• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N 2021

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N 2021"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN ASAS MENGUNTUNGKAN DALAM TINDAK PIDANA KONSERVASI SUMBER

DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEM (Studi Ketetapan Penghentian Penyidikan (SP-3)

No : S.Tap/27.B/X/Ditreskrimsus Polda Jambi Tanggal 31 Oktober 2018)

TESIS

OLEH

FAJAR RUDI MANURUNG 177005141 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2021

(2)

PENERAPAN ASAS MENGUNTUNGKAN DALAM TINDAK PIDANA KONSERVASI SUMBER

DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEM (Studi Ketetapan Penghentian Penyidikan (SP-3)

No : S.Tap/27.B/X/Ditreskrimsus Polda Jambi Tanggal 31 Oktober 2018)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH

FAJAR RUDI MANURUNG 177005141 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2020

(3)
(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 9 Februari 2021

Panitia Penguji Tesis

Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum Anggota : 1. Dr. Edi Yunara, S.H., M.Hum

2. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum 3. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 4. Dr. M. Ekaputra, SH, M.Hum

(5)
(6)

ABSTRAK

Indonesia adalah negara hukum, segala aspek kehidupan diwilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus didasarkan pada hukum dan segala perundang- undangan yang berlaku diwilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Negara hukum berdiri sendiri di atas hukum yang menjamin keadilan bagi seluruh warga negara yang didasarkan pada nilai-nilai pancasila yang merupakan pandangan hidup bangsa dan sumber dari segala sumber hukum.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, menurut Pasal 1 angka (1) mengatur bahwa sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur non-hayati disekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem, sedangkan pasal 1 angka (2) mengatur Konservasi Sumber Daya Alam Hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinabungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, dengan turunannya Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, memuat lampiran jenis-jenis satwa dan tumbuhan yang dilindungi untuk menjaga kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Sehingga setiap orang dilarang menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup, sehingga menarik untuk mengetahui jenis satwa yang dilindungi yang sering diperniagakan oleh penjual satwa yang beredar di pasar hewan untuk memenuhi keinginan para pembeli.

Dalam proses penegakan hukum terhadap perlindungan satwa yang dilindungi dibutuhkan ketentuan yang mengaturnya terlebih dahulu dari pada perbuatan tersebut terjadi sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Ayat (1) KUHP, untuk mengharapkan terjadinya kepastian hukum terhadap pelaku tindak pidana, khususnya tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem.

Apabila dalam proses penegakan hukum, terjadi perubahan terhadap tindak pidana yang mengatur tentang sanksi terhadap tindak pidana tersebut, maka harus dilakukan penerapan hukum yang paling menguntungkan terhadap pelakunya.

Sehingga terhadap para penegak hukum dalam proses penyidikan dan penuntutan dalam tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem diharapkan terjadinya keseimbangan antara pelestarian satwa yang dilindungi dengan Undang- Undang dan peraturan yang masih berlaku melarang perbuatan tersebut.

Kata Kunci : Lindungi tumbuhan dan satwa untuk kelestarian umat manusia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya.

(7)

ABSTRACT

Indonesia is a state based on law, all aspects of life within the territory of the Unitary State of the Republic of Indonesia must be based on the law and all laws in force in the territory of the Unitary State of the Republic of Indonesia. The rule of law stands alone on the law which guarantees justice for all citizens based on the Pancasila values which are the nation's view of life and the source of all sources of law.

Law Number 5 of 1990 concerning Conservation of Living Natural Resources and Their Ecosystems, according to Article 1 number (1) regulates that living natural resources are living elements in nature consisting of vegetable natural resources (plants) and natural resources. animals (animals) which together with the surrounding non-living elements form the ecosystem as a whole, while article 1 number (2) regulates the Conservation of Living Natural Resources is the management of living natural resources whose utilization is carried out wisely to ensure the continuity of their supply while maintaining and improving diversity quality and value. Law Number 5 of 1990 concerning Conservation of Living Natural Resources and their Ecosystems, with its derivative Government Regulation Number 7 of 1999 concerning Preservation of Plant and Animal Species, contains an attachment to the protected species of animals and plants to preserve the living natural resources and their ecosystems . So that everyone is prohibited from capturing, injuring, killing, keeping, owning, maintaining, transporting and trading protected animals alive, so it is interesting to know the protected species that are often traded by animal sellers circulating in the animal market to fulfill buyers' wishes.

In the process of law enforcement for the protection of protected animals, a provision is needed to regulate it beforehand, rather than the act occurring in accordance with the provisions of Article 1 Paragraph (1) of the Criminal Code, to expect legal certainty for the perpetrators of criminal acts, in particular criminal acts of conservation of living natural resources ecosystem.

If in the process of law enforcement, there is a change in a criminal act that regulates sanctions against the criminal act, then the most beneficial law enforcement must be carried out for the perpetrator. So that law enforcers in the process of investigating and prosecuting criminal acts of conservation of living natural resources and ecosystems are expected to have a balance between the preservation of protected animals and the laws and regulations that are still in force prohibiting these acts

.

Keywords: Protect plants and animals for the preservation of mankind in accordance with Law Number 5 of 1990 concerning Conservation of Living Natural Resources and their Ecosystems.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas kesehatan dan kesempatan yang diberikan kepada saya sehingga dapat menyelesaikan tesis ini.

Adapun judul tesis yang saya teliti yakni: “ PENERAPAN ASAS MENGUNTUNGKAN DALAM TINDAK PIDANA KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEM ( Studi Ketetapan Penghentian Penyidikan (SP-3) No. : S.Tap/27.B/X/2018/Ditreskrimsus Polda Jambi Tanggal 31 Oktober 2018 An. Tersangka Said Hadi ) ”.

Tesis ini disusun sebagai tugas akhir dan syarat untuk menempuh ujian Strata Sarjana (Strata-2) guna memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari, bahwa dalam penulisan Tesis ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Hal ini kiranya dapat dimaklumi karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang penulis miliki.

Kami sangat menyadari penyelesaian tesis ini tidak akan rampung tanpa dorongan, bimbingan maupun curahan ilmu yang penuh ketelitian dan kesabaran yang diberikan kepada penulis oleh pembimbing maupun penguji baik pada saat pengajuan judul sampai penyusunan tesis ini. Olah karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr.

Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum. selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Dr. Edi Yunara, S.H., M.Hum., Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum selaku Anggota

(9)

Komisi Pembimbing serta Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum. dan Bapak Dr. M.

Ekaputra, S.H., M.Hum selaku Penguji.

Selanjutnya penulis juga menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum dan para Pembantu Rektor, para Kepala Biro dan Lembaga atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana (S.2).

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum. selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Para Dosen dan Staf Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk mengembangkan wawasan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum.

5. Secara khusus dengan penuh kasih sayang penulis sampaikan terima kasih kepada istri tercinta Cahyaning Nuratih Widowati, SH, MH atas dukungan dan doanya yang tulus serta kesediannya mendampingi penulis baik dalam keadaan suka maupun duka, begitupun juga kepada anugerah Allah SWT puteri kami Farah Aqila Wijayanti dan kedua orang yang telah membesarkan saya sampai dengan sekarang ini Alm. H. Burhanuddin Manurung SH dan Ibunda Hj.

Lesmana Sitorus, atas doa dan dukungan dalam menyelesaikan studi ini.

(10)

Penulis telah berusaha untuk menyelesaikan Tesis ini dengan sebaik- baiknya namun sebagai manusia penulis menyadari banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan Tesis ini. Oleh karena itu penulis mengharap adanya kritik dan saran yang produktif dari semua pihak.

Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian kuliah dan tesis ini penulis mengucapkan terima kasih dengan harapan tesis ini dapat bermanfaat bagi peneliti dan masyarakat.

