BAB V : KESIMPULAN & SARAN
B. Saran
Hambatan berikutnya yang dihadapi Penyidik Unit PPA Satreskrim Polrestabes Medan dalam hal struktur hukum bahwasanya dukungan terhadap sarana dan prasarana pada Unit PPA masih kurang memadai, antara lain:
1) “Tempat penyidikan yang sempit,
2) Perlengkapan alat-alat kantor yang tidak ditanggung dari pemerintah, seperti: peralatan komputer; rak lemari untuk menyimpan berkas-berkas;
serta meja dan kursi sehingga penyidik melakukan swadaya sendiri,
3) Adanya penggunaan ruang penyidikan yang kurang maksimal, terbatasnya dana atau biaya untuk mengadakannya”.142
141 Adapun luas Kota Medan adalah 265,1 km2 dan adapun jumlah penduduk Kota Medan pada Agustus 2019 adalah berjumlah 2,3 juta jiwa. Lihat: Badan Pusat Statistik (BPS), “Jumlah Penduduk Medan Terbanyak di Sumatera Utara, Agustus 2019,
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/10/15/jumlah-penduduk-medan-terbanyak-di-sumatera-utara., diakses pada Senin, tanggal 11 Mei 2020.
142 Wawancara dengan Iptu. Rakhmat Darmawan, Kanit PPA Polrestabes Medan, pada hari Selasa, tanggal 25 Februari 2020 di Medan.
Dalam upaya pelacakan terhadap tersangka/pelaku, maka Penyelidik Unit PPA harus berkoordinasi dengan Satreskrim Polrestabes Medan untuk penggunaan peralatan pelacakan. Dalam hal ini melakukan “cek posisi” tidak bisa dilakukan pada Unit PPA, karena peralatannya belum didukung. Peralatan (IT) untuk pelacakan hanya ada pada Satreskrim Polretabes Medan, sehingga Unit PPA perlu berkoordinasi dengan Satreskrim.
Adapun suasana Kantor Unit PPA Satreskrim Polrestabes Medan, dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 1
Suasana Kantor Unit PPA Satreskrim Polrestabes Medan
Ruang Penyidikan Ruang Konseling
Sumber : Dokumentasi Unit PPA Satreskrim Polrestabes Medan, 2020.
Walaupun suasana Kantor Unit PPA Satreskrim Polrestabes Medan telah mendukung untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh Anak Berkonflik dengan Hukum, namun ruang tahanan yang ada belum menempatkan Anak Berkonflik dengan Hukum sesuai dengan hak-hak hukumnya. Hak-hak Anak Berkonflik denegan Hukum tersebut dalam hal ruang tahanan adalah mendapatkan ruang tahanan tersendiri yang terpisah dari ruang
tahanan orang dewasa.
Saat ini, yang dilakukan oleh Unit PPA Satreskrim Polrestabes Medan untuk melakukan upaya paksa terhadap Anak Berkonflik dengan Hukum adalah menempatkannya pada satu blok khusus, namun tetap bergabung dengan tahanan dewasa. Padahal, anggaran kepolisian pada tahun 2020 mencapai Rp. 104,7 triliun.143 Sebenarnya bukannya ruang tahanan tersebut tidak ada, namun pihak polri sendiri yang tidak ada kemauan atau tidak adanya ”political will” untuk menempatkan hak-hak anak pada tempatnya.
c. Anggaran/Keuangan
Adapun anggaran penyelidikan dan penyidikan Unit PPA Satreskrim Polrestabes Medan, sebagai berikut:
Tabel 4
Anggaran/Keuangan Penyelidikan dan Penyidikan Unit PPA Satreskrim Polrestabes Medan
2016 2017 2018
Per Tahun Rp. 120.000.000,- Rp. 178.944.000,- Rp. 333.207.000,- Per Bulan Rp. 10.000.000,- Rp. 14.912.000,- Rp. 27.767.250,- Per Kasus Rp. 1.000.000,- Rp. 1.491.200,- Rp. 2.776.725,- Sumber : Data Keuangan dari Polrestabes Medan, 2020.
