• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

H. Pendekatan Penelitian

5. Analisis Data

Apabila “ Bahan hukum primer ” dan “ Bahan hukum sekunder ” sudah terkumpul, berikutnya dilakukan penganalisisan terhadap norma-norma hukum positif yang relevan dengan asas yang menguntungkan dalam tindak pidana Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. Tehnik penganalisisan yang dilakukan oleh penulis adalah dengan menggunakan sejumlah metode, yakni meliputi metode:

interpretasi, menilai dan mengevaluasi terhadap kesemuaan materi yang dianggap terkait dengan pokok permasalahan di tesis ini, baik berupa publikasi tentang hukum maupun bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, serta peraturan perundang-undangan yang mengatur “ Tentang asas legalitas dan asas yang menguntungkan dalam tindak pidana Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem ”.

41 Ibid.

42 Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif, ( Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), hlm.26.

BAB II

ASAS LEGALITAS DENGAN ASAS MENGUNTUNGKAN

A. Sejarah Asas Legalitas

Hukum pada dasarnya berlaku untuk masa yang akan datang, maksudnya hukum berlaku untuk terhadap peristiwa yang akan terjadi setelah peraturan tersebut ditetapkan karena hukum hanya dapat mempengaruhi perilaku yang telah dilakukan.

Hal ini terutama berlaku bagi perundang-undangan hukum pidana yang bertujuan mengatur ketertiban masyarakat, melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan atau kejahatan yang dilakukan terhadap orang lain, sehingga jelas akibat yang akan timbul dari perbuatan pidana yang dilakukan tersebut.

Hal diatas disebut dengan asas legalitas yang merupakan dasar dari hukum pidana yang ada. Ketentuan ini sering disebut dengan “nullim delictum nulla poena sine praevia legepoenal”. Asas legalitas ini merupakan salah satu asas penting dalam hukum pidana. Bangsa-bangsa di dunia mengambilnya sebagai asas utama dalam undang-undang pidana mereka masing-masing. Asas ini bersama asas lainnya seperti asas tidak berlaku surut, asas praduga tak bersalah, bersamaan kedudukan dihadapan hukum dan sebagainya, menjadi asas-asas paling penting dalam hukum pidana modern.

Rumusan nullim delictum nulla poena sine praevia legepoenali tersebut, meskipun dalam Bahasa latin , tidaklah dikenal dalam hukum Romawi Kuno melainkan berasal dari ahli hukum Jerman, yakni Von Feurbach (1775-1833). Feurbach yang

merumuskan kata-kata ini dalam bukunya Lehrbuch des Peinlichen Recht (1801).43 Sebenarnya asas legalitas ini bukanlah gagasan murni dari Feurbach sendiri sebab sebelumnya ada sejumlah tokoh yang menghasilkan karya-karya yang pada intinya sama dengan gagasan tentang asas legalitas.

Pada masa Romawi kuno dikenal adanya kejahatan-kejahatan yang tidak disebutkan dalam undang-undang (criminal extra ordinaria), termasuk didalamnya yang sangat terkenal adalah yang disebut dengan perbuatan jahat atau durhaka (criminal stellionatus). Jadi tidak ditentukan dengan jelas perbuatan seperti apa itu yang dimaksud. Ketika hukum Romawi Kuno itu diterima/ diserap ke dalam hukum pidana di negara-negara Eropa dalam abad pertengahan, pengertian criminal extra ordinaria itu diterima oleh para penguasa (Raja-raja) disana. Dengan adanya kejahatan semacam itu, hukum pidana sangat besar digunakan secara sewenang-wenang sesuai dengan kehendak dan kepentingan raja sendiri.

Sebagai respon atau kritik atas kesewenang-wenangan penguasa di Eropa tersebut yang dapat menghukum seseorang walaupun perbuatannya belum diatur dalam undang-undang, lahirlah pemikiran-pemikiran dari tokoh-tokoh seperti : Montesquieu dengan karya terkenalnya De L’esptit des Lois (1748) dan J.J. Rousseau dengan karya agungnya Dus Contrat Social ou Principes du Droit Politique (1762). Tokoh dari Itali, yaitu Cesare Beccaria dengan karya monumentalnya Dei Delliti e delle Pene atau Bahasa Inggrisnya On Crimes and Punishments (1764) lebih mempertegas tentang asas

43 Moeljatno, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan ke-tujuh, Jakarta: Rineka Cipta, hlm.

23.

legalitas ini, walaupun belum merumuskan dengan kata-kata nullim delictum nulla poena sine praevia legepoenali seperti dikemukakan oleh Feurbach di tahun 1881.

Karya Beccaria itu 25 tahun mendahului Revolusi Prancis.

Asas ini sebut dengan asas legalitas atau dalam bahasa Latin: “ Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali ”, yang dapat disalin kedalam bahasa Indonesia kata demi kata dengan: “Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya”. Sering juga dipakai istillah Latin: “ Nullum crimen sine lege stricta

”, yang dapat disalin kata demi kata pula dengan: “ Tidak ada delik tampa ketentuan yang tegas ”. Hazewinkel-Suringa memakai kata-kata dalam bahasa Belanda “ Geen delict, geen straf zonder een voorafgaande strafbepaling ” untuk rumusan yang pertama dan “ Geen delict zonder een precieze wettelijke bepaling ” untuk rumusan yang kedua.44

Pasal 1 ayat 1 KUHP berbunyi: “ Tiada perbuatan dapat dipidana kecuali atas dasar kekuatan ketentuan pidana yang terdapat dalam perundang-undangan yang sudah ada terlebih dahulu.” Jadi, singkatnya tidak ada pidana tanpa (landasan) perundang-undangan, pasal 1 ayat 1 KUHP itu menurut rumusannya dalam bahasa Belanda berbunyi: “Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voor afgegane wettelijke strafbepaling”, yang artinya : “ Tidak ada suatu perbuatan yang dapat

44 D. Hazewinkel-Suringa, Op.cit., hlm. 709.

dihukum, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada terlebih dahulu dari pada perbuatannya itu sendiri ”. 45

Dalam praktek sering dijumpai banyaknya terjemahan yang satu dengan lainnya terdapat perbedaan yang dalam penggunaanya dapat menimbulkan kesalah pahaman terhadap kepada mereka yang belum paham tentang ilmu pengetahuan hukum pidana, kesalahan yang nampaknya tidak terlalu berarti dalam menerjemahkan dapat mengakibatkan kesalahan dalam penerapannya.

Menurut Professor NOYON-LANGEMEIJER “Ayat pertama dari Pasal 1ayat 1 KUHP menekankan pada asas, bahwa tidak ada suatu perbuatanpun yang terlarang atau diharuskan kecuali hal tersebut telah dinyatakan secara tegas dalam suatu ketentuan undang-undang, hingga hukum yang sifatnya tidak tertulis itu haruslah dikesampingkan dan tidak ada suatu hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap orang yang telah melanggar suatu larangan atau suatu keharusan, kecuali jika hukuman itu telah diancamkan dalam suatu ketentuan undang-undang yang telah ada terlebih dahulu dari pada pelanggaran itu sendiri”.46

Perumusan asas legalitas juga menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang didalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus ditulis dengan jelas namun juga mengatur tentang macamnya pidana yang akan dijatuhkan. Sehingga orang yang akan melakukan perbuatan yang

45 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar HUKUM PIDANA INDONESIA, (Bandung: PT. CITRA ADITYA BAKTI, 2013) cetakan ke-5 hlm.123.

46 NOYON-LANGEMEIJER, Het Wetboek I, hlm.61.

dilarang didalam Undang-undang terlebih dahulu ia mengetahui ancaman pidana apa yang akan dijatuhkan terhadapnya sehingga si pelaku telah mengetahui perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan juga mengetahui ancaman apa yang akan dijatuhkan kepadanya sehingga dipandang sebagai sesuatu yang telah disetujuinya.