Medan, Januari 2021 Penulis

FAJAR RUDI MANURUNG

(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP I. DATA PRIBADI

Nama : Fajar Rudi Manurung

Tempat/ Tanggal Lahir : Labuhan Ruku / 27/12/1967

Pekerjaan : Pns

Agama : Islam

Nama Ayah : Alm. H. Burhanuddin Manurung SH Nama Ibu : Hj. Lesmah Sitorus

II. PENDIDIKAN

1. SD (1980)

2. SMP (1983)

3. SMA (1986)

4. S-1 UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA (1992) III. RIWAYAT JABATAN

1. 20/07/1994 STAF TATA USAHA PERDATA DAN TATA USAHA NEGARA : JAM PERDATA DAN TATA USAHA NEGARA 2. 20/03/1998 JAKSA FUNGSIONAL KEJAKSAAN NEGERI

3. 20/11/1998 STAF TATA USAHA PEMERIKSA PEMBANTU : PEMERIKSA PEMERIKSA

4. 5/4/99 PEMERIKSA INTELIJEN : ASISTEN PENGAWASAN 5. 1/5/00 KEPALA SUB SEKSI TINDAK PIDANA UMUM 6. 27/09/2001 JAKSA FUNGSIONAL

7. 21/10/2005 KEPALA SEKSI PERDATA : ASISTEN PERDATA DAN TATA USAHA NEGARA

8. 1/1/08 KEPALA SEKSI PENUNTUTAN : ASISTEN TINDAK PIDANA KHUSUS

9. 9/12/11 JAKSA FUNGSIONAL TINDAK PIDANA UMUM

10. 19/06/2012 KOORDINATOR DI KEJATI 11. 22/11/2013 KEPALA KEJAKSAAN NEGERI 12. 30/11/2017 KEPALA KEJAKSAAN NEGERI 13.

14.

26/04/2018 08/02/2021

ASISTEN TINDAK PIDANA UMUM KEPALA KEJAKSAAN NEGERI JAMBI

(12)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

SURAT PERNYATAAN ... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Keaslian Penelitian ... 15

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual ... 16

1. Kerangka Teori ... 16

2. Kerangka Konseptual ... 22

G. Metode Penelitian... 26

H. Pendekatan Penelitian ... 28

1. Pendekatan Konseptual ... 28

2. Pendekatan Perundang-undangan ... 28

3. Pendekatan Sejarah ... 29

4. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ... 30

5. Analisis Data ... 30

BAB II : ASAS LEGALITAS DENGAN ASAS MENGUNTUNGKAN 31 A. Sejarah Asas Legalitas ... 31

B. Pengertian Asas Legalitas dan Prinsip Yang Terkandung Didalamnya ... 38

1. Lex Scripta ... 42

2. Lex Certa ... 45

3. Lex Praevia ... 48

C. Pengertian Asas Menguntungkan ... 51

D. Kaitan Asas Legalitas dengan Asas Menguntungkan ... 55

BAB III : PENERAPAN ASAS YANG MENGUNTUNGKAN DALAM PELAKSANAAN PRINSIP DOMINUS LITIS PADA PROSES PRA PENUNUTUTAN ... 58

A. Prinsip Dominus Litis Pada Tugas dan Fungsi Kejaksaan Dalam Pra Penuntutan ... 58

B. Peran Prinsip Dominus Litis Dalam Proses Penyidikan ... 66

(13)

BAB IV : PENERAPAN ASAS MENGUNTUNGKAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM

HAYATI DAN EKOSISTEM ... 72

A. Kasus Posisi Perkara ... 72

1. Kronologis ... 72

2. Pasal yang Disangkakan ... 76

3. Penyerahan Berkas Perkara (Tahap pertama) ... 77

4. Pra Penuntutan Dalam Perkara Tersangka Said Hadi ... 78

5. Petunjuk Penuntut Umum (P-19) Perkara atas nama Said Hadi ... 82

6. Penghentian Penyidik oleh Penyidik (SP-3) ... 83

B. Penerapan Asas Legalitas Dan Asas Menguntungkan Melalui Prinsip Dominus Litis Dalam Perkara Tersangka Said Hadi . 86 C. Penerapan Asas Menguntungkan Dalam Perkara Tindak pada Pidana Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistem Penetapan Penghentian Penyidikan No. S.Tap/27.B/X/2018 Dirkrimsus Polda Jambi Tanggal 31 Oktober 2018 Atas Nama Tersangka Said Hadi ... 100

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 106

A. Kesimpulan ... 106

B. Saran ... 109

DAFTAR PUSTAKA ... 110 i

(14)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Dalam proses penegakan hukum aparat penegak hukum mempergunakan hukum pidana positif yaitu hukum pidana yang sedang berlaku. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi maupun Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistem UU RI No.5 Tahun 1990.

Bahwa hukum pidana baru dapat diterapkan apabila adanya perbuatan yaitu perbuatan pidana yang dilarang oleh suatu aturan, larangan mana yang disertai sanksi/ancaman yang berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut.

Perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, larangan ditujukan kepada perbuatan, yaitu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan seseorang atau lebih, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian/kejahatan tersebut, hubungan antara ancaman pidana dan larangan berhubungan erat, karena adanya kejadian/perbuatan dan ada orang yang menimbulkan kejadian tersebut. Untuk menyatakan hubungan erat tersebut dipakailah perkataan perbuatan yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjukkan dua keadaan kongkrit yaitu pertama adanya kejadian (Perbuatan Pidana) dan kedua adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian (Pelaku) yang mampu bertanggung jawab.

Apakah kejadian tertentu merupakan perbuatan pidana dapat dinyatakan dengan istillah Belanda “strafbaar feit”. Cogitationis poenam nemo patitur, tidak seorang pun dipidana atas yang ada dalam pikirannya saja. Hukum menghendaki

(15)

adanya suatu perbuatan yang tampak keluar. Perbuatan dalam arti luas ini mencakup perbuatan aktif dan perbuatan pasif. Perbuatan aktif yang dalam bahasa Belanda disebut handeling, menurut definisi Simons, adalah setiap gerakan otot yang dikehendaki yang diadakan untuk menimbulkan suau akibat.1 Menurut definisi ini, perbuatan aktif (handeling) adalah (1) setiap gerakan otot; (2) gerakan otot itu dikehendaki; dan (3) gerakan otot itu diadakan untuk menimbulkan suatu akibat yang ditimbulkan.

Menurut Moeljatno, 2 bukan merupakan perbuatan dalam arti hukum pidana sehingga juga tidak ada tindak pidana dalam hal-hal :

1. Sikap jasmani yang orangnya sama sekali pasif yaitu tidak dikehendaki olehnya, karena dipaksakan oleh orang lain, tidak dimasukkan dalam makna kelakuan.

Umpamanya, dipaksa orang lain untuk mengadakan cap jempol diatas surat tertentu;

2. Juga gerakan refleks tidak dapat dinamakan kelakuan;

3. Sikap jasmani yang diadakan dalam keadaan tidak sadar (mengingau, berbuat dalam keadaan hypnose, dalam keadaan mabok, dan sebagainya) juga tidak dapat dinamakan kelakuan;

Dalam contoh-contoh tadi, gerakan otot yang sering terjadi tidak dikehendaki, karenanya juga bukan merupakan perbuatan dalam arti hukum pidana.

1 D. Simons, 1921. Leerboek van het Nederlandsche Strafrecht. EersteDeel. Vierde drunk. P.

Noordhoff, Gronigen, hlm.119: ”… elke gewilde spierbeweging, verricht met het doel om een gevolg teweeg te brengen.”

2 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bima Askara, 1984) cetakan ke-2, hlm.86.