Berdasarkan Tabel 4 di atas, maka anggaran/keuangan yang digunakan untuk penyelidikan dan penyidikan pada Unit PPA Satreskrim Polrestabes Medan pada tahun 2016 s.d. 2018 telah terjadi peningkatan yang signifikan. Jika, berangkat dari
143 Harian Kompas, “Capai Rp. 104,7 Triliun, Anggaran Polri 2020 Terbesar Ketiga”, diterbitkan pada hari Jumat, tanggal 27 September 2019.
anggaran Polri TA. 2020 yang berjumlah Rp. 104,7 triliun sebagai anggaran ketiga terbesar dari keseluruhan kementerian/lembaga negara,144 seharusnya Polri sanggup menyediakan ruang tahanan anak.
Anggaran yang sedemikian besar tersebut juga dapat digunakan untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pelaporan tindak pidana kesusilaan terhadap Anak Berhadapan dengan Hukum. Selain itu, juga dapat digunakan untuk meningkatkan kepercayaan publik kepada Polri dengan melakukan pelayanan masyarakat melalui media sosial agar kepercayaan masyarakat dan stigma buruk masyarakat terhadap Polri dapat sedikit demi sedikit berubah ke arah yang lebih baik.
3. Hambatan Budaya Hukum
Perkembangan teknologi sebagai bagian dari kebudayaan, yaitu: media seperti surat kabar, majalah, tabloid, televisi, radio, internet, handphone, yang membawa dampak negatif kepada masyarakat. Masyarakat secara leluasa mengakses hal-hal yang negatif berkaitan dengan pornografi yang berakhir pada tindak pidana kesusilaan terhadap Anak Berhadapan dengan Hukum, sehingga dapat mempengaruhi seseorang untuk berperilaku negatif dan melawan hukum dengan melakukan tindak pidana asusila terhadap anak.145
144 Ibid.
145 Wawancara dengan Iptu. Rakhmat Darmawan, Kanit PPA Polrestabes Medan, pada hari Selasa, tanggal 25 Februari 2020 di Medan.
Faktor masyarakat yang menjadi penghambat penanggulangan tindak pidana kesusilaan terhadap anak, yaitu:
a. Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang bagaimana dan kepada siapa mencari perlindungan hukum bagi anak-anak mereka yang menjadi korban tindak pidana kesusilaan terhadap anak dibawah umur.
b. Rendahnya pendidikan terhadap pelaku kejahatan tindak pidana kesusilaan yang dilakukan anak dibawah umur cenderung membuatnya tidak berfikir panjang dalam melakukan perbuatan melawan hukum, sehingga ia melakukan perbuatan tersebut tanpa mempertimbangkan hukuman yang dapat dikenakan padanya.146
Hambatan budaya hukum yang dihadapi penyidik dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana kesusilaan terhadap Anak Berhadapan dengan Hukum, antara lain:
a. Mencari saksi guna penyidikan karena ada stigma yang berkembang dalam masyarakat bahwasanya untuk menjadi saksi pada kasus tindak pidana selalu dipersulit.
b. Kondisi korban yang masih dalam keadaan trauma atau korban merasa malu dengan aibnya, sehingga korban tidak terbuka untuk mengatakan hal yang sebenarnya atas perlakuan pencabulan yang baru saja dialaminya.
146 Ibid.
c. Pihak penyidik kesulitan mendapatkan keterangan dari korban yang memiliki trauma berat, ditambah lagi korban merupakan anak di bawah umur, sehingga membutuhkan orang terdekatnya (ibu) untuk memberikan pengertian kepada dirinya. Trauma berat yang dialami seorang anak sangat rentan untuk dimintai keterangan atas tindak pidana kesusilaan terhadap dirinya yang dialaminya. Untuk korban yang mengalami trauma psikis yang berat adalah korban dari tindak pidana kekerasan seksual sodomi atau pencabulan.147
Dari perspektif pelaku, hambatan yang dihadapi penyidik, antara lain:
a. Ketika pelaku tindak pidana kesusilaan terhadap anak mengetahui bahwa dirinya telah dilaporkan oleh keluarga korban ke kepolisian. Pelaku yang telah dilaporkan biasanya akan melarikan diri dan bersembunyi di daerah/kota tertentu sebelum ditangkap oleh penyidik.
