• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

ASPEK HUKUM PERALIHAN HAK MILIK OBJEK BELI SEWA ATAS BENDA BERGERAK

(Studi Kasus Di PT. OTTO MultiArtha)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara O l e h :

MAHALIA NOLA POHAN NIM : 040 200 159

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2 0 0 8

(2)

ASPEK HUKUM PERALIHAN HAK MILIK OBJEK BELI SEWA ATAS BENDA BERGERAK

(Studi Kasus Di PT. OTTO Multi Artha)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas hukum

Universitas Sumatera Utara Oleh:

Mahalia Nola Pohan NIM.040200159

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

PROF.DR.H.TAN KAMELLO,SH.MS NIP.131 764 556

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

PROF.DR.H.TAN KAMELLO,SH.MS SYAMSUL RIZAL,SH,M.Hum NIP.131 764 556 NIP.131 870 595

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2 0 0 8

(3)

ABSTRAK

Perjanjian beli sewa atau disebut juga dengan istilah perjanjian beli sewa atau perjanjian jual sewa, tidak diatur secara tegas dalam peraturan perundang- undangan (KUH. Perdata). Namun demikian dalam ketentuan Pasal 1 sub a SK.

Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/1980 ditegaskan bahwa beli sewa (hire purchase) adalah jual beli barang dimana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga barang yang telah disepakat bersama dan yang diikat dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual kepada pembeli setelah jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual.

Dalam penulisan skripsi ini penulis membahas permasalahan tentang bagaimana tanggung jawab para pihak dalam perjanjian beli sewa, bagaimana akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian beli sewa, bagaimana penyelesaian hukum jika dalam perjanjian beli sewa terjadi persengketaan diantara para pihak.

Untuk membahas permasalahan tersebut maka digunakan metode telaah pustaka (library research) untuk mentelaah data-data sekunder dan penelitian lapangan (field research) yaitu dengan melakukan penelitian di PT. OTTO MultiArtha Medan.

Berdasarkan pembahasan yang dilakukan maka dapat disimpulan bahwa dalam

perjanjian beli sewa pihak yang terkait adalah pihak PT.OTTO MultiArtha Medan

sebagai penjual sewa yaitu pihak yang menjual sewakan barang yang menjadi

objek perjanjian beli sewa. Dalam hal terjadinya resiko dalam perjanjian beli sewa

maka pihak PT. OTTO MultiArtha Medan bertanggung jawab atas cacat

tersembunyi dan mutu barang yang menjadi objek beli sewa sebelum diserahkan

kepada pembeli sewa. Jika sudah diserahkan, maka resiko dan tanggung jawab

tersebut beralih kepada pihak pembeli. Jika dalam perjanjian beli sewa salah satu

pihak melakukan wanprestasi, maka memberikan hak kepada pihak yang

dirugikan untuk meminta ganti rugi akibat perbuatan tersebut. Jika terjadi

wanprestasi dari salah satu pihak dalam perjanjian beli sewa tersebut, maka pihak

yang merasa dirugikan dapat melakukan dengan dua cara, yaitu : Menyelesaikan

di luar pengadilan, yaitu : menuntut pembatalan perjanjian, meminta

pengembalian barang, menuntut ganti rugi., kemudian menyelesaikannya di

pengadilan, yaitu : meletakkan sita jaminan untuk pengembalian barang,

menuntut ganti rugi, membebankan biaya perkara kepada pihak lain yang

melakukan wanprestasi.

(4)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang dengan rahmat dan karunia-Nya telah memberikan kesehatan, kekuatan dan ketekunan pada penulis sehingga mampu dan berhasil menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari terdapatnya kekurangan, namun demikian dengan berlapang dada penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang menaruh perhatian terhadap skripsi ini.

Demi terwujudnya penyelesaian dan penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah dengan ikhlas dalam memberikan bantuan untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH.M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum USU Medan

2. Bapak M. Husni, SH, MH, sebagai Pembantu Dekan III FH. USU Medan 3. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH.MS, sebagai Pelaksana Ketua Departemen

Hukum Keperdataan sekaligus sebagai Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan pembuatan skripsi.

4. Bapak Syamsul Rizal, SH, M.Hum, sebagai Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan pembuatan skripsi

5. Bapak Prof.Dr. Syafrudin Kalo, SH, M.Hum, sebagai dosen Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu dan memberikan

masukan serta dukungan kepada si penulis.

(5)

6. Ibu Sinta Uli, SH, M.Hum, sebagai dosen Fakultas hukum Universitas Sematera Utara yang turut serta memberikan masukan untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.

7. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum USU yang dengan penuh dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

8. Kepada pimpinan PT.OTTO MultiArtha Medan yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian.

9. Terima kasih yang sebesar-besarnya dari penulis kepada orang tua tercinta ayahanda Alm.Ir.Karnold Pohan dan Ibunda Wenny Dwi Julia yang telah memberikan sangat banyak dukungan moril, materil, dan kasih sayang mereka yang tak pernah putus sampai sekarang dan selamanya. “I did it dad, just want you to know that I’am not a litlle girl anymore,I love you so much”.

10. Terima kasih kepada abang tercinta: Muhammad Reinur Pohan,ST,MCP, walaupun terpisah jarak, tetapi dukungan dan masukannya sangat berarti kepada penulis. “you’re always be my big brother for me…”.

11. Terima kasih kepada kakak tercinta: Ledy Sharah Pohan,S.SOS dan abang Ipar: Ruswan Nurmadi,SE, atas kasih sayang dan bantuannya.

12. Terima kasih Kepada kakak tercinta: Trisilia Pohan,ST dan abang Ipar:

M.Desdin Nasution,SH, MKn, atas dukungan dan masukannya kepada penulis.

13. Terima kasih kepada Keponakan tercinta: Muhammad Rukawa Karnoldi, Azzara Lhatifah Nasution.”I love you guys, more than you know..”.

14. Terima kasih kepada Keluarga Besar Pohan dan Machmuders yang tiada henti-hentinya memberikan dukungan kepada si penulis.

15. Terima kasih kepada Sahabat-sahabatku : Cynthea, Maira, Arifandi, Galih, atas dukungannya dan waktunya untuk menemani penulis untuk menyiapkan skripsi ini.

16. Terima kasih kepada teman-teman kampus : Riska, Karina, Dhira, Dewi,

Inggit, Budi, Ilham, Faat, Arga, Farid, Salman, Nicko, atas masa-masa kuliah

yang indah dan selalu membantu penulis dalam masa kuliah.

(6)

17. Terima kasih pada teman-teman : Agung, Irwan, Darma, Rendi, atas dukungan dan kebaikan mereka kepada penulis.

18. Terima kasih kepada para Senior, teman-teman Stambuk 2004, adik-adik Junior Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

19. Terima kasih kepada Riichi Hardian Umeda, atas segala kebaikannya yang diberikan kepada penulis.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini, hanya Allah SWT yang dapat membalas budi baik semuanya.

Semoga ilmu yang penulis telah peroleh selama ini dapat bermakna dan berkah bagi penulis dalam hal penulis ingin menggapai cita-cita.

