BAB I PENDAHULUAN
G. Metode Penelitian
2. Sumber Data
Pengumpulan data mempunyai hubungan erat dengan sumber data, karena dengan pengumpulan data akan diperoleh data yang diperlukan untuk selanjutnya dianalisis sesuai kehendak yang diharapkan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data kepustakaan atau library research.53
Penelitian kepustakaan atau library research yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahwa kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.54
a. Bahan hukum primer,
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat berupa Peraturan Perundang-undangan, putusan Pengadilan, yang terdiri dari:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek);
2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
3) Putusan Pengadilan Niaga Medan Nomor: 018PK/Pdt.Sus/2007
b. Bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer55
52 Muhammad Abdul Kadir, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), halaman. 82.
53Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Suatu Pengantar, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2003), halaman. 10-11.
54Soerjono Soekanto dan Sri Manudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindo Indonesia, 1995), halaman. 38-39.
sebagaimana yang terdapat
dalam kumpulan pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan primer yang terdiri dari: buku-buku, jurnal, majalah, artikel.
c. Bahan hukum tersier yang memberikan informsi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder56
Selain sumber data diatas, untuk mendukung data sekunder dilakukan wawancara secara langsung kepada Hakim Pengadilan Niaga dan Kurator.
, seperti: kamus, berbagai masalah hukum yang berkaitan dengan dokumen elektronik, esiklopedia, dan lain sebagainya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh suatu pembahasan sesuai dengan yang terdapat didalam tujuan penyusunan tesis maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini dengan cara sebagai berikut, yaitu:
a. Studi kepustakaan (library research), yaitu pengumpulan data dengan melakukan penelaahan kepada bahan pustaka atau data sekunder yang relevan meliputi bahan hukum primer, sekunder dan bahan hukum tersier.
b. Penelitian lapangan (field research), yaitu sebagai data penunjang dalam penelitian ini juga didukung dengan penelitian lapangan (field research) untuk mendapatkan data primer guna akurasi terhadap hasil yang dipaparkan. Melalui wawancara dengan informan yang dipandang tepat yaitu 2 (dua) orang Hakim Pengadilan Niaga Medan, dan 2 (dua) orang Kurator Pengadilan Niaga Medan. Sebelum dilakukan wawancara
55Ibid., halaman.13.
56 Ibid.
dengan informan tersebut maka terlebih dahulu dipersiapkan pedoman wawancara. Pedoman wawancara ini mengacu pada substansi masalah dan penelitian. Sehingga ketika dilakukan wawancara bisa dapat mengetahui jawaban atas permasalahan yang diajukan kepada para informan itu.
4. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara yaitu studi dokumen (documentary study) dan pedoman wawancara.
Studi dokumen (documentary study) yaitu penelusuran kepustakaan untuk memperoleh data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan Hakim.
Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.57
Pedoman wawancara adalah cara untuk memperoleh informasi dengan bertanya langsung pada diwawancarai, wawancara merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi.58
57Ediwarman, Monografi Metodologi Penelitian Hukum (Yogyakarta: Genta Publishing, 2016), halaman. 81.
58Ibid., halaman. 87.
Adapun yang akan diwawancarai dalam rangka mengetahui Gugatan Actio Pauliana Sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap Kreditur Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Putusan Pengadilan
Niaga Medan Nomor: 018PK/Pdt.Sus/2007 adalah Hakim Pengadilan Negeri Medan dan Kurator.
5. Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.59 Dalam penelitian hukum normatif, pengolahan data dilakukan dengan cara sistematika terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematis berarti membuat klafikasi terhadap bahan-bahan hukum tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan kostruksi. Kegiatan yang dilakukan dalam analisis dan penelitian Hukum Nomatif dengan cara data yang diperoleh dianalisis secara analisis Kualitatif yaitu masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan subjek/objek penelitian. Mendiskripsikan fakta-fakta itu pada tahap pemulaan tertuju usaha menemukan gejala-gejala secara lengkap didalam aspek yang diteliti agar jelas keadaan atau kondisinya.60 Cara ini tidak terlalu diarahkan untuk menemukan pertautan pada kehendak dari pembentukan undang-undang saat membentuknya dan kemudian dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistematis guna memperoleh kejelasan penyelesaian lalu ditarik kesimpulan guna menjawab permasalahan penelitian secara deduktif yaitu dari hal yang bersifat umum menuju hal yang bersifat khusus.61
59Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), halaman. 101.
60Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), halaman. 105.
61B. Arief Sidharta (Penerjemah), Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, (Bandung: PT. Rafika Aditama, 2009), halamana. 56.
BAB II
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR PADA GUGATAN ACTIO PAULIANA
A. Gugatan Actio Pauliana dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU Actio pauliana adalah “hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang kreditur dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk pembatalan segala perbuatan yang tidak diwajibkan untuk dilakukan oleh debitur terhadap harta kekayaannya yang diketahui oleh debitur perbuatan tersebut merugikan kreditur.”62
Istilah actio pauliana berasal dari bahasa Romawi yang menunjuk kepada semua upaya hukum yang dapat menghasilkan batalnya perbuatan debitur yang meniadakan tujuan Pasal 1131 KUH Perdata
Hak tersebut merupakan perlindungan yang diberikan oleh hukum kepada kreditur atas perbuatan debitur yang dapat merugikan kreditur.
Hak tersebut diatur oleh Pasal 1341 KUH Perdata.
63. Berkaitan dengan kepailitan misalnya, tindakan debitur, yang mengetahui akan dinyatakan pailit, melakukan perbuatan hukum berupa memindahkan haknya atas sebagian dari harta kekayaannya kepada pihak lain dan perbuatan tersebut dapat merugikan para krediturnya.64
62Sutan Remy Sjahdenini, Op. Cit, halaman. 362
63Pasal 1131 KUHPerdata menyatakan bahwa “segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.”
64Lontoh, Rudy A.; Kailimang, Denny & Ponto, Benny, Penyelesaian Utang Piutang:
Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Penerbit Alumni, 2001), halaman. 302.
1. Latar Belakang Eksistensi Actio Pauliana
Kata-kata actio pauliana berasal dari orang Romawi, yang maksudnya untuk menunjukkan kepada semua upaya hukum yang digunakan untuk menyatakan batal tindakan debitur yang meniadakan arti Pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu debitur yang merasa bahwa ia akan dinyatakan pailit melakukan tindakan hukum untuk memindahkan hak atas sebagian kekayaannya atau secara lain merugikan para krediturnya.65
Pada dasarnya actio pauliana adalah suatu legal recourse yang diberikan kepada Kurator untuk membatalkan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh debitur pailit sebelum penempatan pernyataan pailit yang merugikan kepentingan-kepentingan krediturnya. “Dalam proses kepailitan kadang kala terjadi, debitur melakukan perbuatan-perbuatan hukum yang mengakibatkan kerugian bagi kreditur-krediturnya”.66
Syarat actio pauliana dalam kepailitan adalah bahwa debitur harus telah melakukan suatu suatu rechtshandeling atau perbuatan hukum sebelum pernyataan pailit diucapkan; bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, debitur mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur; bahwa pada saat perbuatan dilakukan pihak dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur; dan debitur melakukan perbuatan hukum itu, walaupun tidak ada kewajiban debitur untuk melakukannya.
Pengaturan actio pauliana dalam kepailitan diatur mulai Pasal 41 sampai dengan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
67
65Kartini Mulyadi, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Serta Dampak Hukumnya Dalam: Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2002), halaman. 173.
66Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan, Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan, (Bandung: CV. Bandar Maju, 1999), halaman. 37.