(16)

Dari definisi hukum pidana dapat diambil kesimpulan bahwa hukum pidana bukanlah suatu hukum yang mengandung norma-norma baru, melainkan hanya mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan terhadap norma-norma hukum yang mengenai kepentingan hukum.

Adapun yang termasuk dalam pengertian kepentingan umum adalah

1. Badan dan peraturan perundangan negara, seperti Negara, Lembaga-lembaga Negara, Pejabat Negara, Pegawai Negeri, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan sebagainya.

2. Kepentingan hukum tiap manusia, yaitu: jiwa, raga/tubuh, kemerdekaan, kehormatan, dan hak milik/harta benda.3

Hukum pidana itu bersifat publik yaitu hukum yang mengatur hubungan antara individu dengan suatu masyarakat hukum umum yakni Negara atau Daerah-daerah dalam negara. Sifatnya sebagai hukum publik tampak jelas dari kenyataan-kenyataan antara lain:

1. Seseorang dapat dihukum apabila telah melakukan suatu tindak pidana;

2. Penuntutan dapat dilakukan tidak tergantung pada keinginan dari orang yang telah dirugikan oleh suatu tindak pidana;

Dalam peristilahan hukum pidana dikenal pula istilah ius poenale yaitu peraturan-peraturan hukum pidana dan istilah ius puniendi yaitu hak negara untuk menjatuhkan pidana berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam ius poenale. Ius puniendi (hak mempidana) ini dilaksanakan melalui hukum acara pidana.

Sedangkan tujuan hukum pidana menurut pandangan yang pertama, tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat dari kejahatan. Merupakan suatu

3 C.S.T. Kansil, Chrishtine, Pokok-Pokok HUKUM PIDANA Hukum Pidana Untuk Tiap Orang, (Jakarta:PT. Pradnya Paramita, 2007) cetakan ke-2, hlm.3.

(17)

realitas bahwa dalam masyarakat senantiasa ada kejahatan, sehingga diadakannya hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat dari terjadinya kejahatan. Menurut pandangan yang kedua, tujuan hukum pidana adalah melindungi individu-individu dari kemungkinan kesewenangan penguasa. Pandangan ini didasarkan pada suatu titik tolak bahwa kekuasaan cenderung disalahgunakan,4 sehingga diadakannya hukum pidana justru untuk membatasi kekuasaan penguasa.

Peristiwa pidana adalah perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Unsur-unsur peristiwa pidana sebagai berikut

- Handeling: Perbuatan manusia;

- Perbuatan manusia itu harus melawan hukum (wederrechtelijk);

- Perbuatan itu diancam dengan pidana (strafbaar gesteld) oleh Undang-undang;

- Harus dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar);

- Perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan (schuld) si pembuat (Satochid Kertanegara);5

Unsur-unsur peristiwa menurut D Simons harus ada perbuatan manusia.

Perbuatan tersebut dapat berupa perbuatan atau melalaikan, contohnya peristiwa pidana berbuat yaitu tindak pidana pencurian (Pasal 362 KUHP), sedangkan melalaikan dapat berupa tidak melakukan pertolongan terhapan orang yang membutuhkan pertolongan (Pasal 531 KUHPidana). Kedua jenis perbuatan ini

4 Salah satu ungkapan yang terkenal berkenaan dengan pandangan seperti ini adalah kata-kata dari Lord Acton (1834-1902), seorang politisi Inggris, dalam suatu suratnya bahwa: “All power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely.”

5 C.S.T. Kansil, Chrishtine, Op cit, hlm 39.

(18)

dibedakan dengan yang satu berbuat aktif sedangkan yang satunya lagi berbuat pasif, namun keduanya termasuk kedalam perbuatan manusia (Handeling).

Perbuatan manusia itu harus melawan hukum (wederrechtelijk). Perbuatan tersebut mengakibatkan dilanggarnya kepentingan umum dan juga kepentingan pribadi dan individu contohnya perbuatan tanpa hak mengambil seluruhnya atau sebagian milik orang lain (pencurian). Kepentingan atau hak individu telah terganggu dengan adanya perbuatan mengambil barang milik orang lain tanpa seizin oleh pemiliknya sehingga terganggulah kepentingan individu yang tidak dapat lagi memanfaatkan atau menggunakan barang yang telah diambil oleh orang lain.

Perbuatan itu diancam dengan pidana (strafbaar gesteld) oleh Undang-undang.

Bahwa perbuatan itu diancam dengan pidana yang telah diatur dalam undang-undang contohnya Pasal 362 KUHP yaitu: “ Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah ”.6

Dari unsur pasal ini jelas terlihat bahwa perbuatan mengambil barang milik orang lain diancam pidana penjara paling lama lima tahun, tegas disebutkan adanya sanksi pidana apabila perbuatan tersebut dilakukan. Harus dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab (toerekening svatbaar). Maksudnya pelaku perbuatan pidana tersebut harus dilakukan oleh orang yang mampu mempertanggung jawabkan

6 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman,KUHP KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PUDANA (Jakarta:PUSTAKA SINAR HARAPAN, 1988) hlm.143.

(19)

perbuatannya yaitu orang yang waras atau sehat jasmani dan rohaninya, sehat akal dan pikirannya dan mengetahui apa akibat dari perbuatannya tersebut, contohnya berdasarkan Pasal 44 KUHP tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit tidak dipidana. Dengan demikian orang yang melakukan tindak pidana terganggu jiwanya tidak dapat dimintai pertanggung jawaban pidana, demikian juga berdasarkan Pasal 48 KUHP yaitu: “ Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana (overmacht)”.7

Perbuatan tersebut telah terjadi namun oleh karena penyebab yang datang dari luar yang membuat sesuatu perbuatan itu menjadi tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada pelakunya, misalnya oleh karena adanya kekuatan paksaan tekanan, sehingga atas kekuatan paksaan dan tekanan tersebut orang tidak dapat memberikan perlawanan, tidak ada pilihan lain kecuali menuruti kehendak dari orang yang memberikan kekuatan paksaan dan tekanan. Kemudian Pasal 49 KUHP yaitu: “ 1. Tindak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.

2. Pembelaan terpaksa yang melapaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana”.8

7 C.S.T. Kansil, Chrishtine, Kansil, Op cit, hlm 34.

8 Ibid.

(20)

Pasal ini merupakan pembelaan terpaksa (noodweer) yang harus memenuhi syarat-syarat antara lain serangan itu bersifat melawan hukum, bahaya yang bersifat langsung dengan tubuh, kehormatan, benda milik sendiri atau milik orang lain, tidak dapat ditiadakan dengan cara lain atau tidak ada pilihan lain. Bahwa syarat mutlaknya serangan itu harus dimulai akan tetapi belum selesai dan juga harus seketika.

Selanjutnya yang tidak dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan Pasal 50 KUHP yaitu : “ Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang- undang, tindak pidana ”.9

Perbuatan ini dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang meliputi peraturan undang-undang yang berlaku dinegara kita, baik secara langsung maupun tidak secara langsung dibentuk berdasarkan undang-undang tersebut seperti peraturan pemerintah, peraturan pemerintah daerah dan lain-lain.

Bentuk kewenangan untuk melaksanakan suatu kewajiban menurut undang- undang misalnya kewajiban dalam melaksanakan waktu penyidikan. Peristiwa ini telah diatur dalam Pasal 50 KUHP karena tindakan yang telah dilakukan dalam hal ini secara tidak langsung bersumber dari suatu kewajiban menurut undang-undang. Demikian pula untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan itu, bukan hanya dapat melakukan suatu tindakan, apabila tindakan semacam itu memang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dibenarkan untuk dilakukan, melainkan juga apabila orang yang telah diberi suatu kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan

9 Ibid., hal. 35.

(21)

demikian yaitu untuk mencapai tujuan seperti yang dikehendaki oleh peraturan tersebut. Pasal 51 KUHP yaitu:

“ Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya ”.10

Perintah itu tidak harus diberikan kepada bawahan saja, melainkan dapat diberikan juga kepada orang lain, selama perintah tersebut diberikan berdasarkan undang-undang, sehingga dapat dihukumnya perbuatan-perbutatan tersebut untuk melaksanakan perintah menjadi ditiadakan. Perintah-perintah ini juga harus diberikan berdasarkan suatu jabatan kepada orang-orang bawahan kepada pegawai negeri dan kepada orang lain.