Medan, Agustus 2008

Penulis

MAHALIA NOLA POHAN

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... iv

BAB I : P E N D A H U L U A N ... 1

A. Latar Belakang Permasalahan ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 4

D. Keaslian Penelitian... 5

E. Tinjauan Kepustakaan... 5

F. Metode Penelitian ... 7

G. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PERJANJIAN BELI SEWA ... 10

A. Pengertian dan Perjanjian Beli Sewa ... 10

B. Saat dan Tempat Terjadinya Perjanjian Beli Sewa ... 17

C. Dasar Hukum, Subjek dan Objek Perjanjian Beli Sewa ... 22

D. Perjanjian Dalam Sistyem Eropa Kontinental dan Anglosaxon ... 25

E. Bentuk-Bentuk dan Klausula-Klausula Perjanjian Beli Sewa ... 26

BAB III : PENGERTIAN UMUM TENTANG HUKUM BENDA HAK MILIK BENDA DAN WANPRESTASI TERHADAP PERJANJIAN

... 30

A. Benda Pada Umumnya dan Hak-Hak Kebendaan... 30

B. Hak Milik (Eigendom) Ditinjau Dari KUHPerdata ... 35

C. Wanprestasi, Resiko dan Keadaan Memaksa Dalam Suatu

Perjanjian... 37

(8)

BAB IV : ASPEK HUKUM PERALIHAN HAK MILIK OBJEK

BELI SEWA ATAS BENDA BERGERAK... 43

A. Saat Terjadinya Peralihan Hak Milik Dalam Perjanjian Beli Sewa ... 43

B. Tindakan Penjual Sewa Terhadap Pembeli Sewa Yang Angsurannya Macet ... 46

C. Akibat Hukum Pemindah Tanganan Benda Objek Beli Sewa Pada Pihak III Sebelum Angsuran Dibayar Lunas ... 53

D. Upaya Hukum Yang Ditempuh Penjual Sewa Terhadap Pembeli Sewa Yang Melakukan Wanprestasi ... 63

E. Wawancara dan Tanggapan ... 65

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran... 72

DAFTAR PUSTAKA

(9)

BAB I

P E N D A H U L U A N Latar Belakang Permasalahan

Perjanjian beli sewa merupakan bentuk perjanjian baru dalam lalu lintas perdagangan Indonesia, dan perjanjian dimaksud tidak dimuat secara tegas dalam KUH. Perdata.

Dinamisasi masyarakat (development of social) membawa munculnya beli sewa dalam masyarakat. Kemunculan lembaga beli sewa ini tidak mengherankan karena sifat masyarakat yang selalu mencari kepuasan, dapat sebagai causa timbulnya beberapa akibat antara lain dalam lapangan perjanjian timbul lembaga beli sewa ini.

Pada waktu munculnya lembaga ini memang belum ada ketentuan yang mengaturnya meskipun demikian tetap diberlakukan dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena hukum perjanjian yang diatur dalam Buku III KUH. Perdata menganut asas kebebasan berkontrak, yang secara yuridis formal diatur dalam Pasal 1338 KUH. Perdata.

Di samping itu salah satu sebab yang mengakibatkan timbulnya lembaga

beli sewa sebagai sarana pemuas masyarakat karena para pengusaha akhir-akhir

ini banyak mengalami keresahan antara lain disebabkan pasaran barang hasil

industrinya semakin menyempit. Ini disebabkan satu segi persaingan di antara

para pengusaha barang sejenis semakin menyempit sedangkan disisi lain semakin

berkurangnya kemampuan beli dari masyarakat itu sendiri. Fenomena ini disadari

(10)

sehingga para pengusaha berusaha mencari jalan keluar yang ditemukan oleh para pengusaha adalah melalui lembaga beli sewa.

Pengertian perjanjian beli sewa atau disebut juga dengan istilah perjanjian beli sewa atau perjanjian jual sewa, tidak diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan (KUH. Perdata). Namun demikian dalam ketentuan Pasal 1 sub a SK. Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/1980 ditegaskan bahwa beli sewa (hire purchase) adalah jual beli barang dimana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga barang yang telah disepakat bersama dan yang diikat dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual kepada pembeli setelah jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual.

Dengan demikian beli sewa adalah jual beli barang dimana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga barang yang telah disepakati bersama dan yang diikat dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual kepada pembeli setelah jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual.

Perjanjian beli sewa dimana penjual menjual barangnya secara angsuran,

artinya setelah barang diserahkan oleh penjual kepada pembeli, harga baru dibayar

kemudian secara angsuran, tetapi selama angsuran terakhir belum dibayar lunas

oleh pembeli maka status pembeli baru sebagai penyewa saja. Pembeli sewa akan

menjadi pemilik jika angsuran terakhir sudah dibayar lunas oleh pembeli.

(11)

Disisi lain disebutkan bahwa menurut Pasal 1576 KUH. Perdata, beli sewa adalah jual beli secara angsuran dan ayat 2 Pasal itu menyatakan bahwa semua persetujuan yang maksudnya sama, baik yang bernama sewa menyewa maupun dengan bentuk atau nama apapun dianggap sebagai beli sewa (huurkop).

1

Dalam perjanjian beli sewa, masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Hak dan kewajiban para pihak ini tercantum dalam perjanjian yang menentukan syarat-syarat perjanjian sebagaimana tertulis di dalam akta jual beli. Jika dalam perjanjian tersebut salah satu pihak tidak melakukan atau memenuhi prestasi yang diperjanjikan, maka pihak tersebut dikatakan wanprestasi sehingga pihak yang dirugikan dapat meminta ganti rugi kepada pihak yang menimbulkan kerugian.

Dalam perjanjian perjanjian beli sewa dituangkan dalam bentuk perjanjian baku yang isinya atau syarat-syarat perjanjian beli sewa tersebut ditentukan oleh pihak kreditur, sedangkan pihak pembeli jika setuju hanya menandatangani surat perjanjian beli sewa tersebut.

Perlu ditegaskan dalam penulisan skripsi ini bahwa dikarenakan istilah beli sewa juga disebutkan dengan beli sewa atau perjanjian jual sewa, maka untuk keseragaman istilah dalam pembahasan selanjutnya akan digunakan istilah perjanjian beli sewa, semata-mata hanyalah untuk memudahkan pemahaman.

Dengan latar belakang tersebut, maka penulis memilih judul skripsi ini tentang “Aspek Hukum Peralihan Hak Milik Objek Beli Sewa Atas Benda Bergerak (Studi Kasus di PT. OTTO MultiArtha)

1RM. Suryodiningrat., Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung, 1982, hal.38

(12)

Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah : 1. Bagaimana tanggung jawab para pihak dalam perjanjian beli sewa

2. Bagaimana akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian beli sewa

3. Bagaimana penyelesaian hukum jika dalam perjanjian beli sewa terjadi persengketaan diantara para pihak.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui tanggung jawab para pihak dalam perjanjian beli sewa 2. Untuk mengetahui akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian beli sewa 3. Untuk mengetahui penyelesaian hukum jika dalam perjanjian beli sewa terjadi

persengketaan diantara para pihak

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberi kegunaan baik secara teoritis maupun secara praktis.

1. Secara Teoritis hasil penelitian ini akan memberikan sumbang saran dalam khasanah ilmu pengetahuan hukum, khususnya mengenai perjanjian beli sewa.

2. Secara Praktis :

a. Bermanfaat kepada masyarakat umum khususnya kepada pihak yang terikat dalam perjanjian beli sewa.

b. Sebagai bahan rujukan bagi pihak kreditur dalam membuat perjanjian beli

sewa dengan pihak pembeli.

(13)

Keaslian Penelitian

Skripsi ini berjudul “Aspek Hukum Peralihan Hak Milik Objek Beli Sewa Atas Benda Bergerak (Studi Kasus di PT. OTTO MultiArtha)”. Di dalam penulisan skripsi ini dimulai dengan mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan perjanjian beli sewa, baik melalui literatur yang diperoleh dari perpustakaan maupun media cetak maupun elektronik dan disamping itu juga diadakan penelitian. Dan sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini penulis melakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Bila dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini saya buat, maka hal itu menjadi tanggung jawab saya sendiri.

Tinjauan Kepustakaan

Jika diperhatikan sepintas lalu, beli sewa ini hampir sama dengan jual beli secara tunai, oleh karena baik beli sewa maupun jual beli secara tunai ditujukan untuk memperoleh hak milik disatu pihak, sedangkan dipihak lainnya adalah untuk memperoleh sejumlah harga atas keuntungan. Akan tetapi apabila kita perhatikan secara cermat maka beli sewa jauh berbeda dengan jual beli.

Beli sewa biasanya pihak pembeli sewa selama cicilan atau angsuran dari

harga benda (kendaraan bermotor) yang menjadi objek beli sewa tersebut belum

(14)

dilunasi oleh pembeli sewa kepada pihak penjual sewa, maka pembeli sewa itu belum berhak menjadi pemilik objek beli sewa atas benda tersebut.