Adanya ketentuan yang terkandung dalam asas legalitas pada Pasal 1 ayat 1 KUHP yaitu :

a. Bahwa hukum pidana yang berlaku dinegara kita itu merupakan suatu hukum yang tertulis47;

b. Bahwa Undang-undang Pidana yang berlaku dinegara kita itu tidak dapat diberlakukan surut48;

c. Bahwa penafsiran secara analogis itu tidak boleh dipergunakan dalam menafsirkan Undang-undang Pidana49;

Von Feuerbach18 menghubungkan asas legalitas dengan teori “vom psychologischen zwang” yang menganjurkan agar dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam peraturan, bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya pidana untuk pelanggaran Peraturan. Dengan demikian, mereka yang akan melakukan perbuatan yang dilarang tersebut akan mengetahui apa ancaman pidana jika mereka melakukannya. Dengan demikian, ada tekanan untuk tidak melakukan perbuatan itu. Kalau dia kemudian tetap melakukan perbuatan tersebut, kemudian dijatuhi hukuman, dianggap dia sudah setuju untuk dijatuhi hukuman atas perbuatannya ini merupakan teori pembalasan.

47 van HAMEL, Inleiding, halaman 124; NOYON-LANGEMEIJER, Het Wetboek I, halaman 61 ; SIMONS, Leerboek I, halaman 96; POMPE, Handboek, halaman 49.

48 van HAMEL, op cit, halaman 133; NOYON-LANGEMEIJER, op cit, halaman 61; SIMONS, op cit, halaman 100.

49 van HAMEL, op cit, halaman 130; SIMONS, op cit, halaman 98; POMPE, op cit, halaman 50.

Dari penjelasan sebelumnya sama dengan pendapat-pendapat sebelumnya bahwa asas ini mengatur adanya undang-undang mengatur serta hukumannya ada terlebih dahulu dari pada perbuatannya.

Pada asas kedua bahwa undang-undang pidana tidak berlaku surut dengan maksud bahwa undang-undang disahkan dan dinyatakan telah berlaku tidak dapat menghukum perbuatan yang terjadi sebelum undang-undang tersebut ada, inilah yang dimaksud dengan undang-undang yang tidak berlaku surut.

Bahwa undang-undang pidana yang berlaku di negara kita hanya dapat diberlakukan bagi perbuatan yang telah dilakukan, setelah undang-undang pidana tersebut mempunyai suatu perbuatan hukum untuk diberlakukan sebagai undang-undang tentang waktu suatu undang-undang-undang-undang itu mulai mempunyai suatu kekuatan hukum untuk diberlakukan secara sah sebagai undang-undang biasanya ditentukan dalam suatu pasal dari undang-undang yang bersangkutan, contohnya pasal 286 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Suatu undang-undang pidana kehilangan kekuatan hukumnya untuk diberlakukan untuk sebagai undang-undang baik seluruhnya atau sebagian jika lahirnya undang-undang baru yang mencabut atau meniadakan undang-undang yang lama.

Hal ini dapat terjadi apabila undang-undang yang lama tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang terjadi atau dipandang tidak perlu dijadikan sebagai undang-undang. Undang-undang pidana juga dapat kehilangan kekuatan hukumnya untuk diberlakukan karena telah lampaunya suatu jangka waktu tertentu atau telah dibentuk

untuk diberlakukan dalam kurun waktu tertentu saja, suatu undang-undang pidana dapat dipandang mulai berlaku merupakan salah satu unsur yang penting untuk dapat menerapkan pasal 1 ayat 1 KUHP, sehingga orang dapat mengetahui secara pasti kapan suatu undang-undang pidana atau suatu ketentuan pidana menurut undang-undang itu mulai berlaku secara sah dan apabila suatu tindak pidana itu telah dilakukan oleh pelakunya.

Asas ketiga bahwa penafsiran secara analogis itu tidak boleh dipergunakan dalam menafsirkan undang-undang pidana, penggunaan dalam penafsiran analogis dilarang dalam hukum pidana dengan maksud agar suatu perbuatan yang semula bukan perbuatan perbuatan yang dilarang menurut undang-undang apabila dipergunakan apabila dipergunakan penafsiran dalam analogis menjadi perbuatan yang terlarang, sehingga pelakunya dapat dihukum karena telah melakukan suatu perbuatan yang sebenarnya tidak pernah dinyatakan sebagai perbuatan yang terlarang menurut undang-undang, dalam arti kata lain dengan penerapan hukum seperti itu dapat membuat suatu perbuatan yang semula tidak dinyatakan secara tegas sebagai suatu tindak pidana kemudian menjadi suatu tindak pidana atau dapat juga memperberat atau memperingan hukuman yang dijatuhkan terhadap perbuatan yang dilakukan tidak berdasarkan undang-undang. Penggunaan penafsiran analogi hanya dapat dilakukan atau dibenarkan apabila terdapat kekosongan dalam undang-undang, karena pembentuk undang-undang tidak menyadari kemungkinan terjadinya peristiwa sehingga perbuatan atau peristiwa tidak dapat dimasukkan kedalam ketentuan pidana tersebut.

Larangan ini juga untuk mencegah timbulnya suatu keadaan ketidak pastian hukum bagi masyarakat. Masyarakat perlu mendapat kepastian hukum dari peraturan yang tertulis dari undang-undang yaitu tentang perbuatan mana saja yang terlarang dan perbuatan mana yang tidak terlarang, perbuatan mana yang diancam dengan sanksi pidana penjara, kurungan atau denda, sehingga masyarakat dapat mengetahui dengan jelas apa yang dilarang dan yang tidak dilarang.

Kepastian hukum juga akan memberikan kondisi masyarakat yang tenang dalam kehidupan sehari-hari, tidak adanya kriminalisasi terhadap perbuatan yang seharusnya tidak dihukum karena belum ada ketentuan yang mengaturnya. Hal ini merupakan ciri dari suatu negara hukum, dimana masyarakatnya akan patuh terhadap hukum dan akan diberi sanksi jika melakukan perbuatan pidana.

B. Pengertian Asas Legalitas Serta Prinsip Yang Terkandung Di Dalamnya Seseorang dapat dihukum jika perbuatan yang dilakukan sudah ditentukan sebelumnya, bahwa perbuatan itu dilarang dan pelakunya diancam dengan pidana.

Orang yang melakukan perbuatan itu pun harus ada kesalahan.

Jika kita berbicara tentang perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kita berbicara tentang Criminal act (perbuatan pidana) dimana landasannya sangat penting adalah asas legalitas, yakni asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Asas ini dikenal dalam Bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali. Jika kalimat tersebut dirinci akan menjadi : nullum (tidak/tiada), Delictum (delik/tindak pidana), Nulla (tiada), Poena

(penal/hukuman), Sine (tanpa), Praevia (sebelumnya), lege poenali (undang-undang pidana) atau jika dirangkai menjadi : tiada delik, tiada hukuman, tanpa sebelumnya perbuatan itu diatur dalam undang-undang pidana.50

Rumusan tersebut sebetulnya gabungan dari dua rumusan, yakni: (1) Nulla Poena Sine Lege (Tidak/tiada Pidana Tanpa Undang-undang); dan (2) Nullum Crimen Sine Lege (Tidak/tiada Kejahatan tanpa Undang-Undang). Kedua prinsip ini merupakan tulang punggung prinsip legalitas (the principle of legality) yang melindungi satu dari hak-hak individu paling berharga dari semua hak, yakni hak atas kebebasan (the right to liberty). Dalam positivisme hukum, kedua rumusan ini muncul berkaitan dengan perjuangan melawan bahaya dari kekuasan yang tanpa batas dan absolut. Lalu apa beda kedua prinsip itu. Menurut Jerome Hall, prinsip-prinsip “Null Poena Sine Lege” itu “Afects only proven criminals” (hanya mempengaruhi pelaku tindak pidana yang terbukti bersalah), sedangkan prinsip “Nullum Crimen Sine Lege”

melindungi keseluruhan warga negara.

Maksudnya Nullum poena sine lege (tidak ada pidana tanpa undang-undang), berkaitan dengan mereka yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana, dimana hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana haruslah ada dasarnya, yakni undang-undang. Jadi ada larangan melakukan perbuatan, tetapi ancaman pidana tidak diatur didalam undang-undang itu, mereka yang terbukti bersalah pun tidak bisa dijatuhi hukuman. Artinya harus ada ancaman pidana yang diatur dalam

50 Moeljatno, loc.cit

undang untuk bisa dijatuhkan kepada mereka yang terbukti bersalah melakukan perbuatan yang dilarang dalam undang-undang ini sesuai dengan prinsip Nullum poena sine lege.

Prinsip Nullum Crimen sine lege tertuju kepada seluruh warga negara, seluruh masyarakat. Maksudnya adalah tidak ada tindak pidana bila tidak ada dasarnya berupa undang-undang tertulis. Sebelum ada undang-undang tertulis atas suatu perbuatan, maka tidak ada tindak pidana. Ketentuan ini memberikan perlindungan kepada seluruh masyarakat, yaitu melindungi kebebasan karena mereka bebas melakukan perbuatan apapun sebelum ada larangan atas perbuatan tersebut yang menyebutkan bahwa perbuatan itu dilarang dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana.

Menurut Feurbach, dari ketentuan asas legalitas ini muncul tiga aturan yang dalam Bahasa latin dikenal dengan : (1) Nulla Poena Sine Lege; (2) Nulla Poena Sine Crimine; dan (3) Nullum Crime Sine Poena Legali. Nulla Poena Sine Lege berarti setiap pengenaan pidana didasarkan hanya pada undang-undang .51 Nulla Poena Sine Crimine berarti pengenaan pidana hanya mungkin jika perbuatan yang terjadi diancam dengan pidana. Sementara itu Nullum Crimen Sine Poena Legally berarti perbuatan yang diancam dengan pidana berdasarkan undang-undang mempunyai akibat hukum bahwa oleh undang-undang ada ancaman pidananya.

51 Eddy O.s Hiariej. Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana. (Jakarta.

Erlangga, 2009) hlm. 7-8.

Asas legalitas merupakan acuan yang mendasar dalam menerapkan hukum pidana atau biasa juga disebut sebagai pedoman dan jantung hukum pidana. Asas legalitas sebagai sarana untuk membela kepentingan hukum pelaku tindak pidana atau untuk menentukan pertanggung jawaban pidana seorang terdakwa atas perbuatan yang dilakukan hal ini sesuai dengan adegium yang berbunyi non obligat lex nisi promulgate yang berarti suatu hukum tidak mengikat kecuali telah diberlakukan dari asas ini ada beberapa hal yang terkandung makna didalamnya yaitu :

1. Pembuat undang -undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan pidana berlaku mundur

2. Semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik yang sejelas-jelasnya

3. Terdapat peraturan hukum pidana dilarang diterapkan analogi 4. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas

5. Penuntuan pidana hanya menurut cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Keberadaan asas legalitas agar peradilan pidana dibatas kesewenang-wenangannya dalam menentukan ada tidaknya perbuatan yang dilarang atau sebagai fungsi pengawasan dari hukum pidana, agar jangan sampai disalah gunakan oleh pemerintah/pengadilan yang berkuasa. Asas ini menghendakitidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang ada sebelum perbuatan itu dilakukan, menghindari adanya diskriminasi proses peradilan oleh karenanya asas legalitas adalah pintu pertama dari hukum pidana dan sangat fundamental dalam hukum pidana. Asas ini sangat menentukan benar atau tidaknya

penegakan hukum pidana baik dimulai dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan putusan.

Dengan demikian dapat disimpulkan asas legalitas dapat memberikan perlindungan terhadap pelaku tindak pidana yaitu :

a. Asas legalitas sebagai jaminan agar pemerintah tidak sewenang-wenang b. Asas legalitas sebagai perlindungan proses hukum yang jelas

c. Asas legalitas sebagai hukum pidana materiil

Asas legalitas sebagaimana yang diatur dalam pasal 1 ayat 1 KUHP, mengandung prinsip yaitu :

1. Lex Scripta (Hukuman didasarkan Undang-undang tertulis)

Menurut Cleiren dan Nijboer dkk., asas legalitas berarti tidak ada kejahatan tanpa undang-undang dan tidak ada pidana tanpa undang-undang. Asas legalitas untuk melindungi hak-hak warga negara dari kesewenang-wenangan penguasa, disamping wewenang pemerintah untuk menjatuhkan pidana. Menurut mereka juga, hukum pidana adalah hukum tertulis. Tidak seorang pun dapat dipidana berdasarkan hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan tidak menciptakan hal dapat dipidananya perbuatan (stafbaarheid).

Asas ini tercantum dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang aslinya berbunyi : “Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaran voorafgegane wettelijk strafbepaling.”

Maksud ketentuan ini adalah tiada feit (perbuatan) itu strafbaar (dapat dihukum) jika tidak dari sebab wettelijk strafbepaling (perundang-undang pidana) yang ada lebih dahulu dari perbuatan itu. Dali Mutiara menerjemahkan ketentuan itu dengan : “ Tidak

ada perbuatan yang boleh dihukum, selain atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang, yang diadakan pada wakti sebelumnya perbuatan itu.

Dalam pasal 1 ayat (1) RUU KUHP, dirumuskan : “ Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.52 Rumusan ini masih sangat mirip dengan rumusan pasal 1 ayat (1) KUHP yang berlaku saat ini, kecuali ada penambahan “ Yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan ”. Pada penjelasan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP dijelaskan :

“ Ketentuan ini mengandung asas legalitas yang menentukan bahwa suatu perbuatan merupakan Tindak Pidana jika ditentukan oleh atau didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan dalam ketentuan ini adalah Undang-Undang dan Peraturan Daerah. Asas legalitas merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum Tindak Pidana dilakukan. Hal ini berarti bahwa ketetuan pidana tidak boleh berlaku surut.”

Menurut Moeljatno, asas legalitas sebagaimana ditulis dalam pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut, mengandung tiga pengertian, yaitu : (1) tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalua hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang; (2) untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analog ; dan (3) aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

52 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, KUHP KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA, PT. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988, hlm. 15.

Kata wettelijk strafbepaling yang diterjemahkan dengan perundang-undangan pidana di atas maksudnya adalah undang-undang pidana dalam luas, yakni setiap perundang-undangan yang ada ketentuan pidananya, bukan hanya undang-undang yang dibentuk bersana antara pemerintah dan DPR (undang-undang dalam arti sempit).

Dengan demikian, yang termasuk dalam perundang-undangan pidana itu adalah peraturan daerah provinsi atau kabupaten/kota yang dibentuk Bersama pemerintah daerah dengan DPRD. Peraturan daerah itu juga dapat memuat ketentuan pidana sehingga termasuk dalam wettelijk strafbepaling (Perundang-undangan pidana).

Memang selain undang-undang dan Perda, ada juga peraturan lainnya yang memuat ketentuan pidana, misalnya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu).

Pada masa demokrasi terpimpin, Penetapan Presiden juga memuat ketentuan pidana musalnya PNPS No. 1 tahun 1965 tentang penodaan Agama yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang pada tahun 1969.

Hal itu berbeda dengan kketentuan mengenai asas legalitas yang diatur dalam hukum acara pidana yang harus didasarkan kepada undang-undang (Strafwet).

Redaksinya pun berbeda antara asas legalitas dalam KUHP dengan dalam KUHAP.

Menurut Jan Remmelink, ketentuan pasal 1 stafvordering (SV) atau KUHP Belanda menetapkan bahwa hanya undang-undang dalam arti formal yang dapat memberikan pengaturan dibidang peradilan yaitu satu jenis perundang-undangan yang dibuat dan disetujui bersama DPR dan Pemerintah.

Dengan demikian peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah seperti peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang atau Peraturan Daerah tidak

bisa mengatur tentang hukum acara pidana. Berbeda dengan asas legalitas dalam pasal 1 KUHP yang menunjukan pada semua produk legislatif baik ditingkat pusat seperti Undang-Undang maupun produk legiislatif di daerah seperti Perda.

Mengenai apa hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana adalah hukum pidana adat. Hukum yang hidup didalam

Mengenai apa hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana adalah hukum pidana adat. Hukum yang hidup didalam