b. Penyidik sering mengalami kesulitan dalam mencari pelaku yang telah melarikan diri dan menjadi buronan tersebut. Pihak penyidik dari Polrestabes Medan telah melakukan koordinasi dengan Polda Sumut untuk melacak para pelaku dari tindak pidana kesusilaan terhadap anak yang sering melarikan diri (disembunyikan orang tuanya) ke seluruh daerah di Sumatera Utara. Jika tidak membuahkan hasil yang nyata, maka pihak Polda Sumut akan berbagi
147 Ibid.
informasi DPO kepada seluruh Polres yang ada di Indonesia untuk melacak keberadaan pelaku yang melarikan diri tersebut.148
c. Kurang mendapatkan informasi tentang pelaku juga semakin mempersulit pihak penyidik dalam menemukan pelaku. Pihak penyidik kesulitan melacak keberadaan pelaku yang melarikan diri tanpa mengetahui wajah dan sinyal handphone yang telah tidak aktif. Informasi yang didapatkan oleh para penyidik hanyalah sekedar informasi seputar ciri-ciri fisiknya, alamat rumah, nomor telepon, keberadaan sementara dari pelaku, sehingga penyidik sulit mengetahui secara jelas dikarenakan juga banyaknya informasi yang diberikan dari kerabat pelaku, korban, keluarga korban seringkali berbeda dengan hasil penelusuran pihak penyidik di lapangan.149
B. Upaya Penyidik Dalam Menghadapi Hambatan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Kesusilaan di Luar Sistem Peradilan Pidana Terhadap Anak Berkonflik dengan Hukum
Adapun upaya Penyidik Unit PPA Satreskrim Polrestabes Medan dalam menghadapi hambatan penyelesaian perkara tindak pidana kesusilaan di luar sistem peradilan pidana terhadap Anak Berkonflik dengan Hukum, adalah sebagai berikut:
1. Upaya Substansi Hukum
Dalam hal hambatan substansi hukum yang dihadapi Penyidik Unit PPA Satreskrim Polrestabes Medan bahwasanya belum ada database terkait Anak
148 Ibid.
149 Ibid.
Berkonflik dengan Hukum yang pernah melakukan tindak pidana kesusilaan, sehingga sulit untuk mengetahui apakah Anak Berkonflik dengan Hukum tersebut pernah melakukan tindak pidana kesusilaan, atau tidak, maka adapun upaya substansi hukum yang ditempuh Penyidik adalah hanya berkoordinasi dengan Balai Pemasyarakatan Klas I Medan Jalan Asrama Gang Jayak Km. 6,5 No. 33, Helvetia, Kecamatan Medan Helvetia, Kota Medan – 20123, Sumatera Utara.150
Dalam hal penyelidikan dan penyidikan tindak pidana kesusilaan terhadap Anak Berkonflik dengan Hukum dianggap lengkap, maka Penyidik (dhi.
Kasatreskrim) atas usulan dari Kanit PPA mengajukan permohonan penelitian / observasi kepada Balai Pemasyarakatan Klas I Medan terhadap Anak Berkonflik dengan Hukum. Pada pemeriksaan/observasi akan dinilai apakah Anak Berkonflik dengan Hukum tersebut pernah melakukan tindak pidana kesusilaan, atau tidak.
Database yang dimiliki oleh Bapas Klas I Medan hanya terhadap Anak Berkonflik dengan Hukum yang sudah menjalani hukuman sanksi pidana penjara ataupun sanksi tindakan.
2. Upaya Struktur Hukum
Dalam kaitannya dengan hambatan struktur hukum, maka adapun upaya Penyidik Unit PPA Satreskrim Polrestabes Medan dalam mengatasi hambatan struktur hukum terkait dengan dukungan sarana dan prasarana yang tidak memadai
150 Ibid.
adalah dengan mengupayakan penyediaan sarana dan prasarana dengan cara swadaya. Swadaya artinya bahwa setiap penyidik disarankan untuk memiliki komputer/laptop sendiri, mesin cetak/printer sendiri, dan meja/kursi serta lemari berkas sendiri. 151 Hal ini untuk mendukung penyelesaian penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Anak Berkonflik dengan Hukum di luar sistem peradilan pidana.
3. Upaya Budaya Hukum
Dalam hal upaya budaya hukum untuk mengatasi hambatan budaya hukum yang ada, maka Penyidik Unit PPA Satreskrim Polrestabes Medan, melakukan upaya-upaya sebagai berikut152:
a. Faktor Masyarakat, terkait dengan :
1) Rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai perlindungan hukum bagi anak-anak sebagai korban tindak pidana kesusilaan;
2) Rendahnya pendidikan pelaku kejahatan tindak pidana kesusilaan;
Adapun upaya Satreskrim Polrestabes Medan adalah dengan memberikan pembimbingan kepada Kelurahan-kelurahan setempat mengenai tata cara pelaporan tindak pidana dan menyampaikan dampak-dampak dan konsekuensi hukum bagi
151 Wawancara dengan Penyidik Unit PPA Satreskrim Polrestabes Medan pada hari Selasa, tanggal 25 Februari 2020 di Medan.
152 Ibid.
Anak Berkonflik dengan Hukum jika melakukan tindak pidana kesusilaan.153 b. Faktor Teknis Penyelidikan dan Penyidikan, terkait dengan :
1) Kesulitan mencari saksi-saksi karena adanya stigma negatif pada masyarakat yang berurusan dengan kepolisian selalu dipersulit;
2) Trauma psikis korban sehingga tidak terbuka memberikan keterangan;
Adapun upaya Penyidik Unit PPA Satreskrim Polrestabes Medan dalam mengatasi hambatan budaya hukum tersebut dengan memberikan pemahaman tentang hukum pembuktikan kepada keluarga korban untuk memberikan keterangan dengan sebenarnya-benarnya di hadapan penyidik, tanpa ada yang ditutup-tutupi.154
c. Faktor Pelaku, terkait dengan : Anak pelaku disembunyikan oleh keluarganya, maka Penyidik Unit PPA Satreskrim Polrestabes Medan dengan cepat melakukan penangkapan sesuai prosedur hukum yang berlaku.
153 Ibid.
154 Ibid.
BAB IV
PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA KESUSILAAN DI LUAR SISTEM PERADILAN PIDANA TERHADAP ANAK BERKONFLIK
HUKUM DI POLRESTABES MEDAN
A. Konsep Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana
Dalam menanggapi tindak pidana yang terjadi, maka diperlukan usaha yang tepat bagi semua pihak yang terlibat dan bersentuhan dengan tindak pidana tersebut untuk melakukan proses penyelesaiannya. Proses penyelesaian anak pelaku tindak pidana secara penal dan non-penal.
1. Restorative Justice (Keadilan Restoratif)
Ahli kriminologi berkebangsaan Inggris, Tonry F. Marshall dalam tulisannya sebagaimana dikutip Marlina, mengemukakan bahwa definisi dari restorative justice adalah155 :
“Restorative justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come together to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offence and its implications for the future”.
(terjemahan bebas: “restorative justice adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan”).
Untuk menggambarkan definisi tersebut dalam tulisannya yang lain, Tonry F.
Marshall sebagaimana dikutip Marlina membuat segitiga restorative justice, sebagai berikut:156
155 Marlina, Op.cit., hlm. 170.
156 Ibid.
Gambar 2
Segitiga Restorative Justice
Sumber : Marlina, “Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Suatu Studi di Kota Medan)”, Disertasi, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2006, hlm. 170.
