• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

KEWENANGAN DISKRESI KEPOLISIAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 2 TAHUN 2002 TENTANG

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DITINJAU DARI PERSFEKTIF HUKUM

ADMINISTRASI NEGARA

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

BALQIS RIMANDA NIM : 130200590

DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2 0 1 7

(2)

KEWENANGAN DISKRESI KEPOLISIAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 2 TAHUN 2002 TENTANG

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DITINJAU DARI PERSFEKTIF HUKUM

ADMINISTRASI NEGARA

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

BALQIS RIMANDA NIM : 130200590

DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. Agusmidah, SH.MH NIP.197608162002122002

Pembimbing I Pembimbing II

Suria Ningsih, SH.M.Hum Boy Laksamana, SH.,Hum

NIP. 196002141987032002 NIP.197503202009121002

(3)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2017

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

NAMA : BALQIS RIMANDA

NIM : 130200590

DEPARTEMEN : HUKUM ADMINISRASI NEGARA

JUDUL SKRIPSI : DISKRESI KEWENANGAN KEPOLISIAN BERDASARKAN UNDANG – UNDANG NO 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DI TINJAU DARI PERSFEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

Dengan ini menyatakan :

1. Skripsi yang saya tulis adalah benar tidak merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

3. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya tanpa adanya paksaan atau tekanan dari pihak kampus.

Medan,

Balqis Rimanda

130200590

(4)

KEWENANGAN DISKRESI KEPOLISIAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

INDONESIA DITINJAU DARI PERSFEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

ABSTRAK Balqis Rimanda *

Suria Ningsih **

Boy Laksamana ***

Diskresi Kepolisian merupakan kewenangan polisi untuk mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah pelanggaran hukum atau perkara pidana yang ditanganinya.

Permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini adalah apakah dasar hukum diskresi kepolisian , mengapa diskresi harus diterapkan dalam pelaksanaan tugas kepolisian, bagaimana penerapan diskresi dalam tugas kepolisian.

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu melakukan analisis peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan judul dan menggunakan bahan hukum sekunder seperti buku-buku, kamus-kamus hukum, jurnal, dan lain sebagainya di perpustakaan (library search) dan juga mengakses media online seperti internet..

Diskresi kepolisian diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU RI No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Kepolisian dalam melakukan tindakan diskresi harus dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Diskresi Kepolisian harus diterapkan dalam pelaksanaan tugas kepolisian adalah karena undang-undang ditulis dalam bahasa yang terlalu umum untuk bisa dijadikan petunjuk pelaksanaan sampai detail bagi petugas dilapangan, mengisi kekosongan hukum, mewujudkan keadilan dan menjaga ketertiban, serta pertimbangan sumber daya dan kemampuan dari petugas kepolisian. Penerapan diskresi kepolisian perlu dibatasi oleh asas keperluan yaitu bahwa tindakan itu harus benar-benar diperlukan, asas kelugasan yaitu tindakan yang diambil benar- benar untuk kepentingan tugas kepolisian, asas tujuan sebagai ukuran yaitu bahwa tindakan yang paling tepat untuk meniadakan suatu gangguan atau tidak terjadinya suatu kekhawatiran terhadap akibat yang lebih besar, asas keseimbangan yaitu bahwa dalam mengambil tindakan harus diperhitungkan keseimbangan antara sifat tindakan atau sasaran yang digunakan dengan besar kecilnya gangguan atau berat ringannya suatu obyek yang harus ditindak.

Kata Kunci : Diskresi, Kepolisian, Hukum Administrasi Negara.

.

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

*** Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(5)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim,

Alhamdulillahhirabbil’alamin, segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan Syafa’at dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul, : " Tinjauan Yuridis Terhadap Kewenangan Pemerintah Desa Bandar Baru Dalam Mengelola Keuangan Desa Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2016” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara.

Selesainya skripsi ini tak lepas dari peran orang – orang di sekitar penulis yang memberikan dukungan dalam berbagai bentuk. Terimakasih paling khususnya penulis ucapkan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum USU Medan

2. Bapak Dr. OK. Saidin, SH.M.Hum sebagai Wakil Dekan I FH. USU Medan 3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH.M.Hum sebagai Wakil Dekan II FH. USU

Medan.

4. Bapak Drs Jelly Leviza, SH.M.Hum sebagai Wakil Dekan III FH. USU Medan

5. Ibu Suria Ningsih, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara dan sekaligus Dosen Pembimbing II Penulis yang telah memberikan saran dan petunjuk dalam pengerjaan skripsi ini.

6. Bapak Boy Laksamana, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing I Penulis

yang telah memberikan pengarahan dalam proses pengerjaan skripsi ini.

(6)

7. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum USU yang dengan penuh dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

8. Seluruh Almamater Fakultas Hukum USU yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih atas dukungan kalian.

Terima kasih juga untuk seluruh pihak terkait yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari skripsi ini sangat jauh dari kata sempurna, masih terdapat kekurangan, namun demikian dengan berlapang dada penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang menaruh perhatian terhadap skripsi ini.

Medan, November 2017 Penulis

BALQIS RIMANDA

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... 1

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

F. Metode Penelitian ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II : TINJAUAN UMUM MENGENAI DISKRESI ... 22

A. Diskresi Dalam Hukum Administrasi Negara ... 22

B. Tujuan dan Fungsi Diskresi ... 28

C. Landasan Hukum Diskresi Kepolisian ... 36

BAB III : DISKRESI DALAM PELAKSANAAN TUGAS KEPOLISIAN ... 47

A. Pelaksanaan Diskresi Kepolisian ... 47

B. Fungsi Diskresi dalam Pelaksanaan Tugas Kepolisian ... 60

C. Masalah-Masalah Pelaksanaan Diskresi ... 63

BAB IV : PENERAPAN DISKRESI DALAM PELAKSANAAN TUGAS KEPOLISIAN ... 70

A. Ketentuan-Ketentuan dalam Diskresi Kepolisian ... 70

(8)

B. Tugas dan Wewenang Kepolisian Untuk Kepentingan

Umum ... 76

C. Peraturan Perundang-Undangan dalam Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia ... 83

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 88

A. Kesimpulan ... 88

B. Saran ... 89

DAFTAR PUSTAKA ... 91

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peran Polisi secara umum dikenal sebagai pemelihara Kamtibmas juga sebagai aparat penegak hukum dalam proses pidana. Polisi adalah aparat penegak hukum jalanan yang langsung berhadapan dengan masyarakat dan penjahat. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, “Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”. Pasal 4 UU No.2 Tahun 2002 juga menegaskan “Kepolisian Negara RI bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib, dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”.

Penyelenggaraan fungsi kepolisian merupakan pelaksanaan profesi artinya dalam menjalankan tugas seorang anggota Polri menggunakan kemampuan profesinya terutama keahlian di bidang teknis kepolisian. Dalam menjalankan tugas sebagai hamba hukum polisi senantiasa menghormati hukum dan hak asasi manusia. Oleh karena itu dalam menjalankan profesinya setiap insan kepolisian tunduk pada kode etik profesi sebagai landasan moral.

1

1

Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi Polri). Laksbang

Mediatama, Surabaya, 2007, hlm 9.

