• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

UPAYA HUKUM TERHADAP PENANGANAN ILEGAL FISHING DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN NEGARA

REPUBLIK INDONESIA (WPP NRI 5710)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

NIM : 120200445

ANHARI NAFIZ NASUTION

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2 0 1 7

(2)

UPAYA HUKUM TERHADAP PENANGANAN ILEGAL FISHING DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN NEGARA

REPUBLIK INDONESIA (WPP NRI 5710)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

ANHARI NAFIZ NASUTION NIM : 120200445

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Internasional

Dr. Chairul Bariah, SH.MHum NIP. 195612101986012001

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Suhaidi, SH.MH Arif, SH.MH NIP. 196207131988031003 NIP. 196403301993031002

(3)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2 0 1 7

UPAYA HUKUM TERHADAP PENANGANAN ILEGAL FISHING DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN NEGARA

REPUBLIK INDONESIA (WPP NRI 5710)

Berdasarkan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa pengaturan perundang-undangan nasional yang relevan dengan pemberantasan illegal fishing oleh Nelayan Asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dalam Hukum Indonesia, diatur didalam UNCLOS 1982 Pasal 74 tentang Penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif antara Negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan, Undang-Undang No 31 tahun 2004 dikarenakan belum optimalnya pengawasan yang dilakukan oleh aparat keamanan, walaupun pada dasarnya telah ada rambu- rambu yang menjadi dasar dalam melakukan penataan terhadap penangkapan ikan di wilayah zona ekonomi eksklusif tersebut, kemudian Keputusan Menteri Perikanan dan Kelautan Nomor: Kep. 60/Men/2001 tentang Penataan Penggunaan Kapal Perikanan Asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan PP No. 54 Tahun 2004, tetapi keberadaan Kepmen ini tetap berlaku sepanjang belum ada peraturan menteri yang mencabutnya. Pengaturan internasional yang berkaitan

ANHARI NAFIZ NASUTION ABSTRAK

Indonesia mulai mengambil tindakan tegas dalam penegakan terhadap kapal asing yang melakukan Illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI), yaitu dengan melakukan tindakan pembakaran dan/atau penenggelaman terhadap setiap kapal asing yang telah terbukti melakukan Illegal fishing di wilayah perairan Republik Indonesia. Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan perundang- undangan nasional yang relevan dengan pemberantasan illegal fishing, bagaimana pengaturan internasional yang berkaitan dengan pemberantasan illegal fishing, bagaimana penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan illegal fishing di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia menurut hukum internasional dan hukum nasional.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Penelitian ini melakukan analisis data secara kualitatif

(4)

dengan pemberantasan illegal fishing diatur dalam Pasal 63 dan Pasal 64 UNCLOS 1982. Penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan illegal fishing di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia menurut hukum internasional dan hukum nasional dilaksanakan secara koprehensif melalui aparat penegak hukum yaitu penyidik TNI, pejabat polisi Negara atau pejabat pegawai negeri sipil yang berwenang menangani segala permasalahan di ZEE.

Kata Kunci : Upaya Hukum, Ilegal Fishing, WPP NRI.

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehariban Allh SWT karena dengan karunia-Nya telah memberikan kesehatan, kekuatan dan ketekunan pada penulis sehingga mampu dan berhasil menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana hukum pada fakultas hukum universitas sumatera utara. skripsi ini berjudul :

"Upaya Hukum Terhadap Penanganan Ilegal Fishing Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI 5710)”.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari terdapatnya kekurangan, namun demikian dengan berlapang dada penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang menaruh perhatian terhadap skripsi ini.

Demi terwujudnya penyelesaian dan penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah

(5)

dengan ikhlas dalam memberikan bantuan untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum USU Medan

2. Bapak Dr. OK. Saidin, SH.M.Hum sebagai Wakil Dekan I FH. USU Medan 3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH.M.Hum sebagai Wakil Dekan II FH. USU

Medan.

4. Bapak Drs Jelly Leviza, SH.M.Hum sebagai Wakil Dekan III FH. USU Medan

5. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH.MH, selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Pembimbing I.

6. Bapak Arif, SH.MH sebagai Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan pembuatan skripsi

7. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum USU yang dengan penuh dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

8. Terima kasih yang sebesar-besarnya dari penulis kepada ayahanda dan Ibunda yang dengan susah payah membesarkan, mendidik dan membiayai pendidikan penulis.

(6)

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini, hanya Allah Swt yang dapat membalas budi baik semuanya.

Semoga ilmu yang penulis telah peroleh selama ini dapat bermakna dan berkah bagi penulis dalam hal penulis ingin menggapai cita-cita.

Medan, Januari 2017 Penulis

Anhari Nafiz Nasution

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i KATA PENGANTAR ... ii DAFTAR ISI ... iv

(7)

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 9

D. Keaslian Penulisan ... 10

E. Tinjauan Pustaka ... 10

F. Metode Penelitian ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II : PENGATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL YANG RELEVAN DENGAN PEMBERANTASAN ILLEGAL FISHING ... 18

A. Pengertian Illegal Fishing ... 18

B. Pengelolaan Perikanan ... 32

C. Penegakan Hukum Illegal Fishing ... 33

D. Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia 35

BAB III : PENGATURAN INTERNASIONAL YANG RELEVAN DENGAN PEMBERANTASAN ILLEGAL FISHING …… 40

A. Pengertian dan Perkembangan Hukum Laut Internasional ... 40

B. Pembagian Wilayah Laut : ... 44

1. Wilayah Laut di Bawah Kedaulatan Negara ... 45

2. Wilayah Laut di Bawah Yurisdiksi (Kewenangan) 3. Negara ... 47

4. Wilayah Laut di Luar Yurisdiksi (Kewenangan) Negara ... 51

C. Sumber dan Subjek Hukum Laut Internasional ... 53

(8)

D. Penangkapan Kapal Berbendera Asing Yang Melakukan Pencurian Ikan (illegal fishing) di Wilayah Pengelolaan

Perikanan Negara Republik Indonesia ... 58

BAB IV : UPAYA HUKUM TERHADAP PENANGANAN ILEGAL FISHING DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA ... 65

A. Pengaturan Perundang-Undangan Nasional yang Relevan dengan Pemberantasan Illegal Fishing ... 65

B. Pengaturan Internasional yang Berkaitan dengan Pemberantasan Illegal Fishing. ... 75

C. Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing Yang Melakukan D. Illegal Fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia Menurut Hukum Internasional dan Hukum Nasional ... 85

BAB V ... : KESIMPULAN DAN SARAN ... 96

A. Kesimpulan ... 96

B. Saran ... 98

DAFTAR PUSTAKA ... 99

BAB I PENDAHULUAN

(9)

A. Latar Belakang.

Negara Republik Indonesia merupakan salah satu negara terluas didunia dengan total luas negara 5.193.250 km² (mencakup lautan dan daratan).1 Perairan laut Indonesia memiliki panjang pantai sampai 95.181 km2, dengan luas perairan 5,8 juta km2 yang terdiri atas laut teritorial seluas 0,3 juta km, perairan kepulauan dengan luas 2,8 juta km2, dan perairan Zona Ekonomi Ekskulsif (ZEE) dengan luas 2,7 juta km2.2

Potensi yang dimiliki Indonesia tersebut merupakan suatu peluang dan potensi ekonomi yang dapat dimanfaatkan untuk kemajuan perekonomian Indonesia, serta sebagai tulang punggung pembangunan nasional. Namun, di sisi

Luasnya lautan Indonesia sebenarnya membawa keuntungan dan manfaat yang baik bagi bangsa Indonesia, karena salah satu fungsi dari laut adalah sebagai sumber kekayaan alam. Sumber kekayaan alam yang terkandung dilautan sangat berlimpah, sehingga bisa digunakan atau dimanfaatkan untuk mensejahterakan bangsa Indonesia. Kekayaan alam yang berada dilaut tersebut meliputi daerah perairan dan daerah dasar laut serta tanah dibawahnya. Kekayaan alam yang berada didaerah dasar laut dan tanah dibawahnya meliputi kekayaan non hayati, yaitu: bahan tambang seperti minyak bumi, gas, dan bahan polimetalik lain.