Contohnya adalah: HOGE RAAD dalam arrestnya tanggal 17 januari 1916, N.J.

1916 halaman 604, W.9944 telah memutuskan antara lain : “ Seorang anggota polisi yang memasukkan seseorang yang ditahan kedalam kamar tahanan, karena dengan itikad baik menganggap bahwa atasan yang telah memerintahkannya berbuat demikian itu mempunyai kewenangan mengeluarkan perintah semacam itu, mempuyai alasan- alasan yang sah menurut undang-undang untuk mengatakan, bahwa ia telah bertindak didalam bidang tugasnya sebagai bawahan ”.11

10 Ibid.

11 LAMINTANG-SAMOSIR, Hukum Pidana Indonesia, hlm. 34.

(22)

Perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan (schuld) si pembuat (Satochid Kertanegara). Komariah E. Sapardjaja misalnya mengatakan,” tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu”.12

Dalam melakukan kesalahan seseorang dianggap mengerti akan adanya undang-undang, padahal terkadang orang tersebut sama sekali tidak mengerti namun, untuk kepentingan keadilan dan kepastian hukum maka ditentukanlah suatu asas hukum bahwa semua orang dianggap mengetahui akan adanya perundang-undangan serta peraturan yang berlaku.

Atau dengan kata lain suatu perbuatan tidak dapat membuat orang bersalah kecuali bila dilakukan dengan niat jahat misalnya dalam perkara pencurian adanya niat jahat untuk mengambil dan memiliki barang milik orang lain.

Ketentuan Pasal 1 ayat 1 KUHP pada dasarnya pelaku tindak pidana dapat dimintai pertanggung jawaban pidana, jika telah ada peraturan atau Undang-undang yang mengatur larangan perbuatan tersebut dan ada sanksinya, sehingga seseorang tidak dapat dipidana, jika belum ada peraturan yang melarang perbuatan tersebut dan ada sanksinya, hal ini dimaksudkan untuk menghindari kriminalisasi dari penguasa atau rezim terhadap warga negaranya, sedangkan makna dari Pasal 1 ayat 2 KUHP telah meniadakan ketentuan diatas semata-mata hanya untuk menguntungkan

12 Komariah E. Sapardjaja, Ajaran Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana Indonesia;

Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, (Bandung: Alumni, 2002),hlm. 22.

(23)

kepentingan terdakwa. Ketentuan Pasal 1 ayat 2 KUHP ditempatkan setelah Pasal 1 ayat 1 KUHP yang merupakan pasal pendahuluan baru kemudian diatur Pasal 1 ayat 2 KUHP, bahwa Pasal 1 ayat 1 KUHP yang memuat asas legalitas yaitu peraturan harus tertulis, tidak berlaku surut dan tidak boleh mempergunakan penafsiran analogi dengan sendirinya ketentuan Pasal 1 ayat 2 KUHP bermaksud sama dengan ketentuan Pasal 1 ayat 1 KUHP agar jangan terjadi peraturan yang kemudian keluar yang lebih berat dapat dikenakan kepada tersangka/terdakwa, kecuali menguntungkan bagi tersangka/terdakwa.

Berlakunya undang-undang yang baru yang diundangkan setelah perbuatan terjadi merupakan pengecualian dari asas yang berlaku umum bahwa undang-undang yang berlaku pada saat perbuatan terjadi (lec temporis delicti) atau dapat disebut juga hukum transitoir (peralihan).

Permasalahan muncul apabila setelah perbuatan dilakukan akan tetapi sebelum perkara diadili terjadi perubahan aturan hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat 2 KUHP, sesuai dengan ketentuan ini maka lec temporis delicti diadakan pembatasan, dalam arti asas ini tidak berlaku jika ada perubahan dalam undang-undangan sesudah perbuatan dilakukan dan sebelum perkara diadili dengan demikian yang dipakai ketentuan untuk mengadili terdakwa adalah aturan yang paling ringan bagi terdakwa, dari perubahan ketentuan berdasarkan Pasal 1 ayat 2 KUHP terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa pada saat terjadinya tindak pidana terjadi perubahan ketentuan undang-undang yang mengancam pidana terhadap perbuatan tersebut dapat terjadi beberapa akibatnya antara lain:

(24)

1. Perbuatan tersebut ancaman lebih berat atau lebih ringan ancaman hukumannya 2. Perbuatan tersebut menjadi tidak dilarang

Profesor SIMONS13 berpendapat, bahwa ketentuan-ketentuan yang paling menguntungkan bagi terdakwa itu dapat berkenaan dengan:

1. Hal dapat dihukumkan perbuatannya itu sendiri;

2. Bentuk pertanggung jawabannya;

3. Syarat-syarat mengenai dapat dihukumnya suatu perbuatan;

4. Jenis hukumannya;

5. Berat-ringannya hukuman yang dapat dijatuhkan;

6. Pelaksanaan hukumannya itu sendiri;

7. Batalnya hak untuk melakukan penuntutan;

8. Masalah kadaluwarsa;

Profesor van Hamel14 berpendapat, bahwa ketentuan-ketentuan yang paling menguntungkan bagi terdakwa itu dapat berkenaan dengan:

1. Semua ketentuan dalam hukum material yang mempunyai pengaruh terhadap penilaian menurut hukum pidana mengenai suatu perilaku;

2. Pertanggung jawaban menurut hukum pidana;

3. Syarat-syarat tambahan mengenai hak untuk melakukan penuntutan dan mengenai hak untuk menjatuhkan hukuman;

4. Jenis hukumannya;

5. Lamanya hukuman yang telah dijatuhkan;

6. Ketentuan-ketentuan mengenai delik-delik aduan;

7. Ketentuan-ketentuan mengenai penuntutan menurut hukum pidana;

8. Ketentuan-ketentuan mengenai hukuman;

Mengenai perubahan dalam perundang-undangan seperti yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP itu profesor van HATTUM15 berpendapat, bahwa perubahan tersebut dapat terjadi karena:

1. Ancaman hukumannya itu telah diperberat atau diperingan;

13 SIMONS, op cit, hlm 103.

14 Van HAMEL, Inleiding, hlm 134.

15 Van HATTUM, Hand-en Leerboek I, hlm 91.

(25)

2. Pada suatu rumusan delik itu telah ditambahkan unsur-unsur yang baru atau unsur- unsur suatu delik itu telah dirumuskan dengan cara yang lain;

3. Suatu delik aduan itu telah dijadikan delik biasa ataupun sebaliknya;

4. Cara-cara menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana itu telah diperluas dan;

5. Jangka waktu kadarluarsanya hak untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku- pelaku drukpersmisdrijven itu telah diperpanjang;

Mengenai ketantuan-ketentuan yang menguntungkan bagi terdakwa sesuai ketentuan Pasal 1 ayat 2 KUHP sulit untuk membuat suatu rumusan yang dapat diberlakukan secara umum, apabila terjadi perubahan-perubahan yang lebih besar dalam sistem undang-undang pidana itu sebagai contoh perkara pencurian diancam pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun terjadi perubahan dengan ancaman pidana paling lama 3 (tiga) tahun, maka yang diberlakukan ketentuan yang paling menguntungkan bagi terdakwa, demikian pula apabila ancaman hukuman pidana penjara berubah menjadi ancaman pidana kurungan maka yang diberlakukan ketentuan yang paling menguntungkan bagi terdakwa, bahkan dapat terjadi yang lebih drastis yaitu dari perbuatan tersebut diancam dipidana penjara, terjadi perubahan perbuatan tersebut tidak lagi merupakan perbuatan pidana, sehingga tetap diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan terhadap terdakwa dalam hal ini.

