• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Viktimologi Mengenai Hukuman Denda Pada Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak Kekerasan Seksual Terhadap Anak

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA MENGENAI HUKUMAN DENDA DALAM KASUS KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK

B. Kebijakan Viktimologi Mengenai Hukuman Denda Pada Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak Kekerasan Seksual Terhadap Anak

Viktimologi berasal dari bahasa latinVictima yang berarti korban dan logos yang berarti ilmu. Secara terminologis, viktimologi berarti suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban, dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial.169

Korban dalam lingkup viktimologi memilki arti yang luas karena tidak hanya terbatas pada individu yang secara nyata menderita kerugian, tetapi juga kelompok, korporasi,swasta, maupun pemerintah, sedangkan yang dimaksud dengan akibat yang

169 Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum terhadap korban Kejahatan, (Yogyakarta:

Graha Ilmu, 2010). Halaman. 43

penimbulan korban adalah sikap atau tindakan korban dan atau pihak pelaku serta mereka yang secara langsung atau tidak terlibat dalam terjadinya suatu kejahatan.170

Viktimologi suatu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari suatu viktimisasi sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial. Perumusan ini membawa akibat perlunya suatu pemahaman, yaitu :171

1. Sebagai suatu permasalahan manusia menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional

2. Sebagai suatu hasil interaksi akibat adanya suatu interrelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi.

3. Sebagai tindakan seseorang individu yang dipengaruhi oleh unsure structural social tertentu suatu masyarakat tertentu.

Viktimologi mencoba memberi pemahaman serta mencerahkan permasalahan kejahatan dengan mempelajari para korban kejahatan, proses viktimisasi dan akibat-akibatnya dalam rangka menciptakan kebijaksanaan dan tindakan pencegahan dan menekan kejahatan secara lebih bertanggung jawab.172

Viktimologi memberikan pengertian yang lebih baik tentang korban kejahatan sebagai hasil perbuatan manusia yang menimbulkan penderitaan-penderitaan mental, fisik, dan sosial.Tujuan nya tidak untuk menyanjung-menyanjung para korban, tetapi hanya untuk memberi penjelasan mengenai peranan sesungguhnya para korban dan

170Ibid, Halaman. 43

171 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan,(Jakarta : Akademik Presindo, 1993). Halaman.40 , dilihat di Buku Siswanto Sunarso, Viktimologi dalam sistem peradilan Pidana,( Jakarta : Sinar Grafika, 2015). Halaman. 2

172 Rena Yulia, Op.Cit. Halaman. 44

hubungan mereka dengan para korban.Penjelasan ini adalah penting dalam rangka mengusahakan kegiatan-kegiatan dalam rangka mencegah kejahatan sebagai viktimisasi, mempertahankan keadilan sosial dan peningkatan kesejahteraan mereka yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam suatu viktimisasi.

Khususnya, dalam bidang informasi dan pembinaan untuk tidak menjadi korban kejahatan structural dan non structural.173

Pentingnya korban memperoleh perhatian utama dalam membahas kejahatan disebabkan korban sering kali memiliki peranan yang sangat penting bagi terjadinya suatu kejahatan. Diperolehnya pemahaman yang luas dan mendalam tentang korban kejahatan, diharapkan dapat memudahkan dalam menemukan upaya penanggulangan kejahatan yang dapat akhirnya akan bermuara pada menurunnya kuantitas dan kualitas kejahatan174

Berangkat dari pemikiran Viktimologi yang dipengaruhi oleh kriminologi, maka defenisi korban mempunyai makna sempit dalam kajian kriminologi, maka defenisi korban atau siapakah korban mempunyai makna sempit dalam kajian kriminologi klasik dan positivistis. Makna korban dalam arti sempit sebagaimana dikemukakan perkins sebagai : a crime is any social harms defined and punishable by law.Dalam pengertian legal definitions of crime, maka pengertian korban adalah sebagai penderitaan/ kerugian yang dialami orang atau sekelompok orang karena

173Ibid,Halaman. 81

174 Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan Realita, (Jakarta : Raja grafindo Persada, 2007), Halaman.34

perbuatan jahat sebagaimana yang telah dirumuskan dan dapat dipidana dalam hukum pidana.175

Dalam pengertian/ defenisi korban secara sosiologis, maka keberadaan korban jauh lebih kompleks daripada konsep korban dalam hukum pidana. Hal ini tidak lain akibat pengkonstruksian pemahaman terhadap pengkonstruksian kejahatan itu sendiri oleh kekuasaan melalui lembaga dan pranata hukum khususnya dalam peradilan pidana, dan akhirnya memberikan pengkonstruksian korban.176

1. Perbuatan yang tidak tercantum dalam KUHP ataupun tidak melanggar undang-undang, namun sangat merugikan masyarakat.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tidak semua perbuatan yang mengakibatkan kerugian dan kerusakan masyarakat dapat dipidana. Pendefenisian korban secara luas mengkaji proses sosial yang mempengaruhi perbuatan dan bekerjanya lembaga dan pranata untuk mempersepsikan dan mereaksi terjadinya korban.