67Kartini Mulyadi, Kreditur Preferens dan Kreditur Separatis Dalam Kepailitan, (Bandung:Alumni, 2002), halaman. 304. (selanjutnya disebutkan sebagai Kartini Mulyadi 2)
Terkait kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum debitur yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditur, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. Pembatalan tersebut hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, debitur dan pihak dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui dan sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur. dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 adalah perbuatan hukum debitur yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan/atau karena Undang-Undang.68
Kata “actio” dipertanyakan karena tidak perlu adanya tuntutan/gugatan untuk membatalkan suatu tindakan pauliana, karena tindakan hukum itu memang batal (nietig) dan bukannya dapat dibatalkan atau “vernietigbaar”. Karenanya tidak perlu diajukan gugatan untuk menyatakan suatu tindakan Pauliana batal, asalkan Kurator dapat membuktikan bahwa pada saat debitur melakukan tindakan hukum tersebut, ia dengan pihak dengan siapa debitur melakukan tindakan tersebut, mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatannya itu akan merugikan kreditur.69
Pada umumnya seseorang boleh leluasa untuk memperlakukan harta bendanya semaunya. Akan tetapi mungkin sekali perlakuan terhadap harta benda ini dapat merugikan orang lain, yang secara tidak langsung mempunyai hak atas barang-barang yang diperlakukan itu, yaitu seorang kreditur. Seperti diketahui
68Pasal 41 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
69 Kartini Mulyadi, Op.Cit., halaman. 303.
segala kewajiban debitur untuk membayar utang, baik sebagai pelaksanaan perikatan maupun sebagai pembayaran ganti rugi, pada akhirnya harus dilaksanakan secara menyita barang-barang milik orang lain. Untuk kemudian dilelang dan hasil pelelangan ini dipakai untuk membayar kreditur-kreditur. Jika debitur itu dengan tidak berkewajiban, menghambur-hamburkan uangnya secara pemberian hadiah atau pembelian barang-barang mewah, berfoya-foya, maka mungkin sekali ini akan merugikan para kreditur, jika pada saatnya barang debitur ini harus dipergunakan untuk membayar utang.70
Salah satu syarat sehingga actio pauliana dapat dilakukan adalah adanya suatu “perbuatan hukum” yang dilakukan oleh debitur. Yang dimaksud dengan perbuatan hukum adalah setiap tindakan debitur yang mempunyai akibat hukum.
Misalnya debitur menjual, melakukan hibah atas hartanya itu, baik perbuatan Ketentuan actio pauliana sesungguhnya dimaksudkan untuk melindungi kepentingan kreditur yang dirugikan akibat perbuatan hukum yang dilakukan oleh debiturnya. Ketentuan actio pauliana dalam hukum kepailitan substansinya sama dengan actio pauliana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mulai dari Pasal 1341 sampai dengan Pasal 1345, hanya bedanya dari segi jangka waktu yaitu actio pauliana dalam kepailitan dilakukan dalam jangka waktu 1(satu) tahun sedangkan actio pauliana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata jangka waktunya adalah 4 (empat) bulan.
70Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit., halaman. 39.
tersebut bersifat timbal balik (seperti jual beli) ataupun bersifat unilateral (seperti hibah).71
a. Berbuat sesuatu
Minimal ada 2 (dua) elemen yang mesti dipenuhi agar perbuatan tersebut dapat disebut sebagai perbuatan hukum, yaitu sebagai berikut:
b. Mempunyai akibat hukum
Melakukan sesuatu yang tidak mempunyai akibat hukum atau tidak melakukan sesuatu, akan tetapi mempunyai akibat hukum tidak dianggap sebagai perbuatan hukum sehingga tidak terkena actio pauliana.
Selain itu, syarat lain agar actio pauliana dapat diajukan adalah bahwa perbuatan hukum tersebut merugikan kreditur. jadi, ada akibat terhadap kreditur akibat tindakan debitur tersebut. Perbuatan yang merugikan kreditur tersebut, antara lain:
a. Penjualan barang yang harganya dibawah harga pasar;
b. Memberikan suatu barang sebagai hibah atau hadiah;
c. Melakukan sesuatu yang dapat menambah kewajiban atau beban kepada harta pailit. Misalnya, memberikan garansi (oleh anak perusahaan) kepada utang yang diambil oleh perusahaan holding;
d. Melakukan sesuatu yang dapat menyebabkan kerugian terhadap ranking kreditur. Misalnya, memberikan pembayaran utang atau jaminan utang kepada kreditur tertentu saja.72
Pasal 1341 Kitab Undang-undang Hukum Perdata bahwa
setiap kreditur dapat mengajukan pembatalan atas segala perbuatan yang tidak wajib dilakukan oleh debitur dengan nama apapun juga yang merugikan kreditur sepanjang dapat dibuktikan bahwa ketika perbuatan itu dilakukan baik debitur maupun pihak dengan atau untuk siapa debitur itu berbuat mengetahui bahwa perbuatan itu merugikan para kreditur.
71Ibid
72Munir Fuady, Op. Cit., halaman. 91.
Kurator satu-satunya pihak yang diberikan kemampuan oleh undang-undang untuk dapat membatalkan perbuatan hukum yang dilaksanakan oleh debitur pailit dengan menggugat secara actio pauliana. Kemampuan ini didapatkan dari kedudukan Kurator sebagai pihak yang bertugas untuk melindungi dan mengurus harta pailit untuk kepentingan seluruh pihak yang berkepentingan dengan harta pailit.73
2. Proses Berlaku Gugatan Actio Pauliana
Menurut Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, “untuk kepentingan harta pailit, kepada pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum debitur yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditur, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.” Lebih lanjut ditentukan dalam Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yakni:
Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, debitur dan pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur”.74
73Randy Suwenli, Tinjauan Yuridis Terhadap Actio Pauliana Dalam Melindungi Boedel Pailit, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2014), halaman. 3.
74Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Menurut penjelasan Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang dimaksud dengan “pihak dengan siapa perbuatan itu dilakukan” dalam ketentuan ini, termasuk pihak untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut diadakan.
Menurut Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah perbuatan hukum debitur yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan/atau karena undang-undang.
Diberikan contoh dalam penjelasan Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, bahwa “perbuatan yang wajib dilakukan karena undang-undang, misalnya kewajiban pembayaran pajak.”
Seperti dikemukakan oleh Fred B.G. Tumbuan, “bila kita simak Pasal 41 UU Nomor 4 Tahun 1998 (yang isinya sama dengan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) terdapat lima persyaratan yang harus dipenuhi (agar actio pauliana itu berlaku). Persyaratan tersebut ialah:
a. debitur telah melakukan suatu perbuatan hukum;
b. perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan debitur;
c. perbuatan hukum dimaksud telah merugikan kreditur;
d. pada saat melakukan perbuatan hukum tersebut debitur mengetahui atau sepatutnya mengetahui perubahan hukum tersebut akan merugikan kreditur; dan
e. pada saat melakukan perbuatan hukum tersebut dilakukan pihak dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur.”75
Tugas kurator untuk membuktikan telah terpenuhinya kelima persyaratan tersebut.
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang itu, patut
75Lontoh, Rudy A.;Kailimang, Denny & Ponto, Benny, Op. Cit., halaman, 129.
dipertanyakan bagaimana halnya apabila pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan hanya debitur yang mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur, sedangkan pihak dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan ternyata beritikad baik. Hal ini tidak diatur oleh Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Apabila debitur itu adalah salah satu perseroan terbatas, maka berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, pengurus dari perseroan terbatas itu harus bertanggungjawab secara pribadi (lihat Pasal 85 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas) menurut Pasal 42 UUK-PKPU:
Apabila perbuatan hukum yang merugikan kreditur dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum pernyataan pailit diajukan sedangkan perbuatan hukum itu tidak wajib dilakukan debitur, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, debitur dengan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) dalam hal perbuatan tersebut:
a. Merupakan perjanjian dimana kewajiban debitur jauh melebihi kewajiban pihak dengan siapa perjanjian tersebut dibuat.
b. Merupakan pembayaran atas, atau pemberian jaminan untuk utang yang belum jatuh tempo dan/atau belum atau tidak dapat ditagih.
c. Dilakukan oleh debitur perorangan, dengan atau untuk kepentingan:
1) Suami atau istrinya, anak angkat, atau keluarganya sampai derajat ketiga;
2) Suatu badan hukum dimana debitur atau pihak sebagaimana dimaksud pada angka satu adalah anggota direksi atau pengurus atau apabila pihak tersebut, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, ikut serta secara langsung, atau tidak langsung dalam kepemilikan badan hukum tersebut lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal yang disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut.
d. Dilakukan oleh debitur yang merupakan badan hukum dengan atau untuk kepentingan:
1) Anggota direksi atau pengurus dari debitur, suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga, dari anggota direksi atau pengurus tersebut;
2) Perorangan, baik sendiri atau bersama-sama dengan suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga, yang ikut serta secara langsung dalam kepailitan pada debitur lebih dari 50% (limah puluh persen) dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut;
3) Perorangan yang suami atau istri, anak angkat, atau keluarganya sampai derajat ketiga, yang ikut serta secara langsung dalam kepemilikan pada debitur lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut.
e. Dilakukan oleh debitur yang merupakan badan hukum dengan atau untuk kepentingan badan hukum lainnya, apabila:
1) Perorangan anggota direksi atau pengurus pada kedua badan usaha tersebut adalah orang yang sama;
2) Suami atau istri, anak angkat atau keluarga sampai derajat ketiga dari perorangan anggota direksi atau pengurus debitur yang merupakan anggota direksi atau pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebaliknya;
3) Perorangan anggota direksi atau pengurus, atau anggota badan pengawas pada debitur, atau suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga, baik sendiri maupun bersama-sama, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan badan hukum lainnya lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut, atau sebaliknya;
4) Debitur adalah anggota direksi atau pengurus badan hukum lainnya, atau sebaliknya;
5) Badan hukum yang sama, atau perorangan yang sama baik bersama, atau tidak dengan suami atau istrinya, dan atau para anak angkatnya dan keluarganya sampai derajat ketiga ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam badan hukum tersebut paling kurang sebesar 50% (limah puluh persen) dari modal yang disetor;
f. Dilakukan oleh debitur yang merupakan badan hukum dengan atau terhadap badan hukum lain dalam satu group dimana debitur adalah anggotanya.
g. Ketentuan dalam huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f berlaku mutatis mutandis dalam hal ini dilakukan oleh debitur dengan atau untuk kepentingan:
1) Anggota pengurus dari satu badan hukum, suami atau istri, anak angkat, atau keluarganya sampai derajat ketiga dari anggota pengurus tersebut;
2) Perorangan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan suami atau isteri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga yang ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam pengendalian badan hukum tersebut76
Dengan ketentuan Pasal 42 UU Kepailitan dan PKPU, maka bukan saja perbuatan hukum yang dilakukan setelah debitur dinyatakan pailit dapat dibatalkan, tetapi juga perbuatan hukum yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit ditetapkan dapat juga dibatalkan.
Pasal 42 UU Kepailitan dan PKPU mengatur dengan perinci jenis perbuatan hukum yang apabila dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit ditetapkan, dengan syarat:
a. Perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan oleh debitur;
b. Debitur dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan merugikan kreditur; dan
c. Perbuatan tersebut memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 42 huruf a sampai dengan g UU Kepailitan dan PKPU.77 Menurut ketentuan Pasal 47 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU, yang dapat mengajukan tuntutan berdasarkan ketentuan Pasal 41 sampai dengan Pasal 46 UU Kepailitan dan PKPU hanyalah Kurator. Tidak ada ketentuan yang memungkinkan bagi kreditur untuk mengajukan tuntutan. Menurut penafsiran terhadap ketentuan Pasal 47 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU itu, apabila kreditur menginginkan agar dilakukan permohonan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 UU Kepailitan dan PKPU sampai dengan Pasal 46 UU
76Pasal 42 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
77 Sutan Remy Sjahdeini, Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan (Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran), (Jakarta : Prenadamedia Group, 2016), halaman. 367. (selanjutnya disebutkan sebagai Sutan Remi Sjahdeni
77 Sutan Remy Sjahdeini, Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan (Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran), (Jakarta : Prenadamedia Group, 2016), halaman. 367. (selanjutnya disebutkan sebagai Sutan Remi Sjahdeni