Sedangkan kekayaan alam yang berada didaerah perairan meliputi kekayaan hayati, yaitu: berbagai macam jenis ikan, dari ikan yang berukuran kecil sampai ikan yang berukuran besar. Ikan merupakan komoditas pangan yang sangat diminati oleh semua orang, bahkan di seluruh dunia.

1 Supriadi dan Alimudin, Hukum Perikanan di Indonesia, Sinar Grafika, Palu, 2011, hlm.

2.

2 Marhaeni Ria Siombo, Hukum Perikanan Nasional dan Internasional, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hlm. 1.

(10)

lainpotensi atau keadaan tersebut justru menyebabkan wilayah Indonesia sering terjadi Illegal fishing (penangkapan ikan secara illegal).3 Ditambah lagi letak posisi silang Indonesia yang terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudra (Pasifik dan Hindia) menjadi penyebab wilayah Indonesia menjadi rawan terjadi praktik Illegal fishing. Adapun daerah yang menjadi titik rawan tersebut terletak di laut Arafuru, laut Natuna, sebelah Utara Sulawesi Utara (Samudra Pasifik), selat Makasar, dan Barat Sumatera (Samudra Hindia).4

Maraknya kegiatan penangkapan ikan secara ilegal yang terjadi di laut Indonesia semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan data yang dilansir Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia kerugian negara akibat aktivitas illegal fishing mencapai 300 triliyun rupiah per tahun. Angka tersebut setara dengan 25% dari total potensi perikanan Indonesia. Besarnya angka kerugian tersebut mengancam kesejahteraan nelayan local dan juga kelestarian sumber daya kelautan dan perikanan.

5

3 Berita online, Illegal Fishing Kejahatan Transnasional yang Dilupakan, dapat diakses di http:// news.detik.com/read/2009/10/09/080806/1218292/471/illegal-fishing-kejahatan- transnasional-yang-dilupakan diakses tanggal 02 Januari 2017 Pukul 10.00 Wib.

4 Ibid.

5 Ibid.

Banyaknya kasus illegal fishing di Indonesia tidak lepas dari lemahnya penegakan hukum dan pengawasan di perairan Indonesia, khususnya pengelolaan sumber daya alam hayati laut, serta ketidak tegasan aparat dalam penanganan para pelaku illegal fishing ini. Pengawasan di seluruh perairan Indonesia juga masih kekurangan dalam hal jumlah kapal pengawas dan hari operasi.

(11)

Berdasarkan International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate IUU Fishing (IPOA-IUU Fishing) tahun 2001, yang dimaksud kegiatan perikanan yang dianggap melakukan Illegal fishing adalah:6

1. Kegiatan perikanan oleh orang atau kapal asing di perairan yang menjadi yurisdiksi suatu negara, tanpa izin dari negara tersebut, atau bertentangan dengan hukum dan peraturan perundang-undangan.

2. Kegiatan perikanan yang dilakukan oleh kapal yang mengibarkan bendera suatu negara yang menjadi anggota dari satu organisasi pengelolaan perikanan regional, akan tetapi dilakukan melalui cara yang bertentangan dengan pengaturan mengenai pengelolaan dan konservasi sumber daya yang diadopsi oleh organisasi tersebut, dimana ketentuan tersebut mengikat bagi negara- negara yang menjadi anggotanya, ataupun bertentangan dengan hukum internasional lainnya yang relevan.

3. Kegiatan perikanan yang bertentangan dengan hukum nasional atau kewajiban internasional, termasuk juga kewajiban negara-negara anggota organisasi pengelolaan perikanan regional terhadap organisasi tersebut.

4. Kegiatan penangkapan ikan yang melanggar hukum yang paling umum terjadi di WPP-NRI adalah pencurian ikan oleh kapal penangkap ikan berbendera asing, khususnya dari beberapa negara tetangga.

llegal fishing secara sederhana berarti bahwa penangkapan ikan dilakukan dengan melanggar aturan-aturan yang telah ada, atau kegiatan penangkapan ikan

6 Ibid.

(12)

dapat dikatakan illegal jika terdapat aturan-aturan tetapi ternyata dalam pelaksanaannya turan-aturan tersebut tidak efektif ditegakkan di lapangan.7 Illegal fishing tidak hanya kerugian bagi negara, tetapi juga mengancam kepentingan nelayan dan pembudi daya ikan, iklim industri dan usaha perikanan nasional.

Setiap satu rupiah yang dihasilkan oleh praktik perikanan Illegal fishing sebenarnya adalah biaya minimal sebesar satu rupiah bagi masyarakat lain, sehingga semakin besar penangkapan ikan secara illegal maka semakin besar beban yang dibebani kepada masyarakat.8

Praktik Illegal fishing sering terjadi dan sangat merugikan Indonesia, baik di bidang ekonomi, ekologi, dan sosial. Data Badan Pangan Dunia atau FAO9 (Food and Agriculture Organization) mencatat, kerugian Indonesia per tahun akibat Illegal fishing mencapai Rp. 30 triliun.10 Jumlah kerugian tersebut merupakan jumlah yang tidak sedikit. Selain itu, praktik Illegal fishing juga berdampak pada menurunnya stok sumber daya ikan dan hilangnya kesempatan sosial dan ekonomi para nelayan yang beroperasi secara legal, serta dapat mengakibatkan menurunnya ketahanan pangan. Bahkan akibat praktik Illegal fishing proporsi konsumsi rakyat Indonesia terhadap protein hewani yang berasal dari ikan hanya sebesar 54%.11

7 Victor P.H. Nikijuluw, Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Ilegal Blue Water Crime Pustaka Cidesindo, Jakarta, 2008, hlm. 18

8 Ibid, hlm.46

9 FAO adalah sebuah organisasi PBB yang bertugas meningkatkan standar pangan dan produksi di dunia, memperbaiki hasil-hasil pertanian, kehutanan, dan perikanan

10 Berita online, Menteri Susi: Kerugian Akibat Illegal Fishing, dapat diakses di http://finance. detik.com/read/2014/12/01/152125/2764211/4/menteri-susi-kerugian-akibat-illegal- fishing-rp- 240-triliun. diakses tanggal 02 Januari 2017 Pukul 10.00 Wib.

11Berita online, Penenggelaman Kapal Asing,dapat diakses di http://nasional.kompas.com/read/ /Penenggelaman .Kapal.Asing, diakses tanggal 02 Januari 2017 Pukul 10.00 Wib.

Ini merupakan masalah yang besar dan sangat

(13)

merugikan Indonesia, oleh karena itu dibutuhkan tindakan yang tepat dalam menangani masalah tersebut.

Indonesia mulai mengambil tindakan tegas dalam penegakan terhadap kapal asing yang melakukan Illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI), yaitu dengan melakukan tindakan pembakaran dan/atau penenggelaman terhadap setiap kapal asing yang telah terbukti melakukan Illegal fishing di wilayah perairan Republik Indonesia (RI). Contohnya kapal asing milik Thailand yang ditenggelamkan pada 9 Februari 2016.12 Kemudian, empat kapal asing yang berbendera Vietnam ditenggelamkan di Kalimantan. Dari empat kapal tersebut, dua kapal Vietnam ditangkap oleh Kapal Patroli Hiu Macan 001 pada 14 Maret 2016, di perairan Natuna yang penyidikannya dilakukan oleh Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP)Pontianak. Dua kapal Vietnam lainnya ditangkap oleh Polisi Perairan Kepolisian Daerah Kalimantan Barat pada 27 Juni 2016 di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), sekitar perairan Natuna, yang penyidikannya dilakukan juga oleh Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Pontianak.13

Tanggal 22 Pebruari 2016, Indonesia juga menenggelamkan dua kapal asing berbendera Vietnam di perairan Batam, Kepulauan Riau, serta 1 kapal berbendera Thailand di perairan Langsa, Aceh. Ketiganya ditangkap oleh Kapal

12 Berita online, Ditenggelamkan Susi: Cara Kapal Thailand Mencuri, 2015, dapat diakses di http: //bisnis.tempo.co/read/news/2015/02/09/090640966/ditenggelamkan-susi-cara- kapal-thailand-mencuri, diakses tanggal 02 Januari 2017 Pukul 10.00 Wib.

13 Berita online, Situs Berita dan Informasi Lingkungan, Penenggelaman Kapal Asing, Bukti Indonesia Serius Perangi Illegal Fishing, Oktober 2015, dapat diakses di http://www.mongabay .co.id/2015/10/20/penenggelaman-kapal-asing-bukti-indonesia-serius- perangi-illegal-fishing, diakses tanggal 02 Januari 2017 Pukul 10.00 Wib.

(14)

Patroli Hiu Macan 005 pada 7 Maret 2016 dan 22 Maret 2016 di perairan sekitar Batam.14

Praktiknya tindakan pembakaran dan/atau penenggelaman terhadap setiap kapal asing yang melakukan Illegal fishing menimbulkan reaksi dari negara- negara tetangga.

Sedangkan kapal asing yang melakukan Illegal fishing di ZEEI akan dikenakan sanksi administratif dan harus membayar uang jaminan yang layak (reasonable bound). Tindakan-tindakan tersebut dilakukan agar penegakan hukum di Indonesia tegas dan berjalan efektif, sehingga para nelayan asing akan jera untuk menangkap ikan secara illegaldan tidak ada lagi kerugian besar yang diderita negara Indonesia.

15 Contohnya, Thailand melalui Kementerian Luar Negeri Thailand, Arrmanantha Nassir menganggap bahwa penenggelaman kapal asing pencuri ikan oleh Indonesia sebagai langkah yang salah sebab tindakan tersebut bisa mengancam keamanan di ASEAN.16 Selain itu seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri Vietnam mengatakan bahwa, Vietnam berharap Indonesia menangani para nelayan asing yang melanggar wilayah perairannya sesuai dengan hukum internasional dan atas pertimbangan kemanusiaan.17

Tindakan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal asing juga dinyatakan melanggar atau bertentangan dengan ketentuan hukum internasional, yaitu ketentuan Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 atau United Nations

14 Ibid.

15 Berita online, RI Harus Antisipasi Reaksi Keras Soal Penenggelaman Kapal, dapat diakses dihttp://wartaharian.net/berita/109-nasional/20189-ri-harus-antisipasi-reaksi-keras-soal- penenggelaman-kapal.html, diakses tanggal 02 Januari 2017 Pukul 10.00 Wib.

16 Berita online, International News, Media Thailand Protes Penenggelaman Kapal, Ini Reaksi RI, dapat diakses di http://international.sindonews.com/read/947375/40/media-thailand- protes-peneng gelaman-kapal-ini-reaksi-ri-1, diakses tanggal 02 Januari 2017 Pukul 10.00 Wib.

17 Berita online, Soal Kapal Asing, Vietnam Minta Indonesia Patuhi Hukum Internasional, dapat diakses di http://www.tribunnews.com/internasional/2014/12/12/soal-kapal- asing-vietnam-minta-indonesia-patuhi-hukum-internasional diakses tanggal 02 Januari 2017 Pukul 10.00 Wib.

(15)

Convention on The Law of The Sea (UNCLOS). Pasal 73 ayat (1) UNCLOS menyatakan negara pantai dapat mengambil tindakan menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan.

Tindakan tersebut juga dianggap bertentangan dengan Pasal 73 ayat (2)UNCLOS yang menyatakan bahwa kapal-kapal yang ditangkap dan awak kapalnya harus segera dibebaskan setelah diberikan suatu uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya. Selanjutnya Pasal 73 ayat (3) UNCLOS mengatur hukuman yang dijatuhkan negara pantai terhadap tindak pidana di wilayah ZEE yaitu: Indonesia tidak boleh menghukum dengan hukuman yang mencakup hukuman badan, hukuman badan hanya dapat berlaku kalau sudah menandatangani perjanjian bilateral dengan negara lain. Kapal nelayan asing yang melakukan pencurian ikan atau menangkap ikan secara illegal dapat didenda dan kemudian nelayan asing kapal tersebut dapat dideportasi ke negara asalnya‖.18

Tindakan pembakaran dan penenggelaman kapal asing tersebut adalah tindakan yang kontroversial, disatu sisi Indonesia mengambil kebijakan atau tindakan tegas demi menjaga kedaulatan wilayahnya, namun disisi lain kebijakan atau tindakan tersebut mengundang reaksi dari negara lain khususnya negara yang kapalnya ditenggelamkan oleh Indonesia karena dianggap bertentangan dengan ketentuan Internasional dan dianggap sebagai tindakan salah, bukan tidak mungkin negara lain akan membalas tindakan tegas yang dilakukan Indonesia terhadap kapal Indonesia maupun warga negara Indonesia (WNI) yang berada di

18 Berita online, Konsekuensi Penenggelaman Kapal, dapat diakses di http://nasional.sindonews .com/read/935809/18/konsekuensi-penenggelaman-kapal, diakses tanggal 02 Januari 2017 Pukul 10.00 Wib.

(16)

negaranya sehingga mengakibatkan tegangnya hubungan politis antara Indonesia dengan negara lain. Apabila ketegangan politis terus berlanjut, tentunya lambat laun akan berpotensi menimbulkan konflik antarnegara, bahkan dapat menimbulkan konflik bersenjata yang tentunya tidak diinginkan. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia harus benar-benar mempertimbangkan tindakan tersebut sehingga tidak terjadi masalah untuk kedepannya.

Berdasarkan uraian latar belakang penelitian tersebut maka dipilih judul skripsi ini tentang : "Upaya Hukum Terhadap Penanganan Illegal fishing Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI 5710)".

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang tersebut di atas maka permasalahan yang akan dikemukakan dalam skripsi ini adalah:

E. Bagaimana pengaturan perundang-undangan nasional yang relevan dengan pemberantasan illegal fishing ?

F. Bagaimana pengaturan internasional yang berkaitan dengan pemberantasan illegal fishing.

G. Bagaimana penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan illegal fishing di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia menurut hukum internasional dan hukum nasional ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan.

5. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui pengaturan perundang-undangan nasional yang relevan dengan pemberantasan illegal fishing.

(17)

b. Untuk mengetahui pengaturan internasional yang berkaitan dengan pemberantasan illegal fishing.

c. Untuk mengetahui penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan illegal fishing di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia menurut hukum internasional dan hukum nasional.

2. Manfaat Penulisan

Seperti pada umumnya dalam setiap penulisan skripsi pasti ada manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang dilakukan dalam penulisannya. Manfaat secara umum yang dapat diambil dalam penulisan skripsi ini terdiri dari manfaat yang bersifat teoritis dan manfaat yang bersifat praktis.

a. Secara teoritis adalah untuk menambah pengetahuan dalam mempelajari Hukum Internasional serta dapat bermanfaat untuk memperluas wawasan mengenai penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan illegal fishing di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia menurut hukum internasional dan hukum nasional.

b. Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat digunakan menjadi acuan dalam kerangka berpikir bagi upaya dan solusi penyelesaian permasalahan penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan illegal fishing di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia menurut hukum internasional dan hukum nasional.

D. Keaslian Penulisan.

Berdasarkan informasi yang diketahui dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan khususnya di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

(18)

penulisan skripsi terkait dengan judul : “Upaya Hukum Terhadap Penanganan Ilegal Fishing Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI 5710)” belum pernah ditulis sebelumnya.

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa skripsi ini merupakan hasil karya yang asli dan bukan merupakan hasil jiplakan dari skripsi orang lain. Skripsi ini dibuat berdasarkan hasil pemikiran sendiri, refrensi dari buku-buku, undang-undang, makalah-makalah, serta media elektronik yaitu internet dan juga mendapat bantuan dari berbagai pihak. Berdasarkan asas-asas keilmuan yang rasional, jujur, dan terbuka, maka penelitian dan penulisan skripsi dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

E. Tinjauan Pustaka.

Setiap negara pada prinsipnya mempunyai kekuasaan dan kewenangan penuh atas wilayahnya masing-masing baik di wilayah darat, air, udara yang berada di wilayah kedaulatannya masing-masing. Kedaulatan atas wilayah laut adalah kewenangan yang dimiliki suatu negara di laut guna melaksanakan kewenangannya di wilayah kedaulatannnya tersebut, dimana yang berlaku adalah hukum nasional apabila terjadi pelanggaran.19 Oleh karena itu muncul konsep kedaulatan teritorial dimana akan berlaku hukum negara yang memiliki wilayah teritorial.20

Kapal asing yang memasuki perairan Indonesia secara illegal dan melakukan penangkapan ikan merupakan salah satu bentuk pelanggaran kedaulatan negara. Karena perairan Indonesia merupakan daerah perairan yang

19 Popi Tuhulele, Upaya Hukum Indonesia Mengajukan Landas Kontinen Ekstensi (Antara Peluang dan Tantangan), Jurnal Perspektif, Volume 16 Nomor 3, 2011, ISSN : 1410- 3648, Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon, 2011, hlm. 184. Dapat diakses secara online di http://ejournal.uwks.ac.id/myfiles/diakses tanggal 02 Januari 2017 Pukul 10.00 Wib

20 J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 210.

(19)

menjadi wilayah kedaulatan teritorial Indonesia. Sehingga Indonesia mempunyai hak untuk dapat melakukan penegakan hukum sesuai dengan hukum nasional.

Laut Indonesia sebagai wilayah kedaulatan teritorial, merupakan daerah yang menjadi tanggungjawab sepenuhnya Pemerintah RI dengan penerapan hukum nasional Indonesia.21

Penegakan Hukum (law enforcement) menurut Jimly Asshiddiqie, adalah mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum (memberikan sanksi) terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia membuat peradilan perikanan untuk menerapkan hukum dan melakukan tindakan hukum berupa sanksi‖ bagi para kapal asing yang melakukan illegal fishing di wilayah perairan Indonesia.22

Berdasarkan Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dibentuk pengadilan perikanan. Pengadilan perikanan berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan.23

Pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat Pasal 71 (1) merupakan pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan umum dan berkedudukan di pengadilan negeri. Untuk pertama kali pengadilan perikanan dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Utara; Pengadilan Negeri Medan;

21 Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hlm. 21.

22 Supriadi dan Alimudin, Op.Cit, hlm.22.

23 Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 sebagaiamana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.

(20)

Pengadilan Negeri Pontianak; Pengadilan Negeri Bitung (Sulawesi Utara); dan Pengadilan Negeri Tual (Maluku).24

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian.

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang melakukkan analisa hukum atas peraturan perundang-undangan. Dalam penulisan ini pendekatan yuridis normatif digunakan untuk meneliti norma-norma hukum yang berlaku yang mengatur tentang upaya hukum terhadap penanganan illegal fishing di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam perangkat hukum internasional maupun perjanjian internasional.

Penelitian bersifat deskriptif yaitu menggambarkan upaya hukum terhadap penanganan illegal fishing di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia kemudian dianalisis dan dibandingkan berdasarkan kenyataan yang sedang berlangsung dan selanjutnya mencoba memberikan pemecahan masalahnya.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Bahan hukum primer (primary research / authoritative records)25

24 Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan

25 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm.113

yaitu bahan- bahan hukum yang mengikat yang merupakan landasan utama yang digunakan

(21)

dalam penelitian ini. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumen berupa traktat atau perjanjian internasional sebagai anggaran dasar dari organisasi ekonomi seperti :

1) Perjanjian-perjanjian Internasional (International Conventions) 2) Hukum Kebiasaan Internasional (International Custom)

3) Prinsip umum hukum Internasional (The general principlesof Law Recognized by Civilized Nations)

4) Putusan-putusan Pengadilan Internasional dan ajaran sarjana ahli (Subject to the Provisions of Article of 59, Judicial Decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law.

b. Bahan hukum sekunder (secondary research/ not authoritative records)26

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk guna kejelasan dalam memahami bahan hukum primer dan sekunder

yaitu bahan hukum yang menunjang dan memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku, jurnal ilmiah dan pendapat para ahli hukum internasional.

27

3. Teknik Pengumpulan Data

berupa kamus hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah studi kepustakaan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan landasan dalam menganalisa data-data yang diperoleh dari berbagai sumber yang dapat dipercaya maupun tidak

26 Ibid, hlm.114.

27 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2005, hlm.52

(22)

langsung (internet) yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ialah studi dokumen yakni meneliti dokumen-dokumen perjanjian internasional terkait.

Untuk memudahkan penelitian, dilakukan juga pengelompokkan data yang relevan kemudian tahap penganalisisan untuk pembahasan permasalahan tersebut.

4. Analisis Data

Penelitian ini melakukan analisis data secara kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan dengan mengutamakan kalimat-kalimat bukan angka seperti halnya pendekatan kuantitatif. Selain itu pendekatan kualitatif lebih mengutamakan dalamnya data dibanding banyaknya data.

Penelitian ini memfokuskan upaya hukum terhadap penanganan illegal fishing di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia. Secara keseluruhan penelitian ini menggunakan analisis kualitatif dengan menjabarkan secara mendalam konsep yang diperlukan dan kemudian diuraikan secara komprehensif untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini serta penarikan kesimpulan dengan pendekatan atau metode berikut: 28

a. Metode induktif

Proses yang berawal dari proposisi-proposisi khusus sebagai hasil pengamatan dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat empirik. Data-data yang telah diperoleh selain dibaca ditafsirkan,

28 Bambang Sunggono, Op.Cit, hlm.115.

(23)

dibandingkan juga diteliti demi konfirmasi akan kebenarannya sebelum dituangkan dalam skripsi.

b. Metode deduktif

Proses yang bertolak dari proposisi umum yang telah diketahui dan diyakini umum kebenarannya yang merupakan kebenaran ideal bersifat aksiomatik, tidak perlu diragukan lagi dan berujung pada kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat khusus.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri dari lima bab dan setiap bab terdiri dari beberapa sub- bab yang akan mendukung keutuhan pembahasan setiap bab. Sistematikannya adalah :

BAB I : PENDAHULUAN.

Dalam Bab I ini dibahas mengenai latar belakang yang menjelaskan alasan pemilihan judul penelitian yang kemudian akan dilanjutkan dengan perumusan masalah dan diikuti dengan tujuan penelitian serta manfaat dari penelitian. Bab ini juga membahas mengenai keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan serta metodelogi penelitian yang digunakan dan diakhiri dengan sistematika penulisan.

BAB II : PENGATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL YANG RELEVAN DENGAN PEMBERANTASAN ILLEGAL FISHING

(24)

Dalam Bab ini berisi tentang Pengertian Illegal Fishing, Pengelolaan Perikanan, Penegakan Hukum Illegal Fishing, Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

BAB III : PENGATURAN INTERNASIONAL YANG RELEVAN DENGAN PEMBERANTASAN ILLEGAL FISHING.

Dalam Bab ini berisi mengenai : Pengertian dan Perkembangan Hukum Laut Internasional, Pembagian Wilayah Laut : Wilayah Laut di Bawah Kedaulatan Negara, Wilayah Laut di Bawah Yurisdiksi (Kewenangan) Negara, Wilayah Laut di Luar Yurisdiksi (Kewenangan) Negara, Sumber dan Subjek Hukum Laut Internasional, Penangkapan Kapal Berbendera Asing Yang Melakukan Pencurian Ikan (illegal fishing) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia

BAB IV : PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KAPAL ASING YANG

MELAKUKAN ILLEGAL FISHING DI WILAYAH

PENGELOLAAN PERIKANAN INDONESIA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL.

Dalam Bab ini berisi tentang Pengaturan Perundang-Undangan Nasional yang Relevan dengan Pemberantasan Illegal Fishing, Pengaturan Internasional yang Berkaitan dengan Pemberantasan Illegal Fishing, Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing Yang Melakukan Illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia Menurut Hukum Internasional dan Hukum Nasional.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

(25)

Merupakan Bab penutup dari keseluruhan rangkaian bab-bab sebelumnya yang berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian skripsi ini dan dilengkapi dengan saran-saran.

(26)

BAB II

PENGATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL YANG RELEVAN DENGAN PEMBERANTASAN ILLEGAL FISHING

A. Pengertian Illegal Fishing

Indonesia sebagai negara kepulauan merupakan negara yang memiliki kepulauan terbesar dan terbanyak yang terdiri atas 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas sekitar 3.1 juta km2 (0,3 juta km2 perairan teritorial dan 2,8 juta km2 perairan kepulauan) atau 62% dari luas teritorialnya.29

Pengertian illegal fishing adalah suatu kegiatan perikanan yang tidak sah, kegiatan perikanan yang tidak diatur oleh peraturan yang berlaku, aktifitasnya tidak dilaporkan kepada suatu institusi atau lembaga perikanan yang tersedia atau berwenang. Hal ini dapat terjadi di semua kegiatan perikanan tangkap tanpa tergantung pada lokasi, target species, alat tangkap yang digunakan dan eksploitasi serta dapat muncul disemua tipe perikanan baik sekala kecil dan industry perikanan di zona yurisdiksi nasional maupun internasional.

Kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan, adalah dua pertiga wilayahnya adalah perairan laut yang kaya akan sumber daya laut dan ikan.

Namun kekayaan yang sangat berlimpah tersebut justru menimbulkan banyaknya praktik illegal fishing yang dilakukan oleh kapal dari negara lain (kapal asing).

30

Illegal fishing atau penangkapan ikan secara illegal menurut International Plan of Action-Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IPOA-IUUFishing) adalah kegiatan yaitu :31

29 Rokhimin, Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Jakarta: Pradnya Paramita, Cetakan Pertama, 1996, hlm.1.

30 Ibid, hlm.2.

31 Ibid

(27)

1. Dilaksanakan oleh kapal-kapal nasional dan asing dalam wilayah yurisdiksi negara tanpa izin atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan negara tersebut.

2. Dilaksanakan oleh kapal yang mengibarkan bendera negara anggota organisasi perikanan regional tetapi bertentangan dengan prinsip konservasi dan pengelolaan yang diterapkan oleh organisasi tersebut dimana negara bendera itu terikat atau bertentangan dengan prinsip yang dilakukan oleh suatu hukum internasional.

3. Bertentangan dengan hukum nasional dan kewajiban internasional termasuk yang dilaksanakan oleh negara-negara yang bekerjasama dengan organisasi regional.

Kegiatan penangkapan ikan yang melanggar hukum yang paling umum terjadi di WPP-RI adalah pencurian ikan oleh kapal penangkap ikan berbendera asing, khususnya dari beberapa negara tetangga, dengan wilayah operasi bukan hanya perairan ZEE Indonesia, melainkan masuk sampai ke Perairan Indonesia.32 Bentuk-bentuk kegiatan illegal fishing yang umumnya terjadi di wilayah perairan Indonesia diantaranya yaitu:33

1. Penangkapan ikan tanpa izin.

2. Penangkapan ikan dengan menggunakan izin palsu.

3. Penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang.

32 Bab IV Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.50/Men/2012 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Illegal, Unreporte and Unregulated Fishing (IUU Fishing) Tahun 2012-2016

33 Akhmad Solihin, Pemberantasan Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing Menurut Hukum Internasional dan Implementasinya Dalam Peraturan Perundang-Undangan Nasional, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2008, hlm. 163

(28)

4. Penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan daerah tangkapan yang tercantum dalam surat izin penangkapan ikan.

Illegal fishing di Perairan Indonesia mayoritas dilakukan oleh negara- negara tetangga dengan menggunakan kapal berukuran besar dan alat tangkap yang canggih.34

Pada tahun 1994 penurunan sediaan jenis ikan yang memiliki nilai komersial tinggi, khususnya sediaan jenis ikan yang beruaya terbatas (strading fish stocks) dan jenis ikan yang beruaya jauh (highly migratoy fish stock), telah menimbulkan keprihatinan dunia. Jenis ikan yang beruaya terbatas merupakan jenis ikan yang beruaya antara Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) suatu negara dan negara lain, sehingga pengelolaannya melintasi batas yurisdiksi beberapa negara.

Jenis ikan yang beruaya jauh merupakan jenis ikan yang beruaya dari ZEE ke laut lepas dan sebaliknya yang jangkauannya dapat melintasi perairan beberapa samudera, sehingga memiliki kemungkinan timbulnya konflik kepentingan antara negara pantai dan negara penangkap ikan jarak jauh khususnya dalam

Illegal fishing adalah penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal asing di wilayah yang bukan merupakan yurisdiksinya atau melakukan penangkapan ikan tanpa izin dari negara yang memiliki yurisdiksi di wilayah tersebut, dan penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan izinnya. Banyaknya praktik illegal fishing tersebut tentunya menimbulkan banyak kerugian bagi Negara Indonesia. Oleh karena itu dibutuhkan penegakan hukum yang efektif untuk mengatasi masalah tersebut.

34 M. Ghufran, Pengelolaan Perikanan Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2015, hlm. 23.

(29)

pemanfaatan dan konservasi ikan baik di ZEE maupun di laut lepas yang berbatasan dengan ZEE.

Kerja sama internasional dianggap sebagai solusi untuk mengatasi masalah yang timbul. Pada lanjutan penjelasan umum persetujuan konvensi ini yang kemudian telah diratifikasi sesuai UU No. 21 tahun 2009 dinyatakan bahwa konvensi perserikatan bangsa-bangsa tentang hukum laut (United Nations Convention on the Law of The Sea/UNCLOS) 1982 mengatur secara garis besar mengenai beberapa spesies ikan yang mempunyai sifat khusus, termasuk jenis ikan yang beruaya terbatas (stradding fish) serta jenis ikan yang beruaya jauh (highly migratory fish).

Tahun 1995 Perserikatan Bangsa-bangsa telah menyusun suatu persetujuan untuk mengimplementasikan ketentuan tersebut dalam bentuk Agrement for the implementing of the Provision of th UNCLOS of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Strading Fish stocks and highly migratory fish stocks (United Nations Implementing Agreement/UNIA 1995). UNIA 1995 merupakan persetujuan multilateral yang mengikat para pihak dalam masalah konservasi dan pengelolaan jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan beruaya jauh, sebagai pelaksanaan Pasal 63 dan Pasal 64 UNCLOS 1982.

Mengingat UNIA 1995 mulai berlaku tanggal 11 Desember 2001 dan tujuan pembentukan persetujuan ini untuk menciptakan standar konservasi dan pengelolaan jenis ikan yang persediaannya sudah menurun, maka pengesahan UNIA 1995 merupakan hal yang mendesak bagi Indonesia.

(30)

Perkembangannya, sediaan sumber daya ikan di laut lepas, khususnya jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis beruaya jauh, terus mengalami penurunan secara drastis. Hal ini telah mendorong masyarakat masyarakat internasional untuk mencari solusi guna mengatasi persoalan tersebut. Pada konferensi PBB tentang lingkungan hidup dan pembangunan yang diselenggarakan di Rio de Janeiro pada tanggal 3 sampai dengan 14 Juni 1992, telah dihasilkan sebuah agenda (agenda 21) yang mengharuskan negara-negara mengambil langkah yang efektif melalui kerjasama bilateral dan multilateral, baik pada tingkat regional maupun global, untuk menjamin bahwa perikanan di Laut lepas dapat dikelola sesuai dengan ketentuan Hukum Laut 1982.

Keberadaan hukum laut pada tahun 1982 ini merupakan peraturan dasar yang dijadikan pedoman oleh semua negara pantai untuk mengatur masalah sumber daya perikanan dan kelautan. Namun demikian, hal ini tidak dapat terwujud karena masing-masing negara pantai mempunyai kepentigannya sendiri- sendiri. Perserikatan Bangsa-bangsa tetap mendorong untuk tunduk dan patuh pada hukum laut 1982 tersebut, yang kemudian telah diatur pula dalam agenda 21 namun tetap tidak berhasil.

Perlindungan ikan di dalam UNCLOS 1982 diatur di dalam Pasal 61-64 serta di Pasal 116 dan Pasal 117, Hukum Internasional yang mengatur tentang Perlindungan Ikan di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif dan Koservasi Sumber Kekayaan Hayati :35

1. Negara pantai harus menentukan jumlah tangkapan sumber kekayaan hayati yang dapat diperbolehkan dalam Zona Ekonomi Eksklusifnya.

35 Pasal 61,UNCLOS 1982

(31)

2. Negara pantai, dengan memperhatikan bukti ilmiah terbaik yang tersedia baginya harus menjamin dengan mengadakan tindakan konservasi dan pengelolaan yang tepat sehingga pemeliharaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif tidak dibahayakan oleh eksploitasi yang berlebihan.

Di mana Negara pantai dan organisasi internasional berwenang, baik sub- regional, regional maupun global, harus bekerja sama untuk tujuan ini.

3. Tindakan demikian juga bertujuan untuk memelihara atau memulihkan populasi jenis yang dapat dimanfaatkan pada tingkat yang dapat menjamin hasil maksimum yang lestari, sebagaimana ditentukan oleh faktor ekonomi dan lingkungan yang relevan, termasuk kebutuhan ekonomi masyarakat nelayan daerah pantai dan kebutuhan khusus Negara berkembang, dan dengan memperhatikan pola penangkapan ikan, saling ketergantungan persediaan jenis ikan dan standar minimum internasional yang diajukan secara umum, baik di tingkat sub-regional, regional maupun global.

4. Dalam mengambil tindakan demikian, Negara pantai harus memperhatikan akibat terhadap jenis-jenis yang berhubungan atau tergantung pada jenis yang dimanfaatkan dengan tujuan untuk memelihara atau memulihkan populasi jenis yang berhubungan atau tergantung demikian di atas tingkat dimana reproduksinya dapat sangat terancam.

5. Keterangan ilmiah yang tersedia, statistik penangkapan dan usaha perikanan, serta data lainnya yang relevan dengan konservasi persediaan jenis ikan harus disumbangkan dan dipertukarkan secara teratur melalui organisasi internasional yang berwenang baik sub-regional, regional maupun global di

(32)

mana perlu dan dengan peran serta semua Negara yang berkepentingan, termasuk Negara yang warganegaranya diperbolehkan menangkap ikan di Zona Ekonomi Eksklusif.

Selain Perlindungan, Pemanfaatan atas ikan juga diatur dalam Hukum Internasional.36

1. Negara pantai harus menggalakkan tujuan pemanfatan yang optimal sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif tanpa mengurangi arti ketentuan Pasal 61.

2. Negara pantai harus menetapkan kemampuannya untuk memanfaatkan sumber kekayaan hayati zona ekonomi eksklusif. Dalam hal Negara pantai tidak memiliki kemampuan untuk memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan yang dapat dibolehkan, maka Negara pantai tersebut melalui perjanjian atau pengaturan lainnya dan sesuai dengan ketentuan, persyaratan dan peraturan perundang-undangan tersebut pada ayat 4, memberikan kesempatan pada Negara lain untuk memanfaatkan jumlah tangkapan yang dapat diperbolehkan yang masih tersisa dengan memperhatikan secara khusus ketentuan pasal 69 dan 70, khususnya yang bertalian dengan Negara berkembang yang disebut di dalamnya.

3. Dalam memberikan kesempatan memanfaatkan kepada negara lain memasuki zona ekonomi eksklusifnya berdasarkan ketentuan Pasal ini, Negara pantai harus memperhitungkan semua faktor yang relevan, termasuk inter alia pentingnya sumber kekayaan hayati di daerah itu bagi perekonomian Negara

36 Pasal 62,UNCLOS 1982

(33)

pantai yang bersangkutan dan kepentingan nasionalnya yang lain, ketentuan pasal 69 dan 70, kebutuhan Negara berkembang di sub-region atau region itu dalam memanfaatkan sebagian dari surplus dan kebutuhan untuk mengurangi dislokasi ekonomi di negara yang warganegaranya sudah biasa menangkap ikan di zona tersebut atau telah sungguh-sungguh melakukan usaha riset dan identifikasi persediaan jenis ikan.

4. Warga Negara lain yang menangkap ikan di zona ekonomi eksklusif harus mematuhi tindakan konservasi, ketentuan dan persyaratan lainnya yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan Negara pantai. Peraturan perundang-undangan ini harus sesuai dengan ketentuan konvensi ini dan dapat meliputi, antara lain hal-hal berikut :

a. Pemberian ijin kepada nelayan, kapal penangkap ikan dan peralatannya, termasuk pembayaran bea dan pungutan bentuk lain, yang dalam hal Negara pantai yang berkembang, dapat berupa kompensasi yang layak di bidang pembiayaan, peralatan dan teknologi yang bertalian dengan industri perikanan.

b. Penetapan jenis ikan yang boleh ditangkap, dan menentukan kuota-kuota penangkapan, baik yang bertalian dengan persediaan jenis ikan atau kelompok persediaan jenis ikan suatu jangka waktu tertentu atau jumlah yang dapat ditangkap oleh warga negara suatu Negara selama jangka waktu tertentu.

(34)

c. Pengaturan musim dan daerah penangkapan, macam ukuran dan jumlah alat penangkapan ikan, serta macam, ukuran dan jumlah kapal penangkap ikan yang boleh digunakan.

d. Penentuan umum dan ukuran ikan dan jenis lain yagn boleh ditangkap.

e. Perincian keterangan yang diperlukan dari kapal penangkap ikan, termasuk statistik penangkapan dan usaha penangkapan serta laporan tentang posisi kapal.

f. Persyaratan, di bawah penguasaan dan pengawasan Negara pantai, dilakukannya program riset perikanan yang tertentu dan pengaturan pelaksanaan riset demikian, termasuk pengambilan contoh tangkapan, disposisi contoh tersebut dan pelaporan data ilmiah yang berhubungan.

g. Penempatan peninjau atau trainee diatas kapal tersebut oleh Negara pantai.

h. Penurunan seluruh atau sebagian hasil tangkapan oleh kapal tersebut di pelabuhan Negara pantai.

i. Ketentuan dan persyaratan bertalian dengan usaha patungan atau pengaturan kerjasama lainnya.

j. Persyaratan untuk latihan pesonil dan pengalihan teknologi perikanan, termasuk peningkatan kemampuan Negara pantai untuk melakukan riset perikanan.

k. Prosedur penegakan.

5. Negara pantai harus mengadakan pemberitahuan sebagaimana mestinya mengenai peraturan konservasi dan pengelolaan.

(35)

Tindak Pidana Pencurian Ikan atau IUU Fishing dapat melemahkan pengelolaan sumber daya perikanan di perairan Indonesia dan menyebabkan beberapa sumber daya perikanan di beberapa Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia mengalami over fishing.37

1. Tingkat konsumsi ikan global yang semakin meningkat.

Bukan hanya merugikan bagi pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan Indonesia akan tetapi juga merugikan bagi kehidupan rakyat Indonesia.

Besarnya tingkat pencurian ikan (illegal fishing) di Indonesia, pencurian ikan tersebut tentu tidak terjadi dengan sendirinya hanya karena Indonesia memiliki poternsi perikanan yang besar. Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana pencurian ikan tersebut:

Ikan mengandung sumber protein yang besar dan tidak banyak mengandung lemak berbahaya bagi tubuh manusia sehingga ikan dangat banyak diburu atau dikonsumsi oleh orang-orang dari berbagai belahan dunia. Menurut data Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, kondumsi ikan nasional melonjak hingga lebih dari 1,2 juta ton seiring pertumbuhan penduduk Indonesia yang mencapai 1,34% per tahun.38

Meningkatnya jumlah konsumsi ikan secara nasional maupun global akan mengakibatkan kewalahan dalam memenuhi keinginan pasar dunia tersebut.

Kewalahan atau kurangnya daya sumber daya perikanan menyediakan kebutuhan

37 Dina Sunyowati, Port State Measures dalam Upaya Pencegahan terhadap IUU Fishing di Indonesia, Peran Hukum Dalam Pembangunan Di Indonesia, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2013, hlm. 438

38Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Krisis Ikan Indonesia, http://www.walhi.or.id/kampanye/pela/070328_krisis_ikan_li/ diakses tanggal 02 Januari 2017 Pukul 10.00 Wib

(36)

konsumsi perikanan dunia dapat menimbulkan illegal fishing dan over fishing di daerah-daerah yang memiliki potensi perikanan yang cukup baik, seperti Indonesia.

2. Sumber daya perikanan di negara lain berkurang

Penggunaan teknologi penangkapan ikan pada masa sekarang ini tidak seperti teknologi penangkap ikan pada masa yang lalu sebelum terjadinya perkembangan teknologi yang semakin canggih dan modern. Pengggunaan teknologi yang demikian canggihnya banyak ditemukan dinegara-negara maju.

Akan tetapi banyaknya teknologi penangkap ikan justru dapat merusak lingkungan air tempat ikan tersebut berkembang biak. Hal ini dikarenakan teknologi tersebut banyak yang tidak baik untuk kelestarian sumberdaya laut karena dalam penggunaannya, teknologi tersebut menggunakan emisi atau bahan- bahan kimia yang tidak sesuai untuk kelestarian laut. Dengan adanya teknologi canggih dan tidak ramah lingkungaan ini, bukan hanya akan merusak lingkungan tempat berkembang biaknya ikan-ikan di laut, tetapi juga dengan teknologi canggih ini, dapat diperoleh jumlah penangkapan ikan dalam jumlah yang besar.39

Negara-negara maju dan berkembang yang tadinya memiliki sumberdaya perikanan dan produksi ikan yang baik akan mengalami penurunan sumber daya ikan dan terganggunya perekonomian dan penghasilan ikan di negara tersebut karena overexploited. Akibatnya negara tersebut harus melalukan impor dari negara lain, akan tetapi ada pula nelayan atau kapal perikanan negara-negara tersebut yang tidak melakukan impor dan lebih memilih untuk melakukan

39 Riza Damanik, Menajala Ikan Terakhir (sebuah Fakta di Laut Indonesia), Walhi, Jakarta, 2008, hlm, 33

(37)

pencurian ikan di negara lain yang potensi perikanannya lebih besar daripada negaranya.

3. Lemahnya pengawasan perikanan di perairan Indonesia

Sumber daya perikanan dinilai bersifat “mampu pulih” (renewable), namun keberadaannya bukan tidak terbatas. Agar sumber daya ikan tetap lestari maka upaya penangkapan harus dijaga melalui pengawasan. Sistem yang dapat memantau seluruh kapal sekaligus dengan kemampuan wilayah pemantauan tidak terbatas adalah VMS. Vessel Monitoring System (VMS) atau sistem pemantauan kapal perikanan merupakan salah satu bentuk sistem pemantauan untuk mendukung pengawasan di bidang penangkapan dan/atau pengangkut ikan dengan menggunakan satelite dan peralatan tranmitter VMS yang ditempatkan pada kapal perikanan guna mempermudah pengawasan dan pemantauan terhadap kegiatan /aktivitas kapal perikanan berdasarkan posisi kapal yang terpantau di Pusat Pemantauan Kapal Perikanan/Fisheries Monitoring Center (FMC).

Lebih sederhananya, setiap kapal akan dipasangi sebuah kotak Transmitter VMS, yang selanjutnya kotak ini mengirimkan sinyal pada satelit kemudian menyampaikan posisi kapal pada layar pusat pemantauan. Dari pantauan ini juga bisa dilakukan analisa mengenai pelanggaran yang mungkin dilakukan kapal.

Misalnya, terkait daerah penangkapan yang dilarang maupun penggunaan alat tangkap yang di larang. Sebagai Negara anggota FAO yang memiliki sumberdaya ikan cukup besar maka selayaknya Indonesia bertanggung jawab melakukan pengawasan.40

40 Bambang Dwi Hartono, Analisis model vessel monitoring system (VMS) dalam Pengawasan kapal penangkap ikan di Indonesia” , http//www.kompas.com./html. diakses tanggal 02 Januari 2017 Pukul 10.00 Wib

(38)

Kondisi sistem pengawasan terebut ditambah lagi dengan lemahnya sikap reaktif aparat yang berkewajiban mengawasi lau Indoneisa adalah salah satu faktor penyebab tingginya kasus pencurian ikan atau illegal fishing di wilayah perairan Indonesia. Lemahnya ketegasan Pengawas Perikanan dalam menerapkan aturan pemakaian VMS pada setiap kapal perikanan yang melakukan kegiatan di wilayah laut Indonesia menyebabkan perbedaan pendapat antara pemilik atau pengusaha dengan aturan yang berlaku, sehingga bukan menghasilkan hasil yang baik tetapi malah banyak kapal perikanan yang tidak menggunakan VMS dan pengawasan terhadap perikanan pun melemah dan dapat menyebabkan timbulnya pencurian ikan (illegal fishing).

3. Keterlibatan oknum aparat yang memudahkan pelaku melakukan illegal fishing

Dalam memberantas dan mencegah tindak pidana pencurian ikan (illegal fishing) tidak hanya dilakukan dengan pengawasan dan tindakan lain yang dianggap mampu mengatasi illegal fishing tersebut. Berbagai kerjasama antar pihak-pihak terkait yakni aparat penegak, pengawas perikanan, masyarakat tradisional pun dangat diperlukan. Karena pihak-pihak inilah yang secara dekat berada di sekitar kegiatan penangkapan ikan. Akan tetapi terkadang dapat pula terjadi keapatisan atau ketidakperdulian masyarakat atas terjadinya tindak pidana pencurian ikan ini disebebkan oleh adanya oknum aparat pengeak hukum yang seharusnya melindungi perikanan Indonesia justru didapati ikut bekerjasama dengan para pencuri ikan itu. Oknum aparat memberitahukan kepada perusahaan yang ada di darat bahwa akan dilakukan oprasi kapal ilegal, kemudian

(39)

berdasarkan informasi ini perusahaan yang ada di darat tersebut menginstruksikan agar kapalnya yang sedang beroprasi di laut untuk berpidah aagar menghindari oprasi kapal ilegal yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.41

4. Armada perikanan nasional yang lemah

Armada perikanan Indonesia dapat dikategorikan sebagai armada perikanan yang lemah karena sangat kurang mendapat perhatian dari pemerintah pemerintah terutama terhadap para nelayan selaku pelaku dalam armada perikanan Sedikitnya jumlah armada Indonesia dan didominasinya armada perikanan ini oleh kapal perikanan tradisional yang masih memiliki alat angkap sederhana membuat pemanfaatan sumber daya perikanan di perairan Indonesia tidak maksimal serta memudahkan pihak asing untuk melakukan penangkapan ikan secara ilegal di laut Indonesia.

5. Sistem pengelolaan perikanan yang tidak sesuai

Sistem pengelolaan perikanan dalam bentuk sistem perizinan saat ini bersifat terbuka (open access), pembatasan hanya terbatas pada alat tangkap (input restriction). Hal ini kurang cocok jika dihadapkan pada kondisi geografi Indonesia khususnya ZEE Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas.

6. Lemahnya penegakan hukum di Indonesia

Memeberantas dan menanggulangi tindak pidana pencurian ikan atau illegal fishing dapat dilakukan dengan berbagai upaya, yakni dapat berupa pembuatan peraturan perundang-undangan dan tindakan tegas dan cekat dari para aparat penegak hukum. Permasalahan illegal fishing disebabkan sedikitnya dua

41 Riza Damanik, Op.Cit, hlm. 33

(40)

hal yaitu Tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan yang berujung ketidakjelasan institusi negara Indonesia mana yang berwenang dalam mengurus permsalahan illegal fishing di samping itu konflik kepentingan antar institusi nrgara dalam mengurus kavlingnya masing-masing, ketidakjelasan tersebut menciptakan celah hukum bagi para pihak pelaku kejahatan illegal fishing.42 Undang-undang Perikanan Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanandan Undang- Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan mencakup bebebrapa sanksi dan tindakan khusus yang dapat dikenakan kepada orang atau kapal yang melakukan tindak pidana perikanan. Akan tetapi apabila tidak didukung oleh penegakan hukum yang tepat terutama oleh aparat penegak hukum maka undang-undang tersebut akan sia-sia saja. Lemahnya penanganan terhadap para pelaku illegal fishing ini dapat dilihat dari banyaknya kasus yang terjadi, namum para pelakunya hanya dihukum rignan.43

B. Pengelolaan Perikanan

Pengelolaan perikanan terdiri dari 2 (dua) kata, yaitu pengelolaan dan perikanan. Pengelolaan kata dasarnya adalah kelola yang artinya adalah mengendalikan, menyelenggarakan, mengurus, atau menjalankan. Berdasarkan arti kata tersebut, pengelolaan dapat diartikan sebagai perbuatan yang mengendalikan, menyelenggarakan, mengurus, ataupun menjalankan suatu kegiatan agar objeknya memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan.

42 Akhmad Solihin, Politik Hukum Kelautan dan Perikanan, Nuansa Aulia, Bandung, 2010, hlm. 44

43 Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kendari, Illegal Fishing, Kejahatan Tradisional yang terlupakan, http://www.p2sdkpkendari.com/cetak.php.?id=221 diakses tanggal 02 Januari 2017 Pukul 10.00 Wib.

(41)

Sedangkan pengertian perikanan adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan penangkapan, pemeliharaan, dan pembudidayaan ikan. Pengertian pengelolaan perikanan adalah kegiatan mengurus atau menjalankan sesuatu yang berhubungan dengan penangkapan, pemeliharaan, dan pembudidayaan ikan.44

Pemberian rumusan tersebut sangat luas agar dapat menampung semua persoalan perikanan baik yang sifatnya teknis maupun non teknis karena merupakan satu kesatuan yang utuh dalam pengelolaan perikanan. Selain itu pemberian rumusan tersebut bertujuan agar dalam melakukan pengelolaan perikanan dapat dilaksanakan dengan lebih baik dan profesional serta dapat memperoleh hasil dengan manfaat yang lebih besar.

Menurut Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.

45

C. Penegakan Hukum Illegal Fishing.

Penegakan hukum adalah suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan secara rasional, memenuhi rasa keadilan dan berdaya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum

44 Gatot Supramano, Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidana di Bidang Perikanan, Jakarta: Rineka Cipta, 2011, hlm 15.

45 Ibid., hlm 16.

(42)

pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya.46 Penegakan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yakni dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit, penegakan hukum dapat diartikan sebagai upaya aparat penegak hukum untuk menjamin dan memastikan aturan hukum berjalan sebagaimana mestinya, dimana aparat penegak hukum tersebut, apabila diperlukan dapat menggunakan daya paksa untuk menegakkannya. Sedangkan dalam arti luas, penegakan hukum dapat diartikan sebagai keterlibatan seluruh subjek hukum dalam setiap hubungan hukum untuk penegakan hukum.47

Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, ide-ide hukum menjadi kenyataan.48 Menurut Sadjipto Rahardjo penegakan hukum adalah sebuah kegiatan yang mewujudkan keinginan hukum menjadi nyata.49 Penegakan hukum adalah penerapan ketentuan hukum secara konkrit oleh aparat penegak hukum atau dengan kata lain, penegakan hukum merupakan pelaksana dari peraturan-peraturan. Dengan demikian, penegakan hukum merupakan suatu sistem yang menyangkut penyerasian antara nilai dengan kaidah serta perilaku nyata manusia.50

Negara Indonesia adalah negara hukum (recht staats), maka setiap orang yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui proses hukum. Penegakan hukum mengandung makna bahwa tindak

46 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 109.

47 Berita online, Penegakan Hukum, dapat diakses di: http://statushukum.com/penegakan- hukum .html. diakses tanggal 02 Januari 2017 Pukul 10.00 Wib

48 Esmi Warasih, Lembaga Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Suryandaru, Utama, Semarang, 2005, hlm. 11

49 Berita online, Penegakan Hukum Menurut Para Ahli, dapat diakses di:

http://www.pengertianart idefinisi.com/pengertian-penegakan-hukum-menurut-para-ahli/. diakses tanggal 02 Januari 2017 Pukul 10.00 Wib

50 M. Faal. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Deskresi Kepolisian) Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1991. hlm. 42

(43)

pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, di mana larangan tersebut disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu sebagai pertanggungjawabannya. Dalam hal ini ada hubungannya dengan asas legalitas, dimana tiada suatu perbuatan dapat dipidana melainkan telah diatur dalam undang-undang, maka bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut dan larangan tersebut sudah diatur dalam undang-undang, maka bagi para pelaku dapat dikenai sanksi atau hukuman, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian tersebut.51

Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa penegakan hukum dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum (memberikan sanksi) terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum. Oleh karena itu Indonesia menerapkan dan melaksanakan hukum dengan memberikan sanksi kepada setiap kapal asing yang melakukan illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.52

D. Wilayah Pengelolaan Perikanan

Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia atau sering disingkat dengan WPP NRI merupakan wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan, konservasi, penelitian, dan pengembangan perikanan yang meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut territorial, zona tambahan, dan zona ekonomi ekslusif Indonesia (ZEEI).

51 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hlm. 15

52 Supriadi dan Alimudin, Op.Cit., hlm. 428

(44)

Penentuan WPP-NRI yang sebelumnya berdasarkan pada daerah tempat ikan hasil tangkapan didaratkan di pelabuhan perikanan yang terbagi kedalam 9 WPP-NRI, sebagai berikut:53

1. Selat Malaka meliputi Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Riau.

2. Laut Cina Selatan meliputi Provinsi Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Barat.

3. Laut Jawa meliputi Provinsi Lampung, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Ja.wa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan.

4. Laut Flores dan Selat Makassar meliputi Provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara.

5. Laut Banda meliputi Provinsi Maluku.

6. Laut Arafura meliputi Laut Aru, dan Laut Timur Timor meliputi Provinsi Papua.

7. Laut Seram dan Teluk Tomini meliputi Teluk Tomini dan Laut Seram meliputi Provinsi Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Papua Barat.

8. Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik meliputi Provinsi Gorontalo, Sulawesi Utara, Papua dan Kalimantan Timur.

9. Samudera Hindia meliputi Provinsi Aceh,Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat.

Penentuan WPP-NRI berdasarkan metode ini sudah tidak sesuai dengan prinsip pengelolaan perikanan terkait pemantauan potensi sumberdaya ikan. Hal

53 http://fishmate.blogspot.co.id/2012/08/mengenal-wilayah-pengelolaan-perikanan.html diakses tanggal 02 Januari 2017 Pukul 10.00 Wib

Referensi

Dokumen terkait

1) Penerima kuasa asuransi jiwa syariah mengisi daftar pertanyaan pada Formulir klaim meninggal dunia/kematian dan surat keterangan dokter dengan benar sesuai dengan

Kesimpulan pengaturan perundang-undangan nasional yang relevan dengan pemberantasan illegal fishing oleh Nelayan Asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dalam

Dari uraian yang telah disebutkan di atas, maka jelaslah bahwa peralihan hak milik (penyerahan) dalam perjanjian beli sewa baru dapat beralih atau sudah diserahkannya oleh

Selain pembatasaan yang harus dipatuhi dalam melakukan setiap tindakan, pedoman dalam pelaksanaan diskresi bagi petugas kepolisian juga terdapat dalam Pasal 18 ayat (2) bahwa

Penerapan CSR harus dimulai dari komitmen dan pemahaman yang baik dari pihak pengusaha bahwa setiap perusahaan hendaknya mengembangkan kegiatan sosial yang bukan

Pemilihan forum arbitrase (choice of forum) dan hukum yang berlaku (choice of law). Para pihak bebas untuk menentukan sendiri pemilihan forum arbitrase dalam

Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, menyatakan bahwa pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang

1. Belum pernah dihukum atau residivis. Dengan maksud bahwa terdakwa sebelum melakukan tindak pidana, terdakwa tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang