanjian perdamaian atau dengan Akta Notaris).

Asas kebebasan berkontrak adalah perjanjian para pihak menurut kehendak bebas membuat perjanjian dan setiap orang bebas mengikat diri dengan siapapun yang ia kehendaki, para pihak juga dapat dengan bebas menentukan cakupan isi serta persyaratan dari suatu perjanjian dengan ketentuan bahwa perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa, baik ketertiban umum maupun kesusilaan.37

34Evi Ariyani, Hukum Perjanjian, (Yogyakarta: Ombak, 2013), halaman. 13

35R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 2001), halaman. 15

36Muhammad Abdul Kadir, Hukum Perikatan, (Bandung: Alumni, 1982), halaman. 85

37Evi Ariyani, Op. Cit, halaman. 13

Artinya asas kebebasan berkontrak berarti bahwa setiap orang dapat menciptakan perjanjian-perjanjian baru yang tidak dikenal dalam perjanjian yang

(38)

bernama dan isinya menyimpang dari perjanjian yang bernama yang diatur dalam undang-undang.38

3) Asas Pacta Sunt Servanda

Asas kebebasan berkontrak diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Asas Pacta Sunt Servanda adalah suatu bentuk yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pihak tersebut secara penuh sesuai isi kontrak tersebut, mengikat secara penuh suatu kontrak yang dibuat para pihak tersebut oleh hukum kekuatannya sama dengan kekuatan mengikat undag-undang.39

4) Asas itikad baik

Pada asas ini tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dapat disimpulkan bahwa ketentuan yang telah disepakati bersama oleh para pihak akan mempunyai kekuatan mengikat yang sama bagi kedua belah pihak dan harus ditaati, bilaman terjadi penyimpangan dan pelanggaran oleh salah satu pihak dalam perjanjian, maka akan berakibat pihak dapat mengajukan tuntutan atas dasar wanprestasi atau adanya ingkar janji.

Mengenai asas itikad baik dalam perjanjian ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyebutkan bahwa “perjanjian itu harus dilakukan dengan itikad baik”, J. Satrio memberikan penafsiran itikad baik yaitu bahwa

38J.Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, (Bandung: Alumni, 1999), halaman. 36.

39Evi Ariyani, Op. Cit, halaman. 12-13

(39)

perjanjian harus dilaksanakan sesuai dengan kepantasan dan kepatutan, karena itikad baik adalah suatu pengertian yang abstrak dan kalaupun akhirnya seseorang mengerti apa yang dimaksud dengan itikad baik, orang masih sulit untuk merumuskannya.40

Asas itikad baik mempunyai dua pengertian yaitu itikad baik subyektif dan itikad baik obyektif. Asas itikad baik dalam pengertian subyektif dapat diartikan sebagai sikap kejujuran dan keterbukaan seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum. Itikad baik dalam arti obyektif berarti bahwa suatu perjanjian yang dibuat haruslah dilaksanakan dengan mengindahkan norma-norma kepailitan dan kesusilaan atau perjanjian tersebut dilaksanakan dengan apa yang dirasakan sesuai dengan masyarakat dan keadilan.41

2. Kerangka Konsepsional

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi dalam penelitian adalah untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan kenyataan, sedangkan konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang disebut dengan operasional.42

Kegunaan dari adanya konsepsi agar ada pegangan dalam melakukan penelitian atau penguraian, sehingga dengan demikian memudahkan bagi orang lain untuk memahami batasan-batasan atau pengertian-pengertian yang dikemukakan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini untuk menemukan atau

40J.Satrio, Hukum Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), halaman. 365.

(selanjutnya disebutkan sebagai J. Satrio 2)_

41Mulyadi Nur, Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Kaitannya Dengan Perjanjian Baku, Pojok Hukum, Tanggal 10 Oktober 2015, halaman. 23

42Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), halaman. 28.

(40)

mendapatkan pengertian atau penafsiran dalam tesis ini, maka berikut ini adalah defenisi operasional sebagai batasan tentang objek yang diteliti:

a. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur pailit yang mengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini.43

b. Analisis yuridis. Analisis merupakan usaha untuk menggambarkan pola- pola secara konsisten dalam data sehingga hasil analisis dapat dipelajari dan diterjemahkan serta memiliki arti.44 Sedangkan yuridis menurut kamus hukum, berasal dari kata Yuridisch yang berarti menurut hukum atau dari segi hukum.45

c. Actio Pauliana merupakan hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang kreditur mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk pembatalan segala perbuatan yang tidak diwajibkan untuk

Analisis yuridis adalah kegiatan untuk mencari dan memecahkan komponen-komponen dari suatu permasalahan untuk dikaji lebih dalam serta kemudian menghubungkannya dengan hukum, kaidah hukum serta norma hukum yang berlaku sebagai pemecahan permasalahannya.

43Pasal 1 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

44Surayin, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Analisis, (Bandung: Yrama Widya, 2001), halaman. 10.

45 M.Marwan dan Jimmy P, Kamus Hukum, (Surabaya: Reality Publisher, 2009), halaman.

651.

(41)

dilakukan oleh debitur terhadap harta kekayaannya yang diketahui oleh debitur perbuatan tersebut merugikan kreditur.46

Pengaturan Actio Pauliana terdapat dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 49 UU Kepailitan dan PKPU sedangkan dalam KUHPerdata diatur pada pasal 1341.

d. Perlindungan hukum, adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban, perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan masayarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk.47 e. Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian

undang-undang yang dapat ditagih dimuka Pengadilan.

48

G. Metode Penelitian

Metode Penelitian yang dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang ada dalam tesis ini adalah:

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Ronald Dworkin menyebutnya sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu “suatu penelitian yang

46Sutan Remy Sjahdeni, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Cet 4, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009), halaman. 250.

47Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI Press, 1984), halaman. 133.

48Pasal 1 Ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

(42)

menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process.”49

Jenis penelitian yuridis normatif digunakan untuk analisis terhadap gugatan Actio Pauliana sebagai bentuk perlindungan terhadap hak kreditur, ditinjau dari Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU dalam putusan Pengadilan Niaga. Putusan yang digunakan adalah putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Pada saat membahas putusan pengadilan sebagai bahan hukum primer telah dikatakan bahwa yang memiliki kekuatan hukum adalah pada bagian ratio decidendi-nya, sehingga dalam pendekatan kasus yang perlu dipahami peneliti adalah ratio decidend tersebut.50

Sifat penelitiannya adalah deskriptif analisis. Deskriptif artinya menggambarkan, menelaah, menjelaskan suatu peraturan hukum baik dalam teori maupun praktek pelaksanaan dari hasil penelitian dilapangan.51

Penelitian ini adalah untuk menganalisa peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang berkaitan dengan gugatan actio pauliana sebagai bentuk

Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan suatu penjelasan yang mendalam terhadap Gugatan Actio Pauliana Sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap Kreditur Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU (Studi Kasus Putusan Nomor 018PK/Pdt.Sus/2007).

49Ronald Dworkin dalam Bismar Nasution, “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, disampaikan pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003, halaman. 1.

50Dyah Ochtarina Susanti, Penelitian Hukum (Legal Research), (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), halaman. 119.

51Soerjono Soekanto, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1987), halaman.

63.

(43)

perlindungan terhadap kreditur dalam kepailitan. Penelitian normatif ini mengutamakan penelitian kepustakaan (library research).52

2. Sumber Data

Pengumpulan data mempunyai hubungan erat dengan sumber data, karena dengan pengumpulan data akan diperoleh data yang diperlukan untuk selanjutnya dianalisis sesuai kehendak yang diharapkan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data kepustakaan atau library research.53

Penelitian kepustakaan atau library research yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahwa kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.54

a. Bahan hukum primer,

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat berupa Peraturan Perundang-undangan, putusan Pengadilan, yang terdiri dari:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek);

2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

3) Putusan Pengadilan Niaga Medan Nomor: 018PK/Pdt.Sus/2007

b. Bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer55

52 Muhammad Abdul Kadir, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), halaman. 82.

53Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Suatu Pengantar, (Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 2003), halaman. 10-11.

54Soerjono Soekanto dan Sri Manudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindo Indonesia, 1995), halaman. 38-39.

sebagaimana yang terdapat

(44)

dalam kumpulan pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan primer yang terdiri dari: buku-buku, jurnal, majalah, artikel.

c. Bahan hukum tersier yang memberikan informsi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder56

Selain sumber data diatas, untuk mendukung data sekunder dilakukan wawancara secara langsung kepada Hakim Pengadilan Niaga dan Kurator.

, seperti: kamus, berbagai masalah hukum yang berkaitan dengan dokumen elektronik, esiklopedia, dan lain sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh suatu pembahasan sesuai dengan yang terdapat didalam tujuan penyusunan tesis maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini dengan cara sebagai berikut, yaitu:

a. Studi kepustakaan (library research), yaitu pengumpulan data dengan melakukan penelaahan kepada bahan pustaka atau data sekunder yang relevan meliputi bahan hukum primer, sekunder dan bahan hukum tersier.

b. Penelitian lapangan (field research), yaitu sebagai data penunjang dalam penelitian ini juga didukung dengan penelitian lapangan (field research) untuk mendapatkan data primer guna akurasi terhadap hasil yang dipaparkan. Melalui wawancara dengan informan yang dipandang tepat yaitu 2 (dua) orang Hakim Pengadilan Niaga Medan, dan 2 (dua) orang Kurator Pengadilan Niaga Medan. Sebelum dilakukan wawancara

55Ibid., halaman.13.

56 Ibid.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka permasalah pokok dalam penelitian ini berkisar pada masalah penerapan asas kepentingan terbaik bagi anak (The Best

Selain yang telah diuraikan diatas, akibat hukum dari adanya putusan pailit juga menimbulkan hak bagi kreditor melalui kurator untuk dapat melakukan tindakan hukum actio pauliana

Ketentuan dalam annex yang menyangkut perundingan di bidang angkutan laut dalam ayat (1) menyatakkan bahwa Pasal 2 dan annex tentang pengecualian Pasal 2 termasuk keharusan

a) Bahwa saksi melakukan penangkapan terhadap terdakwa, karena terdakwa tidak melaporkan kejahatan Narkotika jenis ganja yang dilakukan oleh Burhan (DPO) selaku

35 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT.. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,

Ketentuan dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas subyek normanya adalah Perseroan Terbatas, yang dikenai kewajiban untuk melaksanakan TJSL,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Walaupun UU Sistem Peradilan Pidana Anak tidak dimungkinkan untuk melakukan upaya diversi terhadap Anak Berkonflik Hukum tindak pidana

Terima kasih penulis kepada sahabat dan teman-temanku yang sangat memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan studi di Program Magister Ilmu Hukum Fakultas