• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wanprestasi, Risiko dan Keadaan Memaksa Dalam Suatu Perjanjian Menurut pendapat M. Yahya Harahap bahwa yang dimaksud dengan

PENGERTIAN UMUM TENTANG HUKUM BENDA, HAK MILIK BENDA DAN WANPRESTASI TERHADAP PERJANJIAN

C. Wanprestasi, Risiko dan Keadaan Memaksa Dalam Suatu Perjanjian Menurut pendapat M. Yahya Harahap bahwa yang dimaksud dengan

wanprestsi adalah : “Pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya”.26

Kata “Tidak tepat pada waktunya dan kata tidak layak” apabila dihubungkan dengan kewajiban merupakan perbuatan melanggar hukum. Pihak debitur sebagian atau secara keseluruhannya tidak menepati ataupun berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati bersama.

Dalam keadaan normal perjanjian dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya tanpa ganguan ataupun halangan. Tetapi pada waktu yang tertentu, yang tidak dapat diduga oleh para pihak, muncul halangan, sehingga pelaksanaan perjanjian tidak dapat dilaksanakan dengan baik, faktor penyebab terjadinya wanprestasi oleh Abdulkadir Muhammad diklasifikasikan menjadi dua faktor yaitu :

a. Faktor dari luar dan

b. Faktor dari dalam diri para pihak

Faktor dari luar menurut Abdulkadir Muhammad adalah “peristiwa yang tidak diharapkan terjadi dan tidak dapat diduga akan terjadi ketika perjanjian dibuat”.27 Sedangkan faktor dari dalam diri manusia/para pihak merupakan kesalahan yang timbul dari diri para pihak, baik kesalahan tersebut yang dilakukan dengan sengaja atau pun karena kelalaian pihak itu sendiri, dan para

26 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 60

27 Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Citra Aditya Bakti, 1992, hal. 12

51

pihak itu sendiri, dan pera pihak sebelumnya telah mengetahui akibat yang timbul dri perbuatannya tersebut.

Hal kelalaian atau wanprestasi pada pihak dalam perjanjian ini harus dinyatakan terlebih dahulu secara resmi yaitu dengan memperingatkan kepada pihak yang lalai, bahwa pihak kreditur menghendaki pemenuhan prestasi oleh pihak debitur. Menurut undang-undang peringatan tersebut harus dinyatakan tertulis, namun sekarang sudah dilazimkan bahwa peringatan itu pula dapat dilakukan secara lisan asalkan cukup tegas menyatakan desakan agar segera memenuhi prestasinya terhadap perjanjian mereka perbuat.

Peringatan tersebut dapat dinyatakan pernyataan lalai yang diberikan oleh pihak kreditur kepada pihak debitur. Pernyataan lalai oleh J. Satrio, memperinci pernyataan lalai tersebut dalam beberapa bentuk pernyataan lalai tersebut dalam beberapa bentuk pernyataan lalai yaitu :

1. Berbentuk surat perintah atau akta lain yang sejenis.

2. Berdasarkan kekuatan perjanjian itu sendiri. Apabila dalam surat perjanjian telah ditetapkan ketentuan : debitur dianggap bersalah jika satu kali saja dia melewati batas waktu yang diperjanjikan. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong debitur untuk tepat waktu dalam melaksanakan kewajiban dan sekaligus juga menghindari proses dan prosedur atas adanya wanprestasi dalam jangka waktu yang panjang.

Dengan adanya penegasan seperti ini dalam perjanjian, tanpa tegoran kelalaian dengan sendirinya pihak debitur sudah dapat dinyatakan lalai, bila ia tidak menempati waktu dan pelaksanaan prestasi sebagaimana mestinya.

3. Jika tegoran kelalaian sudah dilakukan barulah menyusul peringatan (aanmaning) dan bisasa juga disebut dengan Sommasi. Dalam sommasi inilah pihak kreditur menyatakan segala haknya atas penuntutan prestasi kepada pihak debitur.28

28 J. Satrio., Op.Cit, hal.41.

52

Jadi dengan adanya pernyataan lalai yang diberikan oleh pihak kreditur kepada pihak debitur, maka menyebabkan pihak debitur dalam keadaan wanprestasi, bila ia tidak mengindahkan pernyataan lalai tersebut. Pernyatan lalai sangat diperlukan karena akibat wanprestasi tersebut adalah sangat besar baik bagi kepentingan pihak kreditur maupun pihak debitur. Dalam perjanjian biasanya telah ditentukan di dalam isi perjanjian itu sendiri, hak dan kewajiban para pihak serta sanksi yang ditetapkan apabila pihak debitur tidak menepati waktu atau pelaksanaan perjanjian.

Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam kategori yaitu : 1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.

2. Melaksanakan apa yang diperjanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan.

3. Melakukan apa yang diperjanjikan akan tetapi terlambat.

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh untuk dilakukan.29

Debitur yang oleh pihak kreditur dituduh lalai, dapat mengajukan pembelaan diri atas tuduhan tersebut. Adapun pembelaan debitur yang dituduh dapat didasarkan atas tiga alasan yaitu :

1. Mengajukan tuntutan adanya keadaan yang memaksa 2. Mengajukan bahwa si kreditur sendiri juga wanprestasi

3. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.30

29 R. Subekti, Aneka Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1992, hal. 45

30 R.Wirjono Prodjodikoro., Op.Cit, Sumur, Bandung, 1995, hal.52.

53

Diantara kedua pihak atas perjanjian tersebut di atas telah menyetujui tanpa dibantah oleh masing-masing pihak. Tetapi karena terjadinya suatu

kerusakan atau ketidak sesuaian terhadap objek perjanjian sewa menyewa, maka timbullah yang dinamakan resiko (kerugian yang diderita). Misalnya penyewa melakukan perombakan gedung yang disewa tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pihak yang menyewakan.

“Resiko berarti kewajiban untuk memenuhi kerugian jika ada suatu kejadian diluar kesalahannya salah satu pihak yang menimpa kepada benda yang dimaksud dalam perjanjian”.31

Selanjutnya resiko menurut R. Wirjono Prodjodikoro yaitu : “dalam hal lain-lain hanya ada satu sanksi yaitu membedakan pada pihak berwajib suatu kewajiban untuk mengganti kerugian yang diderita oleh pihak yang berhak”.32

Jika salah satu pihak tidak dapat melaksanakan kewajiban sebagaimana ditentukan atau ditetapkan dalam perjanjian atau tidak melakukan prestasi sesuai dengan yang diperjanjikan sehingga kepadanya diwajibkan untuk memberikan ganti rugi.

Akan tetapi salah satu pengecualian hukuman terhadap tindakan yang dilakukan untuk memberikan ganti rugi adalah apabila terjadi suatu keadaan memaksa (force majeur). Keadaan memaksa atau force majeur adalah suatu

keadaan di dalam hukum perdata yang dapat menyebabkan bahwa suatu hak atau suatu kewajiban dalam suatu perjanjian tidak dapat dilaksanakan.

Dalam perjanjian sewa menyewa disebutkan bahwa apabila waktu pelaksanaan perjanjian terjadi hal-hal yang di luar dugaan atau di luar perkiraan para pihak yang diklasifikasikan sebagai force majeur, seperti banjir, hujan terus menerus sampai satu hari penuh, huru-hara, gempa bumi dan bencana alam

31 R. Subekti., Op.Cit, hal. 120

32 R. Wirjono Prodjodikoro., Op.Cit, hal. 31.

54

lainnya dan atas kebijaksanaan moneter pemerintah, yang mengakibatkan kerugian salah satu pihak, maka para pihak dapat mengajukan atau meminta pertimbangan kepada pihak lainnya untuk mendapat ganti rugi yang layak atau.

Dengan demikian pembelaan terhadap perbuatan yang dapat

menggugurkan tuntutan ganti rugi ini antara lain adalah karena terjadinya force majeur atau keadaan memaksa. Dengan keadaan memaksa ini maka para pihak

terpaksa tidak dapat melaksanakan prestasi yang diperjanjikannya karena suatu keadaan yang tidak dapat dihindarkannya dan memaksanya untuk itu.

Dalam keadaan memaksa ini para pihak tidak dapat dipersalahkan, karena keadaan ini timbulnya di luar kemampuan pihak salah satu pihak.

Jadi jelaslah bahwa keadaan memaksa (force majeur) itu adalah suatu keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi karena terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya, sebab peristiwa tersebut tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perjanjian.

Unsur-unsur yang terdapat dalam keadaan memaksa (force majeur) dalam perjanjian sewa menyewa adalah :

1. Tidak dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan atau memusnahkan benda yang menjadi objek perikatan.

2. Tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi perbuatan untuk berprestasi.

55

3. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perjanjian baik oleh penjual maupun oleh pembeli, jadi bukan kesalahan pihak-pihak.

56

BAB IV

ASPEK HUKUM PERALIHAN HAK MILIK OBJEK SEWA BELI ATAS