Hak milik atas benda atau rumah yang menjadi objek beli sewa baru akan diserahkan oleh penjual sewa setelah seluruh angsuran atau cicilan talah dilunasi oleh pembeli sewa. Namun demikian pembeli sewa dapat memakai atau menikmati benda tersebut pada saat tercapainya kata sepakat. Biasanya benda atau rumah yang menjadi objek beli sewa diserahkan oleh penjual sewa kepada pembeli sewa. Akan tetapi pembeli sewa tidak dapat menjual atau memindah tangankan rumah tersebut kepada orang lain atau pihak ketiga tanpa persetujuan penjual sewa selama berlangsungnya perjanjian atau selama angsuran atau cicilannya belum dilunasi.

Apabila pembeli sewa menjual atau memindahtangankan benda atau rumah tersebut tanpa persetujuan penjual sewa selama perjanjian berlangsung atau uang angsuran atau cicilan belum dilunasi, maka pembeli sewa dapat dikenakan sanksi pidana yakni penggelapan.

Menurut Nico Ngani dan A. Qirom Meliala, menyebutkan bahwa beli sewa adalah :

Jual beli barang dimana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas barang yang telah disepakati bersama dan diikat dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual kepada pembeli setalah jumlah harganya telah lunas oleh pembeli kepada penjual.

2

2 Nico Ngani dan A. Qirom Meliala, Beli sewa Dalam Teori Praktek, Liberti, Yogyakarta, 1984, hal. 40

(15)

Dalam perjanjian beli sewa tentunya salah satu pihak harus melakukan prestasi. Jika dalam perjanjian beli sewa para pihak tidak melakukan prestasi, maka pihak tersebut dikatakan telah wanprestasi. Wanprestasi dalam perjanjian beli sewa merupakan suatu kelalaian yang ditimbulkan oleh pihak debitur kepada pihak kreditur. Pihak debitur yang telah melaksanakan suatu perjanjian kepada kreditur, akan tetapi oleh suatu keadaan yang tidak memungkinkan pihak debitur tidak dapat melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya.

Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif yaitu penelitian yang memberikan gambaran tentang peralihan hak milik objek beli sewa atas benda bergerak.

2. Lokasi penelitian

Adapun yang menjadi lokasi penelitian yang akan penulis laksanakan adalah di PT. OTTO MultiArtha.

3. Sumber Data

a. Sumber data diperoleh dari data primer yaitu wawancara dengan Pimpinan PT.OTTO MultiArtha Medan.

b. Sumber data diperoleh dari data sekunder yaitu Perundang-undangan dan bahan buku penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap data primer.

4. Metode Pengumpulan Data

(16)

Metode pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini adalah dengan melakukan penelitian langsung ke lapangan, dalam hal ini penulis langsung mengadakan penelitian ke PT.OTTO MultiArtha Medan dengan menggunakan teknik wawancara secara lisan.

5. Analisis Data.

Analisis data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, yaitu suatu analisis data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh mengenai perjanjian beli sewa pada PT.OTTO MultiArtha Medan.

Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan tersebut secara keseluruhan dapat diuraikan, yaitu :

1. BAB I : Pendahuluan, yang menjadi sub bab terdiri dari, yaitu Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penelitian, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan 2. BAB II : Tinjauan Umum Tentang Perjanjian, terdiri dari sub bab : Pengertian

dan Perjanjian Beli Sewa, Saat dan Tempat Terjadinya Perjanjian Beli Sewa, Perjanjian Dalam Sistyem Eropa Kontinental dan Anglosaxon, Bentuk-Bentuk dan Klausula-Klausula Perjanjian Beli Sewa.

3. BAB III Pengertian Umum Tentang Hukum Benda, Hak Milik Benda dan

Wanprestasi Terhadap Perjanjian, Benda Pada Umumnya dan Hak-Hak

Kebendaan, Hak Milik (Eigendom) Ditinjau Dari KUHPerdata, Wanprestasi,

Resiko dan Keadaan Memaksa Dalam Suatu Perjanjian,

(17)

4. BAB IV Aspek Hukum Peralihan Hak Milik Objek Beli Sewa Atas Benda Bergerak, Saat Terjadinya Peralihan Hak Milik Dalam Perjanjian Beli Sewa, Tindakan Penjual Sewa Terhadap Pembeli Sewa Yang Angsurannya Macet, Akibat Hukum Pemindah Tanganan Benda Objek Beli Sewa Pada Pihak III Sebelum Angsuran Dibayar Lunas.

5. BAB V Kesimpulan dan Saran. Dalam penulisan ini penulis membuat suatu

kesimpulan dan juga saran-saran yang menjadi bahan masukan untuk

penelitian mengenai masalah ini dan dalam skripsi ini akan turut pula

dimasukkan daftar bacaan dan lampiran-lampiran.

(18)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PERJANJIAN BELI SEWA

A. Pengertian Perjanjian dan Perjanjian Beli Sewa

Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

3

Dari ketentuan pasal diatas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan istilah perjanjian tetapi memakai kata persetujuan. Yang menjadi masalah adalah apakah kedua kata tersebut yaitu perjanjian dan persetujuan memiliki arti yang sama.

Menurut R. Subekti, “Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju utnuk melakukan sesuatu”.

4

Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya.

Dari kedua pendapat ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian sama pengertiannya dengan persetujuan. Oleh karena itu, persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata dapat dibaca dengan perjanjian.

3 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio., Terjemahan KUH.Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1994, hal.306.

4 R. Surbekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1992, hal. 1

(19)

Menurut para sarjana, antara lain Abdul Kadir Muhammad bahwa rumusan perjanjian dalam KUH Perdata itu kurang memuaskan, karena mengandung beberapa kelemahannya yaitu.

a) Hanya menyangkut sepihak saja

Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata kerja “mengikatkan”

sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak.

Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak-pihak.

b) Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsesus

Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung konsesus. Seharusnya dipakai kata “persetujuan”.

c) Pengertian perjanjian terlalu luas

Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut diatas terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padalah yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh buku ketiga KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan bukan perjanjian yang bersifat personal.

d) Tanpa menyebut tujuan

Dalam perumusan pasal itu tidak di sebutkan tujuan mengadakan

perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri tidak jelas untuk apa.

5

Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa perjanjian adalah “hubungan antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan hukum”.

6

M. Yahya Harahap mengatakan perjanjian adalah “hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak

5 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982, hal. 78

6 Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1998, hal. 97.

(20)

pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.

7

R. Wirjono Prodjodikoro mengatakan perjanjian adalah “suatu

perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut

pelaksanaan janji itu”.

8

Dari beberapa pengertian perjanjian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa unsur-unsur yang membentuk pengertian perjanjian adalah :

1. Terdapatnya para pihak yang berjanji;

2. Perjanjian itu didasarkan kepada kata sepakat / kesesuaian kehendak;

3. Perjanjian merupakan perbuatan hukum atau hubungan hukum;

4. Terletak dalam bidang harta kekayaan;

5. Adanya hak dan kewajiban para pihak;

6. Menimbulkan akibat hukum yang mengikat;

Dari 6 unsur tersebut ada hal yang perlu diperjelas, misalnya perubahan konsep perjanjian yang menurut paham KUH Perdata dikatakan perjanjian hanya

merupakan perbuatan (handeling), selanjutnya oleh para sarjana di sempurnakan menjadi perbuatan hukum (rechtshandeling) dan perkembangan terakhir

dikatakan sebagai hubungan hukum (rechtsverhoudingen). Jadi para ahli hukum

7 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986. hal. 6

8 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung,1992, hal. 11.

(21)

perdata hendak menemukan perbedaan antara perbuatan hukum dengan hubungan hukum. Perbedaan ini bukan hanya mengenai istilahnya saja tetapi lebih kepada subtansi yang dibawa oleh pengertian perjanjian itu.

Sudikno Mertokusumo menjelaskan :

Perbedaan perbuatan hukum dan hubungan hukum yang melahirkan konsep perjanjian sebagai berikut : bahwa perbuatan hukum (rechtshandeling) yang selama ini di maksudkan dalam pengertian perjanjian adalah satu perbuatan hukum bersisi dua (een tweezijdigerechtshandeling) yakni perbuatan penawaran (aanbod) dan penerimaan (aanvaarding) . berbeda halnya kalau perjanjian dikatakan sebagai dua perbuatan hukum yang masing-masing berisi satu (twee eenzijdige rechtshandeling) yakni penawaran dan penerimaan yang didasarkan kepada kata sepakat antara dua orang yang saling berhubungan untuk menimbulkan akibat hukum, maka konsep perjanjian yang demikian merupakan suatu hubungan hukum

(rechtsverhoudingen).

9

Sehubungan dengan perkembangan pengertian perjanjian tersebut, Purwahid Patrik menyimpulkan bahwa “perjanjiian dapat di rumuskan sebagai hubungan hukum antara dua pihak dimana masing-masing melakukan perbuatan hukum sepihak, penawaran dan penawaran”.

10

Perjanjian itu adalah merupakan perbuatan hukum yang melahirkan hubungan hukum yang terletak di dalam lapangan hukum harta kekayaan diantara dua orang atau lebih yang menyebabkan pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain mempunyai kewajiban untuk melakukan atau memberi sesuatu.

9 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal. 7-8.

10Purwahd Patrik, Makalah, Pembahasan Perkembangan Hukum Perjanjian, Seminar Nasional Asosiasi Pengajar Hukum Perdata/Dagang, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1990, hal.15.

(22)

Atau dengan kata lain pihak yang mempunyai hak disebut kreditur sedangkan pihak yang mempunyai kewajiban disebut debitur.

Jadi jelaslah bahwa yang menjadi subjek perjanjian adalah kreditur dan debitur. Perjanjian itu tidak hanya harus antara seorang debitur dengan seorang kreditur saja, tetapi beberapa orang kreditur berhadapan dengan seorang debitur atau sebaliknya. Juga jika pada mulanya kreditur terdiri dari beberapa orang kemudian yang tinggal hanya seorang kreditur saja berhadapan dengan seorang debitur juga tidak menghalangi perjanjian itu.

11

Menurut R. Subekti, beli sewa adalah “ suatu macam jual beli, setidak- tidaknya ia lebih mendekati jual beli dari pada sewa menyewa meskipun demikian ia merupakan campuran dari keduan-duanya dan kontraknya diberikan jual sewa menyewa”.

12

Sedangkan menurut R. Wiryono Projodikoro, beli sewa adalah “pada pokoknya persetujuan dimana barang dengan akibatnya bahwa sipenerima barang tidak menjadi pemilik melainkan pemakai belaka. Baru uang sewa telah dibayar, berjumlah sama dengan harga pembelian sipenyewa menjadi pembeli yaitu barangnya menjadi miliknya.

13

Penyerahan barang yang menjadi objek sewa dapat dilakukan pada saat tercapainya kata sepakat antara kedua belah pihak, akan tetapi peralihan hak milik baru akan dilakukan pada saat angsuran atau cicilan lunas dibayar oleh pembeli sewa. Jadi selama harga benda atau barang yang menjadi objek beli sewa tersebut belum dilunasi oleh pihak pembeli sewa, maka milik masih berada pada penjual sewa. Status pembeli sewa selama angsuran atau cicilan belum lunas menjadi

11Djanius Djamin dan Syamsul Arifin, Bahan Dasar Hukum Perdata,Akademi Keuangan dan Perbankan Perbanas Medan, 1991, hal.153.

12 R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, 1986, hal.33

13 R. Wirjono Projodikoro, Op.Cit, hal. 65

(23)

penyewa dahulu dari barang yang menjadi objek beli sewa, pembeli sewa dapat memakai atau menikmati barang tersebut.

Akan tetapi pembeli sewa tidak boleh menjual atau memindah tangankan benda tersebut kepada orang lain tanpa persetujuan penjual sewa. Apabila pembeli sewa melakukan penjualan atau memindahtangankan barang tersebut, maka pihak pembeli sewa dikenakan sanksi penggelapan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 372 KUH Pidana, yaitu : Barang siapa dengan sengaja memiliki dan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagaimana termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara selama- lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 500,-

Ada sanksi pidana yang dapat dikenakan terhadap pembeli sewa selama berlangsungnya perjanjian beli sewa menjaga keselamatan benda atau barang yang menjadi objek beli sewa serta melindungi penjual sewa dari tindakan pihak pembeli sewa dapat menimbulkan kerugian bagi penjual sewa. Misalnya pembeli sewa menjual, mengalihkan atau memindahtangakan benda yang menjadi objek beli sewa kepada orang lain atau pihak ketiga tanpa persetujuan penjual sewa.

Perlunya dicantumkan sanksi pidana di dalam perjanjian beli sewa, karena

pada saat tercapainya kata sepakat mengenai pokok perjanjian, benda atau barang

yang menjadi objek beli sewa tersebut diserahkan oleh penjual sewa kepada

pembeli sewa atas benda yang menjadi objek dalam perjanjian beli sewa tersebut

berada dalam keadaan pembeli sewa.

(24)

Mengenai kedudukan pembeli sewa selama berlangsungnya perjanjian jual beli sewa atau sebelum dilunasinya angsuran atau cicilannya, menurut K.R.M.T.

Tirtodiningrat, adalah sebagai berikut :

Kedudukan pembeli sewa dianggap sebagai penyewa adalah untuk menunjukkan bahwa pembayaran uang angsuran yang telah dilakukan itu tidak lain sebagai uang sewa, yang apabila dihentikan pembayarannya sebelum angsuran dilunasi, maka si penjual sewa dapat menuntut kembali barang yang disewakannya tersebut tanpa kewajiban untuk mengambalikan uang yang diterimanya, sebab semua uang itu hanya merupakan uang sewa belaka.

14

Sehubungan hal tersebut di atas, maka R. Wirjono Projodikoro, mengatakan bahwa :

Hal tersebut terlalu menekankan pada unsur sewa menyewa. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa dengan demikian si pemilik terlalu diuntungkan sedangkan si penyewa dirugikan. Dalam hal ini beliau memberikan jalan tengah yang dirasakan menyentuh rasa keadilan bagi kedua belah pihak.

Beliau mengatakan selayaknya dalam hal ini diadakan perhitungan secara adil. Misalnya si pemilik barang membayar kembali kepada si penyewa, sebahagian diberikan kepada si penyewa dari jumlah uang sewa yang telah dibayarnya tadi.

15

Dari perumusan perjanjian, maka suatu perjanjian mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

1. Ada pihak-pihak minimal dua pihak

Dikatakan pihak bukan orang karena mungkin sekali dalam suatu perikatan terlibat lebih dari dua orang, tetapi pihaknya tetap dua.

2. Ada persetujuan antara para pihak, mengenai : a. Tujuan

b. Prestasi

14 K.R.M.T. Tirtodiningrat, SH, Ikhtisar Hukum Perdata dan Hukum Dagang, PT.

Pembangunan, Jakarta, 1987, hal. 92

15 R. Wiryono Projodikoro, Op. Cit, hal. 66

(25)

c. Bentuk tertentu lisan/tulisan

d. Syarat tertentu yang merupakan isi perjanjian

Dalam perjanjian itu sendiri terdapat 3 (unsur), yaitu sebagai berikut :

1. Unsur essensialia

Unsur essensialia adalah unsur perjanjian yang selalu harus ada di dalam suatu perjanjian, unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian tidak mungkin ada. Dengan demikian unsur ini penting untuk terciptanya perjanjian, mutlak harus ada agar perjanjian itu sah sehingga merupakan syarat sahnya perjanjian.

2. Unsur naturalia;

Unsur naturalia adalah unsur lazim melekat pada perjanjian, yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena sudah merupakan bawaan atau melekat pada perjanjian. Dengan demikian, unsur ini oleh undang-undang diatur tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan. Jadi sifat unsur ini adalah aanvullendrecht (hukum mengatur).

3. Unsur accidentalia

Unsur accidentalia adalah unsur yang harus dimuat atau disebut secara tegas

dalam perjanjian. Unsur ini ditambahkan oleh para pihak dalam perjanjian

(26)

artinya undang –undang tidak mengaturnya. Dengan demikian unsur ini harus secara tegas diperjanjikan para pihak.

16

B. Saat dan Tempat Terjadinya Perjanjian Beli Sewa

Sebagaimana diketahui hukum perjanjian dari KUHPerdata menganut asas konsensual, artinya bahwa hukum perjanjian dari KUHPerdata itu menganut suatu asas bahwa untuk melahirkan perjanjian cukup dengan kata sepakat saja dan perjanjian itu sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsensus. Pada detik itu perjanjian sudah jadi atau mengikat. Artinya jika salah satu pihak tidak dapat melakukan kewajibannya sebagaimana disebutkan dalam perjanjian itu, maka pihak lainnya dapat mengadakan penuntutan ke Pengadilan Negeri dengan alasan hak cidera janji (wanprestasi).

Dengan demikian membicarakan tentang saat lahirnya perjanjian, maka tidak terlepas dari asas konsensualisme. Konsensual (konsensualisme) artinya kesepakatan, persesuaian kehendak.Dengankesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak.

Artinya apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak lainnya. Kedua kehendak itu bertemu dalam sepakat tersebut. Tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan perkataan-perkataan setuju dan lain sebagainya ataupun dengan bersama-sama menaruh tanda tangan di bawah pernyataan-pernyataan tertulis sebagai tanda bukti bahwa mereka kedua belah pihak menyetujui segala apa yang tertera di atas tulisan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu itu adalah juga

16 J. Satrio., Hukum Perjanjian, PT.Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1992, hal.67-72.

(27)

dikehendaki oleh pihak yang lain atau dengan kata lain bahwa kehendak mereka adalah "sama" sebenarnya tidak tepat. Yang benar adalah bahwa yang mereka kehendaki adalah "sama dalam kebalikannya". Misalnya dalam suatu perjanjian beli sewa yang satu ingin melepaskan hak miliknya atas suatu barang dengan diberi sejumlah uang tertentu sebagai gantinya, sedangkan orang lain ingin memperoleh hak milik atas barang tersebut dan bersedia memberikan sejumlah uang yang disebutkan itu sebagai gantinya kepada pemilik barang.

Tidak semua perjanjian itu bersifat konsensual. Undang-Undang juga menetapkan bahwa sahnya suatu perjanjian diharuskan atau ditetapkan dengan suatu formalitas tertentu yang dinamakan perjanjian formil. Hal ini merupakan suatu pengecualian. Perjanjian formil misalnya perjanjian perdamaian (dading) yang menurut Pasal 1851 (2) KUHPerdata perjanjian itu tidaklah sah melainkan jika dibuat secara tetulis atau penghibahan suatu barang harus dibuat dengan akta Notaris.

KUHPerdata menentukan empat syarat yang harus ada pada setiap perjanjian, sebab dengan dipenuhinya syarat-syarat inilah suatu perjanjian itu berlaku sah.

Adapun keempat syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata tersebut adalah :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.

3. Suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.

(28)

ad.1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

Dengan kata sepakat dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, para pihak setuju atau seia sekata mereka mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain.

Mereka menghendaki sesuatu hal yang sama secara timbal balik, misalnya seorang penjual suatu benda untuk mendapatkan uang, sedang si pembeli menginginkan benda itu dari yang menjualnya.

Dalam hal ini kedua belah pihak dalam suatu perjanjian harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan.

ad.2. Kecakapan untuk membuat perjanjian.

Kecakapan di sini orang yang cakap yang dimaksudkan adalah mereka yang telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun tetapi telah pernah kawin. Sedangkan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 7 pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun. Tidak termasuk orang-orang sakit ingatan atau bersifat pemboros yang karena itu oleh Pengadilan diputuskan berada di bawah pengampuan dan seorang perempuan yang masih bersuami.

Mengenai seorang perempuan yang masih bersuami setelah

dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963, maka sejak saat

itu seorang perempuan yang masih mempunyai suami telah dapat bertindak bebas

(29)

dalam melakukan perbuatan hukum serta sudah diperbolehkan menghadap di muka Pengadilan tanpa seizin suami.

ad.3. Suatu hal tertentu.

Suatu hal tertentu maksudnya adalah sekurang-kurangnya macam atau jenis benda dalam perjanjian itu sudah ditentukan, misalnya jual beli beras sebanyak 100 kilogram adalah dimungkinkan asal disebutkan macam atau jenis dan rupanya, sedangkan jual beli beras 100 kilogram tanpa disebutkan macam atau jenis, warna dan rupanya dapat dibatalkan.

ad.4. Suatu sebab yang halal.

Dengan syarat ini dimaksudkan adalah tujuan dari perjanjian itu sendiri.

Sebab yang tidak halal adalah berlawanan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Dari syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut di atas, kedua syarat pertama yaitu sepakat mereka yang mengikatkan diri dan kecakapan untuk membuat perjanjian dinamakan syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian.

Syarat subjektif adalah suatu syarat yang menyangkut pada subjek- subjek perjanjian itu atau dengan perkataan lain, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian, hal ini meliputi kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan pihak yang membuat perjanjian.

17

Apabila syarat subjektif tidak dipenuhi, maka perjanjiannya bukan batal demi hukum tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan.

17 Ibid, hal.25

(30)

Syarat ketiga dan syarat keempat yaitu suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal jika tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

Akibat perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian disebutkan dalam Pasal 1338 KUH. Perdata yang menyebutkan :

1. Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

2. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang- undang dinyatakan cukup untuk itu.

3. Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.

Dengan demikian, perjanjian yang dibuat secara sah yaitu memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUH. Perdata berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuat perjanjian. Artinya pihak-pihak harus mentaati isi perjanjian seperti mereka mentaati Undang-Undang sehingga melanggar perjanjian yang mereka buat dianggap sama dengan melanggar Undang- Undang. Perjanjian yang dibuat secara sah mengikat pihak-pihak dan perjanjian tersebut tidak boleh ditarik kembali atau membatalkan harus memperoleh persetujuan pihak lainnya.

C. Dasar Hukum, Subjek dan Objek Perjanjian Beli Sewa

Pengaturan beli sewa di Indonesia belum dituangkan dalam bentuk

undang-undang. Akan tetapi di luar negeri telah dicantumkan di dalam berbagai

perundang-undangan.

(31)

Stb. 1973 Nomor 289 merupakan ketentuan yang mengatur tentang beli sewa rumah. Stb.ini berlaku di negeri Belanda pada tanggal 6 Juli 1973. Undang- Undang ini bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada penyewa beli sebuah rumah yang sampai waktu itu belum memperolehnya. Si penyewa beli berdiam di rumah itu, membayar angsuran beli sewa, tetapi ia belum menjadi pemilik rumah itu. Ia sesungguhnya mempunyai hak pada waktunya menjadi pemilik. Oleh karena itu, sebelum undang-undang sementara itu berlaku ia berada dalam keadaan yang menyulitkan. Jika orang yang menyewa jualkan (huurverkoper) tetap menjadi pemilik rumah itu, misalnya menjual rumah atau

membebaninya dengan hipotik atau jatuh pailit, maka si penyewa beli secara praktis tidak mempunyai hak untuk bertindak.

Titik berat perlindungan bagi si penyewa beli terletak pada pendaftaran akta balik nama atau putusan hakim untuk pengikatan dalam register umum. Jika itu terjadi, maka si penyewa beli dapat menjalankan haknya, walaupun si penyewa menjual rumah itu kepada orang lain atau jatuh pailit. Suatu bentuk perlindungan yang penting untuk si penyewa beli adalah kemungkinan pengambilan tindakan oleh hakim jika persetujuan beli sewa meletakan kewajiban yang berat yang tidak menurut imbangan yang tepat kepada si penyewa beli.

Di Indonesia yang menjadi landasan hukum perjanjian beli sewa adalah sebagai berikut :

1. Yurisprudensi MA tanggal 16 Desember 1957 dalam perkara NV.

Handelsmaatchappij L. Auto (penggugat) melawan Yordan (tergugat)

(32)

2. Keputusan Menteri Perdangan dan Koperasi Nomor 34/KP/II/80 tentang perizinan Sewa Beli (Hire Purchase, jual beli dengan angsuran, dan sewa (Renting).

Aturan itulah yang menjadi dasar hukum hakim dalam memutuskan perkara yang muncul dalam pelaksanaan beli sewa di Indonesia.

Subjek dalam perjanjian beli sewa Menurut Mariam Darus Badrulzaman adalah :

1. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri.

2. Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak dari padanya.

3. Pihak ketiga.

18

Seperti diketahui bahwa perjanjian itu adalah merupakan perbuatan hukum yang melahirkan hubungan hukum yang terletak di dalam lapangan hukum harta kekayaan diantara dua orang atau lebih yang menyebabkan pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain mempunyai kewajiban untuk melakukan atau memberi sesuatu. Atau dengan kata lain pihak yang mempunyai hak disebut kreditur sedangkan pihak yang mempunyai kewajiban disebut debitur.

Jadi jelaslah bahwa yang menjadi subjek perjanjian adalah kreditur dan debitur. Perjanjian itu tidak hanya harus antara seorang debitur dengan seorang kreditur saja, tetapi beberapa orang kreditur berhadapan dengan seorang debitur atau sebaliknya. Juga jika pada mulanya kreditur terdiri dari beberapa orang kemudian yang tinggal hanya seorang kreditur saja berhadapan dengan seorang debitur juga tidak menghalangi perjanjian itu.

19

18 Mariam Darus Badrulzaman., KUH.Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, Alumni,Bandung, 1993, hal.41.

19 Djanius Djamin dan Syamsul Arifin., Op.Cit, hal.153.

(33)

Seorang debitur harus selamanya diketahui atau dikenal, karena ini penting untuk menuntut pemenuhan prestasi seorang debitur tidak diketahui atau dikenal tentunya tidak dapat dilakukan penagihan terhadap orang tersebut.

Adapun objek dari perjanjian itu adalah merupakan kebalikan dari pada subjek perjanjian itu sendiri. Seperti diketahui bahwa subjek perjanjian itu adalah seorang manusia atau badan hukum yang bertindak aktif atau antara debitur yang berkewajiban memenuhi prestasi dengan kreditur yang mempunyai hak atas prestasi yang telah diperjanjikan.

Objek dari perjanjian itu adalah prestasi. Prestasi yang dimaksud adalah sesuai dengan Pasal 1234 KUH. Perdata.

1. Memberi sesuatu 2. Berbuat sesuatu 3. Tidak berbuat sesuatu.

Maksud dari memberi sesuatu itu adalah merupakan kewajiban untuk memberikan barang, misalnya dalam hal jual beli. Tetapi dalam hal untuk memberi sesuatu ini bukanlah diharuskan hanya benda berbentuk barang saja melainkan juga jenis dan jumlah benda tertentu yang di dalamnya termasuk hal memberi dan menikmati atas sesuatu barang.

D. Perjanjian Dalam Sistem Eropa Kontinental dan Anglosaxon

Konstruksi hukum tentang beli sewa dalam sistem Eropa Kontinental dan Anglosaxon terdapat perbedaan yang paling mendasar. Menurut Salim HS perbedaan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Sistem Eropa Kontinental menunjukan bahwa beli sewa adalah

perjanjian sewa menyewa. Dalam sistem hukum Eropa Kontinental

tidak pernah mengkonstruksikan beli sewa sebagai perjanjian jual beli

sehingga hak milik tetap pada penjual. Perjanjian beli sewa

(34)

dikonstruksikan sebagai perjanjian sewa menyewa dengan opsi untuk membeli pada akhir sewa. Oleh karena itu konsekuensinya bahwa harga sewa tidak sama dengan harga jual objek perjanjian ditambah bunga. Dengan demikian apabila penyewa mempergunakan hak opsinya maka harga barang setelah pembayaran terakhir akan mencapai jumlah yang lebih besar dari pembayaran sewa periodik.

2. Sistem Anglosaxon, beli sewa dikonstruksikan sebagai perjanjian jual beli, dimana uang angsuran dianggap sebagai angsuran atas harga jual dan pada akhir pembayaran hak milik langsung beralih ke tangan pembeli tanpa adanya perbuatan hukum tertentu.

20

Apabila dikaji konstruksi beli sewa pada sistem hukum Eropa Kontinental, maka beli sewa disamakan dengan leasing sebagaimana yang dikenal di Amerika Serikat, karena adanya hak opsi. Para pembeli sewa dianggap sebagai penyewa barang bukan sebagai pembeli.

Pandangan masyarakat dan hakim tentang perjanjian beli sewa adalah sebagai berikut :

1. Pandangan masyarakat tentang beli sewa

Ada dua pandangan masyarakat tentang beli sewa yaitu :

a. Beli sewa sebagai perjanjian sewa menyewa sehingga hak milik tetap kredit

b. Beli sewa sebagai jual beli.

21

Alasan pandangan pertama adalah apabila pembeli wanprestasi uang yang sudah dibayarkan dianggap sebagai uang sewa atau pengganti kerugian pemakaian barang yang disewa, sehingga pembayaran tersebut harus diperhitungkan. Sedangkan alasan pandangan kedua bahwa beli sewa sebagai

20 Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal.130.

21 Ibid., hal.130

(35)

perjanjian jual beli, karena apabila pembeli sewa wanprestasi uang angsuran yang dibayarkan diperhitungkan.

2. Pandangan hakim

Pandangan awalnya, pandangan atau sikap hakim terhadap beli sewa adalah sebagai perjanjian sewa menyewa. Namun kemudian putusan-putusan pengadilan cenderung menganggap beli sewa sebagai perjanjian jual beli yang peralihan hak miliknya ditunda sampai pembayaran terakhir dari seluruh harga dipenuhi.

E. Bentuk-Bentuk dan Klausula-Klausula Perjanjian Beli Sewa

Di dalam Stb. 1974 Nomor 85 yang mulai berlaku sejak tanggal 13 Maret 1974 telah ditentukan bentuk perjanjian beli sewa. Di dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa beli sewa harus diadakan dengan akta autentik, artinya suatu akta dari notaris atau dari orang yang berwenang membuat akta dibawah tangan untuk penyerahan benda yang tidak bergerak yaitu zaakwarnemer administrateur (administratur pengurus perkara orang lain). Jika ini tidak terjadi maka si penyewa beli dapat memohon kepada hakim membatalkan persetujuan itu.

Begitu juga dalam praktek di Indonesia, bentuk perjanjiannya dibuat dalam bentuk tertulis. Perjanjian tertulis dibuat dalam bentuk dibawah tangan.

Artinya perjanjian itu hanya ditandantangani oleh para pihak perjanjian beli sewa ini :

1. Dibuat secara sepihak oleh penjual sewa

2. Yang menentukan segala isi perjanjian tersebut adalah penjual sewa

(36)

3. Pembeli sewa diminta untuk membaca dan menandatangani perjanjian tersebut.

Pihak pembeli tidak ada keberanian untuk mengubah isi dan persyaratan yang ditentukan oleh pihak pembeli sewa, karena pembeli sewa berada pada pihak yang lemah dari aspek ekonomi. Mereka tidak mempunyai uang kontan untuk membayarnya. Isi dan persyaratan kontrak baru dipersoalkan oleh pembeli sewa pada saat ia tidak mampu membayar angsuran, bunga dan denda.

Berikut ini subtansi kontrak yang tercantum dalam kontrak beli sewa yang dibuat antara penjual sewa dengan pembeli sewa yaitu sebagai berikut :

1. Identitas subjek hukum

Yang menjadi subjek dalam perjanjian beli sewa ini adalah pihak penjual sewa dan pembeli sewa.

2. Status objek beli sewa

Objek beli sewa ini masih dimiliki oleh penjual beli. Status barang itu baru beralih setelah pelunasan terakhir oleh pembeli sewa.

3. Levering barang

Barang yang diserahkan oleh penjual sewa dalam kondisi baik, dan risiko tentang musnahnya barang berada pada pembeli sewa

4. Sistem pembayaran

Sistem pembayaran dilakukan secara angsuran, namun pihak penjual sewa menetapkan adanya uang muka.

5. Denda dan penagihan

(37)

Denda ini baru dibebankan kepada pembeli sewa apabila terjadi keterlambatan dalam pembayaran angsuran dan dendanya ditetapkan 0,5% per hari dari besarnya angsuran, serta biaya tagihan sebesar Rp.500 (lima ratus rupiah)

6. Tanggung jawab dan larangan bagi pembeli sewa

Di dalam ketentuan ini ditentukan tentang tanggung jawab dan larangan bagi pembeli sewa. Tanggung jawab pembeli sewa adalah :

a. Pemeliharaan dan keutuhan kondisi barang yang belum dilunasi

b. Menanggung yang timbul karena pemakaian barang, seperti pajak, servis, penggantian suku cadang, dan lain-laian

c. Biaya kerusakan dan kehilangan barang. Bagi pembeli sewa dilarang untuk menjual, menggadaikan, memindah alamatkan atau perbuatan- perbuatan lain yang bertujuan untuk memindah tangankan pemilikan barang-barang milik penjual sewa.

7. Pembatalan perjanjian

Pembatalan perjanjian ini ditentukan secara sepihak oleh pihak penjual sewa.

Apabila pembeli sewa lalai, maka pembeli sewa dikatakan wanprestasi tanpa adanya teguran.

8. Penutup

Di dalam bagian penutup ini ditentukan bahwa kedua belah pihak telah menyetujui isi kontrak sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata.

Jika diperhatikan subtansi isi kontrak di atas, jelaslah bahwa substansi

kontrak tersebut sangat merugikan pihak pembeli sewa, karena setiap pembeli

(38)

sewa tidak membayar angsuran, maka sejak saat itu pembeli sewa dikatakan wanprestasi. Padahal dalam teori hukum, apabila debitur lalai membayar angsuran harus diberikan somasi kepada pembeli sewa sebanyak tiga kali berturut-turut.

Jika teguran itu tidak diindahkan, maka pembeli sewa baru dikatakan wanprestasi.

(39)

BAB III

PENGERTIAN UMUM TENTANG HUKUM BENDA, HAK MILIK BENDA DAN WANPRESTASI TERHADAP PERJANJIAN

A. Benda Pada Umumnya dan Hak-Hak Kebendaan

Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat. Salah satu tujuan Hukum, ialah mengadakan tata tertib dalam pergaulan hidup para anggota masyarakat. Sudah semestinya mereka masing-masing dalam hidupnya sehari-hari mengejar suatu kenikmatan, yang sesuai dengan segenap keinginan mereka. Keinginan ini tentunya sangat bermacam-macam. Wujud, corak dan sifatnya.

Dalam usaha untuk memenuhi berbagai keinginan ini, para anggota masyarakat adakalanya sering berjumpa. Kalau dalam perjumpaan ini, mereka dapat saling menghindari satu sama lain secara berjalan bersimpang siur belaka, maka mereka masing-masing dapat berjalan terus, dengan tidak perlu menghiraukan salah tingkah tetangganya.

Tetapi, seluas bagaimanapun dunia ini, adalah merupakan kejadian sehari-

hari, bahwa dalam pergaulan hidup manusia sebagai sesama mahluk, terjadi

pergesekan antara berbagai kepentingan mereka. Syukur, apabila pergesekan ini,

jika dinsyafi tepat pada waktunya, masih dapat dihentikan secara sukarela oleh

kedua belah pihak. Kalau penghentian pergesekan ini tidak dapat tercapai, maka

soalnya akan meningkat keatas pada suatu bentrokan kepentingan, yang hanya

dapat diselesaikan dengan memaksa salah satu pihak untuk mengalah dan

mempersilahkan pihak lain memenuhi kepentingannya sepenuhnya atau sebagian.

(40)

44

Untuk dapat mengadakan suatu paksaan ini, perlu ada peraturan tata tertib, yang mengatur berbagai hubungan antara kedua belah pihak dan harus ditaati oleh segenap anggota masyarakat. Sistem pengaturan benda merupakan sistem tertutup artinya orang tidak dapat mengadakan hak-hak kebendaan baru selain yang sudah diterapkan undang-undang. Hal ini berlawanan dengan sistem perutangan karena perutangan merupakan sistem yang terbuka artinya orang dapat mengadakan perjanjian apapun juga (verbintennis) baik yang sudah ada pengaturannya maupun yang belum ada pengaturannya menganut asas kebebasan berkontrak.

Adapun pengertian benda dalam arti sempit adalah barang berwujud yang dapat dianggap oleh panca indera yang dalam pengertian luas termasuk barang yang tidak berwujud. Jadi pengertian benda secara yuridis ialah segala sesuatu yang menjadi objek eigendom (hak milik), pasal 499 KUH Perdata.

22

Menurut R.

Wirjono Prodjodikoro menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan benda (zaak) segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang.

23

Menurut hukum perdata barat bagaimana yang diatur dalam KUH Perdata, benda dapat dibedakan atas :

1. Benda berwujud (he ha welijk) dan benda yang tidak berwujud (on he he welijk).

2. Benda yang bergerak dan benda yang tidak bergerak.

3. Benda yang dapat dipakai habis (verbruik baar) dan benda yang tidak dipakai habis (on verbruik baar).

4. Benda yang sudah ada (togenwooedige zaaken) dan benda yang masih akan ada (teonhomstige zaaken). Benda-benda yang akan ada dibedakan antara yang absolut dan relatif. Benda yang absolut yaitu benda yang pada suatu saat sama sekali belum ada misalnya panen

22 R. Wirjono Prodjodikoro.,Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, PT. Intermasa, Jakarta, 2004, hal.2.

23 Ibid., hal.3.

(41)

45

yang akan datang. Benda yang relatif yaitu benda yang pada suatu saat sudah ada tetapi bagi orang-orang tertentu belum ada.

5. Benda yang dalam perdagangan (zaaken in handel) dan benda yang diluar perdagangan (zaaken buiten de handel).

6. Benda yang dapat dibagi dan benda yang tidak dapat dibagi.

24

Dari pembagian di atas yang paling penting adalah pembagian benda bergerak dan benda tidak bergerak sebab pembagian ini mempunyai akibat yang sangat penting dalam hukum. Suatu benda dapat tergolong dalam benda yang tidak bergerak (onroerend) karena sifatnya, tujuan pemakaian, memang demikian ditentukan undang-undang. Adapun benda yang tidak bergerak karena sifatnya adalah tanah, termasuk segala sesuatu yang secara langsung atau tidak langsung karena bencana alam atau perbuatan manusia yang hubungannya erat menjadi satu dengan tanah.

Benda yang tidak bergerak tujuan pemakaiannya adalah segala apa meskipun tidak sungguh digabungkan dengan tanah atau bangunan untuk mengikuti tanah untuk waktu yang agak lama. Selanjutnya benda yang tidak bergerak karena memang ditentukan oleh undang-undang adalah segala hak penagihan mengenai suatu benda yang tak bergerak, misalnya hak opstal, hak erfacht dan hak pengalihan untuk pengembangan atau penyerahan benda yang tidak bergerak.

Benda dapat tergolong benda bergerak karena sifatnya, ditentukan oleh undang-undang. Benda bergerak karena sifatnya adalah benda yang tidak bergabung dengan tanah, misalnya perabot rumah. Benda bergerak karena

24Ibid., hal.5

(42)

46

ditetapkan undang-undang adalah penagihan mengenai sejumlah uang dari benda yang bergerak, misalnya surat sero perdagangan, surat obligasi negara.

“Selanjutnya dalam auteuswet da octrooiwet ditetapkan bahwa hak atas suatu karangan tulisan (aureurechto) dan hak suatu pendapatan suatu ilmu pengetahuan (octrooiretcht) adalah benda yang bergerak”.

Dalam memperoleh hak kebendaan ada beberapa carta yaitu : 1. Dengan pengakuan

Benda yang tidak ada pemiliknya (res nullius) kemudian didapat dan diakui oleh orang yang mendapatkannya ini sebagai pemiliknya, misalnya menangkap ikan di sungai, laut dan berburu di hutan bebas.

2. Dengan penemuan

Benda milik orang lain yang lepas dari penguasaannya, misalnya karena jatuh di jalan, karena bencana alam, kemudian ditemukan seseorang sedangkan dia tidak tau siapa pemiliknya. Penemu benda tersebut dianggap sebagai pemilik karena menguasai benda itu (Pasal 1977 ayat 1 KUH Perdata). Dia mempunyai bezit atas benda itu, bezit sama dengan eigendom.

3. Dengan penyerahan

Hak kebendaan diperoleh dengan cara penyerahan berdasarkan alas hak (rechtstitel) tertentu, misalnya jual beli, sewa menyewa, hibah, warisan.

Dengan penyerahan hak kebendaan atas benda berpindah kepada yang

memperoleh hak.

(43)

47

4. Dengan daluarsa

Hak kebendaan diperoleh dengan cara daluarsa (lampau waktu). Daluarsa benda bergerak dan tidak bergerak tidak sama. Bagi siapa yang menguasai benda bergerak misalnya dengan cara menemukan di jalan, hak milik diperoleh setelah lampau waktu tiga tahun sejak ia menguasai benda bergerak itu (Pasal 1977 ayat 2 KUH Perdata). Untuk benda tidak bergerak daluarsanya adalah dalam hal alas hak 20 tahun dan dalam hal tidak ada alas hak 30 tahun (Pasal 1967 KUH Perdata).

5. Dengan pewarisan

Hak kebendaan diperoleh berdasarkan pewarisan menurut hukum waris yang berlaku

6. Dengan penciptaan

Orang yang menciptakan benda baru memperoleh hak milik atas benda ciptaannya itu.

7. Dengan ikutan (turunan)

Orang yang membeli seekor sapi bunting kemudian sapi itu melahirkan anak maka secara otomatis pemilik sapi tersebut mempunyai hak milik atas anak sapi yang baru lahir.

Dari beberapa cara memperoleh hak kebendaan seperti yang diuraikan di

atas, penulis hanya memfokuskan pembahasan kepada “memperoleh hak

kebendaan dengan penyerahan” berdasarkan suatu peristiwa perdata yaitu

perjanjian beli sewa. Beli sewa tidak lain adalah persesuaian kehendak antara

penjual dan pembeli mengenai barang dan harga. Barang dan hargalah yang

(44)

48

menjadi esensial perjanjian beli sewa, tanpa ada barang yang hendak dijual sewa mungkin terjadi beli sewa, sebaliknya bila barang objek beli sewa tidak dibayar dengan suatu harga, beli sewa dianggap tidak ada. Bahwa apa yang harus diserahkan dalam perjanjian beli sewa adalah suatu yang berwujud benda atau barang (zaak).

Bertitik tolak dari pengertian benda dan barang adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan objek “harta benda” atau harta kekayaan. Jadi yang dapat dijadikan objek jual beli adalah segala sesuatu yang dapat bernilai harta kekayaan (vermogen). Termasuk didalamnya perusahaan dagang, porsi warisan dan

sebagainya. Bukan hanya benda yang dapat dilihat wujudnya tapi semua benda yang dapat menilai harta kekayaan baik nyata maupun tidak berwujud. Hal ini sesuai dengan Pasal 1332 KUH Perdata yaitu hanya barang-barang bisa diperniagakan saja yang boleh dijadikan objek persetujuan.

B. Hak Milik (Eigendom) Ditinjau Dari KUHPerdata

Menurut Pasal 570 KUH Perdata disebutkan bahwa hak milik adalah hak

untuk menikmati suatu benda dengan sepenuhnya dan untuk menguasai benda itu

dengan sebebas-bebasnya asal tidak dipergunakan bertentangan dengan undang-

undang atau peraturan umum yang diadakan oleh kekuasaan yang mempunyai

wewenang untuk itu dan asal tidak menimbulkan gangguan terhadap hak-hak

orang lain, kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan adanya

pencabutan hak itu untuk kepentingan umum, dengan pembayaran pengganti

kerugian yang layak dan menurut ketentuan Undang-Undang.

(45)

49

Bedasarkan Pasal 570 KUH Perdata dapat diketahui bahwa hak milik adalah hak yang paling utama jika dibandingkan dengan hak-hak kebendaan yang lain. Karena yang berhak itu dapat menikmatinya dengan sepenuhnya dan menguasainya dengan sebebas-bebasnya.

Pengertian dapat menguasai benda itu dengan sebebas-bebasnya itu dapat diartikan dalam dua arti yaitu :

1. Dalam arti dapat memperlainkan (vervreen den), membebani, menyewakan dan lain-lain. Yaitu pokoknya dapat melakukan perbuatan hukum terhadap sesuatu zaak (benda).

2. Dalam arti dapat memetik buahnya, memakainya, merusak, memelihara dan lain-lain, yaitu pokoknya dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang materil.

25

Hak milik itu merupakan ‘droit inviolable et sacre’ yaitu yang tidak dapat diganggu gugat. Hal ini hanya tertuju pada orang lain yang bukan eigenaar tetapi juga tertuju pada pembentuk undang-undang ataupun penguasa, mereka itu tidak boleh sewenang-wenang membatasi hak milik melainkan harus ada batasannya, harus memenuhi syarat-syarat tertentu.

Dengan demikian menurut Pasal 570 KUH Perdata si pemilik diberikan kekuasaan atau wewenang dengan seluas-luasnya untuk dapat menikmati kegunaan dari suatu kebendaan tersebut. Kekuasaan si pemilik untuk dapat menikmati sesuatu kebendaan berbuat terhadap benda itu dengan kedaulatan sepenuhnya, memberikan suatu gambaran bahwa kekuasaan si pemilik tersebut adalah mutlak atau tidak dapat diganggu gugat.

25 Sri Soedewi Maschoen Sofwan., Hukum Perdata, Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1995, hal.42.

(46)

50

C. Wanprestasi, Risiko dan Keadaan Memaksa Dalam Suatu Perjanjian Menurut pendapat M. Yahya Harahap bahwa yang dimaksud dengan wanprestsi adalah : “Pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya”.

26

Kata “Tidak tepat pada waktunya dan kata tidak layak” apabila dihubungkan dengan kewajiban merupakan perbuatan melanggar hukum. Pihak debitur sebagian atau secara keseluruhannya tidak menepati ataupun berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati bersama.

Dalam keadaan normal perjanjian dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya tanpa ganguan ataupun halangan. Tetapi pada waktu yang tertentu, yang tidak dapat diduga oleh para pihak, muncul halangan, sehingga pelaksanaan perjanjian tidak dapat dilaksanakan dengan baik, faktor penyebab terjadinya wanprestasi oleh Abdulkadir Muhammad diklasifikasikan menjadi dua faktor yaitu :

a. Faktor dari luar dan

b. Faktor dari dalam diri para pihak

Faktor dari luar menurut Abdulkadir Muhammad adalah “peristiwa yang tidak diharapkan terjadi dan tidak dapat diduga akan terjadi ketika perjanjian dibuat”.

27

Sedangkan faktor dari dalam diri manusia/para pihak merupakan kesalahan yang timbul dari diri para pihak, baik kesalahan tersebut yang dilakukan dengan sengaja atau pun karena kelalaian pihak itu sendiri, dan para

26 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 60

27 Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Citra Aditya Bakti, 1992, hal. 12

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kewenangan lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK) terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan

1) Penerima kuasa asuransi jiwa syariah mengisi daftar pertanyaan pada Formulir klaim meninggal dunia/kematian dan surat keterangan dokter dengan benar sesuai dengan

Perbankan syariah juga menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkan kepada pengelola wakaf (nazir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif). Dengan

Berdasarkan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa pengaturan perundang-undangan nasional yang relevan dengan pemberantasan illegal fishing oleh Nelayan Asing di Zona

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menguji pengaruh desentralisasi fiskal dan fiscal stress terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota se-Propinsi Aceh, baik

Upaya yang dilakukan dengan adanya penerbitan bilyet giro kosong adalah dengan mengajukan kepada Bank Indonesia agar penerbit nasabah biro yang bersangkutan dimasukkan

Kendala dalam pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Fakultas Hukum USU, Pelaksanaan Perda KTR di Kota Medan

Berdasarkan paparan latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul :“Tinjauan Kriminologis Terhadap Tindak Pidana Pencurian