(10)

Keberhasilan penyelenggaraan fungsi kepolisian dengan tanpa meninggalkan etika profesi sangat dipengaruhi oleh kinerja polisi yang direfleksikan dalam sikap dan perilaku pada saat menjalankan tugas dan wewenangnya. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, ditegaskan tugas pokok kepolisian adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Polisi dituntut mampu menyibak belantara kejahatan di masyarakat dan menemukan pelakunya. Polisi harus melakukan serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan bukti-bukti guna membuat terang suatu kejahatan dan menemukan pelakunya. Berbagai macam jenis kejahatan yang telah ditangani pihak kepolisian dalam memberantas kejahatan jalanan demi untuk meningkatkan suasana yang aman dan tertib sebagaimana yang menjadi tanggung jawab pihak kepolisian. Maraknya tindak kejahatan Polri harus tetap menjaga kamtibmas yang belakangan ini banyak terjadi terutama terhadap aksi demonstrasi yang mengarah anarkhis. Begitu urgennya keberadaan polisi bagi masyarakat, maka dapat diibaratkan seperti kolam dengan ikannya. Masyarakat dengan polisi tidak dapat dipisahkan. Konflik antara polisi dengan masyarakat juga sering terjadi karena ketidakprofesionalan dalam menjalankan tugas misalnya melakukan penyidikan tanpa surat dan dasar hukum yang kuat, melakukan penangkapan dan penahanan tanpa prosedur, melakukan kekerasan kepada tersangka dan sebagainya.

Demonstran yang anarkhis, kekerasan dapat dibenarkan selama dalam

batas-batas yang wajar, namun tetap harus dilakukan secara selektif dan

(11)

terkendali. Tindakan keras dari kepolisian harus tetap berdasarkan aturan-aturan hukum yang berlaku dan menghormati HAM. Pada demonstran yang bertindak brutal dan anarkhis harus diperiksa sesuai dengan hukum yang berlaku. Akan tetapi terkadang dalam menghadapi situasi di lapangan, Polisi dihadapkan pada suatu keputusan dimana ia harus memilih suatu tindakan yang terkadang di luar batas kewenangannya dan di luar komando pimpinanannya.

Polisi di semua negara dalam melaksanakan penegakan hukum di lapangan adalah sama wewenangnya. Selain mengadakan tindakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, juga dapat secara leluasa memakai peraturan sendiri dan pengalaman pribadi dalam memutuskan apa yang harus dilakukan dan bagaimana menangani penegakan hukum serta situasi dalam memelihara ketertiban yang polisi temui dalam melaksanakan tugasnya. Polisi tidak perlu mempunyai bukti cukup untuk menangkap orang dan dimintai keterangan, walaupun tanpa dibekali atau didukung tanpa surat perintah sepotong pun, cukup mengenakan identitasnya saja. Wewenang tersebut disemua negara terutama Amerika Serikat dan Inggris, dikenal dengan istilah police discretion dan di Indonesia menyebut dengan istilah diskresi.

2

Diskresi merupakan kewenangan polisi untuk mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah pelanggaran hukum atau perkara pidana yang ditanganinya. Sangatlah penting bahwa diskresi ini dapat dilakukan dengan benar dengan mempertimbangkan segala aspek atau hal- hal diatas disertai etika yang baik seperti yang diuraikan sebelumnya. Oleh karena itu

2

R. Abdussalam, Penegakan Hukum Dilapangan Oleh Polri, Dinas Hukum Polri,

Jakarta, 2007, hlm.7.

(12)

dengan diskresi ini maka tindakan yang diambil oleh Polisi harus benar secara hukum.

3

Walaupun diskresi dianggap sebagai bentuk penyimpangan dari asas legalitas, namun Prayudi Admosudirdjon mengemukakan bahwa sebenarnya Kepolisian dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, setiap detik, setiap jam, setiap hari. Selain bertugas sebagai penegak hukum (law enforcement) dan pemelihara ketertiban (order maintenance). Polisi juga bertugas sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat. Sebagai penegak hukum, tugas Kepolisian senantiasa bersinggungan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan yang akan selalu memungkinkan terjadi benturan-benturan yang berakibat memunculkan persepsi masyarakat yang kurang menguntungkan bagi aparat kepolisian.

Polisi dalam pelaksanaan tugasnya kadang kala polisi harus mengambil tindakan-tindakan yang merupakan kewenangannya yang dinamakan diskresi untuk memelihara keamanan dan ketertiban itu sendiri. Namun demikian beberapa pihak memandang bahwa tindakan diskresi Kepolisian yang dilakukan rentan untuk menimbulkan arogansi dan tindakan kesewenang-wenangan dari aparat kepolisian itu sendiri, yang justru akan memperburuk citra kepolisian. Oleh karena itu, diperlukan suatu pertimbangan–pertimbangan dan langkah–langkah agar diskresi Kepolisian dapat dijalankan dengan baik dan benar dimata hukum serta nantinya dapat mencapai tujuan terpeliharanya keamananan dan ketertiban di tengah masyarakat.

3

Mulardi Sasmita, “Diskresi Kepolisian Dalam Perspektif”, diakses Senin, 2 September

2017 Pukul 21.00 wib.

(13)

diskresi justru merupakan pelengkap dari asas legalitas yang menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan Administrasi Negara harus berdasarkan ketentuan undang-undang.

4

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Kewenangan Diskresi Kepolisian Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Ditinjau dari Persfektif Hukum Administrasi Negara”

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah dasar hukum penerapan diskresi oleh Kepolisian Republik Indonesia ? 2. Mengapa diskresi harus diterapkan dalam pelaksanaan tugas kepolisian ? 3. Bagaimana penerapan diskresi dalam pelaksanaan tugas kepolisian ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dasar hukum penerapan diskresi oleh Kepolisian Republik Indonesia.

2. Untuk mengetahui diskresi harus diterapkan dalam pelaksanaan tugas kepolisian.

4

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,

RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 13-14

(14)

3. Untuk mengetahui penerapan diskresi dalam pelaksanaan tugas kepolisian.

Adapun manfaat penulisan dalam skripsi ini adalah:

1. Secara teoritis untuk menambah dan memperluas wawasan ilmu pengetahuan dan memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum khususnya tentang diskresi kewenangan Kepolisian menurut Hukum Administrasi Negara.

2. Secara praktis :

a. Bagi penulis adalah untuk melatih kemampuan dan pengetahuan tentang diskresi kepolisian dari persfektif hukum administrasi negara dan merupakan sebagian dari pembelajaran tentang hukum kepolisian.

b. Bagi petugas Polisi dalam penanganan masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat antara lain adalah sebagai salah satu cara pembangunan moral petugas kepolisian dan meningkatkan cakrawala intelektual petugas dalam menyiapkan dirinya untuk mengatur orang lain dengan rasa keadilan bukannya dengan kesewenang-wenangan.

c. Dapat dijadikan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya bagi para pihak yang berkepentingan.

D. Keaslian Penulisan.

Berdasarkan informasi yang diketahui dan penelusuran kepustakaan yang

dilakukan khususnya di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

penulisan skripsi terkait dengan “"Kewenangan Diskresi Kepolisian Berdasarkan

(15)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Ditinjau dari Persfektif Hukum Administrasi Negara" belum pernah ditulis sebelumnya.

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa skripsi ini merupakan hasil karya yang asli dan bukan merupakan hasil jiplakan dari skripsi orang lain. Skripsi ini dibuat berdasarkan hasil pemikiran sendiri, refrensi dari buku-buku, undang-undang, makalah-makalah, serta media elektronik yaitu internet dan juga mendapat bantuan dari berbagai pihak. Berdasarkan asas-asas keilmuan yang rasional, jujur, dan terbuka, maka penelitian dan penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan.

1. Pengertian Kewenangan

Menurut kamus besar bahasa indonesia, kata wewenang disamakan dengan kata kewenangan, yang diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk bertindak, kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang/badan lain.

5

Menurut H.D Stout wewenang adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai seluruh aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik didalam hubungan hukum publik.

6

5

Kamal Hidjaz. Efektivitas Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Sistem Pemerintahan

Daerah Di Indonesia. Pustaka Refleksi. Makasar. 2010, hlm. 35

6

Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2013, hlm. 71

(16)

Menurut Philipus M. Hadjon, wewenang (bevoegheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtmacht). Jadi dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan.

