BAB I PENDAHULUAN
E. Keaslian Penelitian
Sebelum memulai penulisan ini, terlebih dahulu melakukan penelitian mengenai belum pernah dilakukan oleh pihak lain untuk mendapatkan gelar akademik (Sarjana, Magister, dan/atau Doktor) baik pada Universitas Sumatera Utara maupun pada Perguruan Tinggi Lainnya, jika ada tulisan yang sama dengan yang ditulis oleh penulis sehingga diharapkan tulisan ini menjadi pelengkap dari tulisan yang sudah ada sebelumnya, yaitu:
1. Tesis yang disusun oleh Doan Rakasiwi, dengan judul “Penerapan Lembaga Actio Pauliana Pada Boedel Pailit Sebagai Upaya Perlindungan Bagi Kreditur (Study Kasus Putusan Pengadilan Niaga No.Reg:
07/Pdt.Sus-Actio Pauliana/2015/Pengadilan.Niaga.Mdn)”.
a. Bagaimana lembaga Actio Pauliana dapat memberikan perlindungan hukum kepada kreditur terhadap boedel pailit dan tindakan debitur yang merugikan kreditur (study kasus Putusan Pengadilan Niaga Medan No.Reg: 07/Pdt.Sus-Actio Pauliana/2015/Pengadilan. Niaga.
Mdn?
b. Mengapa pengajuan permohonan penerapan actio pauliana masih sulit dilaksanakan pada perkara kepailitan?
2. Tesis yang disusun oleh Eki Nurjana, dengan judul “Tinjauan Yuridis Atas Putusan Pengadilan Niaga Nomor: 01/A.P/2007/PN.Niaga.SMG Tentang Perkara Actio Pauliana Dalam Kepailitan”.
a. Apakah pertimbangan Hakim Pengadilan Niaga dalam memutus perkara nomor: 01/A.P/2007/PN.Niaga.SMG tentang Actio Pauliana dalam kepailitan tersebut telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku?
b. Apakah Pengadilan Niaga wenang menangani perkara Acti Pauliana dalam Kepailitan?
3. Tesis yang disusun oleh Ivo Donna Yusvita, dengan judul “Pembatalan Perbuatan Hukum Debitur Dalam Perkara Kepailitan PT. Fiskar Agung Tbk.”
a. Apakah pembatalan perbuatan hukum debitur (Actio Pauliana) yang digunakan sebagai sarana untuk pembatalan perkara kepailitan sesuai dengan ketentuan UUK dan PKPU?
b. Upaya hukum apa saja yang dapat dilakukan terkait dengan permohonan pembatalan perbuatan hukum debitur (Actio Pauliana)?
Adapun penelitian yang sebelumnya tersebut berbeda permasalahan yang akan diteliti dan dengan demikian, maka penelitianini dapat dijamin keasliannya dan dapat dipertanggung-jawabkan dari segi isinya.
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsional 1. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis,
mengenai sesuatu atau kasus atau permasalahan (problem) yang dapat dijadikan
sebagai bahan perbandingan, pandangan teoritis, yang mungkin ia setujui atau pun
tidak disetujuinya dan ini merupakan masukan eksternal bagi pembaca.17
Di dalam penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis sebagaimana yang
dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro bahwa “untuk memberikan landasan yang
mantap pada umumnya setiap penelitian haruslah selalu disertai dengan
pemikiran-pemikiran teoritis”.18
Menurut Kaelan M.S, “landasan teori pada suatu penelitian merupakan dasar-dasar operasional penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian adalah
17Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), halaman. 80.
18Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Ghalia, 1982), halaman. 37.
bersifat starategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian”.19
a. Teori tersebut berguna untuk mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau di uji kebenarannya.
Oleh sebab itu, kerangka teoritis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan sebagai berikut:
b. Teori sangat berguna bagi mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan defenisi-defenisi.
c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtiar dari pada hal-hal yang diteliti.
d. Teori memberikan kemung kinan pada prediksinya fakta mendatang, oleh karena itu telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tesebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.20
Teori digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini diantaranya adalah:
a. Teori Perlindungan Hukum
Menurut Fitzgerald sebagaimana dikutip Satjipto Raharjo awal mula dari munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelajari oleh Plato, Aristoteles (murid Plato), dan Seno (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa
“hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral”.21
19Kaelan M.S, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma Bagi Pengembangan Penelitian Indiplisine Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semioyika, Sastra, Hukum dan Seni), (Yogyakarta: Paradigma, 2005), halaman. 239.
20Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), halaman. 2.
21Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2000), halaman. 53.
Fitzgerald menjelaskan teori perlindungan hukum Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan sebagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan dilain pihak. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi. Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat”.22
perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam kepentingan tersebut. selanjutnya dikemukakan pula bahwa salah satu sifat dan sekaligus merupakan tujuan dari hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat.
Soetjipto Rahardjo mengemukakan bahwa,
23
Menurut pendapat Philipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif.
Perlindungan hukum yang preventif dan represif. Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan putusan berdasarkan
22Ibid., halaman. 54.
23Soetjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia, (Bandung: Alumni, 2004), halaman. 121.
diskresi. Perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penanganan di lembaga peradilan.24
Perlindungan hukum bagi rakyat meliputi dua hal, yakni
Sesuai dengan uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa fungsi hukum adalah melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun penguasa. Selain itu berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Perlindungan hukum yang diberikan bagi rakyat Indonesia merupakan implementasi atas prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada pancasila dan prinsip negara hukum yang berdasarkan pancasilla. Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum. Hampir seluruh hubungan hukum harus dapat perlindungan dari hukum.
Oleh karena itu, terdapat banyak macam perlindungan hukum.
25
a. Perlindungan hukum preventif, yakni bentuk perlindungan hukum dimana kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapat sebelum keputusan pemerintah mendapat bentuk yang defenitif.
Dalam hal ini terkait regulasi terhadap permasalahan yang terjadi dalam prakteknya yang berhubungan dengan gugatan actio pauliana.
:
b. Perlindungan hukum represif, yakni bentuk perlindungan hukum dimana dalam penyelesaian sengketa.26
24Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: PT. Bima Ilmu, 1987), halaman. 41.
25Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Bandung: Citra AdityaBakti, 2009), halaman.
38.
Kurator sebagai pihak yang diberikan kewenangan dalam UU Kepailitan dan PKPU untuk membereskan dan mengurus harta pailit, dapat mengajukan gugatan actio pauliana kepada pengadilan untuk membatalkan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur pailit yang merugikan para kreditur. Penyelesaian sengketa dari pengadilan tersebut dapat memberikan perlindungan terhadap hak kreditur dalam perkara kepailitan.
Dalam melindungi hak kreditur, maka kreditur yang diwakili oleh kurator dapat mengajukan gugatan actio pauliana sebagai bentuk keberatan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh debitur pailit. Pengajuan gugatan actio pauliana sebagai bentuk upaya hukum yang dapat membatalkan pengalihan aset pailit yang dilakukan oleh debitur pailit kepada pihak ketiga. Perlu adanya anlisis yang lebih jauh lagi terhadap permasalahan tersebut, sehingga hak kreditur dapat lebih terlindungi. Teori perlindungan hukum sangat tepat sebagai teori yang digunakan untuk menerangkan dan mengkaji bentuk gugatan Actio Pauliana yang dapat memberikan perlindungan hukum yang dilaksanakan oleh kurator terhadap kreditur.
b. Teori Keadilan
Teori keadilan menurut Aristoteles ialah “perlakuan yang sama bagi mereka yang sederajat di depan hukum, tetap menjadi urusan tatanan politik untuk menentukan siapa yang harus diperlakukan sama atau sebaliknya”.27
27Lawrence. M. Friedman, American Law an Introduction, Terjemahan Wisma Bhakti, (Jakarta: PT. Tata Nusa, 2001), halaman. 4.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, dalam pembuatan hukum fungsinya sebagai pengatur kehidupan bersama manusia, oleh karena itu hukum harus melibatkan aktifitas dengan kualitas yang berbeda-beda. Perbuatan hukum merupakan awal dari bergulirnya proses pengaturan tersebut, merupakan momentum yang dimiliki keadaan tanpa hukum dengan keadaan yang diatur oleh hukum. Hukum sebagai perwujudan nilai-nilai yang mengandung arti, bahwa
kehadirannya adalah untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.28
Teori keadilan melahirkan teori kemanfaatan, teori hukum tentang kemanfaatan yang berasal dari Jeremy Bentham yang menerapkan salah satu prinsip dari aliran utilitarianisme ke dalam lingkungan hukum, yaitu: manusia akan bertindak untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan. Bentham selanjutnya berpendapat bahwa pembentuk undang-undang hendaknya dapat melahirkan undang-undang yang dapat mencerminkan keadilan bagi semua individu. Dengan berpegang pada prinsip tersebut diatas, perundangan itu hendaknya dapat memberikan kebahagiaan yang terbesar bagi sebagian besar masyarakat (the greates happiness for the greatest number).29
28Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Hukum, (Suarakarta: Universitas Muhammadiyah, 2004), halaman. 60.
29Lili Rasjidi dan Ira Tania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2002), halaman. 61.
Teori kemanfaatan merupakan rasionalisme dari keadilan, bila keadilan telah tercapai otomatis akan memberikan manfaat bagi para pihak. Dalam hal ini kewenangan Kurator mengajukan gugatan actio pauliana, diharapkan dapat memberikan kemanfaatan baik bagi perlindungan terhadap hak kreditur dalam harta pailit debitur. Selain itu, pencantuman lebih jelas terkait kualifikasi debitur yang beritikad baik didalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, dapat memberikan keadilan terhadap kreditur melalui putusan yang akan diberikan oleh Hakim Pengadilan Niaga terkait gugatan actio pauliana yang diajukan oleh Kurator.
Perlu adanya kualifikasi dari itikad baik debitur yang termuat dalam aturan-aturan hukum terkait kepailitan, agar lebih jelas bentuk dari itikad baik yang dilakukan oleh debitur. Karena banyak debitur yang melakukan pembelaan diri didepan pengadilan dengan beralih kepada itikad baik, padahal pengalihan aset yang dilakukan debitur mengurangi harta pailit dan merugikan kreditur. Oleh karena itu perlu adanya pengkajian terhadap bentuk kualifikasi dari itikad baik tersebut dengan menggunakan teori keadilan.
c. Teori Perjanjian
Perjanjian dalam bahasa Belanda diistilahkan dengan overeenkomst dan dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan contract diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata.30 Van Dunne sebagai pencetus teori baru mengartikan perjanjian adalah suatu hubungan antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.31
30Tan Tong Kie, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000), halaman. 402.
31Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), halaman. 42.
Teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus melihat perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya.
Hukum tentang perjanjian diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perikatan. Mempunyai sifat sistem terbuka, maksudnya dalam hukum perikatan / perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada subyek hukum untuk mengadakn perjanjian yang telah berisi apa saja, asalkan tidak melanggar perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.
Syarat sahnya suatu atau sebuah perjanjian terdapat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang berbunyi, “sahnya sebuah perjanjian diperlukan empat syarat: sepakat mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan sebab yang halal.”32
Keempat syarat tersebut merupakan syarat yang mutlak yang harus ada atau dipenuhi dari suatu perjanjian, tanpa syarat-syarat tersebut maka perjanjian dianggap tidak pernah ada. Kedua syarat yang pertama yaitu kesepakatan para pihak dan kecakapan untuk membuat membuat suatu perikatan dinamakan syarat subyektif karena mengenai orang-orang atau subyek yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir yaitu suatu hal tertentu dan sebab yang halal, dinamakan syarat obyektif dari perbuatan hukum yang dilakukan.
33
1) Asas Konsensualisme
Apabila syarat subyektif tidak terpenuhi salah satu atau keduanya, maka perjanjian dapat dituntut pembatalannya. Dalam arti, bahwa salah satu pihak mempunya hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang menuntut pembatalan tersebut, adalah salah satu pihak yang dirugikan atau pihak yang tidak cakap. Sedangkan dalam hal apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum.
