• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kaitan Asas Legalitas dengan Asas Menguntungkan

BAB II : ASAS LEGALITAS DENGAN ASAS MENGUNTUNGKAN 31

D. Kaitan Asas Legalitas dengan Asas Menguntungkan

Pasal 1 ayat 1 KUHP yang mengatur “Tiada perbuatan dapat dipidana kecuali atas dasar kekuatan ketentuan pidana yang terdapat dalam perundang-undangan yang sudah ada terlebih dahulu”.

Dari uraian pasal 1 ayat 1 KUHP tersbut terdapat 3 (tiga) aspek yaitu : a. Hukum pidana adalah hukum pidana yang tertulis;

b. Hukum pidana Indonesia tidak berlaku surut;

c. Larangan penafsiran analogi;

Mengenai Hukum pidana Indonesia tidak berlaku surut, dalam pasal 1 ayat 2 KUHPidana “ Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya ”.

Hal ini dapat bermakna sebagai berikut: 1. Berkurangnya ancaman pidananya atau berubah tindak pidananya. Jika dicermati sebenarnya terdapat pertentangan antara pasal 1 ayat 1 KUHP dengan pasal 1 ayat 2 KUHP. Pasal 1 ayat 1 KUHP disebutkan suatu perbuatan tidak dapat dipidana yang telah ada, kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada, sehingga seseorang yang telah melakukan perbuatan melawan hukum, sebelum ada Undang-undang yang mengaturnya perbuatan melawan hukum itu, maka perbuatannya tidak dapat dipidana, sementara pada pasal 1 ayat (2) KUHP telah menganulir perbuatan seseorang yang melawan hukum dengan syarat penetapan sanksi hukum terhadap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum adalah yang paling menguntungkan baginya, sehingga terjadi kontradiktif.

Sehingga pasal 1 ayat (1) KUHP yang merupakan asas legalitas, mengharuskan adanya ketentuan pidana terlebih dahulu, baru dapat menghukum orang yang melakukan perbuatan melawan hukum dan menganut prinsip Lex Praevia (Asas larangan berlaku surut dalam hukum pidana) dan Pengecualiannya, yang mengharuskan hukum harus berjalan ke depan tidak boleh berjalan mundur, namun dengan adanya pasal 1 ayat 2 KUHP, memberlakukan asas menguntungkan bagi

terdakwa, dengan maksud apabila ketentuan yang terdahulu lebih menguntungkan daripada ketentuan yang baru, maka harus diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan, jika ketentuan yang terdahulu lebih menguntungkan, maka ketentuan yang terdahulu diberlakukan kepada terdakwa, sehingga peraturannya berlaku surut, dengan penerapan asas yang menguntungkan bagi terdakwa.

Namun ada yang berpendapat bahwa kekhawatiran tentang prinsip berlaku surut adalah karena akan memberikan ketidakpastian hukum bagi masyarakat, karena jika suatu perbuatan pada saat dilakukan bukan merupakan suatu tindak pidana, namun dengan keluarnya peraturan baru, yang mengatur tentang perbuatan tersebut merupakan tindak pidana, sehingga orang tersebut dapat dikenakan sanksi pidana, namun sebenarnya prinsip dari asas yang menguntungkan ini adalah jika terjadi perubahan peraturan, maka akan diterapkan asas yang menguntungkan bagi terdakwa setelah dilakukannya perbuatan tersebut, apakah perubahan sanksi atau peniadaan sanksi karena perbuatan tersebut bukan lagi merupakan tindak pidana yang dilarang.

Jadi kekhawatiran tentang kriminalisasi terhadap suatu perbuatan tersebut akan berbeda penerapan dengan kasus Bom Bali, sehingga dapat dikatakan sangat kasuistis tentang kwalitas perkara pidananya

BAB III

PENERAPAN ASAS YANG MENGUNTUNGKAN DALAM PELAKSANAAN PRINSIP DOMINUS LITIS PENUNTUT UMUM

PADA PROSES PRA PENUNTUTAN

A. Prinsip Dominus Litis Pada Tugas Dan Fungsi Kejaksaan Dalam Pra Penuntutan

Negara Indonesia merupakan Negara hukum, hal ini ditegaskan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945 Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa “ Negara Indonesia adalah negara hukum ” sebagai negara hukum, maka sangat menjunjung tinggi hukum yang berlaku sebagai alat untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dengan demikian, penegakkan hukum menempati posisi yang sangat sentral, dengan menempatkan hukum dalam fungsinya sebagai alat pengatur bagi kehidupan masyarakat dengan masyarakat dan masyarakat dengan pemerintah.

“ Hukum dan masyarakat seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Berlakunya hukum memang didalam suatu tatanan sosial yang disebut masyarakat, oleh bangsa Romawi disebut sebagai ubisocietas ibi ius yang menggambarkan betapa eratnya hubungan antara hukum dan masyarakat ”.58

“ Penegakan hukum dalam pengertian makro meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, sedangkan dalam pengertian mikro penegakan

58 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Dalam Pembangunan, PT. Alumni, Bandung.

2006. hlm. 3.

hukum terbatas dalam proses penyelesaian perkara dipengadilan, dalam perkara pidana termasuk proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan ( Pemeriksaan di depan persidangan) hingga pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap”.59

“ Dalam hal terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana, maka wajib segera dilakukan tindakan yang diperlukan guna menyelesaikannya, dengan melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan.60 Menjadi tugas dan wewenang Penuntut Umum. Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menegaskan kewenangan melakukan penuntutan dipegang oleh Jaksa selaku Penuntut Umum (JPU), yakni dalam hal menerima dan memeriksa berkas perkara hasil penyidikan dari penyidik”.61

Apakah perbedaan antara Jaksa dengan Penuntut Umum, hal ini diatur dalam pasal 1 angka 6 huruf a dan b KUHAP yaitu :

i. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

59 Marwan Effendy, Deskresi Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, makalah disampaikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Universitas Brawijaya Malang, Malang, 11 Juni 2012, hlm. 2-3.

60 Erni Widhayanti, Hak-Hak Tersangka/Terdakwa di dalam KUHAP, Liberty, Yogyakarta, 1996, hlm 48.

61 A. Soetomo, Hukum Acara Pidana Indonesia dalam Praktek, Pustaka Kartini, Jakarta, 1990, hlm. 19.

ii. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Jaksa Penuntut Umum melimpahkan berkas perkara ke pengadilan untuk diperiksa di Pengadilan. Ketentuan itu diatur dalam KUHAP Pasal 1 butir 7 mengatur

“ Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang Pengadilan ”. Berdasarkan pasal ini menjelaskan Penuntut Umum setelah menerima berkas perkara, maka Penuntut Umum akan membuat surat dakwaan dan melimpahkan perkara tersebut ke Pengadilan Negeri yang berwenang ssmengadili perkara pidana tersebut dan Hakim akan mengeluarkan Penetapan Persidangan, pasal 14 KUHAP mengatur :

Penuntut Umum mempunyai wewenang :

i. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu.

ii. Mengadakan Pra Penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat 3 dan 4, dengan memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik.

iii. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan, atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik.

iv. Membuat surat dakwaan

v. Melimpahkan perkara ke pengadilan

vi. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan.

vii. Melakukan penuntutan

viii. Menutup perkara demi kepentingan hukum

ix. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini

x. Melaksanakan penetapan hakim

Inilah yang menjadi tugas dan kewenangan penuntut umum dimulai sejak diterimanya berkas perkara hingga pelaksanaan penetapan hakim. Pasal 109 KUHAP ayat 1 mengatur “ Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal ini kepada penuntut umum”.

Pasal 110 ayat 1 KUHAP mengatur “Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada Penuntut Umum.

Ayat 2 mengatur “Dalam hal Penuntut Umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, Penuntut Umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi”.

Pasal 137 KUHAP mengatur “Penuntut Umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke Pengadilan yang berwenang mengadili”.

Pasal 138 KUHAP mengatur:

(1). Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum.

(2). Dalam Hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap. Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas perkara, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada Penuntut Umum.

Pasal 139 KUHAP mengatur “Setelah Penuntut Umum menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke Pengadilan”.

Pasal 140 ayat 1 KUHAP mengatur “Dalam hal Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan”.

Kewenangan melakukan penuntutan sejatinya menjadi monopoli mutlak penuntut umum yang lazim disebut prinsip ‘Dominus litis’.

Perlu diketahui ‘Dominus litis’ berasal dari bahasa latin. Dominus artinya Pemilik, sedangkan litis artinya perkara atau gugatan. Black’s Law Dictionary menerjemahkan dominus litis sebagai berikut: “The party who makes the decisions in a lawsuit, usually as distinguished from the attorney”. (red-pihak yang membuat

keputusan dalam hukum biasanya dibedakan dengan kejaksaan).

“ Asas dominus litis, menegaskan bahwa tidak ada badan lain yang berhak melakukan Penuntutan selain Jaksa Penuntut Umum yang bersifat absolut dan monopoli. Jaksa Penuntut Umum menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki dan memonopoli pengendalian penuntutan dan penyelesaian perkara pidana. Hakim tak

dapat meminta supaya perkara pidana yang terjadi diajukan kepadanya. Hakim dalam penyelesaian perkara hanya bersifat pasif dan menunggu tuntutan dari penuntut umum”.62

Asas ini otomatis menempatkan Jaksa Penuntut Umum selaku pengendali perkara, dapat atau tidaknya dilakukan penuntutan terhadap suatu perkara tindak pidana hasil penyidikan (oleh Penyidik) adalah mutlak wewenang Penuntut Umum.

Begitu pula Penuntut Umum dapat menghentikan penuntutan dengan alasan tidak cukup bukti, peristiwanya bukan tindak pidana dan perkaranya ditutup demi hukum.

Penuntut Umum berdasarkan Pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP didefinisikan sebagai Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Sedangkan yang dimaksud Jaksa berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU 16/2004 menyebutkan, “ Pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang ”.

Prinsip Dominus Litis telah diakui dan tercermin di dalam pasal 2 Undang-undang Nomor : 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa “ Kejaksaan merupakan lembaga Pemerintahan yang melaksanakan Kekuasaan Negara dibidang Penuntutan serta Kewenangan lainnya

62 Hari Sasongko, Penuntutan dan Tehnik Membuat Surat Dakwaan, Dharma Surya Berlian, Surabaya, 1996, hlm. 26.

berdasarkan Undang-Undang ”, yang dilaksanakan secara Independen yang sejalan dengan prinsip bahwa Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan (een en ondelbaar), sehingga tidak ada suatu lembaga pemerintah manapun yang dapat melakukan tugas penuntutan tersebut untuk dan atas nama Negara Undang- Undang Republik Indonesia Nomor : 16 Tahun 2014 Tentang Kejaksaan Repblik Indonesia pada Bab III pasal 30 ayat 1 menyebutkan tugas dan wewenang kejaksaan pada bidang pidana yaitu:

1. Melakukan Prapenuntuta;

2. Melaksanakan Penetapan Hakim dan Putusan yang telah mempunyai kekuatan Hukum tetap;

3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan Pidana Pengawasan dan putusan lepas bersyarat;

4. Melakukan penyidikan terhadap pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang;

5. Melengkapi berkas Perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik;

Penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti (tahap dua) ialah apabila hasil penyidikan telah dinyatakan lengkap (P-21) atau tidak ada pemberitahuan dari penuntut umum yang menyatakan bahwa berkas perkara telah lengkap atau tidak ada pemberitahuan dari penuntut umum yang menyatakan bahwa berkas perkara telah lengkap atau apabila tenggang waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas dan penuntut umum tidak mengembalikan berkas perkara. Penyerahan berkas perkara tahap kedua tersebut telah sah maka dengan sendirinya telah terjadi penyerahan tanggung jawab yuridis atas berkas perkara termasuk tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti antara penyidik dengan penuntut umum. Pasal 8 ayat 3 huruf b KUHAP yang

mengatur: “ Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum ”.63

Apabila penuntut umum telah menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dimasukkan ke pengadilan seperti apa yang diatur dalam pasal 139 KUHAP yang mengatur sebagai berikut:

“ Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan ”.

Di sini dibutuhkan ketelitian penuntut umum dalam menerima berkas perkara, apabila sudah menyatakan hasil pendidikan telah lengkap berarti harus tidak ada kekurangannya apabila perkara tersebut diajukan kemuka sidang pengadilan. Dalam usaha pembuktian di muka sidang pengadilan atas perkara tersebut jangan sampai ada alat bukti yang belum terlampir dalam berkas perkara.

Prinsip Dominus Litis menempatkan Penuntut Umum selaku pengendali perkara, dapat atau tidaknya dilakukan penuntutan terhadap suatu perkara tindak pidana hasil penyidikan (oleh Penyidik) adalah mutlak wewenang Penuntut Umum.

Begitu pula Penuntut Umum dapat menghentikan penuntutan dengan alasan tidak cukup bukti, peristiwanya bukan tindak pidana, dan perkaranya ditutup demi hukum, Pasal 140 ayat (2) huruf a “ Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk

63 Abdul Hakim G. Nusantara, Luhut M.P. Pangaribuan, Mas Achmad Santosa, Op.cit, hal.10

menghentikan penunutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peritiwa tersebut ternyata bukan merupakan Tindak Pidana atau perkara ditutup demi hukum, Penuntut Umum menuangkan hal tersebut dalam surat tetetapan ”.64

Dalam penjelasan Pasal 18 Ayat (1) UU 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyebutkan, “Mengingat Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang Kejaksaan maka Jaksa Agung adalah juga pimpinan dan penanggung jawab tertinggi dalam bidang penuntutan”.

Dengan demikian, pelaksanaan kekuasaan teknis penuntutan yang dilakukan oleh Penuntut Umum di manapun mereka bertugas, mutantis mutandis dikendalikan dan dipimpin oleh Jaksa Agung.

B. Peran Prinsip Dominus Litis Dalam Proses Penyidikan

Menurut ketentuan pasal 1 ayat 2 KUHAP mengatur “ Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya ”.65

Apabila penyidik mengetahui sendiri tentang terjadinya suatu tindak pidana, maka dengan sendirinya segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan, misalnya melakukan tindakan di tempat kejadian, melakukan penangkapan, melakukan penggeledahan dan lain lain.

64 ibid, hlm. 48.

65 ibid, hlm 4.

Fungsi penyelidikan dilakukan sebelum dilakukan penyidikan hanya bertugas untuk mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang sesungguhnya telah terjadi dan bertugas mambuat berita acara serta laporannya nantinya merupakan dasar permulaan penyidikan.

Dalam hal penyidik menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa, yang oleh pelapor atau pengadu tentang terjadinya suatu peristiwa, yang oleh pelapor atau pengadu telah diduga sebagai suatu tindak pidana, maka penyidik dalam melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan harus berhati hati dalam hal melakukan pemanggilan pemanggilan, pemeriksaan terhadap saksi, terutama pemeriksaan atau pemanggilan terhadap calon tersangka terutama dalam hal melakukan penangkapan, Penahanan. Maksud dari tindakan berhati hati dalam penetapan calon tersangka maupun tersangka harus berdasarkan alat bukti yang cukup, dengan menemukan minimal dua alat bukti sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 184 KUHAP. Apabila penyidik kurang berhati-hati dalam rangka penetapan tersangka serta tindakan lanjutan melakukan penangkapan dan penahanan, apabila orang tersebut bukan sebagai tersangka, maka penyidik harus menghentikan penyidikannya sesuai dengan ketentuan pasal 77 dan pasal 95 KUHAP.

Penyidikan merupakan suatu rangkaian tindakan dari penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti untuk membuat terang tindak pidana yang telah dilaporkan oleh pelapor atau yang telah diadukan oleh pengadu, yakni untuk menemukan tersangkanya, maka dalam hal penyidik itu menerima laporan atau pengaduan, sebaiknya ia mencari dan mengumpulkan bukti-bukti lebih dahulu dan berdasarkan

bukti bukti yang berhasil dikumpulkan itu kemudian menentukan tindakan apa yang harus ia lakukan, misalnya memanggil saksi saksi untuk memperkuat bukti bukti yang telah ada dan apabila ia yakin bahwa suatu tindak pidana itu benar benar telah terjadi, kemudian harus memastikan siapa sebenarnya pelaku tindak pidana tersebut dan apakah

Pengadu itu merupakan seorang pengadu yang sah menurut Undang-undang, dan pengaduannya itu telah diajukan dalam tenggang waktu yang ditentukan dalam Undang-undang.

Setelah penyidik memperoleh kepastian mengenai siapa sebenarnya pelaku tindak pidana yang bersangkutan dan memperoleh kepastian mengenai sahnya pengaduan yang telah diajukan oleh seorang pengadu, barulah melakukan pemanggilan terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana untuk didengar keterangannya sebagai seorang tersangka.66

Pasal 7:

(1) Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang:

1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;

2. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian;

3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

6. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;

7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

66 P.A.F. Lamintang, dan Theo Lamintang. Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Pidana & Yurisprudensi, Cet. Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 260-261.

8. Mendatangkan orang ahli yang diperlakukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

9. Mengadakan penghentian penyidikan;

10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab;67

Pasal 7 ayat (1) dari huruf a sampai dengan huruf j KUHAP adalah kegiatan Penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik setelah menerima laporan atau pengaduan dari korban dalam rangka pemberkasan suatu perkara pidana. Dimulai sejak menerima laporan kejadian suatu tindak pidana sampai dengan penghentian penyidikan suatu perkara pidana, jika kejadian yang dilaporkan tersebut bukan merupakan tindak pidana, tidak cukup alat bukti dan dihentikan penyidikannya demi hukum. Kapankah Penyidik dapat melakukan penghentian penyidikan. Hal ini diatur dalam pasal 109 KUHAP : a. Dalam hal penyidikan telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang

merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum;

b. Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum, tersangka atau keluarganya;

c. Dalam hal penghentian tersebut pada ayat (2) dilakukan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf b, pemberitahuan mengenai hal itu segera disampaikan kepada penyidik dan Penuntut Umum.68

Pasal 109 ayat 1 KUHAP ini merupakan kegiatan penyidik untuk memberitahukan kepada Penuntut Umum bahwa Penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa pidana, bentuk pemberitahuannya adalah Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang harus disampaikan oleh Penyidik

67 Abdul Hakim G. Nusantara, Luhut M.P. Pangaribuan, Mas Achmad Santosa, SH., Op.cit, hlm.10.

68 ibid.

kepada Penuntut Umum, yang selanjutnya Kejaksaan akan mengeluarkan Surat Perintah Penunjukan Jaksa (P-16) untuk melakukan kegiatan mengikuti perkembangan penyidikan dan meneliti hasil penyidikan perkara tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ketentuan administrasi perkara tindak pidana, dengan menyebutkan nama tersangka, uraian singkat kejadian perkara dan pasal yang disangkakan (prinsip dominus litis).

Pasal 110 KUHAP ayat (1):

“ Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum ”.69

Kegiatan ini disebut dengan penyerahan tahap pertama berkas perkara dari Penyidik kepada Penuntut Umum, untuk dilakukan penelitian/pemeriksaan berkas perkara apakah berkas perkara tersebut telah memenuhi persyaratan Formil maupun persyaratan Materiil. (Prinsip Dominus Litis).

(1). “Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik serta petunjuk untuk dilengkapi”;

(2). “Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib melakukan penyidikan tambahan sesuai petunjuk dari penuntut umum”;

(3). “Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik”;

Pada ayat 1 pasal 110 KUHAP adalah kegiatan Penuntut Umum setelah melakukan penelitian/pemeriksaan berkas perkara dari Penyidik, ternyata Penuntut

69 ibid.

Umum berpendapat bahwa berkas perkara tersebut belum memenuhi persyaratan Formil maupun persyaratan Materiil, Penuntut Umum wajib memberikan petunjuk kepada Penyidik tentang hal-hal yang harus dipenuhi oleh Penyidik untuk kelengkapan suatu berkas perkara (P-19), agar dapat dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (Prinsip Dominus Litis).

Pasal 8 ayat (2) KUHAP mengatur: “ Penyidik menyerahkan berkas perkara kepadaenuntut Umum”

Ayat 3 mengatur: Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan:

a. Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara;

b. Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum;70

b. Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum;70