7

Menurut Indroharto, terdapat tiga macam kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, meliputi :

8

a. Atribusi (pemberian kewenangan yang baru atau yang sebelumnya tidak ada, oleh pembuat undang-undang sendirikepada suatu organ pemerintah);

b. Delegasi (penyerahan wewenang yang dipunyai oleh organ pemerintah kepada organ yang lain);

c. Mandat (pengalihan tugas dimana tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang).

Kewenangan adalah merupakan hak menggunakan wewenang yang dimiliki seorang pejabat atau institusi menurut ketentuan yang berlaku, dengan demikiankewenangan juga menyangkut kompetensi tindakan hukum yang dapat dilakukan menurut kaedah-kaedah formal, jadi kewenangan merupakan kekuasaan formal yang dimiliki oleh pejabat atau institusi.Kewenangan memiliki kedudukan yang penting dalam kajian hukum tata negara dan hkum administrasi negara.

Begitu pentingnya kedudukan kewenangan ini, sehingga F.A.M. Stroink dan J.G.

Steenbeek menyebut sebagai konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum administrasi negara.

9

Indroharto, mengemukakan bahwa wewenang diperoleh secara atribusi,delegasi, dan mandat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut :

7

Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 1

8

Ridwan HR, Op.Cit, hlm. 104

9

Ibid. hlm. 99.

(17)

Wewenang yang diperoleh secara atribusi, yaitu pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang- undangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintah yang baru. Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya sesuatu atribusi wewenang. Pada mandat, disitu tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan TUN yang satu kepada yang lain.

10

Philipus M. Hadjon, mengatakan bahwa setiap tindakan pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang dasar, sedangkan kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan. Kemudian Philipus M Hadjon pada dasarnya membuat perbedaanantara delegasi dan mandat. Dalam hal delegasi mengenai prosedur pelimpahannya berasal dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan yang lainnya dengan peraturan perundang-undangan, dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih ke delegataris. Pemberi delegasi tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi, kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang dengan asas

”contrarius actus”. Artinya, setiap perubahan, pencabutan suatu peraturan pelaksanaan perundang-undangan, dilakukan oleh pejabat yang menetapkan

10

Indroharto. Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Pustaka Harapan. Jakarta, 2003, hlm. 68.

(18)

peraturan dimaksud, dan dilakukan dengan peraturan yang setaraf atau yang lebih tinggi. Dalam hal mandat, prosedur pelimpahan dalam rangka hubungan atasan bawahan yang bersifat rutin. Adapun tanggung jawab dan tanggung gugat tetap pada pemberi mandat. Setiap saat pemberi mandat dapat menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan itu.

11

2. Pengertian Diskresi Kepolisian

Diskresi adalah suatu kekuasaan atau wewenang yang dilakukan berdasarkan hukum atas pertimbangan dan keyakinan serta lebih menekankan pertimbangan-pertimbangan moral daripada pertimbangan hukum.

12

Diskresi selalu dikaitkan dengan pengambilan keputusan, kekuasaan atau kewenangan yang dilakukan oeh seseorang terhadap persoalan yang dihadapi.

13

Diskresi kepolisian dalah suatu wewenang menyangkut pengambilan suatu keputusan pada kondisi tertentu atas dasar pertimbangan dan keyakinan pribadi seorang anggota kepolisian.

14

Kekuasaan diskresi yang dimiliki polisi memiliki kekuasaan yang besar karena polisi dapat mengambil keputusan dimana keputusannya bisa diluar ketentuan perundang-undangan, akan tetapi dibenarkan atau diperbolehkan oleh hukum. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Samuel Walker bahwa satu hal yang dapat menjelaskan berkuasanya kepolisian atau lembaga lain dalam melaksanakan tugasnya, yaitu adanya diskresi atau wewenag yang diberikan oleh

11

Ridwan HR. Op.Cit. hlm.108-109.

12

M. Faal, Penyaring Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hlm. 23

13

Djoko Prakoso, Polri Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum, Jakarta, Bima Aksara, 2007, hlm. 182

14

F. Anton Susanto, Kepolisian dalam Upaya Penegakan Hukum di Indonesia, Rineka

Cipta, Jakarta, 2004. Hlm. 12

(19)

hukum untuk bertindak dalam situasi khusus sesuai dengan penilaian dan kata hati instansi atau petugas polisi.

Pelaksanaan diskresi oleh polisi tampak terkesan melawan hukum, namun hal itu merupakan jalan keluar yang memang diberikan oleh hukum kepada polisi guna memberikan efesiensi dan efektifitas demi kepentingan umum yang lebih besar, selanjutnya diskresi memang tidak seharusnya dihilangkan. Diskresi tidak dapat dihilangkan dan tidak seharusnya dihilangkan. Diskresi merupakan bagian integral dari peran lembaga atau organisasi tersebut. Namun, diskresi bisa dibatasi dan dikendalikan, misalnya dengan cara diperketatnya perintah tertulis serta adanya keputusan terprogram yang paling tidak mampu menyusun dan menuntut tindakan diskresi. Persoalannya, keputusan-keputusan tidak terprogram sering muncul dan membuka pintu lebar-lebar bagi pengambilan diskresi.

15

Tugas administrasi negara dalam welfare state disebut dengan

“bestuurszorg” oleh Dr. Lemaire, yaitu menyelenggarakan kesejahteraan umum yang mempunyai tanda istimewa, yaitu kepada administrasi negara diberikan kebebasan untuk atas inisiatif sendiri bertindak cepat dan tepat menyelesaikan Welfare state merupakan negara hukum modern yang memperhatikan kepentingan seluruh rakyatnya. Pada negara hukum modern, negara tidak hanya mengupayakan perwujudan ketertiban umum, tetapi juga mengupayakan kesejahteraan masyarakat dan memiliki fungsi sebagai public service. Salah satu ciri dari welfare state adalah adanya penyerahan penyelenggaraan kesejahteraan umum yang dinamakan “bestuurszorg” kepada administrasi negara.

15Ibid.,hlm. 17

(20)

kepentingan-kepentingan guna kesejahteraan masyarakat, memberi kepada administasi negara keleluasaan untuk menyelenggarakan dengan cepat dan berfaedah kepentingan guna kesejahteraan umum atau dengan kata lain, dalam melaksanakan “bestuurszorg” itu diberikan freies ermessen yang artinya kebebasan yang diberikan kepada administrasi negara untuk atas inisiatif sendiri melakukan perbuatan-perbuatan guna menyelesaikan persoalan-persoalan yang mendesak dan yang peraturan penyelesaiannya belum ada, yaitu belum dibuat oleh badan kenegaraan yang diserahi tugas membuat undang-undang.

Fungsi negara dalam negara hukum modern adalah memperhatikan

kepentingan masyarakat dan menciptakan kemakmuran bagi rakyat. Hal demikian

menyebabkan pemerintah untuk turut serta aktif untuk mengatur, mengurus dan

melayani masyarakat dalam segala lapangan kehidupan, terutama di bidang sosial

dan ekonomi. Pemerintah juga harus bersikap cepat dan tanggap dalam memenuhi

berbagai macam kebutuhan masyarakat yang sangat banyak jumlahnya dan

berbagai macam jenisnya. Oleh karena itu, dibutuhkan kewenangan yang luas

bagi pemerintah dalam welfare state agar cita-cita dan tujuan negara, yaitu untuk

meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dapat tercapai. Peran

pemerintah yang sangat luas dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan

menyebabkan pemerintah untuk berhadapan dengan kondisi dimana ada kalanya

ketika pemerintah harus mengambil keputusan dengan tidak terikat pada

ketentuan perundang-undangan. Pengambilan keputusan atau tindakan yang tidak

ada didalam undang-undang oleh pemerintah ini diperbolehkan dalam hal keadaan

mendesak dan ketika diperlukan tindakan yang cepat dari pemerintah sehingga

(21)

tidak dapat menunggu sampai adanya peraturan perundangan yang dibuat oleh badan legislatif. Tindakan pemerintah yang demikian dilakukan melalui asas diskresi, yaitu asas yang memberi kewenangan bagi pemerintah untuk mengambil keputusan atau bertindak atas inisiatif sendiri terutama dalam penyelesaian permasalahan genting yang peraturan penyelesaiannya belum dibuat oleh badan legislatif atau dengan kata lain, membuat sendiri peraturan penyelesaian yang diperlukan.