Hal ini sejalan dengan pemikiran agar ruang lingkup viktimologi jangan dibatasi oleh hukum pidana. Kongres PBB keenam di caracas 1980 dalam pembicaraan mengenai Crime an tha abuse of power, offences and offenders beyond the reach of the law memberikan makna pula pada perkembangan viktimologi.

Pengertian diluar jangkauan hukum harus diartikan sebagai :

175 Richard Quinney, Who is the victim/dalam Drapkin, Viano,Emilio, Victimology,(Toronto-London : Lexington Books d.c. Heath and Company Lexington, 1974). Halaman.103 didalam Buku Maya Indah, Op.Cit.Halaman. 27

176 Ibid. Halaman. 27

2. Perbuatan yang telah terjangkau oleh undang-undang, akan tetapi tidak terjangkau oleh penegak hukum karena sifat penerapan hukumnya yang selektif dan beragam.

Berdasarkan pemikiran terebut, dapat dikemukakan defenisi korban dalam viktimologi baru sebagaimana dikemukakan oleh separovic sebagai who are threatened, Injured, or destroyed by an act or omission of another (man, structure, organization, or institution).177

Sebagaimana yang dirumuskan dalam Declaration of Basic Principle of justice for victims of crime an abuse of power, bahwa korban didefenisikan dalamvictims of crimes dan victims of abuse of power. Berdasarkan defenisi tersebut, jelaslah bahwa defenisi korban meliputi direct victims of crime atau korban tindak pidana secara langsung dan korban tindak pidana yang tidak langsung (indirect victims of crime), baik secara individu maupun secara kolektif yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun material, serta mencakup korban dari penyalahgunaan kekuasaan.178

177 Zvonimir Paul Separovic, victimology Studies of Victims, (Zagred : samobor-novaki, Pravni Fakultet, 1985), Halaman. 158 didalam buku Maya Indah, Op.Cit.Halaman. 28

178Ibid, Halaman. 30

Dari pemaparan diatas bahwa kebijakan Viktimologi ialah suatu usaha penanggulangan dan perlindungan yang difokuskan kepada korban kejahatan.Aplikasi dari Kebijakan Viktimologi dapat dilihat di undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban.

Berdasarkan politik hukum (kebijakan) maka Negara untuk kepentingan pemberian perlindungan bagi saksi dan /atau korban yang sangat penting keberadaannya dalam proses peradilan, maka dewan perwakilan rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia menetapkan undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban sebagai Ius constitutum.179

a. Yang dimaksud dengan saksi dan korban adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidanng pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alamami sendiri.

Bandingkan perumusan saksi menurut pasal 1 angka 26 UU nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Menurut KUHAP yang dimaksud dengan saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.

Berdasarkan ketentuan umum undang-undang nomor 13 tahun 2006 telah diatur batasan pengertian yang tercantum dalam undang-undang tersebut sebagaimanadiatur dalam BAB I ketentuan Umum.Dalam pasal 1 disebutkan, bahwa

b. Yang dimaksud dengan korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

179Ibid. Halaman. 241

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban saat ini, dilandasi pemikiran bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi dan korban, yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Dalam implementasi dilapangan khususnya dalam kegiatan penyelidikan dan penyidikan, menunjukkan kendala tertentu, yakni penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan saksi dan/atau korban, disebakan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu.180

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

Pada pasal 5 ayat (1) undang-undang Nomor 13 Tahun 2006, dapat dilihat tentang hak yang diberikan kepada saksi dan korban, yang meliputi :

b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan perlindungan dan dukungan keamanan

c. Memberikan keterangan tanpa tekanan d. Mendapat penerjemah

e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat

f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus

180 Siswanto Sunarso, Op.Cit. Halaman. 240

g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan

i. Mendapatkan indetitas baru

j. Mendapatkan tempat kediaman baru

k. Memperoleh penggantian biaya trasnportasi sesuai dengan kebutuhan l. Mendapat nasihat, dan/atau

m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.

Adapun hak-hak para korban menurut van Boven adalah hak untuk tahu, hak atas keadilan dan hak atas reparasi (pemulihan), yaitu hak yang menunjukkan kepada semua tipe pemulihan baik material maupun non material bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia, hak-hak tersebut telah terdapat dalam berbagai instrument-instrumen hak asasi manusia yang berlaku dan juga terdapat dalam yurisprudensi komite-komite hak asasi manusia.181

Menurut arif gosita hak-hak korban mencakup182

a. Mendapatkan ganti kerugian atau penderitaannya. Pemberian ganti kerugian tersebut harus sesuai dengan kemampuan member ganti kerugian pihak pelaku dan taraf keterlibatan pihak korban dalam terjadinya kejahatan dan delikuensi tersebut.

:

181 Rena Yulia, Op.Cit. Halaman. 55

182 Arief Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta : Akademika Presindo, 1989).Halaman.

86-87 dilihat dalam buku Bambang Waluyo, Op.Cit.Halaman.43

b. Menolak restitusi untuk kepentingan pelaku (tidak mau diberi restitusi karena tidak memerlukannya)

c. Mendapat restitusi/konpensasi untuk ahli warisnya bila pihak korban meninggal dunia karena tindakan tersebut.

d. Mendapat pembinaan dan rehabilitasi e. Mendapat hak miliknya kembali

f. Mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pelaku bila melapor dan menjadi saksi

g. Mendapat bantuan penasihat hukum h. Mempergunakan upaya hukum

Selanjutnya, Melihat kasus kekerasan seksual yang telah diselaikan di pengadilan Negeri dapat dilihat hakim memutuskan perkara dengan menghukum pelaku kekerasan seksual terhadap anak dan sikap hakim dalam putusan nya dalam rangka perlindungan korban. Yaitu dapat dilihat dalam putusan-putusan berikut :

1. putusan hakim pengadilan negeri stabat No. 141/Pid.Sus/2015/PN.Stb.

dengan terdakwa Gimin Bin Tugino yang terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan sengaja membujuk anak melakukan perserbuhan dengannya” sebagaimana yang diatur dalam pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.

Hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara 9 (Sembilan) tahun serta denda sebesar Rp. 60.000.000,- (enampuluh juta

rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.

2. putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.1760/Pid.B/2013/PN.LP.SR dengan terdakwa Rujiman yang terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan perbuatan cabul” sebagaimana yang diatur dalam pasal 82 Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan.

3. Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2717/Pid.Sus/2015/PN.Mdn dengan terdakwa Jaka Syahputra yang terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja melakukan tipu muslihat, membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya” sebagaimana yang diatur dalam pasal 81 ayat (2) Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan 6 (enam) bulan dan pidana denda sebesar Rp.

800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar harus diganti dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan.

4. Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2690/Pid.Sus/2015/PN.Mdn.

dengan terdakwa Muhammad Riza yang terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “perbuatan cabul terhadap anak” sebagaimana yang diatur dalam pasal 81 ayat (2) undang-undang No.

23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana Penjara selama 5 (lima) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak dibayar harus diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.

5. Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 437/PID.SUS/2016/PT.MDN menguatkan putusan Pengadilan Negeri Medan No.

827/Pid.Sus/2016/PN.Mdn. dengan terdakwa Albertus alias Acong yang terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

“Dengan ancaman kekerasan memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengannya” sebagaimana yang ditaur dalam pasal 81 ayat (1) Jo. Pasal 76d undang-undang No.35 tahun 2014 tentang perubahan atas undnang-undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 11 (sebelas) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan slama 4 (empat) bulan.

Jika dilihat dari beberapa putusan-putusan tersebut diatas hakim dalam menerapkan hukum pada putusannya tidak mencantumkan amar mengenai perlindungan korban dan hakim tidak memperhatikan Undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan terhadap korban kejahatan seksual. Dalam hal ini KUHAP lebih mengutamkan hak-hak tersangka/terdakwa.183

Pada putusan tersebut juga terdapat penjatuhan pidana denda kepada terdakwa kekerasan seksual, selanjutnya pengertian Pidana denda adalah termasuk jenis pidana yang tertua di dunia, di samping pidana mati. Dalam hukum Adat dikenal pidana berupa pembayaran baik kepada penguasa (Kerajaan) maupun sebagai pengganti kerugian kepada korban. Bentuk pembayaran ini mulai dari bentuk uang sampai bentuk “in natura”, seperti ternak, hasil kebun, dan lain sebagainya.184

Perkembangan pidana denda dipandang lebih ringan daripada pidana penjara, apalagi jika dibandingkan dengan pidana mati. Ada kencederungan bahwa di banyak Negara sekarang ini dan untuk masa yang akan datang, terjadi perkembangan daripada pidana denda. Pidana denda sudah tidak lagi merupakan pidana kelas dua setelah pidana kebebasan atau pidana hilang kemerdekaan.185

Y.E. Lokollo dengan mengacu pada beberapa kepustakaan mengatakan bahwa perkembangan pidana denda tidak saja mengenai banyaknya penggunaan pidana dalam penjatuhan pidana, akan tetapi juga mengenai besarnya minimum dan

183 Bambang Waluyo, Viktimologi perlindungan Korban & saksi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2014).

Halaman. 36

184 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007) Halaman. 46-47.

185Ibid, Halaman. 47

maksimum denda. Dikemukannya pula lebih lanjut bahwa penyebab perkembangan pidana denda antara lain disebabkan oleh membaiknya secara tajam tingkat kesejahteraan masyarakat dibidang materil, kemampuan financial pada semua golongan masyarakat. Sebagai akibat membaiknya tingkat kesejahteraan masyarakat.Membawa akibat terhadap perubahan karakter dari kriminalitas.186

Pidana denda merupakan jenis hukuman yang dijatuhkan atas harta kekayaan (Vermogenstraf), yaitu pidana yang ditujukan kepada harta kekayaan seseorang terpidana.187

Pidana denda mempunyai sifat perdata, mirip dengan pembayaran yang diharuskan dalam perkara perdata terhadap orang yang melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Perbedaannya ialah denda dalam perkara pidana dibayarkan kepada Negara atau masyarakat, sedangkan dalam perkara perdata kepada orang pribadi atau badan hukum.Lagi pula denda dalam perkara pidana dapat diganti dengan pidana kurungan, Jika denda tidak dibayar.Selain itu, denda tidaklah diperhitungkan oleh suatu perbuatan sebagaimana dalam perkara perdata.Pidana denda tetap dijatuhkan walaupun terpidana telah membayar ganti kerugian secara perdata kepada korban.188

Dengan kata lain, pidana ditetapkan dalam undang-undang karena melanggar ketentuan hukum tertentu, misalnya melanggar undang-undang lalu lintas jalan.

186Ibid, Halaman. 47

187Hermien Hadiati Koeswadji, Perkembangan Macam-macam PIdana dalam rangka pembangunan Hukum pidana,( Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995). Halaman.31 dilihat dalam Buku M. Ali Zaidan, Kebijaka Kriminal, (Jakarta : Sinar Grafika, 2016 ). Halaman. 251

188Andi Hamzah dan A.Z. Abidin, Pengantar dalam Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta :Yasrif Watampone, 2010), Halaman. 242

Sedangkan ganti kerugian disebabkan karena melakukan perbuatan yang merugikan orang lain secara individual. Denda diancamkan terhadap delik yang melanggar kepentingan umum yang ditentukan oleh undang-undang.Undang-undang yang menentukan besarnya denda yang harus dibayarkan terpidana.Sementara ganti kerugian digantungkan kepada seberapa besar kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan terhukum.189

Pidana denda dijatuhkan bukan untuk membalas dendam seperti yang dipahamkan aliran modern tetapi memberikan manfaat kepada terpidana maupun masyarkat (Korban).190

Penerapan sanksi pidana denda dan juga perampasan kemerdekaan dilakukan secara proporsional, maksudnya ada keseimbangan antara upaya yang hendak dicapai dengan bentuk pelanggaran hukum yang telah terjadi.dalam hal penjatuhan sanksi pidana harus dipertimbangkan aspek kepentingan hukum yang hendak dilindungi dalam porses penegakan hukum. Dengan kata lain, penegakan hukum pidana harus mengedepankan prinsip perlindungan kepentingan hukum secara proporsional.

Artinya tidak hanya menekankan kepada aspek kepastian hukum tetapi juga keadilan, tidak hanya memeperhatikan kepentingan korban tetapi juga kepentingan pelaku, masyarakat, dan penegakan hukum itu sendiri.Tidak hanya mengedepankan aspek pemidanaan (Punishment) tetapi juga system tindakan (treatment). Keterpaduan usaha

189 M. Ali Zaidan, Op.Cit.Halaman. 252

190 M. Ali Zaidan, Op.Cit.Halaman. 256

yang bersifat penal dana non penal, pertimbangan antara system custodial dengan non custodial system.191

1. Pidana memuaskan perasaan balas dendam korban, baik perasaan adil bagi korban, temannya, dan keluarganya.

pidana denda dalam pelakasanaannya pada putusan-putusan Hakim tidak diberikan kepada korban sebagai ganti rugi ataupun yang berkaitan dengan perlidungan korban akan tetapi pidana denda tersebut menitik beratkan kepada tujuan pemidanaan teori retributif yaitu :

2. Pidana bertujuan memberikan peringatan pada pelaku kejahatan dan anggota masyarakata yang lain bahwa tindakan memperoleh keuntungan secara tidak wajar dari orang lain akan menerima ganjaran

3. Pidana bertujuan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara apa yang disebut the gravity of the Offence dengan pidana yang diajtuhkan192 Hasil Pidana denda secara otomatis masuk kedalam kas Negara sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang nomor 20 tahun 1997 tentang penerimaan negara bukan pajak pasal 2 ayat (1)193

191Ibid, Halaman. 260-261

192 T.J. Gunawan, Konsep Pemidanaan berbasis Nilai kerugian Ekonomi,(Yogyakarta : Genta Press, 2015). Halaman. 74

193 Pasal 2 ayat (1) UU no 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan pajak :Kelompok Penerimaan Negara bukan pajak meliputi :

dan juga dalam aplikasinya pendapat hakim

a. Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah b. Penerimaan dari pemanfaatan sumberdaya alam

c. Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan d. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah

e. Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi

f. Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak pemerintah

bahwa hasil Hukuman denda tidak bisa diberikan kepada korban melaikan diperuntukan untuk negara dan untuk medapatkan gantirugi maka Korban dapat menuntut kembali secara perdata,194

Hukuman denda sebagai salah satu jenis tindak pidana semestinya tidak sekadar untuk tujuan-tujuan ekonomis, misalnya, sekedar untuk pemasukan Negara, melainkan harus dikaitkan untuk menambah tujuan-tujuan pemidanaan (goal of Punishment), yakni pembalasan (retribution) , pencegahan kejahatan (prevention) dan Restoratif (restorative).

berdasarkan hal tesebut hakim memberikan hukuman pidana penjara dan pidana denda sebagai retributive kepada pelaku kejahatan kekerasan seksual terhadap anak sebagai efek jera, disisi lain hakim tindak memberikan konfensasi (ganti rugi) kepada korban kekerasan seksual yaitu anak sebagai pemulihan terhadapnya, oleh sebab itu hukuman denda tidak memenuhi asas monodualistik yaitu keseimbangan antara kepentingan Negara dan kepentingan korban.

195

restorative justice adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan system peradilan pidana dengan menitik beratkan pada kebutuhan perlibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada system peradilan pidana yang ada pada saat ini. Dipihak lain, restorative Maka hukum denda semestinya diberikan kepada korban melalui Negara dengan tujuan ganti rugi (Retributif) terhadap korban kejahatan dengan memperhatikan Restorative Justice.

g. Penerimaan lainnya yang diatur dalam undang-undang tersendiri.

194 Hasil Wawancara dengan Bapak Jamaluddin, SH, MH, Hakim Pengadilan Negeri Medan Kelas 1-A Khusus, pada tanggal 27 Oktober 2017

195Mohammad Ekaputra dan Abul Khair, Op.Cit, Halaman. 81

justice juga merupakan suatu kerangka berfikir yang baru yang digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak hukum dan pekerja hukum.196

Dalam sistem restorative justice diutaman pengembalian kerugian yang tercipta dari suatu tindak kejahatan kepada korban (atau para korban).Sehingga terhadap tindak kejahatan menciptakan kewajiban untuk membenahi (restorasi) kerusakan atau kerugian akibat terjadinya suatu tindak pidana tersebut. Dalam site mini “keterlibatan Korban, masyarakat dan pelaku atas suatu perkara pidana, menjadi penting dalam usaha perbaikan, rekonsiliasi dan penjaminan keberlangsungan usaha perbaikan tersebut”197

Tujuan Penerapan Pidana denda sebagai Restorative justice, dipandang lebih memberikan keadilan baik bagi korban maupun pelaku tindak pidana. Selain itu system restorative justice ini juga menjadi landasan dalam beberapa hal postitif seperti mediasi penal dan Doubel track System yang merupakan system dua jalur mengenai sanksi dalam hukum pidana, yakni jenis sanksi pidana di satu pihak dan jenis sanksi tindakan di pihak lain yang ide dasarnya adalah kedudukan yang sejajar atau setara untuk memaksimalkan penggunaan kedua sanksi tersebut secara tepat dan proposional.198

Perlindungan hukum bagi korban kejahatan dalam berntuk pemberian ganti rugi (Restitusi) dapat dilihat dalam Undang-undang No 21 Tahun 2007 tentang tindak

Perlindungan hukum bagi korban kejahatan dalam berntuk pemberian ganti rugi (Restitusi) dapat dilihat dalam Undang-undang No 21 Tahun 2007 tentang tindak