• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2020

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2020"

Copied!
230
0
0

Teks penuh

(1)

PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA KESUSILAAN TERHADAP ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM

DI LUAR SISTEM PERADILAN PIDANA

(Studi Kasus di Polrestabes Medan)

TESIS

OLEH

HAPPY MARGOWATI SUYONO NIM. 157005107/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)

PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA KESUSILAAN TERHADAP ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM

DI LUAR SISTEM PERADILAN PIDANA

(Studi Kasus di Polrestabes Medan)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH

HAPPY MARGOWATI SUYONO NIM. 157005107/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(3)
(4)

Telah diuji pada Tanggal : 9 Mei 2020

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. H. Ediwarman, S.H., M.Hum Anggota : 1. Dr. M. Ekaputra, S.H., M.Hum

2. Dr. Marlina, S.H., M.Hum 3. Dr. Edy Ikhsan, S.H., M.Hum 4. Dr. M. Hamdan, S.H., M.H.

(5)
(6)
(7)

ABSTRAK

Dalam penanganan perkara tindak pidana kesusilaan yang dilakukan Anak Berkonflik Hukum berbeda penanganannya dengan tindak pidana narkotika. Ancaman hukuman pidana penjara yang berbeda menyebabkan tindak pidana kesusilaan oleh Anak Berkonflik Hukum tidak dapat diupayakan diversi. Ancaman hukum pidana penjara tindak pidana kesusilaan berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak adalah minimal 5 (lima) tahun dan maksimal 15 (lima belas) tahun, oleh karenanya tidak dapat diupayakan diversi terhadap Anak Berkonflik Hukum tersebut. Namun, penyelesaian perkara tindak pidana kesusilaan oleh Anak Berkonflik Hukum di luar Sistem Peradilan Pidana pada tahap penyidikan dapat dilakukan dengan melakukan pendekatan Keadilan Restoratif dengan cara mediasi antara pihak keluarga Anak Berkonflik Hukum dengan pihak keluarga Anak Korban. Jika, terjadi kesepakatan dalam mediasi tersebut, maka dapat dilakukan pencabutan laporan pengaduan oleh Anak Korban atau keluarganya sebagai pelapor. Akan tetapi, jika tidak terjadi kesepakatan, maka Anak Berkonflik Hukum tersebut dapat diproses hukum lebih lanjut yang nantinya juga Penuntut Umum dalam persidangan dapat mengajukan tuntutan berupa sanksi tindakan. Penelitian ini mencoba mengkaji dan menganalisis beberapa permasalahan yang timnbul, yakni: mengenai pengaturan hukum penyelesaian perkara tindak pidana kesusilaan Anak Berkonflik Hukum di luar Sistem Peradilan Pidana;

hambatan dan upaya Penyidik Satreskrim Polrestabes Medan dalam menyelesaikan perkara Anak Berkonflik Hukum tindak pidana kesusilaan; dan penyelesaian perkara Anak Berkonflik Hukum tindak pidana kesusilaan di luar Sistem Peradilan Pidana.

Penelititian ini adalah penelitian yuridis-normatif yang didukung dengan data empiris. Sifat penelitian deskriptif analisis. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach). Lokasi penelitian adalah Polrestabes Medan karena terdapat banyak kasus-kasus tindak pidana kesusilaan oleh Anak Berkonflik Hukum. Data sekunder dikumpulkan dengan metode studi kepustakaan dan alat pengumpulan data berupa studi dokumen, sedangkan data empiris dikumpulkan dengan metode studi lapangan dan alat pengumpulan data berupa wawancara mendalam. Analisis data kualitatif dengan penarikan kesimpulan menggunakan penalaran induktif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Walaupun UU Sistem Peradilan Pidana Anak tidak dimungkinkan untuk melakukan upaya diversi terhadap Anak Berkonflik Hukum tindak pidana kesusilaan, namun kenyataannya di lapangan pada tahap penyidikan sering dilakukan pendekatan Keadilan Restoratif dengan cara mediasi dengan dasar Diskresi Kepolisian antara pihak keluarga Anak Berkonflik Hukum dengan pihak keluarga Anak Korban, akan tetapi mediasi dilakukan secara kasuistis. Belum adanya upaya-upaya yang signifikan dilakukan oleh Polrestabes Medan dalam menempatkan hak-hak anak pada tempatnya, sebab Unit PPA tidak didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai.

Diperlukan “political will” yang sungguh-sungguh untuk menempatkan hak-hak anak pada tempatnya, seperti: penempatan Anak Berkonflik Hukum yang ditahan pada ruang tahanan anak.

Kata Kunci: Penyelesaian perkara pidana; Anak Berkonflik Hukum; dan tindak pidana kesusilaan.

(8)

ABSTRACT

In handling cases of moral offenses committed by Children in Conflict of Law, the handling is different from narcotics crime. Different threats of imprisonment cause immorality by Children in Conflict of Law cannot be sought diversion. The threat of imprisonment in accordance with the Child Protection Act is a minimum of 5 (five) years and a maximum of 15 (fifteen) years, therefore diversion cannot be sought against the Child in Conflict of Law. However, the resolution of cases of moral offense by Children in Conflict of Law outside the Criminal Justice System at the investigation stage can be done by carrying out a Restorative Justice approach by mediating between the families of the Law Conflict Children and the families of the Victim Children. If there is an agreement in the mediation, then the report can be revoked by the Victim's child or his family as the reporter. However, if an agreement does not occur, then the Child in Conflict of Law may be further prosecuted for the law that later the Public Prosecutor in the trial can file a claim in the form of an action sanction. This research tries to study and analyze several problems that arise, namely: regarding the legal arrangements for resolving cases of moral offense against children in conflict with the law outside the criminal justice system; the obstacles and efforts of the Medan District Police Satreskrim Investigator in resolving cases of Children in Conflict of Criminal Law; and settlement of cases of Children in Conflict of Law of moral offenses outside the Criminal Justice System.

This research is a juridical-normative research supported by empirical data. The nature of descriptive analysis research. The approach taken is the statutory approach.

The location of the study was Medan Polrestabes because there were many cases of moral offenses by Children in Conflict of Law. Secondary data were collected using the literature study method and data collection tools in the form of document studies, while empirical data were collected by the field study method and data collection tools in the form of in-depth interviews. Qualitative data analysis by drawing conclusions using inductive reasoning.

The results of the study show that: Although the Child Criminal Justice System Law is not possible to make a diversionary effort against Children in Conflict of Criminal Acts, in reality, in the field of investigation, a Restorative Justice approach is often carried out by means of mediation on the basis of Police Discretion between families of Conflict Children in Law with the victim's family, but the mediation was carried out casually. There have not been any significant efforts made by Medan Polrestabes in placing children's rights in its place, because the PPA Unit is not supported with adequate facilities and infrastructure. Serious "political will" is needed to place the rights of children in their place, such as: placing Children in Conflict of Law detained in a child custody.

Keywords: Settlement of criminal cases; Children in Legal Conflict; and criminal acts of decency.

(9)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Alhamdulilah, Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis serta Nabi Muhammad SAW atas doa serta syafaatnya, penulis masih diberikan kesehatan dan kesempatan serta kemudahan dalam mengerjakan penelitian ini sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi Magister Hukum di Program Magister Ilmu Hukum (S-2) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pada penelitian ini, penulis dengan ketulusan hati, mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada :

1. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., sebagai Ketua Program Magister Ilmu Hukum (S2) dan Doktor Ilmu Hukum (S3) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Mohammad Ekaputra, S.H., M.Hum., sebagai Sekretaris Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sekaligus sebagai Dosen Penguji.

(10)

5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., sebagai Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum (S2) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Prof. Dr. H. Edi Warman, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing I yang telah memberikan dorongan, arahan, bimbingan, dan motivasi kepada penulis untuk secepatnya menyelesaikan studi di kampus.

7. Ibu Dr. Marlina, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing II yang juga telah memberikan masukan dan saran-saran yang membangun dalam penelitian penulis.

8. Bapak Dr. H. OK. Edy Ikhsan, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing III yang membuka pikiran penulis agar lebih kritis dalam membuat kesimpulan dan saran.

9. Bapak Dr. Hamdan, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Penguji yang telah memberikan masukan yang membangun pada saat ujian kolokium, seminar hasil, dan ujian tesis.

10. Terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam kepada ayahanda Suyono dan ibunda Sumiatin, yang telah mendidik penulis hingga sampai kepada jenjang pendidikan tinggi, serta terima kasih kepada abang, Angga Kharisma Putra yang mendukung adiknya untuk menempuh pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi lagi.

11. Tidak ketinggalan terima kasih kepada teman-teman seperjuangan, Iptu.

Elysa Simaremare, S.Ik., MH., yang sudah memberi semangat selama

(11)

penyelesaian penelitian ini, dan kepada teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu, sekali lagi terima kasih.

12. Terakhir ucapan terima kasih kepada Para Dosen dan Para Pegawai Sekretariat Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan selama ini kepada penulis selama menyelesaikan studi.

Akhir kata kiranya tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan ilmu hukum di Indonesia.-

Medan, Mei 2020 Hormat Saya,

Penulis,

HAPPY MARGOWATI SUYONO NIM. 157005107/HK

(12)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. Data Pribadi

Nama : Happy Margowati Suyono Tmpt Lahir : Tulung Agung

Tgl Lahir : 23 Juni 1991 Pekerjaan : POLRI

Agama : Islam

Nama Ayah : Suyono Nama Ibu : Sumiatin

Nama Abang : Angga Kharisma Putra Suku / Bangsa : Jawa / Indonesia

E-Mail : happysuyono1@gmail.com II. Latar Belakang Pendidikan

1. Pendidikan Dasar Dan Menengah Umum

a. SD : (2004) SDN Kampungdalem 2 Tulungagung b. SMP : (2007) SMPN 1 Tulungagung

c. SMA : (2010) SMAN 1 Kedungwaru Tulungagung 2. Pendidikan Tinggi

a. D3 : (2013) Akademi Kepolisian

b. S1 : (2014) Sarjana Ilmu KepolisiaN STIK-PTIK

c. S2 : Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan (2020)

III. Riwayat Karir di Kepolisian Republik Indonesia - (2014) : KA. SPK A Polres Tebing Tinggi - (2015) : Panit Reskrim Polsek Medan Kota

- (2017) : Panit 1 Unit 6 Sat Reskrim Polrestabes Medan - (2018) : Kanit PPA Polres Tapsel

- (2019) : Panit 2 Unit 2 Subdit 1 Dit.Res Narkoba Polda SUMUT

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 20

C. Tujuan Penelitian ... 21

D. Manfaat Penelitian ... 21

E. Keaslian Penelitian ... 23

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 24

1. Kerangka Teori ... 24

2. Kerangka Konsep ... 34

G. Metode Penelitian ... 42

1. Spesifikasi Penelitian ... 42

2. Metode Pendekatan ... 42

3. Lokasi Penelitian, Populasi dan Sampel ... 44

4. Alat Pengumpulan Data ... 45

5. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data ... 46

6. Analisis Data ... 49

(14)

BAB II : PENGATURAN HUKUM TERHADAP ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM (ABH) TINDAK PIDANA KESUSILAAN DALAM MENGHADAPI

PERMASALAHAN HUKUM ... 51

A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ... 51

B. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) ... 56

C. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) ... 67

D. Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU Perlindungan Saksi dan Korban) ... 72

E. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) ... 75

F. Pengaturan Hukum Penyidikan Tindak Pidana Kesusilaan oleh Anak Berkonflik dengan Hukum Berdasarkan Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana ... 78

1. Penerimaan Laporan Polisi ... 80

2. Melakukan Penyelidikan ... 81

3. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) 83

4. Upaya Paksa ... 83

5. Pemeriksaan ... 84

6. Gelar Perkara ... 85

7. Penyelesaian Berkas Perkara ... 85

8. Penghentian Penyidikan ... 87

9. Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) ... 89

10. Pelimpahan Berkas Perkara Berikut Tersangka dan Barang Bukti Kepada Kejaksaan Negeri ... 91

(15)

BAB III : HAMBATAN DAN UPAYA PENYIDIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA KESUSILAAN DI LUAR SISTEM PERADILAN PIDANA TERHADAP ANAK YANG BERKONFLLIK DENGAN

HUKUM ... 93

A. Hambatan Penyidik Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Kesusilaan di Luar Sistem Peradilan Pidana Terhadap Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH) ... 93

1. Hambatan Substansi Hukum ... 93

2. Hambatan Struktur Hukum ... 96

a. Personil ... 96

b. Sarana dan Prasarana ... 97

c. Anggaran/Keuangan ... 99

3. Hambatan Budaya Hukum ... 100

B. Upaya Penyidik Dalam Menghadapi Hambatan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Kesusilaan di Luar Sistem Peradilan Pidana Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum ... 103

1. Upaya Substansi Hukum ... 103

2. Upaya Struktur Hukum ... 104

3. Upaya Budaya Hukum ... 105

BAB IV : PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA KESUSILAAN DI LUAR SISTEM PERADILAN PIDANA TERHADAP ANAK BERKONFLIK HUKUM DI POLRESTABES MEDAN ... 107

A. Konsep Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana 107 1. Restorative Justice (Keadilan Restoratif) ... 107

2. Prinsip dan Tujuan Restorative Justice ... 109

B. Pengaturan Hukum Terhadap Anak Berkonflik Hukum Tindak Pidana Kesusilaan Dalam Menghadapi Permasalahan Hukum Berdasarkan Sistem Peradilan Pidana Anak ... 124

(16)

1. Diversi ... 124

a. Prosedur Diversi ... 133

b. Diversi Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ... 141

c. Perbedaan Penerapan Diversi Terhadap Anak Berkonflik Hukum Tindak Pidana Narkotika dengan Anak Berkonflik Hukum Tindak Pidana Kesusilaan 147 2. Sanksi Tindakan ... 157

a. Pidana Pokok Bagi Anak ... 157

b. Pidana Dengan Syarat ... 158

c. Pidana Tambahan ... 161

d. Pidana Tindakan ... 161

C. Peranan Penyidik Dalam Penyelidikan dan Penyidikan Terhadap Anak Berkonflik Hukum Tindak Pidana Kesusilaan ... 163

1. Penyelidikan ... 164

2. Penyidikan ... 164

3. Pengumpulan Barang Bukti ... 165

D. Penerapan Prinsip Restorative Justice Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Kesusilaan di Luar Sistem Peradilan Pidana Terhadap Anak Berkonflik Hukum di Polrestabes Medan ... 168

1. Tahapan Pra-Restorative Justice ... 169

2. Tahapan Proses Restorative Justice ... 171

3. Tahapan Pasca Restorative Justice ... 172

E. Proses Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Kesusilaan di Luar Sistem Peradilan Pidana Terhadap Anak Berkonflik Hukum di Polrestabes Medan ... 175

1. Diskresi Kepolisian ... 175

2. Diskresi Kepolisian Dalam Ketentuan Hukum ... 177

3. Diskresi Kepolisian Dalam Pelaksanaan Tugas ... 181

(17)

4. Penerapan Diskresi Kepolisian Dalam Proses

Penyidikan Tindak Pidana Kesusilaan ... 186

5. Penyidik Unit PPA Satreskrim Polrestabes Medan Menerapkan Diskresi Kepolisian ... 191

6. Tahapan Penerapan Restorative Justice ... 192

BAB V : KESIMPULAN & SARAN ... 199

A. Kesimpulan ... 199

B. Saran ... 202

DAFTAR PUSTAKA ... 204

(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Suasana Kantor Unit PPA Satreskrim Polrestabes Medan ... 98

Gambar 2. Segitiga Restorative Justice ... 108

Gambar 3. Tahapan Pra-Restorative Justice ... 169

Gambar 4. Tahapan Proses Restorative Justice ... 171

Gambar 5. Tahapan Pasca Restorative Justice ... 173

(19)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Data Kasus Unit PPA Satreskrim Polrestabes Medan Tahun 2015 s.d. 2019 ... 18 Tabel 2. Penelitian Terdahulu ... 23 Tabel 3. Daftar Personil Unit PPA Satreskrim Polrestabes Medan Tahun 2020 96 Tabel 4. Anggaran/Keuangan Penyelidikan dan Penyidikan Unit PPA

Satreskrim Polrestabes Medan ... 99

(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak merupakan tumpuan harapan masa depan bangsa, negara, masyarakat, ataupun keluarga, maka setiap anak memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, rohani dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.1 Negara Indonesia memahami pentingnya arti anak sebagai suatu amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.

Salah satu permasalahan yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat di Indonesia seiring dengan kemajuan zaman yang ditandai dengan adanya perkembangan teknologi dan budaya, membuat tidak hanya orang dewasa saja yang bisa melanggar nilai-nilai dan norma yang ada di masyarakat terutama norma hukum. Seseorang yang dikategorikan masih anak-anak juga bisa melakukan pelanggaran terhadap norma hukum baik secara sadar maupun tidak sadar.2

Masyarakat dihadapkan dalam suatu permasalahan penanganan anak yang diduga melakukan tindak pidana. Pada umumnya anak-anak terjebak dalam pola- pola kehidupan yang berkembang dengan cepat dan kurang terkendali, yang makin

1 Gatot Supramono, Hukum Acara Peradilan Anak, (Jakarta: Djambatan, 2002), hlm. 12.

Lihat juga: Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1997), hlm. 98.

2 M. Ngafifi, “Kemajuan Teknologi dan Pola Hidup Manusia Dalam Perspektif Sosial Budaya, Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi Vol. 2 No. 1, 2014, hlm. 33-47.

(21)

lama semakin menjurus ke arah tindakan kriminal, seperti penggunaan narkotika, pemerasan, pencurian, penganiayaan, pemerkosaan, dan sebagainya.3

Pelanggaran terhadap norma hukum yang membuat seorang anak harus berhadapan dengan sistem peradilan, menimbulkan tanggapan bahwasanya terdapat penegak hukum yang belum memberikan perhatian khusus kepada tersangka anak.

Hal tersebut menunjukan bahwa hukum yang ada di Indonesia masih belum cukup berpihak pada anak-anak, sedangkan sebagai bagian dari subjek hukum anak-anak mestinya mendapatkan perlindungan. Perlindungan anak tersebut adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan sosial.4

Perbuatan pelanggaran norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak disebut dengan juvenile delinquency. Hal tersebut cenderung dikatakan sebagai kenakalan anak daripada kejahatan anak, karena terlalu keras bila seorang anak yang melakukan tindak pidana dikatakan sebagai penjahat.

Sementara, kejadiannya adalah proses alami yang tidak boleh tidak dilewati setiap manusia harus mengalami kegoncangan semasa menjelang kedewasaannya.5

3 Widia Magdewijaya, “Penyelesaian Hukum Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak Melalui Upaya Restorative Justice Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak”, https://elib.unikom.ac.id/files/disk1/717/jbptunikompp-gdl- widiamagde-35819-11-unikom_w-i.pdf., diakses pada hari Selasa, tanggal 17 Desember 2019.

4 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2010), hlm. 33.

5 Wagiati Soetedjo dan Melani, Hukum Pidana Anak, (Bandung: Refika Aditama, 2013), hlm. 11.

(22)

Menurut Romli Atmasasmita mendefinisikan delinquency, sebagai berikut:

“Suatu tindakan perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan tercela.”6

Seorang anak yang melakukan tindak pidana, maka proses yang diberlakukan terhadap anak hendaknya lebih menekankan pada sarana non-penal.7 Dengan diberlakukannya sarana non-penal, maka kebutuhan dalam penanggulangan kenakalan anak diharapkan dapat berorientasi untuk mencapai kondisi yang kondusif dengan mengkaji mengenai penyebab timbulnya kenakalan anak, yang nantinya akan digunakan untuk menentukan penerapan kebijakan dalam menangani anak yang melakukan tindak pidana.

Sarana non-penal yang dapat ditempuh dalam proses mengadili suatu tindak pidana yang dilakukan oleh anak salah satunya adalah dengan penyelesaian restorative justice. Black`s Law Dictionary mendefinisikan restorative justice sebagai berikut:8

“An alternative delinquency sanction that focuses on repairing the harm done, meeting the victim’s needs, and holding the offender responsible for his or her actions. Restorative justice sanctions use a balanced approach, producing the least restrictive disposition while stressing the offender’s accountability and providing relief to the victim. The offender may be ordered to make restitution, to perform community service, or to make amends in some other way that the court orders.”

6 Romli Atmasasmita dalam Maiding Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2010), hlm. 55.

7 Ibid., hlm. 59.

8 Black`s Law Dictionary, 8th Edition, Thomson Business dalam Undang Mugopal, Hukum Untuk Manusia, Kado (Tak) Istimewa dari Fakultas Hukum UNISBA untuk Indonesia, (Jakarta: Pilar Utama Mandiri, 2012), hlm. 326.

(23)

“Suatu sanksi alternatif atas kejahatan yang memfokuskan pada perbaikan atas perbuatan yang membahayakan, mempertemukan kebutuhan korban dan meminta pertanggungjawaban pelaku atas tindakannya. Keadilan restoratif ini menggunakan pendekatan keseimbangan, menghasilkan disposisi yang membatasi dengan memusatkan pada tanggung jawab pelaku dan memberikan bantuan pada korban. Pelaku mungkin diperintahkan untuk memberi ganti kerugian (restitusi), untuk melakukan pelayanan pada masyarakat, atau membuat perubahan dalam beberapa cara atas perintah (putusan) pengadilan.”

Pada setiap tahunnya jumlah anak Indonesia yang diajukan ke pengadilan atas kejahatan ringan seperti pencurian semakin meningkat. Pada umumnya mereka tidak mendapatkan dukungan dari pengacara maupun dinas sosial. Sehingga tidaklah mengherankan, kalau sembilan dari sepuluh anak yang bermasalah hukum akhirnya dijebloskan ke penjara atau rumah tahanan. Lebih menyedihkan lagi, sebagian besar anak-anak ini berada di dalam lembaga penahanan dan pemenjaraan untuk orang- orang dewasa dan pemuda.9

Peningkatan jumlah anak-anak yang ditahan tersebut, tidak termasuk anak- anak yang ditahan pada kantor polisi, seperti di Polsek, Polres, Polda dan Mabes.

Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan, karena banyak anak-anak yang harus berhadapan dengan proses peradilan. Keberadaan anak-anak dalam tempat penahanan dan pemenjaraan bersama orang-orang yang lebih dewasa, menempatkan anak-anak pada situasi rawan menjadi korban berbagai tindak kekerasan.10

Anak-anak dalam kondisi demikian disebut dengan anak yang bermasalah dengan hukum (children in conflict with the law). Anak yang bermasalah dengan

9 Steven Allen dalam Purnianti, Ni Made Martini Tinduk, et.al., “Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia”, UNICEF, Indonesia, 2003, hlm. 1-2.

10 Judith Ennew, “Difficult Circumstances:Some Reflections on “Street Children” in Africa”, Children, Youth and Environments 13 (1), Spring 2003, hlm. 7-8.

(24)

hukum dapat didefinisikan anak yang disangka, dituduh atau diakui telah melanggar undang-undang hukum pidana. Kemudian Majelis Umum PBB dalam Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice atau yang dikenal dengan Beijing Rules mendefisinikannya sebagai berikut: “a child or young person who is alleged to have committed or who has been found to have committed an offence.”11

Seseorang yang melanggar hukum pidana akan berhadapan dengan negara melalui aparatur penegak hukumnya. Sebagai sebuah instrumen pengawasan sosial, hukum pidana menyandarkan diri pada sanksi karena fungsinya memang mencabut hak orang atas kehidupan, kebebasan, atau hak milik mereka. Invasi terhadap hak dasar ini dibenarkan demi melestarikan masyarakat dan melindungi hak-hak fundamental dari gangguan orang lain. Pencabutan kebebasan seseorang dalam doktrin Hukum Hak Asasi Manusia Internasional termasuk rumpun Hak Sipil dan Hak Politik, karena menyangkut pemajuan dan perlindungan martabat dan keutuhan manusia secara individual.12

Terdapat tiga hak yang bersifat lebih fundamental daripada hak lain untuk mencapai maksud tersebut, yakni hak atas hidup, kebutuhan jasmani, dan kebebasan.

Pada ketiga hak inilah semua hak lain bergantung, tanpa ketiga hak ini, hak-hak lain sedikit atau sama sekali tidak bermakna. Dalam konteks pencabutan kebebasan

11 Myles Ritchie, “Children In “Especially Difficult Circumstances‟: Children Living On The Street. Can Their Special Needs Be Met Through Specific Legal Provisioning?”, Consultative Paper Prepared For The South African Law Commission, 1999, hlm. 12-14.

12 A.J. Simanjuntak, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Menjalani Pidana Penjara di Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas II B Pontianak”, Jurnal Nestor Magister Hukum Vol. 2 No.

(3), 2013,

(25)

seseorang, doktrin Hak Asasi Manusia memberikan legitimasi yakni sepanjang seseorang melakukan tindak pidana.13

Pelaksanaan proses peradilan pidana, terdapat larangan dan pembatasan untuk melakukan tindakan sebagai berikut : diskriminasi (Pasal 2 ayat (1), Pasal 26), melakukan penyiksaan (Pasal 7), dan menjatuhkan hukuman mati (Pasal 4 ayat (2), Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6)). Bahkan negara dibebani kewajiban untuk melakukan tindakan-tindakan berikut : memperlakukan secara manusiawi (Pasal 10 ayat (1)), menyamakan kedudukan di muka hukum (Pasal 14 ayat (1)), menerapkan asas praduga tidak bersalah (Pasal 14 ayat (2)), menjamin proses peradilan pidana yang efektif dan imparsial (Pasal 14), dan menerapkan asas retroaktif (Pasal 15).14 Pasal-pasal ini dapat dielaborasi dan diinterpretasikan dengan merujuk pada ketentuan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional lain guna melihat kewajiban negara lebih jauh dalam menghargai, melindungi, dan memenuhi hak asasi seseorang yang tengah menghadapi proses hukum.

Perlindungan anak merupakan suatu usaha untuk menciptakan kondisi yang melindungi anak agar dapat melaksanakan hak, dan kewajibannya. Dalam konsepsinya, perlindungan anak tidak hanya meliputi perlindungan atas hak-haknya saja tetapi juga berkaitan dengan aspek pembinaan generasi muda, dengan

13 N.A. Noor Muhammad, Ifdhal Kasim (Editor), Proses Hukum Bagi Orang yang Didakwa Melakukan Kejahatan, dalam Hak Sipil dan Politik : Esai-Esai Pilihan, (Jakarta: Elsam, 2001), hlm.

180-181.

14 Konvensi Hak-hak Anak disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November 1989.

(26)

memperhatikan bahwa anak-anak bukanlah individualis sebab anak masih sangat tergantung pada orang dewasa, terutama orang-orang dewasa yang mereka kenal.

Disamping itu juga adanya fakta bahwa anak belum dapat menghidupi dirinya sendiri.15

Dalam relasinya dengan hukum, perlindungan dan perlakuan terhadap anak juga harus mendapatkan perhatian secara khusus. Demikian pula jika anak bersentuhan dengan hukum pidana tidak semestinya menjadi alasan untuk memperlakukan anak sama dengan orang dewasa. Anak yang menjadi pelaku tindak pidana tidak seharusnya juga diproses melalui proses formal, proses yang menghadapkan dirinya pada sistem peradilan pidana, apalagi melakukan penahanan terhadap anak. Hal ini harus dijadikan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium).

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.16

Semua negara di dunia menganggap persoalan perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana merupakan hal yang penting, karena anak merupakan generasi penerus bangsa di masa depan. Oleh karena itu, negara-negara di dunia berpikir untuk mencari bentuk alternatif penyelesaian yang terbaik untuk anak. Secara internasional, konvensi internasional yang mengatur pelaksanakan peradilan anak

15 Rini Fitriani, “Peranan Penyelenggara Perlindungan Anak Dalam Melindungi dan Memenuhi Hak-Hak Anak”, Jurnal Hukum Samudra Keadilan Vol. II No. 2, Juli-Desember 2016, hlm. 250-258.

16 Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyebutkan bahwa: “Penangkapan penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir”.

(27)

dan menjadi standar perlakuan terhadap anak yang berada dalam sistem peradilan pidana. Indonesia telah melakukan upaya memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum antara lain dengan meratifikasi konvensi internasional tentang hak anak melalui: Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentnag Pengesahan Convention on The Rights of The Child (Konvensi Tentang Hak- Hak Anak); Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; dan Undang- Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.17

Ketentuan tersebut antara lain memberikan perlindungan terhadap anak yaitu hak untuk mendapatkan perlindungan dari tindakan kekerasan, hak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum, tindakan penahanan merupakan upaya terakhir, hak mendapatkan bantuan hukum, hak anak untuk tidak dihukum mati dan hukuman seumur hidup. Beberapa ketentuan Beijing Rules yang belum masuk dalam Undang- Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yaitu tindakan untuk menghindarkan penahanan, tindakan diversi terhadap kasus anak, penghindaran kekerasan dalam proses penanganan anak, alternatif untuk mengalihkan ke proses informal sejak awal. UU Pengadilan Anak dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Oleh karenanya,

17 Reza Fahlevi, “Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Hukum Nasional”, Lex Jurnalica Vol. 12 No. 3, Desember 2015, hlm. 177-191.

(28)

Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).18

Pelaksanaan peradilan pidana saat ini masih belum memberikan perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana, antara lain adanya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat hukum dalam menangani kasus anak, belum adanya upaya untuk mengalihkan penyelesaian secara informal yang memperhatikan kepentingan semua pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian tindak pidana.19 Bentuk pelaksanaan perlindungan dilakukan berdasarkan kebijakan aparat penegak hukum dengan mempertimbangkan prinsip the best interest of the child (kepentingan terbaik untuk anak). Tindakan perlindungan yang dilakukan bertujuan untuk menghindarkan anak dari proses penahanan, dan implikasi negatip dari proses peradilan pidana.

Institusi kepolisian merupakan institusi negara yang pertama kali melakukan intervensi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum (ABH). Penangkapan,

18 Negey Varida Ariani, “Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Dalam Upaya Melindungi Kepentingan Anak”, Jurnal Media Hukum Vol. 21 No. 1, Juni 2014, hlm. 108-122. Lihat juga: Tri Jata Ayu Pramesti dalam Hukumonline.com,

“Hal-hal Penting Yang Diatur Dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak”, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt53f55d0f46878/hal-hal-penting-yang-diatur- dalam-uu-sistem-peradilan-pidana-anak/., diakses pada hari Jumat, tanggal 20 Desember 2019.

19 Dalam penelitian Hady Saputra Siagian yang dilakukan pada Dit.Narkoba Polda Sumut menunjukkan bahwa Dit.Narkoba Polda Sumut belum optimal dalam mengimplementasikan UU SPPA terhadap penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika. Hal ini dikarenakan Dit.Narkoba Polda Sumut belum didukung dengan personil, anggaran, dan sarpras yang sesuai dengan standar UU SPPA. Lihat: Hady Saputra Siagian,

“Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Narkotika Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika Berdasarkan Udnang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi Kasus Pada Dit.Resnarkoba Polda Sumut)”, Tesis, Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2020, hlm. 157-162.

(29)

penahanan, penyelidikan, dan penyidikan merupakan kewenangan kepolisian untuk menegakkan Sistem Peradilan Pidana Anak.

Mediasi penal (penal mediation) sering juga disebut dengan berbagai istilah, antara lain: “mediation in criminal cases” atau “mediation in penal matters” yang dalam istilah Belanda disebut strafbemiddeling. Dalam istilah Jerman disebut “Der Außergerichtliche Tataus-gleich” (disingkat ATA), dan dalam istilah Perancis disebut “de mediation pénale”. Karena mediasi penal adalah mempertemukan antara pelaku tindak pidana dengan korban, maka mediasi penal ini sering juga dikenal dengan istilah “Victim-Offender Mediation” (VOM), Täter-Opfer-Ausgleich (TOA), atau Offender-victim Arrangement (OVA).20

Mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan (yang biasa dikenal dengan istilah ADR atau ”Alternative Dispute Resolution”; ada pula yang menyebutnya “Apropriate Dispute Resolution”. ADR pada umumnya digunakan di lingkungan kasus-kasus perdata, tidak untuk kasus- kasus pidana. Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini (hukum positif) pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, walaupun dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan.21

20 B. Nawawi Arief, “Mediasi Pidana (Penal Mediation) Dalam Penyelesaian Sengketa/Masalah Perbankan Beraspek Pidana di Luar Pengadilan,” Law Reform Vol. 2 No. 1, Apr.

2006, pp. 1-13.

21 B. Nawawi Arief, “Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan”, editing dari makalah “Aspek Kebijakan Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan” yang disajikan dalam Seminar Nasional “Pertanggungjawaban Hukum Korporasi Dalam

(30)

Restorative justice merupakan usaha untuk mencari penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan. Khusus untuk Anak Berkonflik Hukum (ABH), restorative justice penting untuk diterapkan karena faktor psikologi anak harus diperhatikan. Terdapat empat kriteria kasus ABH yang dapat diselesaikan dengan model restorative justice. Pertama, kasus tersebut tidak mengorbankan kepentingan umum dan bukan pelanggaran lalu lintas. Kedua, anak tersebut baru pertama kali melakukan kenakalan dan bukan residivis. Ketiga, kasus tersebut bukan kasus yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, luka berat, atau cacat seumur hidup.