Menurut M. Faal menyebutkan bahwa diskresi adalah kebebasan bertindak atau mengambil keputusan dari para pejabat administrasi negara yang berwenang dan berwajib menurut pendapat sendiri.

16

Dengan demikian, asas diskresi dapat diartikan sebagai asas yang memberi kebebasan, keleluasaan atau kemerdekaan kepada administrasi negara dalam menjalankan wewenangnya untuk mengambil keputusan atau bertindak terhadap hal yang mendesak yang belum diatur oleh peraturan dan undang-undang.

Penggunaan asas diskresi memiliki kaitan yang erat dengan asas-asas lain yang digunakan dalam membuat keputusan, yaitu :

Diskresi adalah kemerdekaan dan atau otoritas/ kewenangan untuk membuat keputusan serta kemudian mengambil tindakan yang dianggap tepat/ sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, yang dilakukan secara bijaksana dan dengan memperhatikan segala pertimbangan maupun pilihan yang memungkinkan.

17

16

M. Faal, Op.Cit, hlm. 22.

17

Ibid., hlm. 23

(22)

a. Asas Yuridiktas (rechtmatigeheid), yaitu setiap tindakan pejabat administrasi negara tidak boleh melanggar hukum (harus sesuai dengan keadilan dan kepatutan).

b. Asas Legalitas (wetmatigeheid), yaitu setiap tindaka penjabat administrasi negara harus ada dasar hukumnya dimana asas legalitas merupakan hal yang paling utama dalam setiap tindakan pemerintah.

Penggunaan asas diskresi harus memperhatikan asas legalitas dan asas yuridiktas tersebut. Dengan kata lain, kebebasan dari pejabat administrasi negara untuk menagmbil keputusan berdasarkan pendapatnya sendiri harus tetap terikat pada keadilan dan kepatutan serta asas legalitas. Melalui asas diskresi ini, pejabat administrasi negara tidak dapat menolak untuk mengambil keputusan bila ada masyarakat yang mengajukan permohonan kepada pejabat administrasi negara.

Asas diskresi menyebabkan berpindahnya sebagian kekuasaan yang dipegang oleh badan pembentuk undang-undang (legislatif) kedalam tangan pemerintah sebagai badan eksekutif. Dasar hukum mengenai diskresi yang mengatur pemerintah untuk dapat membuat peraturan atas pendapat sendiri terdapat dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, yakni “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan Pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Selain itu, landasan delegasi perundang- undangan adalah Pasal 5 ayat (2) UUD 1945, yakni “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.”

Kedua pasal tersebut merupakan landasan berlakunya asas diskresi di Indonesia.

(23)

F. Metode Penelitian

Sehubungan yang telah dikemukakan diatas sebelumnya, untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuan dapat terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, oleh karena itu adapun metode penelitian hukum yang digunakan dalam mengerjakan skrispsi ini meliputi :

1. Jenis Penelitian.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, artinya permasalahan yang ada diteliti berdasarkan peraturan perundang- undangan yang ada dan literatur-literatur yang ada kaitannya dengan permasalahan.

Penelitian hukum normatif ini mencakup :

18

1. Penelitian terhadap asas-asas hukum.

2. Penelitian terhadap sistematika hukum.

3. Penelitian terhadap tahap sinkronisasi hukum.

4. Penelitian sejarah hukum.

5. Penelitian perbandingan hukum.

Penelitian hukum normatif sendiri mengacu pada berbagai data sekunder,

19

18

Soerjono Soekanto dan Srimamudji, Penelitian Hukum Normatif, Ind-Hillco, Jakarta, 2001, hlm. 13

19

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 14.

yaitu inventarisasi berbagai peraturan hukum, jurnal-jurnal dan karya

tulis lainnya, serta artikel-artikel berita terkait. Sedangkan penelitian deskriptif

adalah penelitian yang pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara

(24)

sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor tertentu. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah menghasilkan gambaran yang akurat tentang sebuah kelompok, menggambarkan sebuah proses atau hubungan, menggunakan informasi dasar dari suatu hubungan teknik dengan definisi tentang penelitian ini dan berusaha menggambarkan secara lengkap

20

2. Sumber data

yaitu tentang kewenangan diskresi kepolisian berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ditinjau dari persfektif Hukum Administrasi Negara.

Penyusunan skripsi ini, data dan sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Data sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya.

Sumber data dalam penelitian ini adalah : a. Bahan hukum primer.

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan antara lain :

1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana 3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi

Pemerintahan.

20

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta,

2003, hlm.16.

(25)

b. Bahan hukum sekunder adalah data yang telah diolah sebelumnya yang diperoleh dari dokumentasi maupun studi pustaka. Adapun data sekunder diperoleh melalui :

1) Dokumentasi yang dapat diasumsikan sebagai sumber data tertulis yang terbagi dalam dua ketegori yaitu sumber resmi dan sumber tidak resmi.

Sumber resmi merupakan dokumen yang dibuat/dikeluarkan oleh lembaga/perorangan atas nama lembaga. Sumber tidak resmi adalah dokumen yang dibuat/dikeluarkan oleh individu tidak atas nama lembaga.

Dokumen yang akan dijadikan sebagai sumber referensi dapat berupa hasil rapat, laporan pertanggungjawaban, surat, dan catatan harian.

2) Studi pustaka merupakan langkah yang sangat penting dalam metode ilmiah untuk mencari sumber data sekunder yang akan mendukung penelitian dan untuk mengetahui sampai ke mana ilmu yang berhubungan dengan penelitian telah berkembang, sampai ke mana terdapat kesimpulan dan degeneralisasi yang pernah dibuat. Cara yang dilakukan dengan mencari data-data pendukung (data sekunder) pada berbagai literatur baik berupa buku-buku, dokumen-dokumen, makalah-makalah hasil penelitian serta bahan-bahan referensi lainnya yang berkaitan dengan penelitian.

(1) Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan/atau bahan hukum sekunder yakni kamus hukum dan kamus besar Bahasa Indonesia.

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yaitu dengan menginventarisir peraturan

Perundang-undangan untuk dipelajari sebagai suatu kesatuan yang utuh dan

(26)

dengan studi kepustakaan, internet browsing, telah artikel ilmiah, telaah karya ilmiah sarjana dan studi dokumen, termasuk di dalamnya karya tulis ilmiah maupun jurnal surat kabar.

Metode pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan yaitu teknik mengumpulkan data dengan jalan membaca dan mempelajari buku-buku kepustakaan yang berkaitan dengan materi penelitian, kemudian menyusun sebagai sajian data. Metode dokumentasi adalah salah satu cara pengumpulan data yang digunakan penulis dengan cara menelaah dokumen-dokumen pemerintah maupun non pemerintah yang berkaitan dengan penelitian ini. Instrument yang digunakan berupa form dokumentasi, form kepustakaan, dan alat-alat perpustakaan lainnya.