Restorative justice bersifat merekatkan peradilan pidana dengan konteks sosialnya yang menekankan daripada mengisolasinya secara tertutup. Definisi yang dikemukakan Tonry F. Marshall sebagaimana dikutip Marlina tersebut sangat membantu dalam membahas restorative justice meskipun definisi tersebut masih menimbulkan sejumlah pertanyaan : siapa saja para pihak yang berkepentingan dan terlibat dalam pelanggaran (parties with a stake in the offence); bagaimana mereka mencapai penyelesaian bersama (collective resolution); apakah maksud dari menghadapi akibat buruk dari pelanggaran (deal with the aftermath of the offence);
J
V O
C
Keterangan : V : Victim (Korban) O : Offender (Pelaku) C : Community (Lingkungan) J : Justice (Keadilan)
dan apakah yang menjadi implikasi di masa yang akan datang yang perlu dipertimbangkan (implications for the future).157
2. Prinsip dan Tujuan Restorative Justice
Menurut Susan Sharpe seorang ahli berkebangsaan Kanada pada tahun 1998 sebagaimana dikutip Marlina memberikan penjelasan kembali terhadap definisi restorative justice yang dikemukakan oleh Tonry F. Marshall di atas. Menurut Susan Sharpe mengusulkan ada 5 (lima) prinsip kunci dari restorative justice, yaitu158:
1) “Restorative justice invites full participation and consensus (restorative justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus), artinya korban dan pelaku dilibatkan dalam perjalanan proses secara aktif, selain itu juga membuka ruang dan kesempatan bagi orang lain yang merasa kepentingan mereka telah terganggu atau terkena imbas (contoh tetangga yang secara tidak langsung merasa tidak aman atas kejahatan tersebut).
Undangan untuk ikut serta pada dasarnya tidak mengikat/wajib hanya sebatas sukarela, walaupun demikian tentunya pelaku harus diikutkan, kalau tidak, maka akan berjalanlah proses peradilan tradisional.
2) Restorative justice seeks to heat what is broken (restorative justice berusaha meyembuhkan kerusakan/kerugian yang ada akibat terjadinya tindakan kejahatan). Sebuah pertanyaan penting tentang restorative justice adalah apakah korban butuh untuk disembuhkan, untuk menutupi dan menguatkan kembali perasaan nyamannya. Korban harus diberikan informasi yang sejelas-jelasnya mengenai proses yang akan dijalaninya, mereka perlu mengutarakan dan mengungkapkan perasaan yang dirasakannya kepada orang yang telah merugikannya atau pelaku kriminal dan mereka mengungkapkan hal itu untuk menunjukkan bahwa mereka butuh perbaikan.
Pelaku juga butuh penyembuhan, mereka butuh untuk dibebaskan dari kebersalahan dan ketakutan, mereka butuh pemecahan masalah mengenai
157 Marlina, Op.cit., hlm. 171.
158 Ibid., hlm. 176-178.
konflik apakah yang sebenarnya dialami atau terjadi padanya yang menjadi perulaan sehingga dia terlibat atau bahkan melakukan kejahatan, dan mereka butuh kesempatan untuk memperbaiki semuanya.
3) Restorative justice seeks full and direct accountability (restorative justice memberikan pertanggungjawaban langsung dari pelaku secara utuh).
Pertanggungjawaban bukan hal yang mudah untuk dilakukan, karena pelaku harus mau menunjukkan fakta pengakuannya bahwa dia atau mereka melanggar hukum, dia juga harus menunjukkan kepada orang-orang yang telah dirugikannya atau melihat bagaimana perbuatannya itu merugikan orang banyak. Dia harus atau diharapkan menjelaskan perilakunya sehingga korban dan masyarakat dapat menanggapinya. Dia juga diharapkan untuk mengambil langkah nyata untuk memperbaiki kerusakan dan kerugian tadi.
4) Restorative justice seeks to recinite what has been devided (restorative justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat yang telah terpisah atau terpecah karena tindakan kriminal). Tindakan kriminal telah memisahkan atau memecah orang dengan masyarakatnya, hal ini merupakan salah satu bahaya yang disebabkannya. Proses restorative justice berusaha menyatukan kembali seseorang atau beberapa orang yang telah terpecah dengan masyarakat ataupun orang yang telah mendapatkan penyisihan atau stigmatisasi, dengan melakukan rekonsiliasi antara korban dengan pelaku dan mengintegrasikan keduanya kembali ke dalam masyarakat. Perspektif restorative justice adalah julukan “korban”
dan “pelaku” tidak melekat selamanya. Masing-masing harus punya masa depan dan dibebaskan dari masa lalunya. Mereka tidak dideklarasikan sebagai peran utama dalam kerusakan, tapi mereka juga disebabkan atau akibat yang menjadi objek penderita.
5) Restorative justice seeks to strengthen the community in order to prevent further harms (restorative justice memberikan ketahanan kepada masyarakat agar dapat mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya). Kejahatan memang menimbulkan kerusakan dalam masyarakat, tapi selain daripada itu kejahatan juga membuka tabir keadilan pada norma yang sudah ada untuk menjadi jalan awal memulai keadilan yang sebenarnya bagi semua mayarakat. Karena pada dasarnya semua peristiwa kejahatan dapat disebabkan oleh pengaruh keadaan di luar kehendak diri seseorang, sehingga terciptalah “korban”, “pelaku”, dan perilaku kriminal. Hal tersebut bisa juga disebabkan karena sistem
yang ada dalam masyarakat yang mendukung terjadinya kriminal seperti rasial, keadilan ekonomi, yang bahkan di luar perilaku seseorang pada sarnya sama sekali. Oleh sebab itu, korban dan pelaku harus kembali ditempatkan untuk menjaga keutuhan masyarakat dan membuat tempat yang adil dan aman untuk hidup”.
Draft Bill yang dipublikasikan di Afrika pada tahun 1998 sebagaimana dikutip Marlina merupakan langkah reformasi hukum terhadap peradilan anak di Afrika Selatan. Di dalamnya terdapat prinsip restorative justice yaitu menganjurkan rekonsiliasi, restitusi dan pertanggungjawaban dengan melibatkan pelaku, orang tua pelaku atau keluarga korban dan juga masyarakat. Tindakan yang diperlukan dalam pelaksanaannya, adalah159 :
1) “Membantu perkembangan anak dalam kepekaan yang bermartabat dan bernilai. Mengubah pandangan dan perhatian anak terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar orang lain dengan menjaga rasa tanggung jawab anak terhadap perbuatannya dan melindungi kepentingan korban dan masyarakat.
2) Mendukung rencana rekonsiliasi dalam proses restorative justice.
3) Keterlibatan orang tua, keluarga, korban dan masyarakat dalam proses peradilan anak untuk mendukung reintegrasi anak dalam syarat yang ditentukan”.
Pelaksanaan dari Draf Bill tersebut diantaranya tindakan alternatif dalam penangkapan, kewajiban penilaian oleh petugas, penyelidikan pendahuluan diselesaikan dalam 48 jam setelah penangkapan.160
159 Ibid., hlm. 178-179.
160 Ibid., hlm. 179
Adapun beberapa prinsip yang terkait dalam konsep restorative justice yang termuat dalam draft Declaration of Basic Principles on The Use of Restorative Justice Programmer in Criminal Matters, antara lain161 :
1) “Program restorative justice berarti beberapa program yang menggunakan proses restorative atau mempunyai maksud mencapai hasil restorative (restorative outcome).
2) Restorative outcome adalah sebuah kesepakatan yang dicapai sebagai hasil dari proses restorative justice. Contoh : restitution, community service dan program yang bermaksud memperbaiki korban dan masyarakat dan mengembalikan korban dan/atau pelaku.
3) Restorative process dalam hal ini adalah suatu proses dimana korban, pelaku, dan masyarakat yang diakibatkan oleh kejahatan berpartisipasi aktif bersama-sama dalam membuat penyelesaian masalah kejahatan dan dicampuri oleh pihak ketiga. Contoh : proses restorative mediation, conferencing, dan circles.
4) Parties dalam hal ini adalah korban, pelaku, dan individu lain atau anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh kejahatan yang dilibatkan dalam program restorative justice.
5) Facilitator dalam hal ini adalah pihak ketiga yang menjalankan fungsi memfasilitasi partisipasi keikut-sertaan korban, pelaku dalam pertemuan”.
Definisi tersebut penting karena tiap negara memiliki bentuk restorative justice yang berbeda-beda akan tetapi memiliki makna/maksud yang sama, yaitu untuk mengembalikan korban, pelaku, dan masyarakat pada kondisi semula sebelum tindak pidana terjadi. Bazemore dan Umbreit tahun 1999, Brown dan Polk tahun 1996 sebagaimana dikutip Marlina mengemukakan bahwa perlunya melibatkan semua pihak yang berkepentingan dengan pelanggaran tertentu, datang bersama
161 Ibid., hlm. 179-180.
untuk menyelesaikan secara penuh bagaimana mencapai kesepakatan untuk mengatasi akibat pelanggaran yang terjadi dan pengaruhnya di masa datang.162
Menurut Van Ness sebagaimana dikutip Marlina, untuk mengembangkan konsep restorative justice harus memperhatikan beberapa hal, yaitu163 :
1) “Kejahatan pada dasarnya merupakan konflik antara individu-individu yang menghasilkan keterlukaan pada korban, masyarakat dan pelaku itu sendiri, hanya secara efek lanjutannya merupakan pelanggaran hukum.
2) Tujuan lebih penting dari proses sistem peradilan pidana haruslah melakukan rekonsiliasi para pihak-pihak yang bertujuan untuk memperbaiki kerusakan yang ada pada korban akibat dari kriminal yang terjadi.
3) Proses sistem keadilan pidana haruslah memfasilitasi partisipasi aktif dari korban, pelaku dan masyarakat dan bukan didominasi oleh negara dengan mengeluarkan orang komponen yang terlibat dengan pelanggaran dari proses penyelesaian”.
Pendekatan restorative justice telah menjadi model dominan dari sistem peradilan pidana dalam kebanyakan sejarah manusia. Penyelesaian perkara pada umumnya merupakan penerapan ganti rugi oleh pelaku dan keluarganya kepada korban atau keluarganya untuk menghindari konsekuensi dari balas dendam.164
Restorative justice merupakan suatu proses penyelesaian perkara yang dilakukan di luar peradilan formal. Restorative justice mempunyai cara berfikir dan paradigma baru dalam memandang sebuah tindak kejahatan yang dilakukan oleh seorang manusia tanpa semata-mata memberikan hukuman pidana. Penanganan terhadap tindak pidana dapat dilakukan dengan memperhitungkan pengaruh yang
162 Ibid., hlm. 180.
163 Ibid., hlm. 181.
164 Ibid., hlm. 181.
lebih luas terhadap korban, pelaku dan masyarakat. Konsep restorative justice dimulai dan berawal dari pengertian bahwa kejahatan adalah sebuah tindakan melawan orang atau masyarakat dan berhubungan dengan pelanggaran/ pengrusakan terhadap suatu norma hukum yang berlaku.165
Pelanggaran yang dilakukan tidak hanya merupakan perbuatan merusak tatanan hukum (law breaking) yang telah dibuat negara, tapi juga merusak tatanan masyarakat (society value), karena tindak kejahatan yang terjadi menyangkut kepentingan korban, lingkungan, masyarakat luas dan negara. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Howard Zehr pada tahun 1990 yang dikutip Marlina, menerangkan bahwa kepentingan semua pihak yang bersentuhan dengan
Pelanggaran yang dilakukan tidak hanya merupakan perbuatan merusak tatanan hukum (law breaking) yang telah dibuat negara, tapi juga merusak tatanan masyarakat (society value), karena tindak kejahatan yang terjadi menyangkut kepentingan korban, lingkungan, masyarakat luas dan negara. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Howard Zehr pada tahun 1990 yang dikutip Marlina, menerangkan bahwa kepentingan semua pihak yang bersentuhan dengan