Terakhir keempat, kasus tersebut bukan merupakan kejahatan kesusilaan yang serius yang menyangkut kehormatan.22

Salah satu kejahatan terhadap anak yaitu kekerasan terhadap kesusilaan, meliputi pemerkosaan, pencabulan, dan persetubuhan. Tindakan pemerkosaan merupakan suatu hubungan kelamin laki-laki dan kelamin perempuan dengan mempergunakan paksaan terhadap perempuan, hubungan tidak wajar antara bagian kelamin itu menimbulkan akibat luka pada perempuan.23 Sedangkan pencabulan adalah perbuatan-perbuatan yang melanggar kesusilaan atau kesopanan serta perbuatan terhadap badan sendiri maupun badan oranglain yang masih dalam lingkup kesusilaan.24 Adapun persetubuhan adalah bersatunya alat kelamin pria

Konteks Good Corporate Governance”, Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, di Inter Continental Hotel, di Jakarta, pada tanggal 27 Maret 2007.

22 Herman Manheim, Comperative Criminology, (Boston, New York, 1985), hlm. 56-57.

23 H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid 2, (Bandung : Alumni, 1986), hlm. 226.

24 Ibid., hlm. 231.

(31)

dalam kelamin wanita walaupun dengan penetrasi seringan-seringannya, yang menjadi tolok ukur adalah masuknya kelamin laki-laki ke dalam kelamin perempuan hingga mengeluarkan air mani.25

Menurut Kartini Kartono, adapun beberapa bentuk dan jenis pencabulan terhadap anak, sebagai berikut26 :

1. “Exhibitionism Sexual, yaitu sengaja memamerkan alat kelamin pada anak.

2. Voyeurism, yaitu orang dewasa mencium anak dengan bernafsu.

3. Fonding, yaitu mengelus/meraba alat kelamin seorang anak.

4. Fellatio, yaitu orang dewasa memaksa anak untuk melakukan kontak mulut”.

Upaya perlindungan hukum kepada anak di bawah umur pada dasarnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya Pasal 287 KUHP, yang berbunyi :

(1) “Barangsiapa bersetubuh dengan sorang wanita yang bukan istrinya, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umur wanita itu belum lima belas tahun, atau kalau umumya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawinkan, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

(2) Penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan, kecuali bila umur wanita itu belum sampai dua belas tahun atau bila ada salah satu hal seperti tersebut dalam Pasal 291 dan Pasal 294”.

Perkembangan perlindungan hukum terhadap anak di bawah umur selanjutnya, Pemerintah memberlakukan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.

25 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor : Politeia, 1994), hlm. 209.

26 Kartini Kartono, Psikologi Abormal dan Abnormalitas Seksual, (Bandung : Mandar Maju, 1985), hlm. 264.

(32)

35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak). Pasal 81 UU Perlindungan Anak, mengatur :

(1) “Setiap orang yang melangggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.

Berdasarkan Pasal 82 UU Perlindungan Anak, mengatur bahwasanya : (1) “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.

Adapun bentuk perbuatan pencabulan terhadap anak menurut UU Perlindungan Anak diatur dalam Pasal 76D dan Pasal 76E, bahwasanya :

1. Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.27

27 Pasal 76D Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak).

(33)

2. Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.28

Menurut R. Soesilo, dari ruang lingkup kekerasan seksual mengenal adanya pencabulan, yaitu segela perbuatan melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi, misalnya : ciuman, meraba- raba bagian kemaluan, meraba-raba buah dada, dan termasuk pula bersetubuh.29

Dalam masyarakat, khususnya orangtua terhadap anaknya seringkali mengidentikkan pelaku pencabulan dengan sosok orang tak dikenal yang mengintai dari balik tembok sekolah, memakai jubah hitam dengan wajah misterius atau tidak jarang pelaku tersebut identik dengan seseorang yang ber-wajah buruk dan misterius.

Hal ini menyebabkan para orang tua selalu mengingatkan anaknya agar selalu berhati-hati terhadap orang yang tidak dikenal dan yang mempunyai wajah seperti penjahat. Para orang tua juga mengingatkan anak-anaknya agar tidak menerima pemberian apapun dari orang yang tidak dikenal.30

Ironisnya, saat ini di Indonesia sangat marak akan kasus pencabulan yang dilakukan oleh orang-orang terdekat. Akhirnya mitos-mitos pencabulan di Indonesia,

28 Pasal 76E UU Perlindungan Anak.

29 Fachri Bey dan Furqanul Ichsan, “Proses Pembuktian Tindak Pidana Pencabulan Terhadap anak Kandung Yang Dilakukan Oleh Ayahnya”, Lex Jurnalisa Volume 8 Nomor 3, Agustus 2011, hlm. 226.

30 Ibid.

(34)

seperti pelakunya adalah orang-orang tak dikenal, korban selalu berpakaian seksi, dan dilakukan pada malam hari ternyata harus dipatahkan oleh kenyataan bahwa pencabulan di Indonesia saat ini justru lebih banyak dilakukan oleh orang-orang yang justru dihormati oleh anak-anak yang jadi korbannya, seperti kakek, ayah kandung, kakak kandung, ayah tiri, guru sekolah, guru agama, pengelola asrama, pendamping kegiatan, atau orang-orang dewasa lain di sekitar korban yang seharusnya justru dapat menjadi contoh dan pelindung anak-anak tersebut. Tidak jarang tindak pencabulan ini dilakukan justru pada siang hari ketika ibu si korban tidak ada di rumah.31

Pencabulan merupakan suatu perwujudan tidak sempurnanya rasa tanggung jawab dari seseorang terhadap sesama manusia. Pencabulan adalah suatu hasil interaksi akibat adanya suatu interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempe- ngaruhi. Sekarang yang penting adalah memahami fenomena mana saja yang mempengaruhi eksistensi pencabulan tersebut. Hal ini adalah penting berhubung dengan penentuan siapa atau apa saja yang harus ditangani dalam menghadapi dan mengatasi permasalahan pencabulan ini.32

Dalam proses pembuktian pada kasus tindak pidana pencabulan terhadap anak tuna rungu sangatlah mempengaruhi keadaan psikologis korban. Korban harus memberikan keterangan yang detail pada saat proses pembuktian mengenai apa yang telah menimpanya. Lemah dan kurangnya alat bukti dalam tindak pidana pencabulan

31 Ibid., hlm. 226.

32 Ibid., hlm. 226.

(35)

menyebabkan banyak pelaku yang lolos dari jeratan hukum. Hal tersebut terjadi karena kurangnya pengetahuan dari pihak korban. Banyak korban yang melaporkan kejadian tindak pidana pencabulan tersebut setelah beberapa hari atau beberapa minggu setelah kejadian tersebut terjadi.33

Bukti telah terjadinya pencabulan dapat hilang apabila korban tidak segera melaporkan telah terjadi pencabulan terhadap dirinya. Hal-hal tersebut menyulitkan penyidik dalam mengumpulkan alat bukti. Kemudian akan menyulitkan bagi jaksa dalam membuktikan dakwaannya di sidang pengadilan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana pencabulan.34

Peranan penyidik dalam menanggulangi kejahatan pencabulan perlu dilakukan untuk pencegahan terhadap kasus pencabulan terhadap anak dibawah umur dengan memberikan perlindungan terhadap korban dan memberikan efek jera terhadap pelaku pencabulan anak dibawah umur. Kepolisian merupakan salah satu komponen sistem peradilan pidana yang menjadi ujung tombak dalam penanggulangan kejahatan. Peranan kepolisian kelihatan lebih besar bila dibandingkan dengan komponen lainnya. Institusi ini sangat menentukan keberhasilan sistem peradilan pidana secara keseluruhan. Untuk itu, Kepolisian disebut sebagai The Gate Keeper of Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang Criminal Justice.35

33 Ibidi., hlm. 225.

34 Ibid., hlm. 225.

35 Pasal 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU Polri).

(36)

Pada dekade terakhir ini, kasus anak yang melakukan tindak kejahatan semakin mengkhawatirkan. Sering terdengar berita tentang anak di bawah umur melakukan tindak kriminal. Pada tahun 2016, terjadi hampir 4.000 kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak. Sebanyak 3.722 anak tersebar di berbagai Lembaga Pemasyarakatan Anak (LP Anak). 36 Terbatasnya jumlah LP Anak, memberi peluang Anak Berkonflik Hukum (ABH) ditempatkan pada tahanan dewasa. Sementara, tindak kekerasan pada anak selama proses penyidikan maupun di tahanan masih banyak terjadi. Anak dinterogasi seperti lazimnya pada orang dewasa. Anak berkonflik dengan hukum sering tidak mendapat perlindungan yang wajar, dan tanpa bantuan hukum.37

Pada kasus kejahatan Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Polrestabes Medan ternyata tidak semuanya dapat didamaikan secara restorative justice.

Sebagian kasus kejahatan yang dilakukan Anak Berkonflik dengan Hukum diteruskan ke kejaksaan sehingga kewenangan diterapkannya diversi belum digunakan secara maksimal.

Adapun data kasus-kasus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) yang ditangani Unit PPA Satreskrim Polrestabes Medan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

36 NL. Desi dan HM. S.A.G, “Layanan Konseling Individu Dalam Mengatasi Penyesuaian Sosial Pada Remaja di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Klas 1 Kutoarjo”, Doctoral Dissertation, IAIN Surakarta, 2017.

37 Dimas Bagus Hari Satrio, dkk., “Pendampingan Anak Berhadapan Dengan Hukum”, Prosiding KS: Riset & PKM Vol. 2 No. 1, hlm. 1-146.

(37)

Tabel 1

Data Kasus Unit PPA Satreskrim Polrestabes Medan Tahun 2015 s.d. 2019

No. Tahun Jlh ABH Pelaku Anak Jlh ABH Korban Anak Jlh Diversi

1. 2015 14 kss 14 kss Nihil

2. 2016 22 kss 22 kss 7 kss

3. 2017 25 kss 25 kss 3 kss

4. 2018 20 kss 20 kss Nihil

5. 2019 10 kss 8 kss Nihil

Sumber : Data Kasus Unit PPA Satreskrim Polrestabes Medan, Februari 2020.

Berdasarkan data temuan di Polrestabes Medan, dari 156 (seratus lima puluh enam) kasus Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Polrestabes Medan selama tahun 2016 terdapat 45 (empat puluh lima) kasus yang diselesaikan melalui pendekatan mediasi dengan mengundang pihak korban untuk dapat berdamai dan memaafkan pelaku dan sebagian besar keluarga korban mau memahami dan hadir di Polrestabes Medan dengan mediasi pihak polisi namun, hal ini kasuistis. Apabila keluarga pelaku ternyata termasuk keluarga tidak mampu dan tindak pidana yang dilakukan termasuk kategori tindak pidana ringan, maka pihak Polrestabes Medan langsung mengembalikannya kepada orang tuanya tanpa meminta ganti rugi dari keluarga pelaku, sedangkan 111 (seratus sebelas) kasus Anak yang Berkonflik Hukum di Polrestabes Medan tetap diproses dengan diteruskan ke proses penuntutan di Kejaksaan Negeri Medan.38

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga mengamanatkan bahwa Sistem Peradilan Pidana

38 Data Unit PPA Satreskrim Polrestabes Medan Tahun 2017.

(38)

Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersamasama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Secara hukum berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bahwa penyidikan terhadap pelaku tindak pidana anak hanya dapat dilakukan apabila pelaku tindak pidana telah berusia 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun. Terhadap anak dibawah umur 8 (delapan) tahun yang melakukan tindak pidana akan mendapat pembinaan dan dikembalikan pada orang tua/wali. Namun, dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 01/PUU-VIII/2010 yang mana putusannya menyatakan frasa 8 (delapan) tahun pada Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak diganti menjadi 12 (dua belas tahun). Hal ini kemudian dikuatkan dengan disahkannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.39

Pemilihan judul penyelesaian perkara pidana anak di luar pengadilan disebabkan anak yang masih di bawah umur bisa melakukan pelanggaran terhadap norma hukum baik secara sadar maupun tidak sadar. Untuk itu tindakan yang perlu

39 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan, Kementerian Hukum dan HAM RI,

“Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Pengujian UU Pengadilan Anak: Putusan Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Nomor 1/PUU- VIII/2010”, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/harmonisasi-rpp/68-kegiatan-litigasi-umum/1165- putusan-mahkamah-konstitusi-terhadap-pengujian-uu-pengadilan-anak.html., diakses pada hari Jumat, tanggal 20 Desember 2019.

(39)

dilakukan adalah membina anak tersebut sehingga tidak melakukannya lagi.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa masih banyaknya tindak pidana yang dilakukan oleh warga negara dengan usia yang masih terkategori sebagai anak-anak, maka diperlukan suatu sistem penanganan kasus yang sesuai dengan usia anak tersebut agar hukuman yang diberikan tidak membawa pengaruh buruk bagi perkembangan psikis, fisik, mental, dan sosial terhadap anak yang melakukan tindak pidana. Dengan demikian penelitian dengan judul:

“Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Kesusilaan Terhadap Anak Berkonflik Dengan Hukum di Luar Sistem Peradilan Pidana (Studi Kasus di Polrestabes Medan)”, layak untuk dikaji dan dianalisis lebih lanjut.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka adapun permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan, sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan hukum terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum (ABH) tindak pidana kesusilaan dalam menghadapi permasalahan hukum?

2. Bagaimana hambatan dan upaya dalam penyelesaian perkara tindak pidana kesusilaan di luar sistem peradilan pidana terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum (ABH)?

(40)

3. Bagaimana penyelesaian perkara tindak pidana kesusilaan di luar sistem peradilan pidana terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum (ABH) di Polrestabes Medan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian berdasarkan rumusan masalah ini adalah :

1. Untuk mengkaji dan menganalisis pengaturan hukum terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum (ABH) tindak pidana kesusilaan dalam menghadapi permasalahan hukum.

2. Untuk mengkaji dan menganalisis hambatan dan upaya dalam penyelesaian perkara tindak pidana kesusilaan di luar sistem peradilan pidana terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum (ABH).

3. Untuk mengkaji dan menganalisis penyelesaian perkara tindak pidana kesusilaan di luar sistem peradilan pidana terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum (ABH) di Polrestabes Medan.

D. Manfaat Penelitian

Kegunaan atau manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Akademis

(41)

Penelitian ini bermanfaat sebagai pemenuhan salah satu syarat menyelesaikan studi magister ilmu hukum pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

2. Manfaat Teoritis

Penelitian ini nantinya diharapkan secara teoritis dapat bermanfaat untuk memberikan masukan untuk perkembangan kemajuan ilmu hukum, khususnya hukum pidana, serta menambah wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai penanganan dan perlindungan Anak Berkonflik Hukum dengan pendekatan mediasi atau di luar dari sistem peradilan pidana.

3. Manfaat Praktis

a. Dapat dijadikan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan mahasiswa, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, praktisi hukum, dan pemerintah dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan penanganan dan perlindungan Anak Berkonflik Hukum dengan pendekatan mediasi.

b. Dapat memberikan masukan bagi pemerintah, Aparat Penegak Hukum (APH), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan masyarakat pada umumnya tentang hal-hal yang harus dilakukan dalam penanganan dan perlindungan Anak Berkonflik Hukum dengan pendekatan mediasi.

(42)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran terhadap penelitian yang ada pada Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan Perpustakaan Universitas-Universitas di seluruh Indonesia telah ditemukan beberapa judul penelitian terkait tentang penyelesaian perkara pidana anak di luar sistem peradilan pidana yakni:

Tabel 2 Penelitian Terdahulu

NO. JUDUL PENELITIAN PERMASALAHAN NAMA

MAHASISWA

1. Disertasi berjudul :

PENGEMBANGAN KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA (SUATU STUDI DI KOTA MEDAN)

Lulus pada 24 November 2008

- Ketentuan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dikaitkan dengan prinsip-prinsip Beijing Rules, pelaksanaan sistem peradilan anak di Indonesia pasca berlakunya Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;

- Konsep diversi dan restorative justice menyelesaikan tindak pidana yang dilakukan oleh anak;

- Prospek pengembangan konsep diversi dan restorative justice dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana anak di Indonesia.

MARLINA 018101024/HK

Program Studi Doktor Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

Medan

2. Tesis berjudul : PELAKSANAAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN KEPOLISIAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA

PENCABULAN (STUDI DI POLRESTA MEDAN) Lulus tahun 2017

- Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana pencabulan dan penyebab meningkatnya tindak pidana pencabulan di Kota Medan;

- Kebijakan Polresta Medan dalam menjalankan pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan terhadap anak pelaku tindak pidana pencabulan dilihat dari UU No. 2 Tahun 2002 dan UU No. 11 Tahun 2012;

- Hambatan-hambatan yang terjadi dalam penyidikan Kepolisian khususnya terhadap tindak pidana pencabulan di Kota Medan.

WILSON RAJA TAMBUNAN 127005060/HK

Program Studi Magister Hukum FH-USU, Medan

3. Tesis berjudul : TINDAK PIDANA TERKAIT ASUSILA BERDASARKAN HUKUM PIDANA (KUHP) DI INDONESIA DAN SYARIAT ISLAM DI ACEH (STUDI PENELITIAN DI KOTA BANDA ACEH) Diterbitkan tahun 2016

- Faktor yang mempengaruhi masih adanya tindak pidana asusila terkait prostitusi di Kota Banda Aceh;

- Syariat Islam di Aceh menindak pelaku-pelaku tindak pidana asuslila terkait prostitusi;

- Perbandingan dalam penerapan sanksi hukum antara hukum pidana ( KUHP), dan Syariat Islam di Aceh dalam upaya meminimalisir tindak pidana asusila terkait prostitusi.

ARIVAI NAZARUDDIN

SEMBIRING Program Studi Magister Hukum FH-USU, Medan

4. Tesis berjudul :

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK PELAKU TINDAK PIDANA (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN NO.

27/PID.SUS-

ANAK/2014/PN.MDN

Diterbitkan tanggal 28 April 2016

- Alasan perlunya diberikan perlindungan hukum terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana;

- Bentuk perlindungan hukum yang bagaimana yang perlu diberikan kepada Anak sebagai Pelaku tindak pidana; dan - Pertanggungjawaban Anak Pelaku tindak pidana berdasarkan

putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 27/Pid.Sus- Anak/2014/PN.Mdn, jo Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor : 4/PID.SUS-ANAK/ 2015/PT.MDN.

KHAIRUL ANWAR HASIBUAN Program Studi Magister Ilmu Hukum FH-USU,

Medan

Gambar

Tabel 2  Penelitian Terdahulu

Referensi

Dokumen terkait

Because the levels of stunting are greater (median values are lower) that the levels of underweight (as can be seen in figure 4), the median value of weight for height,

Pemilihan bahan koagulan yang ramah lingkungan merupakan faktor penting dalam pemurnian air sehingga tidak mencemari lingkungan.Tujuan penelitian ini adalah

Seseorang anak yang telah termotivasi untuk belajar sesuatu, akan berusaha mempelajarinya dengan baik dan tekun, dengan harapan memperoleh hasil yang baik. Dalam hal

Berdasarkan Gambar 5.6 dapat dilihat wordcloud untuk kata yang paling banyak muncul secara keseluruhan. Dengan menggunakan wordcloud dapat dilihat dengan lebih jelas

DESAIN MANUFAKTUR HORIZONTAL FIRE TUBE BOILER DENGAN KAPASITAS 250 KG/JAM BERBAHAN BAKAR SOLAR.. TEGUH FERY SAKSONO

Penelitian yang dilakukan di Tiga Nusa ini bertujuan mengetahui strategi pemasaran pariwisata Tiga Nusa (Pulau Nusa Penida, Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan di

Pada tingkat pelayanan ini, tersedia ruang yang cukup bagi pejalan kaki untuk memilih kecepatan berjalan normal dan mendahului pejalan kaki lain terutama yang bergerak

Jakarta, March 23, 2008 – PT Indosat Tbk (“Indosat”) announced today that Moody's Investors Service (Moody’s), Standard & Poor's Ratings Services (Standard & Poor’s)