Ketentuan Pasal 1 ayat 2 KUHP terhadap berkas perkara Nomor:

BP/22/VI/2018/Ditreskrimsus Tanggal 27 Juni 2018 atas nama tersangka SAID HADI Als HABIB BIN SAID SALIM ALMADIHI yang disangka telah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat 2 Jo Pasal 21 ayat 2 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yaitu tersangka SAID HADI Als HABIB BIN SAID SALIM

(26)

ALMADIHI menyimpan, memiliki, memelihara dan memperniagakan satwa yang dilindugi berupa 340 (Tiga Ratus Empat Puluh) Ekor Burung Colibri merupakan satwa yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 telah terjadi perubahan peraturan berdasarkan Peraturan Menteri LHK Nomor:

P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 Tanggal 29 Juni 2018, pada pasal 2 yang pada pokoknya menyatakan Peraturan Pemerintah Nomor : 7 Tahun 1999 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Berdasarkan Pasal 1 ayat 2 KUHP yaitu: “Bilamana ada perubahan dalam perundangan-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya”.16

Apakah dapat diterapkan asas legalitas dan asas menguntungkan dalam ketentuan ini terhadap perkara atas nama tersangka SAID HADI Als HABIB BIN SAID SALIM ALMADIHI akan menjadi pembahasan lebih lanjut didalam bab berikutnya.

B. Rumusan Masalah

Adapun permasalahan-permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan Perundang-Undangan tentang penerapan asas legalitas dan asas menguntungkan ?

2. Bagaimana penerapan asas menguntungkan pada prinsip Dominus Litis Penuntut Umum dalam proses Pra Penuntutan ?

16 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, op cit hlm.15.

(27)

3. Bagaimana penerapan asas menguntungkan pada saat terjadinya perubahan peraturan dalam perkara tindak pidana Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistem UU RI No.5 Tahun 1990 ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tentang tujuan yang ingin dicapai dari dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui penerapan asas legalitas dan asas menguntungkan dalam praktek penegakan hukum di Indonesia.

2. Untuk mengetahui penerapan asas menguntungkan dalam pelaksanaan prinsip Dominus Litis Penuntut Umum pada proses Pra Penuntutan perkara tindak pidana.

3. Untuk mengetahui pelaksanan proses penghentian Penyidikan dalam perkara tindak pidana Konservasi Sumber Daya Alam UU RI No.5 Tahun 1990 sebagai pelaksanaan prinsip Dominus Litis Penuntut Umum pada proses Pra Penuntutan.

D. Manfaat Penelitian

Adapun mengenai manfaat yang diharapkan dari diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dan pendalaman teori hukum asas legalitas dan asas menguntungkan dalam penangan perkara tindak pidana.

b. Manfaat Praktis

(28)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dan pedoman atau setidaknya sebagai bahan pertimbangan dalam melaksanakan Pra Penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam penelitian/pemeriksaan berkas perkara pidana menerbitkan surat penghentian, surat penghentian penyidikan, surat ketetapan penghentian tuntutan dan putusan.

E. Keaslian Penelitian

Penulisan ini di dasarkan pada keaslian penelitian mengenai Penerapan Asas Menguntungkan Dalam Tindak Pidana Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistem ( Studi Ketetapan Penghentian Penyidikan (SP-3) Nomor : S.Tap/27.B/X/2018/Ditreskrimsus Polda Jambi Tanggal 31 Oktober 2018 An.

Tersangka Said Hadi ) belum pernah dilakukan baik dalam topik dan permasalahan yang sama oleh pihak manapun juga. Permasalahan dalam penelitian ini merupakan suatu kajian yang belum pernah dilakukan secara komprehensif oleh penelitian ilmiah.

Penulisan ini dilakukan secara jujur, objektif dan terbuka. Pengolahan kajian penelitian berasal dari data-data berupa referensi buku-buku, perundang-undangan dan berkas perkara.

Penelitian terhadap penulisan ini dilakukan terhadap proses penanganan perkara tindak pidana Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem berdasarkan berkas perkara Nomor :BP/22/VI/Ditreskrimsus atas nama tersangka SAID HADI Als HABIB BIN SAID SALIM ALMADIHI yang disangka melanggar Pasal 40 ayat 2 Jo Pasal 21 ayat 2 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem tanggal 27 juni 2018 dari Kepolisian Negara

(29)

Republik Indonesia Daerah Jambi,P-18 Nomor: B-907 / N.5.4 / Euh.1 / 07 /2018, P-19 Nomor: B-908 / N.5.4 / Euh.1 / 07 /2018, P-24 atas nama tersangka SAID HADI Als HABIB BIN SAID SALIM ALMADIHI tanggal 23 Agustus 2018, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.20 /MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, Surat Ketetapan Nomor : S.Tap/ 27.b / X/2018/Ditreskrimsus dari Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Jambi tanggal 31 Oktober 2018.

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual 1. Kerangka Teori

Setiap penelitian membutuhkan titik tolak atau landasan untuk memecahkan atau membahas masalahnya, maka perlu disusun kerangka teori yang membuat pokok- pokok pikiran yang menggambarkan dari mana masalah tersebut diamati.17

Kerangka teori penting dirumuskan secara tepat karena kerangka teori merupakan pisau analitis bagi peneliti untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan. Kebutuhan akan rangka teori semakin jelas jika dilihat dari fungsi, yaitu:

1. Kerangka teori menguraikan variabel-variabel yang diperhitungkan atau yang dijadikan sebagai objek yang diusulkan dalam penelitian dan darinya memberikan hasil bagi pemecahan masalah.

17 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta : UGM Press, 2003), hlm.39- 40

(30)

2. Memberikan batasan-batasan kepada penyelidikan yang diajukan dengan menyarankan variable-variabel mana yang harus dipandang sebagai tidak relevan dan karena itu harus diabaikan.

3. Kerangka teori merupakan struktur yang memberikan arti kepada hasil-hasil penelitian. Bagaimanapun juga arti hasil-hasil penelitian yang diperoleh melalui analisis data adalah mengacu kepada kerangka teori.

4. Kerangka teori memberikan pemahaman-pemahaman dari mana penelitian dapat mendedukasi objek-objek penelitian.18

Kerangka teori disusun sebagai landasan berfikir yang menunjukan dari sudut mana masalah yang telah dipilih akan disoroti.19 Menurut Koentjaraningrat bahwa landasan teori atau lazim juga disebut kerangka teori, berisikan teori yang dapat membantu penelitian dalam menentukan tujuan dan arah penelitian, serta berguna menentukan konsep secara tepat.20

Dalam penulisan tesis ini dipergunakan teori dalam menjawab permasalahan dalam sebagai pisau analisis adalah :

Teori Kepastian Hukum

Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti. Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara

18 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994) hlm. 81.

19 Mukti Fajar dan Yuliatno Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010) Cetakan I, hlm. 93

20 Koentjaranigrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta : Gramedia, 1992), hlm.

19.

(31)

normatif bukan sosiologi. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis.

Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk konsestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma.

Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan- keadaan yang sifatnya subjektif. Kepastian dan keadilan bukanlah sekedar tuntutan moral, melainkan secara faktual mencirikan hukum.

Hukum adalah kumpulan peraturan perundang-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanannya dengan suatu sanksi.

Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum terutama untuk norma hukum tertulis.

Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang. Dalam hal penegakan hukum, setiap orang selalu mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya peristiwa konktit, dengan kata lain bahwa peristiwa tersebut tidak boleh menyimpang dan harus ditetapkan sesuai dengan hukum yang ada (berlaku), yang pada akhirnya nanti kepastian hukum dapat diwujudkan.

(32)

Pentingnya kepastian hukum sesuai dengan yang terdapat pada Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perubahan ketiga bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”, Ubi jus incertum, ibi jus multuj.

Dalam paradigma positivisme definisi hukum harus melarang seluruh aturan yang mirip hukum, tetapi tidak bersifat perintah dari otoritas yang berdaulat. Kepastian hukum harus selalu di junjung tinggi apapun akibatnya dan tidak ada alasan untuk tidak menjunjung hal tersebut karena dalam paradigmanya hukum positif adalah satu- satunya hukum.

Menurut Jan Michiel Otto, kepastian hukum yang sesungguhnya memang lebih bersdimensi yuridis. Namun Otto memberikan batasan kepastian hukum yang lebih jauh yang mendefinisikan kepastian hukum sebagai kemungkinan bahwa dalam situasi tertenu, yaitu:

1. Tersedia aturan-aturan yang jelas (jernih) konsisten dan mudah diperoleh (accessible).

2. Instansi-intsansi penguasa (pemerintah) menerapka aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taaat kepandanya.

3. Warga negara prinsipil menyesuaikan prilaku mereka terhadap aturan-aturan;

4. Hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan- aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyeleaikan sengketa hukum dan;

5. Keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan. Hukum yang ditegakkan oleh instansi penegak hukum yang diberikan tugas untuk itu harus menjamin “Kepastian Hukum” demi tegaknya ketertiban dan keadilan dalam kehidupan masyarakat.

Ketidakpastian hukum akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat dan akan saling berbuat sesuka hati serta bertindak main hakim sendiri. Keadaan

(33)

seperti ini menjadikan kehidupan berada dalam suasana social disorganization atau kekacauan sosial.21

Menurut Satjipto Rahardjo, untuk mendirikan Negara hukum memerlukan suatu proses yang panjang, tidak hanya peraturan-peraturan hukum saja yang harus ditata kelola dengan baik, namun dibutuhkan sebuah kelembagaan yang kuat dan kokoh dengan kewenangan-kewenangan yang luar biasa dan independen, bebas dari intimidasi atau campur tangan eksekutif dan legislatif yang dilaksanakan oleh sumber daya manusia yang bermoral baik dan teruji sehingga tidak mudah terjatuh.22

Kepastian hukum adalah “sicherkeit des Rechts selbst” (kepastian tentang hukum itu sendiri). Ada empat hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum.

1. Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya hukum merupakan perundang-undangan (gezetzliches Recht)

2. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta (Tatsachen), bukan suatu rumusan tentang penilaian yang akan dilakukan oleh hakim, seperti “kelakuan baik” dan

“kesopanan”.

3. Ketiga, bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam penjelasan serta mudah dijalankan.

4. Keempat, hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah.23

Masalah kepastian hukum dalam kaitan dengan pelaksanaan hukum, memang sama sekali tidak dapat dilepaskan sama sekali dari perilaku manusia. Kepastian hukum bukan mengikuti prinsip “pencet tombol” melainkan sesuatu yang cukup rumit yang banyak berkaitan dengan faktor diluar hukum itu sendiri. Berbicara mengenai kepastian maka yang lebih tepat dari adanya peraturan itu sendiri adalah kepastian

21 Michiel Otto, Jan, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, PT Revika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 85.

22 Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, UKI Press, Jakarta, 2006, hlm. 135-136.

23 Ibid, hlm. 138.

(34)

hukum (Sicherkeit des Rechts). Masalah kepastian hukum dalam kaitan dengan pelaksanaan hukum memang sama sekali tidak dapat dilepaskan sama sekali dari perilaku manusia.24

Menurut Gustav Radbruch, terdapat dua macam pengertian kepastian hukum, pertama yaitu kepastian hukum oleh hukum dan kepastian hukum dalam atau dari hukum. Hukum yang berhasil menjamin banyak kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang berguna. Kedua, kepastian hukum oleh karena hukum memberi tugas hukum lain, yaitu keadilan hukum serta hukum harus tetap berguna. Sedangkan kepastian hukum dalam hukum tercapai apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya dalam undang-undang.25

Mochtar Kusumaatmaja menyatakan bahwa untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal tampa adanya kepastian hukum dan ketertiban.

Untuk dapatnya seorang pelaku tindak pidana dapat dipidana maka perbuatan pelaku harus mengandung unsur kesalahan, hal ini berdasarkan asas kesalahan (Geen straft zonder schuld) yang artinya adalah tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum tampa ada kesalahan.26

24 Sudikno Mertokosumo dalam H. Salim Hs, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 24.

25 Gustav Radburch, Tujuan Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hlm. 3.

26 Mochtar Kusumaatmaja, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hlm. 3.

(35)

2. Kerangka Konseptual

Penerapan Asas Menguntungkan Dalam Tindak Pidana

Penerapan Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada praktiknya merupakan pasal yang didesain sebagai jembatan antara aturan pidana yang lama dan yang baru. Mengingat “usia” Pasal 1 ayat (2) KUHP yang sudah begitu tua, maka perlu ada telaah dalam perspektif kontemporer untuk memastikan bisa tidaknya Pasal 1 ayat (2) KUHP diterapkan dalam keadaan hukum Indonesia saat ini. Dalam menerapkan Pasal 1 ayat (2) KUHP, unsur yang harus diperhatikan adalah: (i) terdakwa; (ii) perubahan perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan; dan (iii) ketentuan yang paling menguntungkan. Perlu ada penyesuaian terhadap metode memaknai unsur terdakwa dan perubahan perundang-undangan; di sisi lain, perlu ada telaah kasuistis untuk bisa menjawab unsur ketentuan yang paling menguntungkan.

Selain ketiga unsur dari Pasal 1 ayat (2) KUHP, perlu pula untuk selalu memperhitungkan ketentuan peralihan dari undang-undang yang diubah guna bisa menentukan apakah Pasal 1 ayat (2) KUHP bisa diterapkan atau tidak.

i. Unsur “Terdakwa”

Telah disinggung sebelumnya bahwa subjek hukum dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP adalah “terdakwa”. Kata “terdakwa” dalam Pasal ini merupakan terjemahan dari kata “verdachte”. Tidak ada kesepakatan mengenai bagaimana kata “verdachte”

harus diterjemahkan: apakah sebagai terdakwa atau tersangka. Dalam tulisan ini, kata

“verdachte” diterjemahkan sebagai “terdakwa”.

(36)

Pasal 1 angka 12 KUHAP menyatakan: “ Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali...” Berdasarkan ketentuan ini dan memperhatikan ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP27, bisa disimpulkan bahwa status “terdakwa”

melekat sampai sebelum putusan pidana memiliki kekuatan hukum mengikat. Ketika putusan pidana telah memiliki kekuatan hukum mengikat, maka statusnya berubah menjadi “terpidana”.

Dengan asumsi bahwa yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP adalah terdakwa, maka ketentuan dimaksud hanya bisa diterapkan dalam proses persidangan saja. Dengan kata lain, hanya hakim yang bisa menerapkannya. Ironisnya, keadaan ini justru memunculkan permasalahan dalam implementasinya.

ii. Unsur “Perubahan Perundang-Undangan”

Dalam pembahasan mengenai “perubahan perundang-undangan”, diketahui bahwa ada beberapa teori mengenai yang dimaksud sebagai “perubahan perundang- undangan”, yaitu teori formal (formele leer)28, material terbatas (beperkte materiele

27Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa peninjauan kembali diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Lihat, Indonesia (b), Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 263 ayat (1)

28 Dalam teori formil, “perubahan perundang-undangan” baru terjadi ketika ada perubahan pada redaksi dalam undang-undang pidana itu sendiri

(37)

leer) 29 dan material tidak terbatas (onbeperkte materiele leer) 30. Diskusi terhadap frasa

“perubahan perundang-undangan” akan dilakukan dengan berpegang pada ketiga teori di atas dan mengaplikasikannya pada keadaan saat ini. Dalam konteks “perubahan perundang-undangan”, yang pertama perlu diperhatikan adalah terminologi

“perubahan”. Dengan merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU No.

12/2011”),

Perubahan dilakukan dengan cara:

a. menyisip atau menambah materi ke dalam peraturan perundang-undangan atau b. menghapus atau mengganti sebagian materi peraturan perundang-undangan.31 Perubahan dapat dilakukan terhadap:

a. seluruh atau sebagian buku, bab, bagian, paragraf, pasal dan/atau ayat; atau b. kata, frasa, istilah, kalimat, angka dan/atau tanda baca.32

iii. Unsur “Ketentuan yang Paling Menguntungkan”

Perdebatan yang disajikan mengenai “ketentuan yang paling menguntungkan”

difokuskan pada cara menentukan ketentuan pidana mana yang perlu diterapkan kepada terdakwa ketika ada perubahan perundang-undangan setelah perbuatan dilakukan. “Ketentuan yang paling menguntungkan” dimaknai oleh para ahli tidak

29 Menurut teori ini, tiap perubahan yang berpengaruh pada undang-undang pidana yang bersangkutan merupakan “perubahan perundang-undangan”. Dengan demikian, perubahan yang ada hanya pada perubahan pada perasaan hukum dari pembuat undang-undang..

30 “Perubahan perundang-undangan” dimaknai sebagai setiap perubahan yang menyebabkan berubahnya perasaan hukum dari pembuat undang-undang dan keadaan karena waktu.

31 Indonesia (c), Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 12 Tahun 2011, (LN No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234), Lampiran II Bab II huruf D angka 230.

32 Ibid., Lampiran II Bab II huruf D angka 231

(38)

hanya mengenai hukuman saja, namun juga tentang segala hal yang berpengaruh terhadap penilaian atas tindak pidana. 41Utrecht menguraikan hal ini secara terperinci dengan menyatakan: “...apa yang ditentukan dalam pasal [sic] 1 ayat 2 KUHPidana itu berlaku terhadap baik ketentuan-ketentuan yang memuat kaidah pidana (ketentuan yang menerangkan apakah suatu tindakan merupakan suatu peristiwa pidana dan apakah yang menjadi hukuman [sanksi istimewa] yang dapat dijatuhkan) — mengenai stafbaarheid — maupun ketentuan-ketentuan mengenai dapat dituntut tidaknya — mengenai vervolgbaarheid.”33 Luasnya cakupan untuk menentukan mana “ketentuan yang paling menguntungkan” menyebabkan penilaian terhadap unsur ini harus dilakukan secara praktis dalam tiap perkara.34

a. Tindak Pidana Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan dalam keadaan dan situasi yang tertentu oleh undang undang dinyatakan terlarang, yang karenanya telah terjadi dapat mengakibatkan penghukuman badan dan atau moral bahkan perampasan sebagian kekayaan bagi pelakunya.

Tindak Pidana bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.

33 Utrecht, ...Hukum Pidana I, hlm. 227.

34 Ibid.

(39)

Menurut beberapa ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup, menyatakan banyak satwa-satwa dan tumbuhan tertentu yang perkembangannya sulit, sudah langka, sulit diperoleh pada daerah tertentu, dilarang untuk dipelihara, dimiliki, dikuasai oleh orang perorangan maupun badan hukum, sehingga terlarang untuk dikuasai.

G. Metode Penelitian Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang penulis gunakan di dalam penulisan tesis ini adalah yuridis normatif. Ditinjau secara teoritis, tipe penelitian yuridis normatif dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pendekatan yuridis pada hakikatnya menunjuk pada suatu ketentuan, yaitu harus terpenuhi tuntutan secara keilmuan hukum yang khusus yaitu ilmu hukum dogmatik. Ukuran yang digunakan untuk melihat atau untuk menentukan apakah suatu permasalahan hukum konkrit telah memenuhi kriteria yuridis atau tidak harus dilihat dari empat macam karakteristik, yaitu: dari sudut sistem ilmiahnya, sistem normatifnya, sistem pendekatannya dan dari sistem interpretasinya.35

Pemakaian “ tipe penelitian yuridis normatif ” di dalam penulisan suatu penelitian hukum bertujuan untuk mengkaji norma-norma hukum positif yang relevan dengan inti permasalahan yang telah ditentukan. Dengan demikian, pembahasan pada penelitian hukum yang menggunakan metode yuridis normatif dilakukan melalui cara

35 Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Cet. Pertama, Mandar Maju, Bandung, 2008, hal. 89.

(40)

meneliti dan mengkaji masalah-masalah yang terdiri dari: “Asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum

”.36 Adapun mengenai karakteristik yang paling utama untuk dianalisis dalam lingkup

“ Penelitian yuridis normatif ” tersebut, yakni terkait dengan sejumlah persoalan yang menyangkut dengan:

1. Sumber utamanya adalah bahan hukum bukan data atau fakta sosial, karena dalam penelitian ilmu hukum normatif yang dikaji adalah bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif.

2. Pendekatannya yuridis normatif (Dalam penelitian atau pengkajian ilmu hukum normatif, kegiatannya untuk menjelaskan hukum tidak diperlukan dukungan data atau fakta-fakta sosial, sebab ilmu hukum normatif hanya mengenal bahan hukum, jadi untuk menjelaskan hukum atau untuk mencari makna dan memberi nilai akan hukum tersebut hanya digunakan konsep hukum dan langkah-langkah yang ditempuh adalah langkah normatif).

3. Menggunakan metode interpretasi (Dalam pengkajian atau penelitian ilmu hukum normatif digunakan metode interpretasi untuk memaparkan atau menjelaskan hukum tersebut).

4. Analisisnya yuridis normatif (Dalam pengkajian atau penelitian ilmu hukum normatif, kegiatan analisisnya berbeda dengan cara menganalisis ilmu hukum empiris, dalam pengkajian ilmu hukum normatif, langkah atau kegiatan melakukan analisis mempunyai sifat yang sangat spesifik atau khusus, kekhususannya di sini bahwa yang dilihat adalah apakah syarat-syarat normatif dari hukum itu sudah terpenuhi atau belum sesuai dengan ketentuan dan bangunan hukum itu sendiri.

5. Tidak menggunakan statistik (Penelitian atau pengkajian ilmu hukum normatif tidak menggunakan statistik, karena penelitian ilmu hukum normatif merupakan penelitian atau pengkajian yang sifatnya murni hukum).

6. Teori kebenarannya pragmatis (Teori kebenaran penelitian ilmu hukum adalah kebenaran pragmatis artinya dapat bermanfaat secara praktis dalam kehidupan masyarakat).

7. Sarat nilai (Sarat nilai artinya ada pengaruh dari subyek, sebab menurut pandangan penganut ilmu hukum normatif justru dengan adanya pengaruh penilaian itulah sifat spesifik dari ilmu hukum normatif dapat diungkap).37

36 Ibid., hal. 86.

37 Ibid., hal. 86-88.

(41)

Tentang metode yang penulis gunakan dalam melakukan penelitian hukum yang bersifat yuridis normatif adalah sebagai berikut:

a) Mendiskripsi hukum positif, yaitu bertugas mendiskripsi atau memaparkan isi dan struktur hukum positif;

b) Mensistematisasi hukum positif, yaitu mensistematisasi isi dan struktur hukum positif yang dideskripsikan;

c) Menginterpretasi hukum positif, yaitu berusaha menjelaskan makna yang terkandung dalam aturan;

d) Menilai hukum positif, yaitu bersifat normatif dari ilmu hukum, di mana objeknya bukan hanya norma akan tetapi juga menyangkut dengan dimensi penormaan; dan e) Menganalisis hukum positif, dalam kegiatan menganalisis ini sifatnya sistem terbuka, maksudnya antara hukum dan kepatutan harus dipikirkan dalam suatu hubungan, oleh karena itu norma hukum harus bertumpu pada asas-asas hukum dan di balik asas hukum itu dapat disistematisasi gejala-gejala lain.38

H. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang penulis gunakan di dalam penyusunan tesis ini adalah menggunakan 3 (tiga) pendekatan penelitian, yaitu sebagai berikut:

1. Pendekatan konseptual atau conceptual approach;

Adapun mengenai pengertian dari digunakannya pendekatan konseptual di dalam tesis ini mengandung pengertian, bahwa penulis melakukan suatu penelitian terhadap asas-asas, doktrin-doktrin dan teori-teori yang terkait dengan: “penerapan sanksi pidana dan tindakan terhadap pelaku tindak pidana konservasi dan sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya”.

2. Pendekatan perundang-undangan atau normative approach;

Adapun mengenai pengertian tentang pendekatan perundang-undang di dalam tesis ini adalah dalam artian, bahwa penelitian hukum yang dilakukan tidak dibatasi

38 Ibid., hal. 80-81.

(42)

hanya dengan mengkaji Kitab Undang-Undang Hukum Pidana melainkan turut pula dikaji UU No 5 thn 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistem.

3. Data Penelitian (Bahan Hukum)

Metode pengumpulan “ Bahan hukum ” dalam penyusunan tesis ini dilakukan dengan menggunakan “sistem kartu”, yakni bertujuan untuk mempermudah penulis dalam melakukan pembahasan terhadap sejumlah permasalah yang telah ditentukan.

Sementara itu, untuk bahan hukum yang penulis maksudkan tersebut adalah memiliki pengertian sebagai berikut:

1. Sources of law can refer to the origins of legal concepts and ideas;

2. Sources of law can refer to governmental institutions that formulate legal rules;

and

3. Sources of law can refer to the published manifestation that of the law.39 Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia:

1. Sumber hukum dapat merujuk pada asal-usul konsep dan ide hukum;

2. Sumber hukum dapat merujuk pada lembaga pemerintah yang mengembangkan aturan-aturan hukum; dan

3. Sumber hukum dapat merujuk pada manifestasi dari publikasi hukum.

4. Berdasarkan kepada ke 3 (tiga) poin di atas, kiranya dapat diketahui jika substansi dari bahan hukum dimaksud adalah meliputi “bahan hukum primer” dan “bahan hukum sekunder”. Selanjutnya, untuk mengetahui substansi dari kedua jenis bahan hukum dimaksud, maka dapat dikemukakan suatu argumentasi .

5. Bahan hukum primer meliputi bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer ini terdiri dari perundang- undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang- undangan dan putusan-putusan hakim.40Bahan hukum sekunder meliputi semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi yang

39 Sahuri Lasmadi, “Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana Indonesia”, Disertasi Doktor Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2003, hlm. 66.

40 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet. Keempat, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 141.

(43)

meliputi buku-buku, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, komentar- komentar atas putusan pengadilan.41

4. Tehnik dan Alat Pengumpulan Data

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research).42 Yang dimaksud dengan penelitian kepustakaan (library research) pada tahapan ini peneliti melakukan apa yang disebut dengan kajian pustaka, yaitu mempelajari buku-buku referensi dan hasil penelitian sejenis sebelumnya yang pernah dilakukan oleh orang lain. Tujuannya ialah untuk mendapatkan landasan teori mengenai masalah yang diteliti.

5. Analisis Data

Apabila “ Bahan hukum primer ” dan “ Bahan hukum sekunder ” sudah terkumpul, berikutnya dilakukan penganalisisan terhadap norma-norma hukum positif yang relevan dengan asas yang menguntungkan dalam tindak pidana Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. Tehnik penganalisisan yang dilakukan oleh penulis adalah dengan menggunakan sejumlah metode, yakni meliputi metode:

interpretasi, menilai dan mengevaluasi terhadap kesemuaan materi yang dianggap terkait dengan pokok permasalahan di tesis ini, baik berupa publikasi tentang hukum maupun bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, serta peraturan perundang- undangan yang mengatur “ Tentang asas legalitas dan asas yang menguntungkan dalam tindak pidana Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem ”.

41 Ibid.

42 Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif, ( Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), hlm.26.

(44)

BAB II

ASAS LEGALITAS DENGAN ASAS MENGUNTUNGKAN

A. Sejarah Asas Legalitas

Hukum pada dasarnya berlaku untuk masa yang akan datang, maksudnya hukum berlaku untuk terhadap peristiwa yang akan terjadi setelah peraturan tersebut ditetapkan karena hukum hanya dapat mempengaruhi perilaku yang telah dilakukan.

Hal ini terutama berlaku bagi perundang-undangan hukum pidana yang bertujuan mengatur ketertiban masyarakat, melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan atau kejahatan yang dilakukan terhadap orang lain, sehingga jelas akibat yang akan timbul dari perbuatan pidana yang dilakukan tersebut.

Hal diatas disebut dengan asas legalitas yang merupakan dasar dari hukum pidana yang ada. Ketentuan ini sering disebut dengan “nullim delictum nulla poena sine praevia legepoenal”. Asas legalitas ini merupakan salah satu asas penting dalam hukum pidana. Bangsa-bangsa di dunia mengambilnya sebagai asas utama dalam undang-undang pidana mereka masing-masing. Asas ini bersama asas lainnya seperti asas tidak berlaku surut, asas praduga tak bersalah, bersamaan kedudukan dihadapan hukum dan sebagainya, menjadi asas-asas paling penting dalam hukum pidana modern.

Rumusan nullim delictum nulla poena sine praevia legepoenali tersebut, meskipun dalam Bahasa latin , tidaklah dikenal dalam hukum Romawi Kuno melainkan berasal dari ahli hukum Jerman, yakni Von Feurbach (1775-1833). Feurbach yang

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan untuk respon teknis yang paling berkontribusi dalam menjawab suara konsumen dan harus diperhatikan oleh industri kendang jimbe berdasarkan prioritasnya

1) Penerima kuasa asuransi jiwa syariah mengisi daftar pertanyaan pada Formulir klaim meninggal dunia/kematian dan surat keterangan dokter dengan benar sesuai dengan

Pemilihan forum arbitrase (choice of forum) dan hukum yang berlaku (choice of law). Para pihak bebas untuk menentukan sendiri pemilihan forum arbitrase dalam

Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, menyatakan bahwa pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menguji pengaruh desentralisasi fiskal dan fiscal stress terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota se-Propinsi Aceh, baik

Berikut adalah gambar dari kerangka pemikiran yang akan diterapkan dalam pembangunan Sistem Informasi Marketplace UMKM Toko Pakan Burung di Kabupaten Kudus yang dapat

Karyawan yang bekerja pada kondisi kerja yang baik akan merasa semangat dalam bekerja, sedangkan karyawan yang tidak mendapatkan fasilitas yang memadai ketika bekerja

Titik akhir titrasi adalah titik dimana terjadi perubahan warna pada indicator yang menunjukkan titik ekuivalen reaksi antara zat yang dianalisis dan larutan standar.. Pada