4. Analisis data

Data bahan-bahan hukum yang diperoleh akan dianalisis secara normatif

kualitatif tentang kewenangan diskresi kepolisian berdasarkan Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ditinjau dari

persfektif Hukum Administrasi Negara. Normatif karena penelitian ini bertitik

tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai norma hukum positif. Penelitian

kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang

tidak dapat dicapai (diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik

atau cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran). Penelitian kualitatif secara

umum dapat digunakan untuk penelitian tentang kehidupan masyarakat, sejarah,

tingkah laku, fungsionalisasi organisasi, aktivitas sosial, dan lain-lain. Salah satu

alasan menggunakan pendekatan kualitatif adalah pengalaman para peneliti

(27)

dimana metode ini dapat digunakan untuk menemukan dan memahami apa yang tersembunyi dibalik fenomena yang kadangkala merupakan sesuatu yang sulit untuk dipahami secara memuaskan.

Penelitian kualitatif bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang sifatnya umum terhadap kenyataan sosial dari perpektif partisipan. Pemahaman tersebut tidak ditentukan terlebih dahulu, tetapi didapat setelah melakukan analisis terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus penelitian. Kualitatif karena data yang diperoleh, kemudian disusun secara sistematis, untuk selanjutnya dianalisa secara kualitatif, untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas. Metode analisis datanya adalah sebagai berikut:

21

a. Metode interpretasi menurut bahasa (gramatikal) yaitu suatu cara penafsiran undang-undang menurut arti kata-kata (istilah) yang terdapat pada undang- undang. Hukum wajib menilai arti kata yang lazim dipakai dalam bahasa sehari-hari yang umum.

b. Metode interpretasi secara sistematis yaitu penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam suatu perundang-undangan yang bersangkutan, atau dengan undang-undang lain, serta membaca penjelasan Undang-undang tersebut sehingga kita memahami maksudnya.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap-tiap bab terbagi atas beberapa sub-sub bab, untuk mempermudah dalam

21

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2004, hlm. 31

(28)

memaparkan materi dari skripsi ini yang dapat digambarkan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini dimulai dengan mengemukakan apa yang menjadi latar belakang penulisan skripsi ini kemudian dilanjutkan dengan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan ditutup dengan memberikan sistematikan dari penulisan skripsi ini.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI DISKRESI

Bab ini menguraikan mengenai : Diskresi dalam Hukum Administrasi Negara, Tujuan dan Fungsi Diskresi, Landasan Hukum Diskresi Kepolisian dan yang Berkaitan.

BAB III DISKRESI DALAM PELAKSANAAN TUGAS KEPOLISIAN Bab ini menguraikan mengenai : Pelaksanaan Diskresi Kepolisian, Fungsi Diskresi dalam Pelaksanaan Tugas Kepolisian, Masalah-Masalah Pelaksanaan Diskresi.

BAB IV PENERAPAN DISKRESI DALAM PELAKSANAAN TUGAS

KEPOLISIAN

(29)

Bab ini menguraikan mengenai : Ketentuan-Ketentuan dalam Diskresi Kepolisian, Tugas dan Wewenang Kepolisian untuk Kepentingan Umum, Peraturan Perundang-Undangan dalam Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia

BAB IV PENUTUP

Merupakan bab penutup dari seluruh rangkaian bab-bab. Seluruhnya

yang berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian skripsi ini

yang dilengkapi dengan saran-saran.

(30)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI DISKRESI

A. Diskresi Dalam Hukum Administrasi Negara

Istilah freies ermessen berasal dari bahasa Jerman. Kata freies diturunkan dari kata frei dan freie yang artinya: bebas, merdeka, tidak terikat,lepas dan orang bebas. Sedangkan kata ermessen mengandung art imempertimbangkan, menilai, menduga, penilaian, pertimbangan, dan keputusan. Jadi secara etimologis, freies ermessen dapat diartikan sebagai “orang yang bebas mempertimbangkan, bebas menilai, bebas menduga, dan bebas mengambil keputusan”.

22

Selain itu istilah freies ermessen ini sepadan dengan kata discretionair, yang artinya menurut kebijaksanaan, dan sebagai kata sifat, berarti: menurut wewenang atau kekuasaan yang tidak atau tidak seluruhnya terikat pada undang- undang.

23

Dalam kepustakaan ilmu hukum administrasi negara telah banyak pakar yang memberikan batasan mengenai istilah ini. Prajudi Atmosudirdjo

24

22

SF. Marbun et.all, dimensi-dimensi pemikiran hukum administrasi negara, Uii Press, yogyakarta,2001, hlm 108

23

Ibid

24

Ibid

mengatakan: “ asas diskresi ( discretie; freies ermessen ), artinya para pejabat

penguasa tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan tidak ada

peraturannya” dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan

menurut pendapat sendiri asalkan tidak melanggar asas yuridiktas dan asas

legalitas...”

(31)

Senada dengan pendapat tersebut, Sjachran Basah

25

Amrah Muslimin

mengatakan bahwa diperlakukannya freies ermessen oleh administrator negara itu: “dimungkinkan oleh hukum agar dapat bertindak atas inisiatif sendiri terutama dalam penyelesaian persoalan-persoalan yang penting yang timbul secara tiba-tiba.

Dalam hal demikian, administrasi negara terpaksa bertindak cepat, membuat penyelesaian. Namun keputusan-keputusan yang diambil untuk menyelesaikan masalah-masalah itu, harus dapat dipertanggungjawabkan”.

26

Sehubungan dengan hal ini, Hans J. Wolf

mengartikan freies ermessen sebagai

“lapangan bergerak selaku kebijaksanannya” atau “kebebasan kebijaksanaan”.

Dari beberapa pendapat yang dikutip sebelumnya, pada hakikatnya tidak terdapat perbedaan yang prinsip, sebab inti hakikat yang dikandung adalah sama, yaitu adanya kebebasan bertindak bagi administrasi negara untuk menjalankan fungsinya secara dinamis guna menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang mendesak, sedangkan aturan untuk itu belum ada. Namun, harus diingat pula bahwa kebebasan bertindak administrasi negara tersebut bukan kebebasan dalam arti seluas-luasnya dan tanpa batas, melainkan tetap terikat kepada batas-batas tertentu yang diperkenankan oleh hukum administrasi negara.

27

25

Ibid

26

Ibid

27

Ibid

dalam bukunya

Verwaltungsrecht jilid 1, mengatakan bahwa freies ermessen tidak boleh

diartikan secara berlebihan seakan-akan badan atau pejabat administrasi negara

boleh bertindak sewenang-wenang atau tanpa dasar dan dengan dasar-dasar yang

(32)

tidak jelas ataupun dengan pertimbangan yang subjektif individual. Oleh karena itu, menurut Wolt, lebih baik jika dikatakan mereka bertindak berdasarkan kebijaksanaan.

28

Berdasarkan uraian tersebut, sebaiknya pengertian freies ermessen ini diberikan arti yang netral sebagai: “power to choose between alternative course of action”

29

1. Merupakan salah satu bentuk kekuasaan;

.

Sebagai konsekuensi diberikannya freies ermessen kepada administrasi negara, maka administrasi negara memiliki kebebasan dan oleh karena itu dapat bertindak sebagai vrijbestuur ( menjalankan tugas pokok) . Dalam kaitan ini, timbul kekhawatiran dari kaum legis bahwa hal tersebut bertentangan dengan asas legalitas, terutama prinsip wetmatigheid van bestuur, yang artinya semua perbuatan dalam pemerintahan itu harus berdasarkan pada wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan.

Akan tetapi apabila dikaitkan dengan negara kesejahteraan (welfare state), maka Prinsip Wetmatgheid van bestuur tidak dapat lagi dipertahankan secara rigid dengan alasan bahwa apabila prinsip itu dipertahankan maka administrasi negara akan sulit mengambil tindakan secara cepat dalam menyelesaikan persoalan- persoalan yang muncul secara tiba-tiba sebagai dari pada adanya kegentingan.

Dari berbagai rumusan pengertian yang dikemukakan oleh pakar Hukum Administrasi Negara, maka dapat diperoleh beberapa hal penting mengenai unsur pokok dari Freies Ermessen yaitu :

28

Ibid, hlm. 109

29

Ibid

(33)

2. Bersumber pada ketentuan perundang-undangan yang sah;

3. Diterapkan untuk mencapai tujuan tertentu pada penyelenggaraan fungsi-fungsi keadministrasian negara;

4. Tindakan pelaksanaannya lebih dilandasi oleh pertimbangan moral dari pada hukum;

5. Tindakan dan akibatnya harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum.

Menurut Prof. Muchsan mengatakan bahwa :“Kelima hal tersebut di atas apabila dihubungkan dengan konsep negara kesejahteraan (Welfare state), maka berarti juga bahwa pelaksanaannya harus diselenggarakan dengan upaya memelihara kepentingan masyarakat dan negara tanpa mengabaikan azas-azas pemerintah yang baik dalam rangka menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (Good Governance)”.

30

Dari berbagai uraian di atas menunjukkan bahwa kegunaan Freies Ermessen dalam negera kesejahteraan memegang posisi penting karena di dalamnya terkait banyak aspek dan dimensi yang semuanya berpola pada kekuasaan dalam rangka memberikan perlindungan dan kesejahteraan terhadap warga negara, namun dalam mengambil kebijakan tidak boleh melupakan azas legalitas, prinsip wetmatifheid van bestuur dan rechtssouvereniteit, sehingga setiap tindakan administrasi negara tidak merugikan ke pentingan publik dan kepentingan administrasi negara itu sendiri.

30Muchsan, Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negera, Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm 30

(34)

Istilah diskresi tidak dapat dipisahkan dengan konsep kekuasaan atau wewenang yang melekat untuk bertindak, yakni bertindak secara bebas dengan pertimbangannya sendiri dan tanggungjawab atas tindakan tersebut.

31

Istilah diskresi dikenal dan sangat popular dilingkungan pejabat publik.

Secara etimologis diskresi berasal dari bahasa Inggris discretion atau discrecionary power, dan dalam lingkungan hukum administrasi dikenal “fries ermersen” asal kata bahasa Jerman yang berarti kebebasan bertindak atau mengambil keputusan menurut pendapat sendiri.

32

Menurut Benyamin, diskresi didefinisikan sebagai kebebasan pejabat mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri. Dengan demikian, menurutnya, setiap pejabat publik memiliki kewenangan diskresi.

33

Gayus T.

Lumbuun mendefinisikan diskresi adalah kebijakan dari pejabat negara dari pusat sampai daerah yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan yang melanggar dengan undang-undang, dengan tiga syarat yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya dan tidak melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).

34

Menurut Kuntjoro Purbopranoto diskresi adalah kebebasan bertindak yang diberikan kepada pemerintah dalam menghadapi situasi yang konkret (kasuistis).

Dalam pandangan Kuntjoro, freies ermessen harus didasarkan pada asas yang lebih luas yaitu asas kebijaksanaan, yang menghendaki bahwa pemerintah dalam segala tindak tanduknya itu harus berpandangan luas dan selalu dapat

31

M. Faal., Op.Cit, hlm.16

32

Ibid. hlm.17

33

Kunarto, Merenungi Kritik Terhadap Polri Buku I, Cipta Manunggal, Jakarta, 2003, hlm. 19.

34

Ibid, hlm. 20

(35)

menghubungkan dalam menghadapi tugasnya itu gejala-gejala masyarakat yang harus dihadapinya, serta pandai memperhitungkan lingkungan akibat-akibat tindak pemerintahannya itu dengan penglihatan yang jauh ke depan.

35

Diskresi menyangkut pengambilan keputusan yang tidak sangat terikat oleh hukum, di mana penilaian pribadi juga memegang peranan. Diskresi kepolisian adalah suatu wewenang menyangkut pengambilan suatu keputusan pada kondisi tertentu atas dasar pertimbangan dan keyakinan pribadi seorang anggota kepolisian.

36

Diskresi diartikan sebagai kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi. Diskresi selalu dikaitkan dengan pengambilan keputusan, kekuasaan atau kewenangan yang dilakukan oleh seseorang terhadap persoalan yang dihadapi.

37

Menurut Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, bahwa diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal

Jadi dapat diartikan diskresi yaitu kebebasan untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri, terutama dalam menyelesaikan persoalan yang memerlukan penanganan segera tetapi peraturan untuk penyelesaian persoalan itu belum ada karena belum dibuat oleh badan yang diserahi tugas legislatif.

35

Kuntjoro Purbopranoto, Asas-Asas Pemerintahan Yang Baik, Bina Cipta, Jakarta, 2007, hlm. 52

36

F. Anton Susanto. Op.Cit, hlm. 12

37

Djoko Prakoso, Op.Cit, hlm.182

(36)

peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

38

B. Tujuan dan Fungsi Diskresi

Setiap lembaga negara yang dibentuk dan mendapatkan amanah untuk suatu tugas Negara berkaitan dengan segi tertentu dalam kehidupan tentunya mempunyai tujuan yang mana tujuan tersebut adalah untuk kemaslahatan bersama, dan juga untuk mewujudkan masyarakat yang damai sebagaimana semangat UUD 1945. Setiap lembaga Negara mempunyai wewenang dan juga batasan-batasan tertentu dalam menjalankan fungsinya, dimana wewenang dan juga batasan tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu oleh UUD atau peraturan lain dibawahnya. Kemudian setelah diamanatkan agar dibentuk suatu lembaga yang mana sudah ditentukan fungsi utamanya, maka lembaga yang dibentuk tersebut akan memiliki peraturan tersendiri terkait dengan pelaksanaan fungsinya.

Perkembangan negara yang sangat pesat dengan diikuti oleh perkembangan masyarakarat terutama dalam bidang kehidupan sosial ekonomi menyebabkan kewenangan hukum administrasi negara menjadi semakin luas, kompleks dan rumit. Negara tidak boleh pasif dalam menghadapi perkembangan ini, artinya adalah negara harus berperan aktif dalam mengatur dan melayani masyarakat.

39

38

Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan

39

Sadjijono, Mengenal Hukum Kepolisian : Perspektif Kedudukan dan Hubungannya

dalam Hukum Administrasi, Laksbang Mediatama, Surabaya,2008, hlm. 28

(37)

Masyarakat yang memiliki kebutuhan banyak dan beragam memerlukan peran yang sangat besar dari pemerintah. Ditengah perkembangan yang pesat ini, pemerintah harus dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat sebagai bentuk perwujudan kesejahteraan dan pelayanan masyarakat salah satunya adalah melalui peraturan perundang-undangan. Namun dalam prakteknya, undang-undang tidak mungkin mengatur segala macam casus positie dalam kehidupan sehari-hari

40

. Asas legalitas tidak mungkin selalu dipertahankan karena tidak semua praktek kehidupan masyarakat dapat ditampung oleh peraturan tertulis atau undang- undang. Maka dari itu, asas legalitas memerlukan suatu asas pelengkap yang tetap terikat dengan asas tersebut, tetapi dapat memberikan keputusan bagi suatu permasalahan di dalam masyarakat. Asas yang dapat melengkapi asas legalitas itu adalah asas diskresi yang memberikan kebebasan bagi pejabat administrasi negara untuk menentukan hukum melalui pengambilan keputusan menurut inisiatif sendiri dalam hal keadaan yang mendesak. Dengan demikian, asas diskresi memiliki manfaat sebagai pelengkap asas legalitas dan untuk mencegah kekosongan hukum.

41

Apabila masyarakat mengajukan permohonan kepada pejabat administrasi negara untuk menyelesaikan suatu permasalahan, pejabat administrasi negara tidak boleh menolak untuk menanggapi permohonan masyarakat dengan alasan tidak ada hukum yang mengatur, artinya adalah pemerintah harus dapat membuat keputusan atau tindakan bila ada warga yang mengajukan permohonan

40

Safri Nugraha, Hukum Administrasi Negara, Depok : Badan Penerbitan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005, hal. 41

41

Baschan Mustafa, Pokok – pokok Hukum Administrasi Negara, Bandung : Alumni,

1979, hal. 29

(38)

penyelesaian masalah. Dalam hal ini, apabila tidak ada peraturan perundang- undangan yang mengatur suatu permasalahan yang diajukan oleh masyarakat, pejabat administrasi negara dapat mengambil keputusan melalui asas diskresi, tentunya dengan tetap memperhatikan batasan penggunaan asas diskresi tersebut.

Manfaat dari asas diskresi selain sebagai pelengkap asas legalitas adalah untuk mengisi kekosongan dalam undang-undang, mencegah kemacetan dalam bidang pemerintahan dan melalui asas diskresi, administrasi negara dapat mencari kaidah-kaidah baru dalam lingkungan undang-undang atau sesuai dengan jiwa undang-undang.

Pejabat administrasi negara memperoleh kewenangan untuk bertindak atas inisiatif sendiri demi kemanfaatan hukum. Melalui asas diskresi, pemerintah memiliki kebebasan untuk menentukan hukum dengan mengambil keputusan berdasarkan pendapat sendiri. Namun meskipun kewenangan diskresi ini bebas, tetapi ada batasan-batasan yang tetap harus diperhatikan dan tidak boleh dilanggar.

42

Penyalahgunaan wewenang diuji dengan asas spesialitas (specialiteitsbeginsel) yaitu asas yang menentukan bahwa wewenang itu diberikan kepada organ pemerintahan dengan tujuan tertentu. Apabila menyimpang dari tujuan diberikannya wewenang, ini dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang.

Sementara itu, unsur sewenang-wenang diuji dengan asas rasionalitas atau kepantasan (redelijk) dimana berdasarkan asas ini, suatu kebijakan dikatakan

42

Laica Marzuki, Peraturan Kebijaksanaan Hakikat Serta Fungsinya Selaku Sarana

Hukum Pemerintahan, Rineka Cipta, Jakarta, 2006, hlm. 62

(39)

mengandung unsur sewenang-wenang (willekeur) jika kebijakan itu nyata-nyata tidak masuk akal atau tidak beralasan (kennelijk onredelijk).

43

Laica Marzuki memberikan penjelasan sebagai berikut :

1. Sebelum memberikan keputusan, administrasi negara harus mempertimbangkan aspek-aspek yang relevan mengenai keputusan itu.

2. Sesuatu keputusan administratif harus diambil demi kepentingan wilayahnya dan bukan orang yang memutuskan, tetapi badan publiknya yang harus mendapat keuntungan-keuntungan dari keputusannya.

Berdasarkan pendapat di atas diketahui bahwa pejabat administrasi negara dalam mengambil keputusan tidak boleh menjalankan wewenangnya untuk menyelenggarakan suatu kepentingan umum yang lain dari pada yang dimaksud oleh peraturan yang menjadi dasar wewenang itu serta terhadap pejabat administrasi negara tidak boleh menyalahgunakan freies ermessen atau diskresi yang diberikan kepadanya agar penggunaan diskresi tidak menimbulkan akibat negatif.

Penggunaan diskresi yang terlalu berlebihan akan mengakibatkan timbulnya:

44

1. Penyalahgunaan wewenang, adalah ketika menggunakan kewenangan diluar tujuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan dan menggunakan prosedur yang keliru dalam proses penggunaan diskresi.

43

Ibid., hlm. 64

44

Syachran Basah, Perlindungan Hukum Atas Sikap Tindak Administrasi Negara,

Alumni, Bandung, 2002, hlm. 81.

(40)

2. Tindakan sewenang-wenang, adalah jika keputusan dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang atau telah habis masa jabatannya dan melampaui batas kewenangan.

3. Perbuatan yang bertentangan dengan asas umum pemerintahan yang baik, yaitu :

a. Asas kepastian hukum b. Asas keseimbangan c. Asas ketidakberpihakan d. Asas kecermatan

e. Asas tidak melampaui, tidak menyalahgunakan, tidak mencampuradukkan kewenangan atau tidak bertindak sewenang-wenang.

f. Asas keterbukaan g. Asas kepentingan umum

Lembaga kepolisian sebagai lembaga yang berperan sebagai badan yang

memelihara keamanan, ketertiban serta memberikan perlindungan dan pelayanan

bagi masyarakat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa fungsi

kepolisian adalah dalam bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban

masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat. Didalam bunyi pasal tersebut sudah terlihat secara nyata bahwa Polri

dalam kedudukannya merupakan salah satu aparat yang diberi kewenangan dalam

rangka penegakan hukum yang mempunyai fungsi menegakkan hukum di bidang

yudisial, tugas preventif maupun represif.

(41)

Kepolisian dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, harus memperhatikan aspek sosiologis dalam memproses dan menangani tindak pidana serta pelanggaran hukum. Misalnya dalam hal melakukan penyelidikan dan penyidikan, petugas kepolisian tidak dapat menyelesaikan kasus dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan saja. Petugas kepolisian juga harus mempertimbangkan faktor sosiologis, situasi dan kondisi dalam kasus yang ditanganinya. Sehubungan dengan hal tersebut, petugas kepolisian memerlukan kewenangan dalam bertindak berdasarkan pertimbangan, penilaian atau perkiraannya dalam bertugas. Oleh karen itu, terhadap petugas kepolisian diberikan asas diskresi untuk dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat.

Menggunakan diskresi sesuai dengan tujuannya merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh pejabat pemerintahan dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan. Badan dan atau Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya.

Hal-hal penting menyangkut diskresi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan antara lain:

1. Diskresi hanya dapat dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang berwenang;

2. Setiap penggunaan diskresi pejabat pemerintahan bertujuan untuk:

a. Melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;

b. Mengisi kekosongan hukum;

c. Memberikan kepastian hukum;

(42)

d. Mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Adapun yang dimaksud dengan stagnasi pemerintahan adalah tidak dapat dilaksanakannya aktivitas pemerintahan sebagai akibat kebuntuan atau disfungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan, contohnya: keadaan bencana alam atau gejolak politik.

Diskresi sebagai wewenang pemerintahan merupakan wewenang bebas yang dimiliki oleh aparatur pemerintahan sekaligus sebagai lawan dari wewenang terikat (gebonden bevoegdheid). Sifat dan karakter hukum tindakan pemerintah ini mengharuskan kekuasaan pemerintah tidaklah sekedar melaksanakan undang- undang (asas wetmatigheid van bestuur), tetapi harus lebih mengedepankan doelstelling (penetapan tujuan) dan beleid (kebijakan).

Tindakan pemerintah yang mengedepankan doelstelling dan beleid merupakan kekuasaan yang aktif. Sifat aktif ini menurut Philipus M. Hadjon dalam konsep hukum administrasi secara intrinsik merupakan unsur-unsur utama dari sturen (besturen). Dalam konsep bestuur (besturen), kekuasaan pemerintahan dalam pelaksanaan wewenang pemerintahan tidaklah semata-mata sebagai suatu wewenang terikat sebagaimana tertuang dalam aturan hukum, tetapi juga merupakan suatu wewenang bebas atau diskresi.

Penekanan pada pengertian diskresi sebagai kekuasaan pejabat publik

untuk bertindak menurut keputusan dan hati nurani sendiri. Diskresi adalah

wewenang untuk bertindak atau tidak bertindak atas dasar penilaiannya sendiri

dalam menjalankan kewajiban hukum.

(43)

Dalam penyelenggaraan administrasi negara terdapat tugas pokok dan fungsi yang diemban oleh suatu badan atau pejabat administrasi sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku, akan tetapi karena salah satu tujuan negara adalah menyelenggarakan kesejahteraan umum, maka disamping tugas pokok terdapat kewenangan yang mencakup fungsi pokok maupun tambahan fungsi daripada badan atau pejabat administrasi negara.

Kewenangan jabatan yang disebut dengan istilah kewenangan Diskresi yang sering dilaksanakan oleh pejabat administrasi, yang bermaksud melayani kepentingan umum sedangkan urusan yang dilayani tersebut belum diatur oleh suatu peraturan, sehingga untuk mempercepat tujuan pelayanan kepentingan umum tertentu, oleh pejabat administrasi negara diberi keleluasaan untuk mengambil keputusan yang cepat dan tepat atas inisiatif sendiri menerbitkan suatu keputusan meskipun terdapat kekosongan hukum terkait dengan penggunaan wewenang jabatan dalam penyelenggaraan kepentingan umum tertentu.

Kewenangan Diskresi tidak selamanya digunakan dalam melayani kepentingan umum, terutama jika telah ada pedoman peraturan yang jelas terhadap urusan tertentu yang dilaksanakan oleh administrasi negara, sehingga diskresi dimaksud adalah bukan tanpa wewenang atau sewenang wenang, juga bukan melampaui batas kewenangan maupun mencampuradukkan kewenangan oleh badan atau pejabat administrasi, melainkan kewenangan yang melekat dalam lingkup jabatan administrasi yang tertentu dan digunakan untuk melaksanakan fungsi khusus tertentu dalam penyelenggaraan administrasi negara.

Contoh : Gubernur sebagai wakil Pemerintah pusat di daerah, melaksanakan

(44)

wewenang membuka kantor kementerian tertentu di wilayah Provinsi untuk membuka pelayanan publik terkait dengan fungsi khusus tertentu kementerian pemerintahan negara, dan atas pelaksanaan kewenangan tersebut oleh Gubernur berwewenang menggunakan dana bantuan keuangan dan atau dana dekonsentrasi bahkan dana pinjaman dari pihak ketiga. Namun hal tersebut dalam lingkup peraturan perundang undangan yang berlaku.

C. Landasan Hukum Diskresi Kepolisian

Landasan hukum yang dimaksud adalah legitimasi atas dipergunakannya wewenang diskresi oleh kepolisian negara Republik Indonesia. Sehingga dengan demikian semua pihak terlindungi baik polisi itu sendiri maupun masyarakat.

Dasar hukum pelaksanaan kewenangan diskresi itu antara lain:

a. Undang-undang Dasar 1945

Berkaitan dengan tugas kepolisian dan wewenang kepolisian memang merupakan 2 (dua) hal yang tidak dapat dilepaskan karena sifat penugasan sesungguhnya sangat membutuhkan kewenangan. Dan didalam kewenangan yang diberikan kepada kepolisian dijumpai pula kewenangan untuk bertindak sendiri atau menentukan sendiri. Kewenangan yang dimaksud itu yang kemudian disebut sebagai Diskresi Kepolisian. Berangkat dari pemikiran diatas, bila diperhatikan ketentuan undang-undang Dasar 1945, maka kewenangan diskresi kepolisian secara tidak langsung sangat berkaitan dengan pembukaan, batang tubuh dan penjelasannya.

Dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa :

(45)

“membentuk suatu pemerintah negara indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”

Berdasarkan pokok pikiran melindungi segenap bangsa Indonesia itu, maka Pasal 27 Undang-undang Dasar 1945 memberi kesamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan pada setiap warga negaranya. Dan kedudukan polisi selaku penegak hukum wajib melindungi warga negara atau masyarakat dan menciptakan keamanan dan ketertiban bagi masyarakat. Sedangkan pokok pikiran ikut melaksanakan ketertiban dunia adalah kewajiban warga negara untuk senantiasa patuh kepada norma-norma dalam tata kehidupan yang telah disepakati sehingga tercipta iklim tertib masyarakat.

Tugas polisi selaku penegak hukum, keamanan dan ketertiban masyarakat adalah refleksi dan sesuai terhadap Undang-undang Dasar 1945 dan konsekuensi adanya tugas tersebut sangat dibutuhkan wewenang, salah satu diantaranya adalah wewenang diskresi. Keberadaan kewenangan diskresi masuk sebagai salah satu kewenangan kepolisian sangat berkaitan erat dengan hakikat tujuan penegakan hukum itu sendiri dan lebih jauh lagi adalah pencapaian tujuan nasional.

b. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia

(46)

Dalam hubungannya dengan wewenang diskresi kepolisisan ini tidak dapat dilepaskan dari tugas pokok kepolisian. Karena dengan tugas pokok kepolisian bila dijabarkan mengandung makna yang sangat luas itu memerlukan kewenangan-kewenangan. Luasnya pemahaman fungsi dan tugas kepolisian itu bisa ditengarai dari dasar pertimbangan munculnya.

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 menyebutkan bahwa pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Kemudian pasal 13 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 menyebutkan bahwa :

“tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

b. Menegakkan hukum; dan

c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.”

45

Ketentuan pasal tersebut dapat dijadikan dasar diskresi itu. Karena untuk menjalankan tugas tersebut yang kemudian disebutkan lebih lanjut didalam Pasal 18 Ayat (1) UU Nomor 2 Thun 2002 yang berbunyi : “untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam

45

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia, Loc cit.

(47)

melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”.

46

“Yang dimaksud dengan bertindak menurut penilaiannya sendiri adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta risiko dari tindakannya yang betul – betul untuk kepentingan umum.”

Sedangkan penjelasan atas Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002 tersebut adalah :

47

1) Secara Umum Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002,

Namun kewenangan-kewenangan yang dijelaskan diatas belum mampu mengatur seluruh tindakan kepolisian secara eksplisit, definitif dan limitatif, termasuk pula kewenangan menggunakan diskresi kepolisian. Oleh karenanya tindakan diskresi sebagai tindakan yang didasarkan atas penilaian sendiri itu dibatasi menurut ketentuan perundang-undangan dan kode etik profesi kepolisian dengan senantiasa memperhatikan norma-norma keagamaan, perikemanusiaan, kesopanan dan kesusilaan. Dengan demikian poisi diberi wewenang untuk bertindak apa pun yang dianggap perlu sesuai dengan tujuan tugas kepolisian.

Dari uraian diatas maka dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang dapat dijadikan dasar hukum diskresi kepolisian adalah :

2) Penjelasan umum Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002,

46

Ibid.

47

ibid

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan penanaman modal asing dalam sektor perkebunan dalam perspektif hukum di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman

1. Belum pernah dihukum atau residivis. Dengan maksud bahwa terdakwa sebelum melakukan tindak pidana, terdakwa tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang

Upaya yang dilakukan dengan adanya penerbitan bilyet giro kosong adalah dengan mengajukan kepada Bank Indonesia agar penerbit nasabah biro yang bersangkutan dimasukkan

Penerapan CSR harus dimulai dari komitmen dan pemahaman yang baik dari pihak pengusaha bahwa setiap perusahaan hendaknya mengembangkan kegiatan sosial yang bukan

Pemilihan forum arbitrase (choice of forum) dan hukum yang berlaku (choice of law). Para pihak bebas untuk menentukan sendiri pemilihan forum arbitrase dalam

Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, menyatakan bahwa pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang

Dan Keputusan Walikota Medan Nomor 9 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pajak Daerah Kota Medan yang dimana dalam

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas serta sesuai dengan judul skripsi ini, yaitu: “Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Penggunaan Dan Pertanggungjawaban