PENYELESAIAN SENGKETA OLEH BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA DALAM PERJANJIAN SEWA GUNA USAHA KAPAL
(Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 170/B/Pdt.Sus-Arb/2017)
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh :
MAULANA ABDULILLAH PANE NIM : 120200370
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
2 0 1 8
ABSTRAK
Maulana Abdulillah Pane*
M. Husni**
Puspa Melati**
Arbitrase bagi dunia maju dianggap sebagai alternatif penyelesaian sengketa. Hal ini disebabkan karena penyelesaian sengketa bisnis melalui peradilan resmi pada umumnya memerlukan waktu lama disebabkan faktor prosedur sistem peradilan sangat kompleks. Permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini adalah bagaimana aspek hukum perjanjian sewa guna (leasing), bagaimana penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase, bagaimana peranan lembaga arbitrase dalam penyelesaian sengketa perjanjian sewa guna usaha kapal dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 170/B/Pdt.Sus-Arb/2017.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris dan spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analitis. Pengumpulan data melalui data primer dan data sekunder. Metode analisis yang dipakai adalah kualitatif, dan penyajian datanya dalam bentuk laporan tertulis secara ilmiah.
Aspek hukum perjanjian sewa guna (leasing) pada umumnya mengacu pada perjanjian standar, dimana formulir perjanjiannya telah disediakan oleh pihak lessor, pihak lessee hanya tinggal menyetujuinya saja (take it or leave it).
Akibat dari perjanjian standar tersebut hak dan kewajiban serta tanggung jawab dalam perjanjian lebih banyak dibebankan kepada pihak lessee. Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase yang merupakan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigasi) menjadi alternatif penyelesaian suatu perselisihan (perkara) oleh seorang atau beberapa orang wasit (arbiter) yang bersama-sama ditunjuk oleh para pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan lewat Pengadilan, baik untuk perkara-perkara di tingkat nasional maupun internasional. Peranan lembaga arbitrase dalam penyelesaian sengketa perjanjian sewa guna usaha kapal dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 170/B/Pdt.Sus- Arb/2017 adalah Badan Arbitrase Nasional Indonesia sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang pada dasarnya tidak berbeda dengan proses pemeriksaan sengketa lewat pengadilan secara umum, akan tetapi struktur dalam arti susunan kelembagaan, antara arbitrase dengan pengadilan sangat berlainan. Pelaksanaan putusan arbitrase dilaksanakan secara sukarela dan jika para pihak tidak bersedia memenuhi pelaksanaan putusan arbitrase secara sukarela maka putusan arbitrase dapat dilaksanakan secara paksa. .
Kata Kunci : Sengketa, Badan Arbitrase Nasional Indonesia, Sewa Guna Usaha.
.
*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
** Dosen Pembimbing I dan Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah swt atas segala nikmat Islam dan nikmat kesempatan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul skripsi ini adalah
“Penyelesaian Sengketa Oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia Dalam Perjanjian Sewa Guna Usaha Kapal (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 170/B/Pdt.Sus-Arb/2017)”. Untuk penulisan skripsi ini penulis berupaya agar hasil dari penulisan skripsi ini bisa lebih baik seperti yang diharapkan, meskipun demikian penulisan ini masih terdapat kekurangan-kekurangan, karena manusia tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu, semua saran dan kritik akan penulis terima dari siapa saja dalam rangka penyempurnaan penulisan skripsi ini.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak sehingga dalam kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara..
3. Ibu Puspa Melati, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Dr. Jelly Leviza S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Dr. Rosnidar Sembiring S.H,M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan yang telah banyak membantu dan memudahkan saya dalam mengajukan judul skripsi.
6. M. Husni, SH.M.Hum selaku dosen pembimbing I dan Ibu Puspa Melati, SH.M.Hum selaku Dosen Pembimbing II serta seluruh dosen di departemen Hukum Keperdataan yang telah banyak membantu berupa pikiran dan waktunya untuk memberikan pengarahan dan bimbingan kepada saya sehingga memudahkan saya dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini. Semoga ilmu yang penulis telah peroleh selama ini dapat bermakna dan berkah bagi penulis dalam hal penulis ingin menggapai cita-cita.
Medan, April 2018 Penulis
Maulana Abdulillah Pane
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iv
BAB I : PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penulisan ... 6
D. Manfaat Penulisan ... 6
E. Keaslian Penulisan ... 6
F. Metode Penelitian... 7
G. Sistematika Penulisan... 10
BAB II : ASPEK HUKUM PERJANJIAN SEWA GUNA (LEASING) ... 12
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Leasing ... 12
B. Para Pihak dalam Perjanjian Leasing... 22
C. Wanprestasi Dalam Perjanjian Leasing ... 25
BAB III : PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI LEMBAGA ARBITRASE ... 41
A. Arbitrase Sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian Sengketa di Luar Peradilan ... 41
B. Peran dan Prospek Penegakan Arbitrase. ... 54
C. Faktor-Faktor yang Mendorong Para Pihak Memberdayakan Arbitrase dalam Menyelesaikan Sengketa 66 BAB IV : PERANAN LEMBAGA ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERJANJIAN SEWA GUNA USAHA KAPAL (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 170/B/Pdt.Sus-Arb/2017) ... 75
A. Pelaksanaan Putusan Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa Perjanjian Sewa Guna Usaha Kapal ... 75
B. Faktor Penghambat Pelaksanaan Putusan Arbitrase yang Dilakukan Oleh Lembaga Arbitrase. ... 84
C. Keberhasilan dan Kegagalan Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa Perjanjian Sewa Guna Usaha Kapal yang Dilakukan Oleh Lembaga Arbitrase ... D. Analisis Putusan Nomor 170/B/Pdt.Sus-Arb/2017 ... 92
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 101
A. Kesimpulan ... 101
B. Saran ... 102
DAFTAR PUSTAKA ... 104
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Modal dalam perusahaan merupakan salah satu hal yang paling penting dalam pembiayaan dan pembangunan perusahaan. Perusahaan dapat memperoleh tambahan modal dengan berbagai cara baik melalui lembaga perbankan maupun lembaga non perbankan. Pada lembaga perbankan tambahan modal yang diberikan dapat berupa kredit dengan jaminan sedangkan pada lembaga non perbankan salah satunya dengan pemberian leasing (sewa guna usaha).1
Leasing merupakan hal yang telah lama dikenal di Indonesia, dan hingga kini leasing telah berkembang semakin pesat mengikuti perkembangan perekonomian sat ini. Serta menjadi metode baru yang dapat digunakan untuk menambah modal kerja.
Mengingat bahwa transaksi leasing merupakan suatu transaksi yang melibatkan sejumlah besar modal dan kemungkinan terjadinya ingkar janji (wanprestasi) oleh para pihak terutama di negara berkembang seperti Indonesia maka untuk menjamin kelancaran dan ketertiban pembayaran uang sewa serta mencegah timbulnya kerugian bagi pihak lessor maka lembaga jaminan inilah yang digunakan untuk memperoleh rasa aman.2 Dalam hal yang demikian itu pula perumusan dan isi klausul-klausul dalam perjanjian sangatlah penting untuk menjamin pemenuhan atas pelaksanaan perjanjian leasing ini.
1 Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan Dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 28.
2 Ibid., hlm. 30
Hubungan bisnis atau perjanjian dalam dunia perdagangan, memang memberikan dampak yang positif, namun disisi lain selalu ada kemungkinan timbulnya perbedaan paham, perselisihan pendapat maupun pertentangan atau sengketa sebagai akibat dari adanya salah satu pihak yang berselisih terhadap kontrak dagang tersebut. Terjadinya perselisihan dan sengketa ini sering kali disebabkan apabila salah satu pihak tidak menjalankan kesepakatan yang telah dibuat dengan baik ataupun karena ada pihak yang wanprestasi, sehingga merugikan pihak lainnya yang kemudian timbul rasa untuk menuntut penyelesaian yang biasanya diselesaikan melalui jalur hukum (pengadilan).
Sengketa perdagangan dapat timbul kapan saja dan dimana saja di antara pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan bisnis atau perdagangan. Timbulnya sengketa dalam kegiatan perdagangan, maka para pihak yang bersengketa dapat menuntut pemecahan dan penyelesaian sengketa yang cepat dan tepat. Para pihak yang terlibat dalam sengketa perdagangan dapat secara bebas memilih cara penyelesaian dan hukum yang akan dipergunakan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati di dalam kontrak. Penyelesaian sengketa dalam kegiatan perdagangan tidak hanya dapat dilakukan melalui pengadilan (litigasi) tetapi juga dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigasi).3
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan bagi bangsa Indonesia merupakan hal yang menjadi falsafah bangsa Indonesia sejak dahulu kala, hanya penamaannya tidak memakai kalimat penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
3 M. Husein dan A. Supriyadi., Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hlm. 48
Penyelesaian sengketa ini merupakan falsafah nenek moyang bangsa Indonesia yang telah berkembang di tengah-tengah masyarakat, misalnya masyarakat antar daerah yang bertikai lebih mengutamakan menyelesaikannya dalam bentuk musyawarah.
Lahirnya model penyelesaian sengketa di luar pengadilan, tidak terlepas dari waktu yang lebih lama jika penyelesaian sengketa dilakukan melalui pengadilan. Di tengah runtuhnya kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan, kiranya perlu diusahakan untuk melakukan perbaikan, baik pada aturan perundang-undangannya maupun sarana dan prasarananya, termasuk pula didalamnya moralitas (ini mungkin yang paling penting) sumberdaya manusia yang terlibat secara langsung dalam peradilan.Pranata alternatif penyelesaian sengketa, pada dasarnya merupakan bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yang didasarkan kepada kesepakatan para pihak yang bersengketa.4
Arbitrase bagi dunia maju dianggap sebagai alternatif penyelesaian sengketa. Hal ini disebabkan karena penyelesaian sengketa bisnis melalui peradilan resmi pada umumnya memerlukan waktu lama disebabkan faktor prosedur sistem peradilan sangat kompleks. Di samping itu kalangan dunia bisnis beranggapan penyelesaian sengketa bisnis, kurang dipahami oleh para hakim jika dibandingkan dengan mereka yang bergerak dalam dunia bisnis itu sendiri.5
Saat ini bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang paling umum dilakukan adalah negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. Sebagai konsekuensi dari kesepakatan para pihak yang bersengketa tersebut, Alternatif
4 Sudargo Gautama., Undang-Undang Arbitrase Baru 1999. PT. Cita Aditya Bhakti, Bandung, 2000, hlm.37
5M. Yahya Harahap., Arbitrase, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hlm.5
Penyelesaian Sengketa bersifat sukarela dan karenanya tidak dapat dipaksakan oleh salah satu pihak kepada pihak lain yang bersengketa. Arbitrase merupakan istilah yang dipakai untuk menyelesaikan sengketa dengan cara damai sehingga mencapai suatu hasil tertentu yang secara hukum final dan mengikat.6
Prasyarat utama bagi suatu proses arbitrase ialah kewajiban pada para pihak membuat suatu kesepakatan tertulis atau perjanjian arbitrase (arbitration clause/agreement) dan kemudian menyepakati hukum dan tata cara bagaimana mereka akan mengakhiri penyelesaian. Di luar arbitrase biasanya dalam menyelesaian sengketa para pihak menunjuk pengacara untuk menyelesaikan melalui atau berusaha menyelesaikan sendiri secara langsung.7
Penyelesaian sengketa oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia salah satunya adalah perjanjian Sewa Guna Usaha kapal dengan opsi beli (SGU) atas objek sebuah kapal Caraka Jaya Niaga MI-5 (“CJN III-5”) yang tertuang dalam Akta Nomor 50 tertanggal 19 Januari 2012 di hadapan Notaris Ny. Poerbaningsih Adi Warsito, S.H. yang kemudian diubah melalui Addendum Nomor 1 tertanggal 28 September 2012 juncto Addendum Nomor 2 tertanggal 31 Januari 2013 antara Penggugat dan Tergugat I yang kemudian kedudukan Tergugat I dilanjutkan oleh Tergugat II (beralih karena hukum; pemisahan spin/off dari Tergugat I kepada Tergugat II);
Jaminan tambahan Penggugat atas Sertifikat Hak Milik Nomor 07690/Duri Kepa seluas 126 m² (seratus dua puluh enam meter persegi) dan Sertifikat Tanah Nomor 56 terletak di Jalan Bangun Nusa Raya Nomor 8, Cengkareng Timur
6 Ibid., hlm. 6
7 Ibid., hlm. 8
Jakarta Barat yang mana kedua SHM tersebut atas nama Billy Asnandar (Penggugat) pada Akta Nomor 50, tanggal 19 Januari 2012 dan Addendum Nomor 2, tanggal 31 Januari 2013.
Badan Arbitrase Nasional Indonesia dalam putusannya menghukum Pemohon dan Termohon II untuk membayar biaya perkara yang timbul masing- masing ½ (satu perdua) bagian, oleh karena Pemohon telah membayar ½ (satu perdua) bagian biaya perkara yang menjadi kewajiban Termohon II, maka Termohon II wajib membayar kembali biaya tersebut kepada Pemohon sebesar Rp54.519.000,00 (lima puluh empat juta lima ratus sembilan belas ribu rupiah) dan Menghukum Pemohon, Termohon I, Termohon II, Turut Termohon I, dan Turut Termohon II untuk melaksanakan putusan ini selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah putusan Arbitrase ini diucapkan.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis memilih judul skripsi
“Penyelesaian Sengketa Oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia Dalam Perjanjian Sewa Guna Usaha Kapal (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 170/B/Pdt.Sus-Arb/2017)”.
B. Perumusan Masalah
Adapun permasalahan dalam penelitian skripsi ini adalah:
1. Bagaimana pelaksanaan putusan arbitrase dalam penyelesaian sengketa perjanjian sewa guna usaha kapal ?
2. Faktor apakah yang menjadi penghambat pelaksanaan putusan arbitrase yang dilakukan oleh lembaga arbitrase ?
3. Bagaimana keberhasilan dan kegagalan arbitrase dalam penyelesaian sengketa perjanjian sewa guna usaha kapal yang dilakukan oleh lembaga arbitrase ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan putusan arbitrase dalam penyelesaian sengketa perjanjian sewa guna usaha kapal.
2. Untuk mengetahui faktor penghambat pelaksanaan putusan arbitrase yang dilakukan oleh lembaga arbitrase.
3. Untuk mengetahui keberhasilan dan kegagalan arbitrase dalam penyelesaian sengketa perjanjian sewa guna usaha kapal yang dilakukan oleh lembaga arbitrase
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan dalam penelitian ini adalah :
1. Secara teoretis penelitian ini bermanfaat untuk penambahan khasanah kepustakaan khususnya tentang mekanisme penyelesaian sengketa oleh badan arbitrase nasional Indonesia dalam perjanjian sewa guna usaha kapal.
2. Dari segi praktis, penelitian ini sebagai suatu bentuk sumbangan pemikiran dan masukan bagi para pihak yang berkepentingan khususnya bagi masyarakat untuk mengetahui penyelesaian sengketa perjanjian sewa guna usaha kapal oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia.
E. Keaslian Penulisan.
Skripsi ini berjudul : “Penyelesaian Sengketa Oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia Dalam Perjanjian Sewa Guna Usaha Kapal (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 170/B/Pdt.Sus-Arb/2017)” adalah judul yang belum pernah dibahas oleh pihak manapun dan belum pernah dipublikasikan di media manapun.
Berdasarkan penelusuran perpustakaan dan hasil-hasil pembahasan skripsi yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan ternyata belum pernah dilakukan pembahasan skripsi yang berjudul di atas dan ini adalah murni hasil penelitian.
F. Metode Penelitian
Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tatacara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambahkan pengetahuan manusia. Dengan demikian metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.8
Metode penelitian dalam konteks ini, dijelaskan secara rinci langkah- langkah yang akan ditempuh dalam melakukan penelitian untuk menjawab permasalahan yang ditetapkan, sejak dari penentuan jenis penelitian, sumber data yang dijadikan pokok penelitian (bahan hukum primer, sekunder, dan tertier), teknik pengumpulan data kepustakaan dan/atau dokumen.9
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau bahan data sekunder yang meliputi buku-buku serta norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, kaedah hukum dan
8 Lukman Hadi Darmanto, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2007, hlm. 9
9 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 174-175
sistematika hukum serta mengkaji ketentuan perundang-undangan, putusan pengadilan dan bahan hukum lainnya yang relevan dengan perumusan penelitian.10
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Bersifat deskriptif maksudnya penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang diteliti. Analitis dimaksudkan berdasarkan gambaran fakta yang diperoleh akan dilakukan secara cermat bagaimana menjawab permasalahan.
Jadi deskriptif analitis maksudnya adalah untuk menggambarkan, menjelaskan, dan menganalisis permasalahan dari setiap temuan data baik primer maupun sekunder, langsung diolah dan dianalisis untuk memperjelas data secara kategoris, penyusunan data secara sistematis, dan dikaji secara logis.11
2. Sumber Data
Data dalam penelitian ini diperoleh melalui data sekunder yaitu data yang dikumpulkan melalui studi terhadap bahan kepustakaan. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, dan peraturan perundang-undangan. Data sekunder dalam penelitian ini mencakup:
a. Bahan hukum primer, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 170/B/Pdt.Sus-Arb/2017.
10 Ibrahim Johni, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2005, hlm. 336
11 Muslan Abdurrahman, Sosiologis dan Metode Penelitian Hukum, UMM Press, Malang, 2009, hlm. 91
b. Bahan hukum sekunder, yakni buku-buku, rancangan undang-undang, tulisan- tulisan ilmiah hukum yang terkait dengan objek penelitian;
c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang isinya memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun sekunder, seperti kamus;
3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik penelitian kepustakaan (Library Research) dengan menghimpun data yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, publikasi, dan tulisan ilmiah hukum yang relevan dengan penelitian ini.
Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan studi dokumen untuk menghimpun serta menganalisa data.
4. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini, dilakukan dengan pendekatan kualitatif karena penelitian ini akan berupaya untuk memaparkan sekaligus melakukan analisis terhadap permasalahan yang ada dengan kalimat yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan jawaban yang jelas dan benar.12
Kualitatif berarti dilakukannya analisis data yang bertitik tolak dari penelitian terhadap asas atau prinsip sebagaimana yang diatur dalam bahan hukum primer.13
Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang telah dikumpulkan untuk diketahui
12 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Grafindo, 1986, hlm. 39
13 Zainuddin Ali, Op.Cit., hlm. 31.
validitasnya.14 Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan penarikan kesimpulan berupa penarikan kesimpulan deduktif. Penalaran deduktif atau deduksi adalah merupakan suatu proses berpikir (penalaran) yang bertolak dari sesuatu proposisi yang sudah ada, menuju kepada suatu proposisi baru yang berbentuk suatu kesimpulan. Penelitian ini akan digunakan untuk mengetahui mengenai terlanggarnya hak moral pencipta naskah film yang dilakukan oleh produser.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap tiap bab terbagi atas beberapa sub-sub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang dapat digambarkan sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan. Bab ini dimulai dengan mengemukakan apa yang menjadi latar belakang penulisan skripsi ini kemudian dilanjutkan dengan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian dan ditutup dengan memberikan sistematikan dari penulisan skripsi ini.
BAB II Aspek Hukum Perjanjian Sewa Guna (Leasing). Bab ini menguraikan mengenai : Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Leasing, Para Pihak dalam Perjanjian Leasing, Wanprestasi Dalam Perjanjian Leasing..
BAB III Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Arbitrase. Bab ini menguraikan mengenai : Arbitrase Sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian Sengketa di Luar Peradilan, Peran dan Prospek Penegakan Arbitrase, Faktor-
14 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2003, hlm. 77.
Faktor yang Mendorong Para Pihak Memberdayakan Arbitrase dalam Menyelesaikan Sengketa.
BAB IV Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Perjanjian Sewa Guna Usaha Kapal (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 170/B/Pdt.Sus-Arb/2017). Bab ini menguraikan mengenai : Pelaksanaan Putusan Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa Perjanjian Sewa Guna Usaha Kapal, Faktor Penghambat Pelaksanaan Putusan Arbitrase yang Dilakukan Oleh Lembaga Arbitrase, Keberhasilan dan Kegagalan Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa Perjanjian Sewa Guna Usaha Kapal yang Dilakukan Oleh Lembaga Arbitrase, Analisis Putusan Nomor 170/B/Pdt.Sus-Arb/2017.
BAB IV Kesimpulan dan Saran yang merupakan bab penutup dari seluruh rangkaian bab-bab. Seluruhnya yang berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian skripsi ini yang dilengkapi dengan saran-saran.
BAB II
ASPEK HUKUM PERJANJIAN SEWA GUNA (LEASING)
D. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Leasing
Dunia usaha akhir-akhir ini mengalami perkembangan pesat, yang ditandai dengan munculnya bentuk-bentuk usaha baru, mulai dari berskala besar sampai yang berskala kecil. Semua pelaku ekonomi, baik perorangan, pihak swasta maupun pemerintah memerlukan pihak lain dalam menjalankan tugasnya. Salah satu diantaranya adalah leasing (sewa guna usaha), yang melakukan usahanya dalam bidang pembiayaan. Leasing sebagai bentuk usaha di bidang pembiayaan dianggap penting peranannya dalam peningkatan pembangunan perekonomian nasional.
Istilah leasing sebenarnya berasal dari kata lease, yang berarti sewa menyewa, karena memang dasarnya leasing adalah sewa menyewa. Jadi leasing merupakan suatu bentuk derivatif dari sewa menyewa. Tetapi kemudian dalam dunia bisnis berkembanglah sewa menyewa dalam bentuk khusus yang disebut leasing itu atau kadang-kadang disebut sebagai lease saja, dan telah berubah fungsinya menjadi salah satu jenis pembiayaan. Dalam bahasa Indonesia leasing sering diistilahkan dengan sewa guna usaha.15
Kieso and Weygandt mendefinisikan leasing adalah perjanjian kontraktual antara lessor dan lessee yang memberikan hak kepada lessee untuk menggunakan properti tertentu, yang dimiliki oleh lessor, selama periode waktu tertentu dengan
15 Martono, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Ekonisia, Yogyakarta, 2003, hlm. 113.
membayar sejumlah uang (sewa) yang sudah ditentukan, yang umumnya dilakukan secara periodik.16
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya yang dimaksud dengan leasing adalah suatu perjanjian antara dua belah pihak yang biasa disebut dengan lessee (penyewa barang modal) dan lessor (pemilik barang modal) dimana perjanjian tersebut mempunyai jangka waktu atau durasi yang bervariasi dan juga pembayaran sewa yang dilakukan secara bertahap. Pada umumnya jumlah sewa ditetapkan sedemikian rupa sehingga lessor dapat menutup biaya aktiva yang dileasing ditambah pengembalian yang wajar selama masa lease.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas, dapat disebutkan bahwa yang menjadi elemen-elemen dari suatu leasing adalah sebagai berikut:17
1. Suatu Pembiayaan Perusahaan
Awal mulanya leasing memang dimaksudkan sebagai usaha memberikan kemudahan pembiayaan kepada perusahaan tertentu yang memerlukannya.
Tetapi dalam perkembangan kemudian, bahkan leasing dapat juga diberikan kepada individu dengan peruntukan barang untuk kegiatan usaha. Misalnya dalam praktek cukup banyak perusahaan leasing memberikan pembiayaan dalam bentuk leasing kepada seseorang untuk membeli kendaraan bermotor baik untuk keperluan bisnis maupun untuk keperluan lainnya.
16 Donald E. Kieso, Jerry J. Weygandt, Terry D. Warfield, Akuntansi Intermediate, Erlangga, Jakarta, 2003, hlm. 232
17 Siswanto Sutojo, Peluang Bisnis di Indonesia dan Teknik Pembiayaannya, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, 2005, hlm. 60
2. Penyediaan Barang Modal
Unsur selanjutnya dari leasing adalah adanya penyediaan barang modal, biasanya oleh pihak supplier atas biaya dari lessor. Barang modal tersebut akan dipergunakan oleh lessee umumnya untuk kepentingan bisnisnya. Barang modal ini sangat bervariasi. Misalnya berupa mesin-mesin, pesawat terbang, peralatan kantor seperti komputer, mesin foto copy, kendaraan bermotor, dan sebagainya.
3. Keterbatasan Jangka Waktu
Salah satu unsur penting dari lembaga leasing adalah adanya jangka waktu yang terbatas. Sehingga, apabila ada deal-deal yang tidak terbatas jangka waktunya, ini belumlah dapat dikatakan leasing melainkan hanya sewa menyewa biasa. Biasanya dalam kontrak leasing ditentukan untuk berapa tahun leasing tersebut dilakukan. Selanjutnya setelah jangka waktu tertentu tersebut berakhir, ditentukan pula bagaimana status kepemilikan dari barang tersebut. Misalnya pada saat itu kepada lessee diberikan "hak opsi", yakni pilihan apakah lessee akan membeli barang tersebut pada harga yang telah terlebih dahulu disepakati bersama, atau lessee tetap menyewanya, ataupun mengembalikan barang kepada pihak lessor.
4. Pembayaran Kembali Secara Berkala
Karena lessor telah membayar lunas harga barang modal kepada pihak penjual atau supplier, maka kewajiban lessee kemudian untuk mengangsur pembayaran kembali harga barang modal kepada lessor. Besarnya dan lamanya angsuran sesuai dengan kesepakatan yang telah dituangkan dalam
kontrak leasing. Dilihat dari segi angsuran pembayaran ini, maka leasing mirip dengan suatu kredit bank, dengan barang modal itu sendiri sebagai agunannya.
5. Hak Opsi untuk Membeli Barang Modal
Hak opsi yang dimiliki oleh lessee untuk membeli barang modal pada saat tertentu dengan syarat tertentu pula, juga merupakan salah satu unsur dari leasing. Artinya, di akhir masa leasing, diberikan hak (bukan kewajiban) kepada lessee untuk memilih apakah membeli barang modal tersebut dengan harga yang telah terlebih dahulu ditetapkan dalam kontrak leasing yang bersangkutan atau memperpanjang kontrak leasing yang bersangkutan.
Walaupun tidak semua jenis leasing memberikan hak opsi tersebut, tetapi ada kemungkinan diberikan hak opsi ini. Karena disamping leasing yang memberi hak opsi, ada juga jenis leasing yang sama sekali tidak memberikan hak opsi tersebut kepada lessee, melainkan harus menyerahkan kembali barang modal tersebut kepada pihak lessor-nya diakhir masa leasing. Tetapi ada juga leasing yang justru memberi hak kepemilikan kepada pihak lessee di akhir masa leasing tanpa perlu memberikan hak opsinya, misalnya kebanyakan leasing terhadap kendaraan bermotor yang terjadi dewasa ini.
6. Nilai Sisa (Residu)
Nilai sisa merupakan besarnya jumlah uang yang harus dibayar kembali kepada lessor oleh lessee diakhir masa berlakunya leasing atau pada saat lessee mempunyai hak opsi. Nilai sisa biasanya sudah terlebih dahulu ditentukan bersama dalam kontrak leasing.
Usaha leasing dalam perwujudannya adalah membiayai barang-barang modal yang akan dipergunakan pada suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran-pembayaran berskala yang disertai dengan hak pilih (optie) bagi perusahaan-perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang waktu leasing.18
Pengertian leasing berasal dari Bahasa Inggris To Lease yang berarti menyewakan. Istilah ini berbeda dengan istilah rent/rental, yang masing-masing mempunyai hakekat yang tidak sama.19 Leasing saat ini juga banyak terdapat lembaga-lembaga yang mirip dengan leasing, yaitu sebagai berikut :
1. Lembaga sewa beli.
Di sini pembeli membayar sejumlah uang kepada penjual secara berkala untuk waktu tertentu dan apabla pembayaran tersebut telah selesai maka hak pemilikan barang tersebut berpindah dari penjual kepada pembeli, perpindahan pemilikan yang secara otomatis pada akhir periode ini tidak terdapat dalam leasing.
2. Lembaga Jual dengan cara cicilan.
Pada lembaga ini hak pemilikan barang berpindah dari penjual kepada pembeli pada saat menyerahkan barang, sedangkan untuk menjamin pembayaran cicilan diadakan suatu perjanjian tersendiri antara penjual dan pembeli.20
Dasar hukum untuk leasing yang utama adalah asas kebebasan berkontrak, seperti yang terdapat dalam 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Sepanjang memenuhi syarat seperti yang diatur oleh perundang-undangan, maka leasing berlaku dan ketentuan tentang perikatan seperti yang terdapat dalam buku ketiga BW, berlaku juga untuk leasing. Namun demikian, di samping alas hukum mengenai asas kebebasan berkontrak, terdapat beberapa alas hukum lain.
Diantaranya adalah:
18Komar Atma Sasmita, Serba Serbi Tentang Leasing (Teori dan Praktek), Ikatan Notaris Indonesia, Bandung, 2008, hlm.44.
19 Ibid, hlm.46
20 Ibid, hlm.47
1. Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor Kep-38/MK/IV/1/1972, tentang Lembaga Keuangan, yang telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 562/KMK/011/1982.
2. Keputusan Presiden Rl, No. 61 Tahun 1988, tentang Lembaga Pembiayaan.
3. Keputusan Menteri Keuangan Rl No. 448/KMK.17/2000 tentang Pembiayaan Perusahaan.
4. Keputusan Menteri Keuangan Rl, No. 634/KMK.013/1990, tentang Pengadaan Barang Modal Berfasilitas Melalui Perusahaan Sewa Guna Usaha (Perusahaan Leasing).
5. Keputusan Menteri Keuangan Rl No. 1169/KMK,01/1991, tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing).
6. Peraturan Menteri Keuangan No. 84/PMK.012/2006 Tentang Perusahaan Pembiayaan
Prakteknya sejalan dengan perkembangan dalam masyarakat banyak dijumpai jenis-jenis perjanjian yang tidak ada pengaturannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata akan tetapi diakui keberadaannya. Munculnya perjanjian tidak bernama adalah sebagai akibat dari sistem terbuka yang dianut hukum perjanjian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ini berarti bahwa hukum perjanjian memberi kebebasan yang seluas-luasnya kepada para pihak untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Jumlah perjanjian tidak bernama (on benoemd) atau disebut juga perjanjian umum sangat banyak dan tidak terbatas, misalnya : perjanjian sewa beli, anjak piutang (factoring), waralaba (franchising) dan lain sebagainya.
Perjanjian leasing lahir berdasarkan atas asas kebebasan berkontrak (partij otonom) yang diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang- undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Sahnya suatu perjanjian maka Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur syarat-syarat, antara lain: adanya kesepakatan (konsensuil),kecakapan (bekwaamheid), suatu hal tertentu dan sebab yang halal (oorzaak). Apabila perjanjian tidak memenuhi beberapa syarat-syarat kesepakatan meeka yang mengikatkan dirinya atau tidak memenuhi kecakapan untuk membuat suatu perikatan, perjanjian akan tidak sah. Perjanjian leasing dapat memiliki kekuatan hukum apabila memenuhi syarat-syarat yang diatur dalm Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 21
Perjanjian Leasing secara khusus tidak ada diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata tetapi dalam Pasal 1319 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa semua perjanjian baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak, harus tunduk pada peraturan-peraturan umum yang terkandung dalam Bab I. Dengan demikian dalam membuat perjanjian Leasing para pihak harus memperhatikan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai dasar hukumnya.
21 Purwahid Patrik, Asas Itikadi Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian. UNDIP, Semarang, 2006, hlm.36.
Diperhatikan perundang-undangan yang berlaku sampai saat ini di Indonesia, maka tentang Leasing belum ada undang-undang yang mengaturnya secara khusus dan mendasar sebagai sumber/landasan hukum. Dengan kata lain tentang masalah Leasing, belum diatur oleh suatu undang-undang yang merupakan produk dari lembaga legislatif.
Demikian juga Mahkamah Agung Republik Indonesia sempai saat ini belum ada mengeluarkan suatu yurisprudensi sebagai pedoman bagi para praktisi hukum dalam menghadapi kasus-kasus yang dalam praktek. Sampai saat ini peraturan-peraturan yang mengatur leasing dapat dikatakan masih sangat sederhana, sehingga dirasakan kurangnya kepastian hukum bagi para pihak.
Kegiatan transaksi sewa guna usaha (Leasing) harus diikat dengan suatu perjanjian Leasing. Bentuk Perjanjian Leasing tersebut tidak diharuskan berbentuk Akta Otentik, tetapi harus berupa perjanjian tertulis. Hampir dalam semua hal perjanjian Leasing itu dilakukan secara tertulis, jadi berbentuk akta yang disebut kontrak. Demikian juga penambahan, penyimpangan atau perubahan akta yang bersangkutan harus tertulis pula, sebagaimana yang dikehendaki oleh semua pihak atau yang berkepentingan.
Leasing dapat dibedakan menjadi:
1. Leasing dari segi hukum.
Umumnya perusahaan leasing berbentuk dalam hukum Perseroan Terbatas (PT) yang orientasinya adalah provit motive.
2. Leasing dari segi kepemilikan.
a. Perusahaan milik pemerintah.
Jenis ini sebagian besar modalnya dimiliki oleh pemerintah.
b. Perusahaan milik swasta nasional.
Modal dari jenis perusahaan ini dimiliki oleh swasta nasional.
c. Perusahaan milik swasta campuran.
Modal dari jenis perusahaan ini dimiliki oleh gabungan antara swasta nasional dan swasta asing.
d. Perusahaan Milik Swasta Asing.
Misalnya : BII Lend Lease Investment Service.
3. Leasing dari segi objek.
a. Leasing barang modal yang orientasinya adalah untuk menghasilkan produk.
b. Leasing barang modal yang orientasinya adalah untuk menghasilkan jasa.
c. Leasing barang modal yang orientasinya untuk konsumsi (dimiliki secara pribadi.
4. Leasing dari segi operasionalnya.
a. Finance Leasing.
Dalam leasing jenis ini terdapat perjanjian pihak lease dengan pihak lessor, yaitu pihak penyewa (lessee) pada akhir masa sewa akan membeli barang modal tersebut dari pihak lessor berdasarkan harga sisa ataupun berdasarkan harga pasar pada waktu itu.
b. Operating Leasing.
Dalam Leasing jenis ini tidak ada perjanjian bahwa pihak lessee akan membeli barang yang telah habis masa sewanya dan seandainya pihak lessee berminat untuk membeli barang tersebut, maka harganya didasarkan atas harga pasar pada waktu itu.
5. Sale and Lease Back.
Dalam Leasing jenis ini apabila dalam suatu produk tertentu pihak lessee tidak dapat melanjutkan sewanya atas barang modal pihak lessor, maka pihak lessee dapat meminta pada pihak lain (pihak lessee II) untuk melanjutkan sewanya pada pihak lessor tetapi barang modal tersebut masih dipergunakan pihak lessee I dan pihak lessee I akan membayar sewa kepada pihak lessee II.22
Bentuk-bentuk lain dari Leasing, yaitu : 1. Leverage Lease.
Leverage lease ini merupakan finance lease. Namun di dalam pelaksanaannya leverage lease ini jauh lebih kompleks serta melibatkan pihak ketiga.
2. Cross Border Lease.
Transaksi pada jenis ini merupakan suatu transaksi leasing yang dilakukan dengan melewati suatu batas negara dengan demikian antara lessor dan lessee berada pada dua negara yang berlainan, karena dari segi hukum dan perpajakan masing-masing negara belum tentu sama diperlukan penanganan yang khusus untuk transaksi jenis ini.23
22 Achmad Anwar., Leasing Di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2007, hlm.27
23 Ibid, hlm.29
Seperti halnya aktivitas-aktivitas atau kegiatan-kegiatan lainnya, perjanjian leasing juga mempunyai keunggulan maupun kelemahan bagi kedua belah pihak yang bersangkutan, baik untuk lessee maupun lessor.
Menurut Dahlan Siamat keuntungan yang akan didapatkan oleh lessee apabila melakukan leasing antara lain adalah sebagai berikut :
1. Lessee akan terhindar dari kebutuhan dana besar dan biaya bunga yang tinggi.
2. Lessee mengurangi resiko keusangan, karena ia dapat mengoperkan barang yang dilease kepada pihak lessor setelah pemakaiannya.
3. Perjanjian lease lebih flexible karena lebih bebas dibandingkan perjanjian utang lainnnya. Lessor yang pintar akan dapat menyesuaikan perjanjian lease terhadap kebutuhan perusahaan.
4. Dana pembiayaannya jauh lebih murah dibandingkan pembiayaan sekaligus.
5. Lease tidak menambah pos utang di neraca dan tidak mempengaruhi ratio leverage.24
Kerugian apabila melakukan leasing bagi lessee adalah sebagai berikut : 1. Lessee wajib memenuhi berbagai persyaratan yang ditetapkan lessor
untuk melindungi peralatannya, misalnya: dalam bentuk pembatasan pengoperasian barang, perlindungan asuransi, dan lain-lain.
2. Lessee bisa saja kehilangan kesempatan untuk memperoleh keuntungan barang pada saat akhir lease untuk beberapa jenis barang.
3. Lease khususnya financial lease mungkin kurang tepat apabila lessee hanya membutuhkan aktiva dalam jangka pendek, karena jika dibatalkan sebelum perjanjian selesai, akan menimbulkan biaya yang cukup besar.
4. Karena barang yang dilease tidak dapat dicatat sebagai asset, maka tidak dapat dijadikan sebagai jaminan kredit di Bank.
5. Hak menggunakan barang lease merupakan intangiable asset yang tidak dapat disajikan dalam neraca sebagai aktiva tetap.25
Keuntungan untuk pihak lessor apabila melakukan leasing adalah:
1. Hak kepemilikan masih ada di pihak lessor, sehingga merupakan faktor pengaman yang lebih kuat dibandingkan dengan barang jaminan berupa hipotik sekalipun.
24 Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Intermedia, Jakarta, 2005, hlm. 214.
25 Ibid, hlm. 215.
2. Lessor berhak secara hukum untuk menjual barang yang dilease dan biasanya lebih mudah dan lebih cepat dibandingkan dengan penjualan melalui lelang.
3. Dalam operating lease, lessor secara akuntansi masih berhak untuk melakukan pembebanan penyusutan atas barang yang dilease untuk tujuan penghematan pajak.26
Kerugian yang diperoleh lessor apabila melakukanleasing adalah sebagai berikut:
1. Sebagai pemilik, lessor memiliki resiko besar jika barang yang dilease mendapat tuntutan dari pihak ketiga. Misalnya jika terjadi kecelakaan atau kerusakan atas barang orang lain yang disebabkan oleh barang yang dilease tersebut.
2. Dalam hal adanya complain, lessor tidak bisa mengklaim pabrik atau suppliernya secara langsung, tindakan tersebut harus dilakukan oleh lessee sebagai pemakai barang tersebut.
3. Lessor tetap bertanggung jawab atas pembayaran kewajiban tertentu karena kepemilikan barang. 27
E. Para Pihak dalam Perjanjian Leasing
Prinsipnya para pihak dalam leasing meliputi :
1. Lessor. yakni pihak yang memberikan pembiayaan dengan cara leasing kepada pihak yang membutuhkannya. Dalam hal ini lessor bisa merupakan perusahaan pembiayaan yang bersifat "multi finance,"
tetapi dapat juga perusahaan yang khusus bergerak di bidang leasing.
2. Lessee. Ini merupakan pihak yang memerlukan barang modal, barang modal mana dibiayai oleh lessor dan diperuntukkan kepada lessee.
3. Supplier. Merupakan pihak yang menyediakan barang modal yang menjadi objek leasing, barang modal mana dibayar oleh lessor kepada supplier untuk kepentingan lessee. Dapat juga supplier ini merupakan penjual biasa. Tetapi ada juga jenis leasing yang tidak melibatkan supplier, melainkan hubungan bilateral antara pihak lessor dengan pihak lessee. Misalnya dalam bentuk Sale and Lease Back. 28
Hubungan hukum antara lessor, supplier dan lessee adalah : Lessor memberikan biaya pembelian barang secara tunai kepada supplier. Supplier
26 Ibid, hlm.. 245.
27 Ibid, hlm.. 216.
28 Munir Fuady, Hukum tentang Pembiayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 8.
memberikan barang kepada lessee. Setelah lessee memperoleh barang, maka ia melakukan pembayaran lease kepada lessor.
Mekanisme sehingga terjadinya hubungan hukum antar para pihak, yaitu lessor, lessee, dan juga supplier, terdapat berbagai alternatif sebagai berikut:
1. Lessor membeli barang atas permintaan lessee, selanjutnya memberikan kepada lessee secara leasing.
2. Lessee membeli barang sebagai agennya lessor, dan mengambil barang tersebut secara leasing dari lessor.
3. Lessee membeli barang atas namanya sendiri, tetapi dalam kenyataannya sebagai agen dari lessor, dan mengambil barang tersebut secara leasing dari lessor.
4. Setelah lessee membeli barang atas namanya sendiri, kemudian melakukan novasi, sehingga lessor kemudian menghaki barang tersebut dan membayarnya.
5. Setelah lessee membeli barang untuk dan atas namanya sendiri, kemudian menjualnya kepada lessor, dan mengambil kembali barang tersebut secara leasing. Ini adalah contoh Sale and Lease Back.
6. Lessor sendiri yang mendapatkan barang secara leasing dengan hak untuk melakukan subleasing, dan memberikan subleasing kepada lessee subleasing kepada lessee. 29
Apabila terjadi kesepakatan antara pihak lessor, lessee dan supplier telah tercapai, maka menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak. Kewajiban lessor adalah menyerahkan uang sebagai biaya barang yang dibeli kepada supplier. Untuk itu lessor mempunyai hak untuk mendapatkan pengembalian dari biaya yang telah dikeluarkannya itu dan mendapatkan bunga atas jasanya dari biaya yang telah dikeluarkannya. Selain itu yang menjadi hak lessor adalah apabila lessee tidak dapat membayar biaya lease, maka lessor dapat menuntut kembali barangnya yang belum dibayar oleh lessee dalam tenggang waktu yang telah disepakati (biasanya 30 hari).30
29 Mahkamah Agung RI, Masalah Leasing, Bagian Penerbitan Mahkamah Agung, Jakarta, 1989, hlm. 6.
30 Ibid. hlm. 51.
Kewajiban supplier adalah:
1. Menyerahkan barang kepada lessee. Penyerahan adalah suatu pemindahan barang yang telah dijual kedalam kekuasaan kepunyaan si pembeli sewa.
2. Untuk barang yang harus dibalik nama, mengurus balik nama atas barang yang di-lease.
3. Khusus untuk kendaraan bermotor, supplier mempunyai kewajiban memperpanjang STNK kendaraan selama dalam masa leasing.31
Atas barang yang telah diserahkannya tersebut, supplier mendapatkan harga jual dari barang yang telah diserahkannya kepada lessee. Lessee sebagai pihak yang berhubungan dengan leasing dan supplier, mempunyai hak mendapatkan barang dari supplier dan menikmati barang yang di-lease-nya tersebut. Atas hak tersebut, lessee mempunya kewajiban membayar harga lease kepada lessor pada waktu dan tempat menurut perjanjian leasing. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1513 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan ”Kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga pembelian, pada waktu dan tempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian” dan bilamana hal itu tidak di tetapkan dalam perjanjian, maka menurut Pasal 1514 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata yang bunyinya adalah ”Jika pada waktu membuat perjanjian tidak ditetapkan tentang itu, si pembeli harus membayar ditempat dan waktu dimana penyerahan harus dilakukan”, dalam hal tidak ada ketentuan mengenai penyerahan, maka penyerahan dilakukan ditempat dimana barang berada pada saat perjanjian beli sewa dibuat, dalam hal lainnya pembayaran dilakukan ditempatkan dimana perjanjian dibuat.32 Selain itu lessee mempunyai
31 Salim HS, Perjanjian dalam Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hlm. 54
32RM. Suryodiningrat, Hukum Perjanjian, Bintang Terang, Yogyakarta, 2002, hlm. 26
kewajiban antara lain merawat barang yang di-leasing dengan biaya sendiri.33 Pada akhir masa angsuran lessee mempunyai hak untuk mendapatkan hak kepemilikan atas barang.
F. Wanprestasi Dalam Perjanjian Leasing
Menurut pendapat M. Yahya Harahap yang dimaksud dengan wanprestsi adalah : “Pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya”.34 Kata “Tidak tepat pada waktunya dan kata tidak layak” apabila dihubungkan dengak kewajiban merupakan perbuatan melanggar hukum. Pihak debitur sebagian atau secara keseluruhannya tidak menempati ataupun berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati bersama.
Wanprestasi atau breach of contract merupakan salah satu sebab sehingga berjalannya kontrak menjadi terhenti. Dalam hal ini yang dimaksud dengan wanprestasi adalah salah satu pihak atau lebih tidak melaksanakan prestasinya sesuai dengan kontrak.35
Perjanjian dalam keadaan normal dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya tanpa ganguan ataupun halangan. Tetapi pada waktu yang tertentu, yang tidak dapat diduga oleh para pihak, muncul halangan, sehingga pelaksanaan perjanjian tidak dapat dilaksanakan dengan baik, faktor penyebab terjadinya wanprestasi oleh Abdulkadir Muhammad diklasifikasikan menjadi dua faktor yaitu :
33 Sudiarto J Suyatmi, Problematika Leasing di Indonesia, Arikha Media Cipta, Jakarta, 2002, hlm. 50.
34 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 60
35 Mashudi dan Mochlm. Chidir Ali, Pengertian-Pengertian Elementer Hukum Perjanjian Perdata, Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm. 67
1. Faktor dari luar dan
2. Faktor dari dalam diri para pihak
Faktor dari luar menurut Abdulkadir Muhammad adalah “peristiwa yang tidak diharapkan terjadi dan tidak dapat diduga akan terjadi ketika perjanjian dibuat”.36 Faktor dari dalam diri manusia/para pihak merupakan kesalahan yang timbul dari diri para pihak, baik kesalahan tersebut yang dilakukan dengan sengaja atau pun karena kelalaian pihak itu sendiri, dan para pihak itu sendiri, dan pera pihak sebelumnya telah mengetahui akibat yang timbul dari perbuatannya tersebut.
Hal kelalaian atau wanprestasi pada pihak dalam perjanjian ini harus dinyatakan terlebih dahulu secara resmi yaitu dengan memperingatkan kepada pihak yang lalai, bahwa pihak kreditur menghendaki pemenuhan prestasi oleh pihak debitur. Menurut undang-undang peringatan tersebut harus dinyatakan tertulis, namun sekarang sudah dilazimkan bahwa peringatan itu pula dapat dilakukan secara lisan asalkan cukup tegas menyatakan desakan agar segera memenuhi prestasinya terhadap perjanjian mereka perbuat.
Peringatan tersebut dapat dinyatakan pernyataan lalai yang diberikan oleh pihak kreditur kepada pihak debitur. Pernyataan lalai oleh J. Satrio, memperinci pernyataan lalai tersebut dalam beberapa bentuk pernyataan lalai tersebut dalam beberapa bentuk pernyataan lalai yaitu :
1. Berbentuk surat perintah atau akta lain yang sejenis.
2. Berdasarkan kekuatan perjanjian itu sendiri. Apabila dalam surat perjanjian telah ditetapkan ketentuan : debitur dianggap bersalah jika
36 Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Citra Aditya Bakti, 2002, hlm. 12
satu kali saja dia melewati batas waktu yang diperjanjikan. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong debitur untuk tepat waktu dalam melaksanakan kewajiban dan sekaligus juga menghindari proses dan prosedur atas adanya wanprestasi dalam jangka waktu yang panjang.
Dengan adanya penegasan seperti ini dalam perjanjian, tanpa tegoran kelalaian dengan sendirinya pihak debitur sudah dapat dinyatakan lalai, bila ia tidak menempati waktu dan pelaksanaan prestasi sebagaimana mestinya.
3. Jika tegoran kelalaian sudah dilakukan barulah menyusul peringatan (aanmaning) dan biasa juga disebut dengan Sommasi. Dalam sommasi inilah pihak kreditur menyatakan segala haknya atas penuntutan prestasi kepada pihak debitur.37
Adanya pernyataan lalai yang diberikan oleh pihak kreditur kepada pihak debitur, maka menyebabkan pihak debitur dalam keadaan wanprestasi, bila ia tidak mengindahkan pernyataan lalai tersebut. Pernyatan lalai sangat diperlukan karena akibat wanprestasi tersebut adalah sangat besar baik bagi kepentingan pihak kreditur maupun pihak debitur. Dalam perjanjian biasanya telah ditentukan di dalam isi perjanjian itu sendiri, hak dan kewajiban para pihak serta sanksi yang ditetapkan apabila pihak debitur tidak menepati waktu atau pelaksanaan perjanjian.
Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam kategori yaitu : 1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
2. Melaksanakan apa yang diperjanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan.
3. Melakukan apa yang diperjanjikan akan tetapi terlambat.
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh untuk dilakukan.38
Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja bahwa bentuk wanprestasi/ ketiadalaksanaan dapat terwujud dalam beberapa bentuk yaitu:
1. Debitur sama sekali tidak melaksanakan kewajibannya;
37 J. Satrio., Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2002, hlm.41
38 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Intermasa, Jakarta,2002, hlm. 45
2. Debitur tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya/
melaksanakan kewajibannya tetapi tidak sebagaimana mestinya;
3. Debitur tidak melaksanakan kewajibannya pada waktunya;
4. Debitur melaksanakan sesuatu yang tidak diperbolehkan.39
Wanprestasi tersebut dapat terjadi karena kesengajaan debitur untuk tidak mau melaksanakannya, maupun karena kelalaian debitur untuk tidak melaksanakannya.40
Akibat hukum bagi debitur yang lalai atau melakukan wanprestasi dapat menimbulkan hak bagi kreditur yaitu :
1. Menuntut pemenuhan perikatan
2. Menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan tersebut bersifat timbal-balik, menuntut pembatalan perikatan;
3. Menuntut ganti rugi;
4. Menuntut pemenuhan perikatan dengan disertai ganti rugi;
5. Menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi.41
Debitur yang oleh pihak kreditur dituduh lalai, dapat mengajukan pembelaan diri atas tuduhan tersebut. Adapun pembelaan debitur yang dituduh dapat didasarkan atas tiga alasan yaitu :
1. Mengajukan tuntutan adanya keadaan yang memaksa 2. Mengajukan bahwa si kreditur sendiri juga wanprestasi
3. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.42
Kreditur melepaskan haknya atas tuntutannya kepada pihak debitur adalah bahwa pihak kreditur telah mengetahui bahwa ketika pihak debitur mengembalikan barang yang diperjanjikan, pihak kreditur telah mengetahui
39 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm.70.
40 Ibid.
41 Ibid, hlm. 81-84
42 R.Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, 2002, hlm.52
bahwa waktu pengembalian barang sudah terlambat selama seminggu. Akan tetapi atas keterlambatan tersebut pihak kreditur tidak mengajukan keberatan ataupun sanksi maka terhadap debitur yang terlambat mengembalikan barang, dapat diartikan bahwa pihak kreditur telah melepaskan haknya untuk pihak debitur yang telah nyata wanprestasi.
Pasal 1338 KUH Perdata dinyatakan bahwa : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Pasal 1338 KUH Perdata di atas dapat ditarik suatu gambaran bahwa, pada prinsipnya suatu perjanjian tidak dapat dibatalkan oleh sepihak, karena dengan adanya pembatalan tersebut, tentunya akan menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya.
Pembatalan perjanjian hanya dapat dilakukan apabila diketahui adanya kekhilafan ataupun paksaan dari salah satu pihak ketika membuat perjanjian.
Kekhilafan dan paksaan merupakan alasan yang dapat membatalkan perjanjian.
Selain itu juga penipuan yang dilakukan oleh satu pihak terhadap pihak yang lainnya dalam membuat perjanjian, dapat dijadikan sebagai alasan untuk dapat dibatalkannya suatu perjanjian secara sepihak oleh salah satu pihak. Karena menurut Pasal 1320 KUH Perdata suatu perjanjian yang tidak didasarkan kepada syarat subjektif perjanjian, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
Meminta pembatalan perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektifnya dapat dilakukan dengan cara :
1. Melakukan penuntutan secara aktif di muka Hakim atau Pengadilan 2. Dengan cara pembatalan yaitu menunggu pihak yang mengajukan
pembatalan di muka Hakim. Sehingga dengan ada gugatan yang diajukan oleh pihak lawan karena ia tidak memenuhi prestasi perjanjian, maka ia dapat mengajukan pembelaan bahwa perjanjian
tersebut tidak memenuhi syarat subjektif yang memungkinkan untuk dibatalkannya perjanjian tersebut.43
Penuntutan secara aktif sebagaimana yang disebutkan oleh undang- undang, maka undang-undang mengatur pembatasan waktu penuntutan yaitu 5 tahun di dalam perjanjian yang diadakan. Sebaliknya terhadap pembatalan perjanjian sebagai pembelaan tidak ditetapkan batas waktunya. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Pasal 1454 KUH Perdata.
Penuntutan pembatalan akan diterima baik oleh hakim jika ternyata sudah ada penerimaan baik dari pihak yang dirugikan, karena seorang yang sudah menerima baik suatu kekurangan atau suatu perbuatan yang merugikan baginya, dapat dianggap telah melepaskan haknya untuk meminta pembatalan. Pembatalan terhadap perjanjian yang dilakukan secara sepihak tanpa disertai alasan yang sah menurut hukum, maka pihak yang oleh pihak lain dibatalkannya perjanjiannya dapat menuntut kerugian kepada pihak yang membatalkan perjanjian tersebut secara sepihak, karena dengan adanya pembatalan yang dilakukan sepihak oleh salah satu pihak akan menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
Syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terjadi, akan menimbulkan akibat yaitu penghentian perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali seperti keadaan semula, seolah-olah tidak pernah terjadi suatu perjanjian di antara kedua belah pihak. Berarti dengan adanya pembatalan perjanjian akan menghapuskan segala kewajiban ataupun hak yang timbul dari perjanjian yang telah mereka buat sebelumnya.
43 Ibid, hlm.54
Perjanjian yang dibatalkan secara sepihak oleh salah satu pihak tanpa disertai alasan yang sah, maka apabila perjanjian tersebut telah berlangsung lama, pihak yang dirugikan atas pembatalan tersebut dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pihak yang membatalkan perjanjian tersebut secara sepihak. Ganti rugi yang diajukan oleh pihak yang dirugikan atas pembatalan yang sepihak tersebut adalah dapat berupa biaya, rugi, maupun bunga atas kerugian yang dideritanya.
Pembatalan yang dilakukan secara sepihak terhadap perjanjian yang mereka perbuat, sedangkan segala isi maupun ketentuan yang tercantum di dalam perjanjian tersebut belum dilaksanakan sama sekali oleh kedua belah pihak, maka dengan adanya pembatalan perjanjian tersebut oleh salah satu pihak secara sepihak tidak menimbulkan akibat hukum apa-apa. Pembatalan perjanjian tersebut hanya membawa para pihak pada keadaan semula yaitu keadaan sebelumnya para pihak dianggap tidak pernah melakukan atau mengadakan perjanjian diantara mereka.
Perjanjian hanya dapat dibatalkan secara sepihak oleh salah satu pihak apabila tidak memenuhi syarat sah subjektif dari suatu perjanjian. Pembatalan tersebut hanya dapat dilakukan dengan mengajukannya kepada pengadilan ataupun dengan pembelaan atau gugatan pihak yang akan membatalkan perjanjian.
Perjanjian yang dibatalkan secara sepihak tanpa alasan yang sah, dapat diajukan tuntutan kepada pihak yang membatalkannya selama perjanjian tersebut telah berlangsung, sebaliknya apabila pembatalan secara sepihak tersebut terjadi
sebelum adanya pelaksanaan perjanjian maka pembatalan itu hanya membawa pada keadaan semula yaitu keadaan yang dianggap tidak pernah terjadi perjanjian.
Pernyataan keadaan wanprestasi ini tidaklah dapat terjadi dengan sendirinya, akan tetapi harus terlebih dahulu diperlukan adanya suatu pernyataan lalai atau sommatie yaitu suatu pesan dari pihak pertama (kreditur) saat kapan selambatnya ia mengharapkan pemenuhan prestasi. Dari pesan ini pula selanjutnya akan ditentukan dengan pasti saat mana seseorang berada dalam keadaan wanprestasi atau ingkar janji tersebut, sehingga pihak yang wanprestasi harus pula menanggung segala akibat yang telah merugikan pihak yang lainnya.
Akibat timbulnya kerugian dari salah satu pihak tersebut, maka undang- undang memberikan sesuatu hak baginya untuk menuntut diantara beberapa hal yaitu :
1. Pemenuhan prestasi
2. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi 3. Ganti rugi
4. Pembatalan perjanjian.
5. Pembatalan disertai ganti rugi.
Bentuk ganti rugi tersebut di atas pada pelaksanaannya dapat diperinci dalam tiga bentuk yaitu biaya, rugi dan bunga.
Menurut R. Setiawan disebutkan bahwa ganti rugi terdiri dari dua faktor yaitu :
1. Kerugian yang nyata-nyata diderita 2. Keuntungan yang seharusnya diperoleh
Kedua faktor tersebut dicakup dalam pengertian, biaya, kerugian dan bunga. Biaya adalah pengeluaran-pengeluaran nyata, misalnya biaya
Notaris, biaya perjalanan dan seterusnya. Kerugian adalah berkurangnya kekayaan kreditur sebagai akibat dari pada ingkar janji dan bunga adalah keuntungan yang seharusnya diperoleh kreditur jika tidak terjadi ingkar janji.44
Perjanjian menentukan bahwa dalam hal terlambatnya salah satu pihak untuk melaksanakan kewajiban sesuai dengan ketentuan dan dalam jadwal waktu yang telah ditentukan adalah merupakan salah satu bentuk dari wanprestasi.
Penentuan wanprestasi ini sendiri erat kaitannya dengan suatu pernyataan lalai yaitu suatu pesan dari salah satu pihak untuk memberitahukan pada saat kapan selambatnya ia mengharapkan pemenuhan prestasi.
Keterlambatan melakukan kewajiban ini dapat juga terjadi dari bentuk wanprestasi lainnya, seperti halnya melaksanakan kewajiban yang tidak sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan. Sementara bentuk wanprestasi ini juga harus dapat dibedakan terhadap lalainya pihak kedua untuk tidak melakukan kewajiban sama sekali, karena dalam hal demikian pihak kedua tidak dapat dianggap terlambat memenuhi pelaksanaan prestasi. Sementara sanksi dalam hal pihak kedua tidak melaksanakan kewajiban sama sekali yang selanjutnya dapat dikategorikan menolak untuk melaksanakan kewajiban, maka sebagai sanksinya pihak pertama berhak atas uang jaminan yang diberikan oleh salah satu pihak.
Menurut R. Subekti, ada empat akibat dari terjadinya wanprestasi yaitu : 1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat
dinamakan ganti rugi;
2. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
3. Peralihan Risiko;
4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
Akibat-akibat dari terjadinya wanprestasi di atas.45
44 R. Setiawan., Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Jakarta, 2000, hlm.2.
45 R. Subekti, Op.Cit, hlm.55
Khusus terhadap kontrak leasing, maka berbagai kemungkinan wanprestasi dapat terjadi dengan konsekuensi yuridis yang berbeda-beda pula.
Kemungkinan-kemungkinan wanprestasi tersebut antara lain dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Wanprestasi yang didiamkan
Hukum Indonesia tidak mengenal doktrin Substantial Performance.
Doktrin Substantial performance mengajarkan bahwa jika salah satu pihak dianggap tidak melaksanakan wanprestasi yang substansial, maka pihak lainnya dapat memutuskan kontrak yang bersangkutan. Akan tetapi jika prestasi yang gagal dilaksanakan tersebut tidak substansial, misalnya hanya prestasi kecil saja, maka menurut doktrin Substantial Performance, kontrak belum bisa diputuskan oleh pihak lain. Walaupun bagi pihak yang dirugikan tidak tertutup kemungkinan untuk meminta ganti rugi jika cukup alasan untuk itu.46
Doktrin Substantial Performance dalam sistem hukum Indonesia, tidak dikenal tetapi dalam praktek lewat berbagai cara, konsekuensi dari doktrin substansial performance juga tetap berlaku yaitu dalam hal-hal sebagai berikut:47 a. Sistem pasif
Jika pihak lain selain yang tidak melaksanakan perjanjian itu misalnya mendiamkan saja wanprestasi tersebut, seolah-olah seperti tidak terjadi wanprestasi, maka akibat yuridisnya sama saja seandainya berlaku doktrin Substantial Performance tersebut. Artinya, pihak yang dirugikan di akhir masa kontrak masih dapat menuntut ganti kerugian "demi hukum", tanpa perlu menyebutkan hal ini secara eksplisit dalam kontrak.
46 Munir Fuady, Op.Cit., hlm. 76
47 Ibid., hlm. 77.