Adapun asas-asas hukum yang perlu diperhatikan oleh para pihak dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian adalah sebagai berikut:
32Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), halaman. 466.
33Ibid
Perajanjian terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak (concensus)dari pihak-pihak. Perjanjian pada pokoknya dapat dibut bebas, tidak terikat bentuk dan tercapai tidak secara formil tetapi cukup melalui konsesus belaka.34 Pada asas konsensualisme ini diatur dalam Pasal 1320 butir (1) KUHPerdata yang berarti bahwa pada asasnya perjanjian itu timbul atau sudah dianggap lahir sejak detik tercapainya konsesus atau kesepakatan.35 Perjanjian itu sudah sah dan mempunyai akibat hukum sejak saat tercapai kata sepakat antara para pihak, mengenai pokok perjanjian. Dari asas ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang dibuat itu dapat secara lisan maupun secara tulisan berupa akta jika dikehendaki sebagai alat bukti.36
2) Asas kebebasan berkontrak
Undang-undang menetapkan pengecualian, bahwa untuks sahnya suatu perjanjian diharukan perjanjian itu diadakan secara tertulis (perjanjian perdamaian atau dengan Akta Notaris).
Asas kebebasan berkontrak adalah perjanjian para pihak menurut kehendak bebas membuat perjanjian dan setiap orang bebas mengikat diri dengan siapapun yang ia kehendaki, para pihak juga dapat dengan bebas menentukan cakupan isi serta persyaratan dari suatu perjanjian dengan ketentuan bahwa perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa, baik ketertiban umum maupun kesusilaan.37
34Evi Ariyani, Hukum Perjanjian, (Yogyakarta: Ombak, 2013), halaman. 13
35R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 2001), halaman. 15
36Muhammad Abdul Kadir, Hukum Perikatan, (Bandung: Alumni, 1982), halaman. 85
37Evi Ariyani, Op. Cit, halaman. 13
Artinya asas kebebasan berkontrak berarti bahwa setiap orang dapat menciptakan perjanjian-perjanjian baru yang tidak dikenal dalam perjanjian yang
bernama dan isinya menyimpang dari perjanjian yang bernama yang diatur dalam undang-undang.38
3) Asas Pacta Sunt Servanda
Asas kebebasan berkontrak diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Asas Pacta Sunt Servanda adalah suatu bentuk yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pihak tersebut secara penuh sesuai isi kontrak tersebut, mengikat secara penuh suatu kontrak yang dibuat para pihak tersebut oleh hukum kekuatannya sama dengan kekuatan mengikat undag-undang.39
4) Asas itikad baik
Pada asas ini tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dapat disimpulkan bahwa ketentuan yang telah disepakati bersama oleh para pihak akan mempunyai kekuatan mengikat yang sama bagi kedua belah pihak dan harus ditaati, bilaman terjadi penyimpangan dan pelanggaran oleh salah satu pihak dalam perjanjian, maka akan berakibat pihak dapat mengajukan tuntutan atas dasar wanprestasi atau adanya ingkar janji.
Mengenai asas itikad baik dalam perjanjian ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyebutkan bahwa “perjanjian itu harus dilakukan dengan itikad baik”, J. Satrio memberikan penafsiran itikad baik yaitu bahwa
38J.Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, (Bandung: Alumni, 1999), halaman. 36.
39Evi Ariyani, Op. Cit, halaman. 12-13
perjanjian harus dilaksanakan sesuai dengan kepantasan dan kepatutan, karena itikad baik adalah suatu pengertian yang abstrak dan kalaupun akhirnya seseorang mengerti apa yang dimaksud dengan itikad baik, orang masih sulit untuk merumuskannya.40
Asas itikad baik mempunyai dua pengertian yaitu itikad baik subyektif dan itikad baik obyektif. Asas itikad baik dalam pengertian subyektif dapat diartikan sebagai sikap kejujuran dan keterbukaan seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum. Itikad baik dalam arti obyektif berarti bahwa suatu perjanjian yang dibuat haruslah dilaksanakan dengan mengindahkan norma-norma kepailitan dan kesusilaan atau perjanjian tersebut dilaksanakan dengan apa yang dirasakan sesuai dengan masyarakat dan keadilan.41
2. Kerangka Konsepsional
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi dalam penelitian adalah untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan kenyataan, sedangkan konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang disebut dengan operasional.42
Kegunaan dari adanya konsepsi agar ada pegangan dalam melakukan penelitian atau penguraian, sehingga dengan demikian memudahkan bagi orang lain untuk memahami batasan-batasan atau pengertian-pengertian yang dikemukakan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini untuk menemukan atau
40J.Satrio, Hukum Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), halaman. 365.
(selanjutnya disebutkan sebagai J. Satrio 2)_
41Mulyadi Nur, Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Kaitannya Dengan Perjanjian Baku, Pojok Hukum, Tanggal 10 Oktober 2015, halaman. 23
42Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), halaman. 28.
mendapatkan pengertian atau penafsiran dalam tesis ini, maka berikut ini adalah defenisi operasional sebagai batasan tentang objek yang diteliti:
a. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur pailit yang mengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.43
b. Analisis yuridis. Analisis merupakan usaha untuk menggambarkan pola-pola secara konsisten dalam data sehingga hasil analisis dapat dipelajari dan diterjemahkan serta memiliki arti.44 Sedangkan yuridis menurut kamus hukum, berasal dari kata Yuridisch yang berarti menurut hukum atau dari segi hukum.45
c. Actio Pauliana merupakan hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang kreditur mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk pembatalan segala perbuatan yang tidak diwajibkan untuk
Analisis yuridis adalah kegiatan untuk mencari dan memecahkan komponen-komponen dari suatu permasalahan untuk dikaji lebih dalam serta kemudian menghubungkannya dengan hukum, kaidah hukum serta norma hukum yang berlaku sebagai pemecahan permasalahannya.
43Pasal 1 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
44Surayin, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Analisis, (Bandung: Yrama Widya, 2001), halaman. 10.
45 M.Marwan dan Jimmy P, Kamus Hukum, (Surabaya: Reality Publisher, 2009), halaman.
651.
dilakukan oleh debitur terhadap harta kekayaannya yang diketahui oleh debitur perbuatan tersebut merugikan kreditur.46
Pengaturan Actio Pauliana terdapat dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 49 UU Kepailitan dan PKPU sedangkan dalam KUHPerdata diatur pada pasal 1341.
d. Perlindungan hukum, adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban, perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan masayarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk.47 e. Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian
undang-undang yang dapat ditagih dimuka Pengadilan.
48
G. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang ada dalam tesis ini adalah:
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Ronald Dworkin menyebutnya sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu “suatu penelitian yang
46Sutan Remy Sjahdeni, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Cet 4, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009), halaman. 250.
47Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI Press, 1984), halaman. 133.
48Pasal 1 Ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process.”49
Jenis penelitian yuridis normatif digunakan untuk analisis terhadap gugatan Actio Pauliana sebagai bentuk perlindungan terhadap hak kreditur, ditinjau dari Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU dalam putusan Pengadilan Niaga. Putusan yang digunakan adalah putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Pada saat membahas putusan pengadilan sebagai bahan hukum primer telah dikatakan bahwa yang memiliki kekuatan hukum adalah pada bagian ratio decidendi-nya, sehingga dalam pendekatan kasus yang perlu dipahami peneliti adalah ratio decidend tersebut.50
Sifat penelitiannya adalah deskriptif analisis. Deskriptif artinya menggambarkan, menelaah, menjelaskan suatu peraturan hukum baik dalam teori maupun praktek pelaksanaan dari hasil penelitian dilapangan.51
Penelitian ini adalah untuk menganalisa peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang berkaitan dengan gugatan actio pauliana sebagai bentuk
Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan suatu penjelasan yang mendalam terhadap Gugatan Actio Pauliana Sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap Kreditur Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU (Studi Kasus Putusan Nomor 018PK/Pdt.Sus/2007).
49Ronald Dworkin dalam Bismar Nasution, “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, disampaikan pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum
49Ronald Dworkin dalam Bismar Nasution, “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, disampaikan pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum