• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

Al Maysita Dalimunthe : Tinjauan Hukum Humaniter Internasional Terhadap Perlindungan Penduduk Sebagai Korban Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Di Aceh, 2010.

TINJAUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL TERHADAP PERLINDUNGAN PENDUDUK SEBAGAI KORBAN

KEJAHATAN KEMANUSIAAN DALAM KONFLIK BERSENJATA DI ACEH

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

AL MAYSITA DALIMUNTHE

NIM : 060 200 309

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

TINJAUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL TERHADAP PERLINDUNGAN PENDUDUK SEBAGAI KORBAN

KEJAHATAN KEMANUSIAAN DALAM KONFLIK BERSENJATA DI ACEH

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

AL MAYSITA DALIMUNTHE

NIM : 060 200 309

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Internasional

NIP.131 616 321

H. SUTIARNOTO, SH.M.Hum Pembimbing I Pembimbing II H. SUTIARNOTO, SH.M.Hum NIP.131 616 321 NIP. 131570464 CHAIRUL BARIAH, SH.MH

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

ABSTRAK

Indonesia sedang mengalami berbagai krisis, mulai dari krisis ekonomi, politik, budaya sampai krisis integrasi di wilayah Indonesia. Krisis integrasi khususnya ditandai dengan banyaknya wilayah Indonesia yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. Kemudian gerakan-gerakan yang sama juga timbul di berbagai wilayah Indonesia yang lain, seperti Aceh yang terkendal dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan sebagainya. Dari kenyataan di atas, maka perlu dipertanyakan bagaimana perlindungan terhadap penduduk sipil yang dapat diberikan oleh hukum internasional, khususnya hukum humaniter, karena berdasarkan kenyataan yang ada korban-korban yang jatuh justru banyak di kalangan penduduk sipil yang sebenarnya tidak terlibat dalam pertikaian senjata antara GAM dan pemerintah. Pembahasan skripsi ini penulis mengangkat permasalahan tentang bagaimana perlindungan terhadap penduduk sipil yang dapat diberikan oleh hukum humaniter internasional terhadap konflik masa damai yang situasinya belum dapat dikategorikan sebagai situasi perang, bagaimana kemungkinan penerapan hukum humaniter internasional untuk kasus Aceh yang juga merupakan konflik masa damai serta apakah ada alternatif hukum lain selain humaniter internasional yang dapat diterapkan untuk penyelesaian kasus Aceh, misalnya penerapan hukum asas manusia.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode telaah pustaka (library research) untuk mentelaah data-data sekunder yang berhubungan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan, maka ditarik kesimpulan bahwa perlindungan terhadap penduduk sipil sebagai korban kejahatan kemanusiaan dalam konflik Aceh belum dapat diterapkan, karena status konflik Aceh yang belum mencapai tahap perang dan belum memenuhi beberapa syarat yang telah ditetapkan di dalam Konvensi Jenewa untuk hal tersebut. Konflik Aceh yang belum dapat ditentukan peraturannya dalam hukum humaniter internasional khususnya perlindungan terhadap penduduk sipil yang menjadi korban kejahatan kemanusiaan, mulai dari pembunuhan, penyiksaan fisik, sampai kepada pemerkosaan, menyebabkan para ahli berfikir untuk mengisi kekosongan hukum tersebut dengan membentuk deklarasi yang disebut dengan “Declaration Humanitarian Minimum Standart” yang dapat digunakan dalam segala situasi. Di mana deklarasi ini juga sejalan dengan “Kalusula Martens” yang menyatakan apabila sesuatu blujm diatur di dalam hukum humaniter internasional, maka harus dilihat dari kebiasaan internasional, hukum kemanusiaan dan pendapat umum. perlindungan terhadap penduduk sipil dalam kasus Aceh pada akhirnya dapat diselesaikan dengan menggunkan hukum HAM yang merupakan bagian dari hukum internasional dalam arti luas (yang meliputi hukum perang dan hukum HAM). Di samping itu juga karena antara hukum humaniter dan hukum HAM terdapat hubungan yang sangat erat dan saling mendukung. Di mana hukum humaniter dilandasi oleh nilai-nilai hak asasi manusia yang menggabungkan unsur hukum dn moral yang pada dasarnya memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Pemberlakuan hukum HAM untuk kasus Aceh mengacu kepada ketentuan “Declaration of Human Right” yang merupakan peraturan dasar HAM, sehingga pelaku kejahatan HAM di Aceh dapat digiring ke pengadilan internasional sesuai dengan Statuta Roma 1998 tentang ICC (International Criminal Court), yang sebelumnya diberikan kesempatan kepada pengadilan nasional untuk mengadili terlebih dahulu.

(4)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang dengan rahmat dan karunia-Nya telah memberikan kesehatan, kekuatan dan ketekunan pada penulis sehingga mampu dan berhasil menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari terdapatnya kekurangan, namun demikian dengan berlapang dada penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang menaruh perhatian terhadap skripsi ini.

Demi terwujudnya penyelesaian dan penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah dengan ikhlas dalam memberikan bantuan untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH.M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum USU Medan

2. Bapak M. Husni, SH, MH, sebagai Pembantu Dekan III FH. USU Medan 3. Bapak H. Sutiarnoto, SH.M.Hum, sebagai Pelaksana Ketua Departemen

Hukum Internasional sekaligus sebagai Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan pembuatan skripsi.

4. Bapak Chairul Bariah, SH, M.H, sebagai Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan pembuatan skripsi

(5)

5. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum USU yang dengan penuh dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

6. Terima kasih yang sebesar-besarnya dari penulis kepada orang tua tercinta Ayahanda H.M Rusman Dalimunthe dan Ibunda Hj. Ade Muthia Hasibuan yang telah memberikan sangat banyak dukungan moril, materil, dan kasih sayang mereka yang tak pernah putus sampai sekarang dan selamanya.

7. Terima kasih yang sebesar-besarnya dari penulis kepada Kakanda Al Dilla Adha Dalimunthe, ST , Kakanda Al Namira Dalimunthe , dan Adinda Radinal Rusman Dalimunthe atas semangat yang telah diberikan sekarang dan selamanya.

8. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Elvan Trianda Sato, my totally lunatic lover for every laugh and uncountable support that u gave to me and i’m lumunu-ing u now and then. xp

9. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada my life time best friends since elementary, Tika Harahap and Nana Fauzi for every foolishness, n happiness and for being “happy three friends” forever!!

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini, hanya Allah SWT yang dapat membalas budi baik semuanya.

Semoga ilmu yang penulis telah peroleh selama ini dapat bermakna dan berkah bagi penulis dalam hal penulis ingin menggapai cita-cita.

Medan, Desember 2009 Penulis

(6)

DAFTAR ISI ABSTRAK ... i KATA PENGANTAR ... ii DAFTAR ISI. ... iv BAB I : PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5

D. Keaslian Penelitian ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

F. Metode Penelitian ... 10

G. Sistematika Penulisan... 10

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER A. Pengertian Tentang Hukum Humaniter ... 12

B. Perlindungan Korban Perang Menurut Konvensi Jenewa .... 13

C. Ketentuan Tentang Perlindungan Terhadap Korban Perang 16 BAB III : ASPEK HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN KORBAN PERANG A. Konvensi JenewaTentang Korban Perang ... 18

B. Perlindungan Tentang Korban Perang ... 27

BAB IV : IMPLEMENTASI HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP HUKUM HUMANITER TENTANG KORBAN PERANG A. Gambaran Umum Mengenai Aceh ... 38

B. Gerakan Separatis Dalam Memperjuangkan Kemerdekaan . 43 C. Dampak Gerakan Separatis Terhadap Hukum Humaniter ... 49

D. Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Korban Gerakan Separatis di Aceh (MOU Helsinki) ... 59

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 101

B. Saran ... 102

(7)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejalan dengan perkembangan hukum dewasa ini, khususnya hukum internasional sebagai salah satu pohon ilmu, timbul suatu cabang baru dalam hukum internasional. Cabang yang dimaksudkan adalah International humanitarian law atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan hukum humaniter internasional atau hukum internasional humaniter.1

Sejalan dengan perkembangan hukum perang tersebut, khususnya setelah perang dunia I yang ternyata membawa kesengsaraan yang luar biasa bagi umat

manusia. Baik itu kombatan perang maupun di kalangan penduduk sipil, orang-orang mulai membenci istilah hukum perang. Perang telah membawa

korban dan kerugian baik itu harta, benda maupun jiwa manusia sehingga membuat manusia membenci perang dan berupaya sekuat-kuatnya untuk menghapuskan perang atau sekurang-kurangnya memperkecil kemungkinan terjadinya perang.

Hukum humaniter internasional ini merupakan hukum yang mengatur tentang peran dan cara serta sarana perang yang pada awalnya disebut juga dengan hukum perang (laws of war, krigsrecht, oorlogsrecht) dan sebagainya. Di mana hukum perang ini merupakan bagian dari hukum internasional dan dewasa ini sebagian besar merupakan hukum yang tertulis. Kunzt berpendapat bahwa hukum perang ini dapat dilihat dari kebiasaan-kebiasaan internasional.

2

1

GPH. Haryomataram, Hukum Humaniter, Penerbit CV. Rajawali, Jakarta, 1994, hal.1-2 2

(8)

Suasana anti perang ini membawa dampak pada berbagai bidang, salah satu diantaranya adalah hukum perang. Karena orang tidak lagi menginginkan adanya perang, maka dengan sendirinya istilah hukum perang juga tidak disukai lagi. Namun walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa pertikaitan bersenjata masih ada walaupun para pihak yang terlibat tidak mau mengatakan bahwa pertikaian senjata itu adalah perang. Sehingga mulailah dipakai suatu istilahbaru untuk hukum perang ini, yaitu law of armed conflict atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai hukum ‘pertikaian bersenjata’. J. Pictet menyatakan bahwa “the term armed conflict tends to replace, at kast in all relevant legal formulation, the older nation of war.3

1. Konvensi Jenewa 1949

Sehingga akhirnya istilah

laws of war atau hukum perang berubah menjadi laws of armed conflict atau hukum pertikaian bersenjata. Hingga kemudian setelah mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan masyarakat yang menurut perkembangan hukum, maka kemudian istilah pertikaian senjata mengalami perubahan dan perkembangan lagi menjadi istilah hukum Humaniter Internasional (Internasional Humanitarian Law).

Kemudian istilah law of armed conflict tersebut secara formal dipakai dalam konvensi, resolusi, protokol internasional, yaitu :

2. Konmvensi Den Haag 1954

3. Protokol Tambahan I dan II Tahun 1977 4. Resolusi Majelis Umum PBB No. 2676/1970

3

J. Pictet, The Principle of International Humanitarian Law, dalam Haryomataram, Ibid, hal.7.

(9)

Sesudah Perang II dunia, setelah melihat kekejaman perang dan hasil teknologi atom di Hirosima dan Nagasaki, segi-segi kemanusia yang selama ini ditinggalkan, dibicarakan kembali dan mempunyai pengaruh yang cukup besar. Aspek ini ikut memberi peluang timbulnya hukum humaniter internasional.

Hukum humaniter internasional merupakan bagian hukum internasional umum yang inti dan maksudnya diarahkan kepada perlindungan individu, khususnya dalam sistuasi tertentu (perang), serta akibat perang (perlindungan terhadap korban perang). Dengan kata lain hukum humaniter internasional mempunyai fokus sentral bagaimana memperlakukan manusia secara manusiawi.

Upaya Indonesia untuk menciptakan pertahanan dan keamanan negara yang pada akhirnya dapat memberikan pertahanan dan keamanan negara pada hakekatnya adalah untuk dapat memberikan perlindungan kepada rakyat Indonesia khususnya dalam keadaan perang/konflik. Penandatanganan Protokol Tambahan I dan II Konvensi Jenewa 1949 ternyata bukan jaminan mutlak untuk dapat menciptakan suasana negara yang aman dan tenteram yang dapat memberikan perlindungan kepada rakyat Indonesia. Apalagi saat ini Indonesia sedang mengalami berbagai krisis, mulai dari krisis ekonomi, politik, budaya sampai krisis integrasi di wilayah Indonesia. Krisis integrasi khususnya ditandai dengan banyaknya wilayah Indonesia yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. Kemudian gerakan-gerakan yang sama juga timbul di berbagai wilayah Indonesia yang lain, seperti Aceh yang terkendal dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan sebagainya. Dimana semua gerakan-gerakan tersebut cenderung jatuhnya korban yang tidak sedikit, khususnya di Propinsi Nangroe Aceh Darusalam.

(10)

Dari kenyataan di atas, maka perlu dipertanyakan bagaimana perlindungan terhadap penduduk sipil yang dapat diberikan oleh hukum internasional, khususnya hukum humaniter, karena berdasarkan kenyataan yang ada korban-korban yang jatuh justru banyak di kalangan penduduk sipil yang sebenarnya tidak terlibat dalam pertikaian senjata antara GAM dan pemerintah. Selain itu korban-korban yang jatuh cenderung akibat pemberlakuan yang tidak manusiawi yang pada akhirnya dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan/melanggar hak-hak asasi manusia.

B. Perumusan Permasalahan

Berdasarkan uraaian diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan pokok yang akan penulis bahas dalam skripsi ini, yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimana perlindungan terhadap penduduk sipil yang dapat diberikan oleh hukum humaniter internasional terhadap konflik masa damai yang situasinya belum dapat dikategorikan sebagai situasi perang ?

2. Bagaimana kemungkinan penerapan hukum humaniter internasional untuk kasus Aceh yang juga merupakan konflik masa damai ?

3. Apakah ada alternatif hukum lain selain humaniter internasional yang dapat diterapkan untuk penyelesaian kasus Aceh, misalnya penerapan hukum asas manusia ?

(11)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan penulis di dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui perlindungan terhadap penduduk sipil yang dapat diberikan oleh hukum humaniter internasional terhadap konflik masa damai yang situasinya belum dapat dikategorikan sebagai situasi perang

b. Untuk mengetahui kemungkinan penerapan hukum humaniter internasional untuk kasus Aceh yang juga merupakan konflik masa damai

c. Untuk mengetahui alternatif hukum lain selain humaniter internasional yang dapat diterapkan untuk penyelesaian kasus Aceh, misalnya penerapan hukum asas manusia.

2. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi kegunaan baik secara teoritis maupun secara praktis.

a. Secara teoritis penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan untuk pengembangan wawasan dan kajian lebih lanjut bagi teoritis yang ingin mengetahui dan memperdalam tentang perlindungan terhadap penduduk sipil yang dapat diberikan oleh hukum humaniter internasional.

b. Secara Praktis :

1) Untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat khususnya memberikan informasi ilmiah mengenai perlindungan

(12)

terhadap penduduk sipil yang dapat diberikan oleh hukum humaniter internasional.

2) Diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi para pihak dalam menyelesaikan masalah perlindungan terhadap penduduk sipil yang dapat diberikan oleh hukum humaniter internasional.

D. Keaslian Penelitian

Skripsi ini berjudul “Tinjauan Hukum Humaniter Internasional Terhadap Perlindungan Penduduk Sebagai Korban Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Di Aceh”.

Di dalam penulisan skripsi ini dimulai dengan mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan ketentuan hukum internasional terhadap perlindungan korban perang di Aceh, baik melalui literatur yang diperoleh dari perpustakaan maupun media cetak maupun elektronik dan disamping itu juga diadakan penelitian. Dan sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini penulis melakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Bila dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini saya buat, maka hal itu menjadi tanggung jawab saya sendiri.

(13)

E. Tinjauan Kepustakaan

Istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut “international humanitarian law applicable in armed coplict” berasal dari istilah hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum persengketaan bersenjata (laws of armed conflict), yang akhirnya pada saat sekarang ini biasa dikenal dengan istilah hukum humaniter internasional.4

1. Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang (Hukum Den Haag/The Hague Law).

Haryomataram membagi hukum humaniter internasional ini menjadi dua aturan pokok, yaitu :

2. Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa/The Genewa Laws)5

Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang menjadi dua bagian :

1. Jus ad bellum, yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata.

2. Jus ini bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu :

a. Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war). Bagian ini biasanya disebut “The Hague Laws”.

b. Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang ini lazimnya disebut “The Geneva Laws”6

4

Ibid. Hal. 5. 5

(14)

Berdasarkan uraian di atas, maka hukum humaniter internasional terdiri dari dua aturan pokok, yaitu Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa.

Seperti yang telah kita ketahui, semula istilah yang digunakan adalah hukum perang, tetapi karena istilah perang tidak disukai, yang terutama disebabkan trauma perang dunia II yang menelan banyak korban7

1. Pembentukan LBB (Liga Bangsa-Bangsa). Karena para anggota organisasi ini sepakat untuk menjamin perdamaian dan keamanan, maka para anggota menerima kewajiban untuk memilih jalan perang, apabila mereka terlibat dalam suatu perumusan.

, maka dilakukan upaya-upaya untuk menghindarkan dan bahkan meniadakan perang. Upaya-upaya tersebut adalah melalui:

2. Pembentukan Kellog-Briand Pact atau disebut juga dengan Paris Pact tahun 1928. Anggota-anggota perjanjian ini menolak atau tidak meyakini perang sebagai alat politik nasional, dan mereka sepakat akan mengubah hubungan mereka hanya dengan jalan damai. 8

Sikap untuk menghindari perang ini berpengaruh dalam perubahan penggunaan istilah, sehingga istilah hukum perang berubah menjadi hukum sengketa

6

Mochtar Kusumaatmadja. Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, Penerbit Bina Cipta, Bandung, 1968, Hal. 12.

7

Dalam perang dunia II lebih dari 60 juta orang yang terbunuh. Dalam abad ke-18 jumlah korban mencapai 5,5 juta jiwa abad ke- 19 mencapai 16 juta jiwa. Perang dunia 38 juta jiwa dan pada konflik-konflik yang terjadi sejak tahun 1949-1995 jumlah korban telah mencapai angka 24 juta jiwa. Seperti yang dikutip oleh ICRC. Opcit, Hal.6.

8

Haryomataram. Opcit, Hal. 6-7.

Mukaddimah Covenant LBB. Pasal 12. Di dalam Covenant LBB tersebut dinyatakan bahwa apabila timbul perselisihan, maka negara anggota LBB sepakat untuk menyelesaikan dengan jalan arbitrase judical settlement, dan mereka tidak akan memulai perang sebelum lewat waktu tiga bulan sesudah keputusan arbiter. Atau keputusan hukum diterima.

(15)

bersenjata (laws of armed conflict). Mengenai hal ini, Edward Kossoy menyatakan : 9

Istilah hukum sengketa bersenjata (law of armed conflict) sebagai pengganti hukum perang (laws of war) banyak dipakai dalam Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 dan kedua Protokol Tambahannya

“ The term of armed conflict tends to replace at least in all relevant legal formulation, the older notion of war. On purely legal consideration the replacement for war by armed conflict, seems more justified and logical”.

10

Kemudian hukum humaniter internasional ini mengalami perkembangan yang lain lagi dalam istilah, yaitu misalnya dikenal dengan istilah hukum hak-hak asasi manusia yang biasa digunakan oleh kalangan LSM, hukum perikemanusiaan Dalam perkembangan selanjutnya, yaitu pada permulaan abad ke-20 diusahakan untuk mengatur cara berperang, yaitu konsepsi-konsepsinya banyak dipengaruhi oleh asas kemanusiaan (humanity principle).

Dengan adanya perkembangan baru ini, maka istilah hukum sengketa bersenjata mengalami perubahan lagi, yaitu diganti dengan istilahhukum humaniter internasional yang berlaku dalam sengketa bersenjata (international humanitarian law applicable in armed conflict) atau biasa disebut dengan “Hukum Humaniter internasional” atau “Internasional Humanitarian Law”. Walaupun istilah yang digunakan berbeda-beda, yaitu hukum perang, hukum sengketa bersenjata dan hukum humaniter dan sebagainya, namun pada dasarnya, istilah-istilah tersebut memiliki arti yang sama.

9

Edward Kossoy. Living with Guerilla. 1976. Hal. 34. seperti yang dikutip oleh Haryomataram, Op.Cit, Hal.10.

10

(16)

internasional yang biasa digunakan oleh Gerakan Palang Merah dan bulan sabit, istilah hukum sengketa bersenjata yang digunakan di kalangan ABRI dan sebagainya.

F. Metode Penelitian

Di dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penulisan dengan cara penelitian kepustakaan, yaitu penulis mengambil bahan-bahan refrensi dari perpustakaan sebagai sumber penelitian. Bahan-bahan rujukan tersebut diperoleh dari buku-buku, artikel-artikel dengan cara membaca, menafsirkan, membandingkan serta menterjemahkan dari berbagai sumber yang berhubungan dengan ketentuan hukum internasional terhadap perlindungan korban perang.

G. Sistematika Penulisan

Penguraian skripsi ini dibagi atas 5 (lima) bab, yang dari masing-masing bab dibagi lagi atas beberapa sub bab, sesuai dengan kebutuhan, yang digambarkan sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan. Bab ini merupakan bab pembuka yang membicarakan tentang : latar belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penelitian, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.

Bab II : TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER. Bab ini terdiri dari : Pengertian Tentang Hukum Humaniter, Perlindungan Korban Perang, Ketentuan Tentang Perlindungan Terhadap Korban Perang

(17)

BAB III : ASPEK HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN KORBAN PERANG. Bab ini terdiri dari : Konvensi Internasional Tentang Korban Perang, Perlindungan Tentang Korban Perang

BAB IV : IMPLEMENTASI HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP HUKUM HUMANITER TENTANG KORBAN PERANG. Bab ini terdiri dari : Gambaan Umum Tentang Aceh, Gerakan Separatis Dalam Memperjuangkan Kemerdekaan, Dampak Gerakan Separatis Terhadap Hukum Humaniter, Perlindungan Korban Gerakan Separatis Di Aceh, Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Korban Gerakan Separatis di Aceh

Bab V : Penutup. Bab ini merupakan bab penutup dari seluruh rangkaian bab-bab sebelumnya. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan dan saran-saran yang berkaitan dengan fokus pembahasan skripsi ini.

(18)

Al Maysita Dalimunthe : Tinjauan Hukum Humaniter Internasional Terhadap Perlindungan Penduduk Sebagai Korban Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Di Aceh, 2010.

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER

A. Pengertian Tentang Hukum Humaniter

Hukum humaniter internasional merupakan bagian hukum internasional umum yang inti dan maksudnya diarahkan kepada perlindungan individu, khususnya dalam situasi tertentu (perang)/pertikaian bersenjata serta akibatnya (perlindungan terhadap korban perang/pertikaian senjata). Dengan kata lain hukum humaniter internasional mempunyai fokus sentral tentang bagaimana memperlakukan manusia secara manusiawi. Sehubungan dengan arah hukum humaniter internasional dalam arti sempit dapat didefenisikan sebagai keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan hukum yang mengatur tentang perlindungan korban sengketa bersenjata, sebagaimana yang diatur di dalam Konvensi Jenewa 1949 serta ketentuan internasional lain yang berhubungan dengan itu. Sedangkan hukum humaniter internasional dalam arti luas adalah keseluruhan asas atau kaidah dan ketentuan-ketentuan internasional baik tertulis atau tidak yang mencakup hukum perang dan hak-hak asasi manusia yang bertujuan menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat pribadi seseorang. Atas dasar pengertian tersebut, kiranya setiap individu tanpa memandang kedudukan, fungsi dan wewenang dalam situasi tertentu (konflik) diperlakukan sama di muka hukum. Jaminan perlakuan dan perlindungan yang sama untuk semua individu/warga negara yang sedang bersengketa (baik militer maupun sipil) merupakan landasan

(19)

utama pemikiran para ahli hukum internasional untuk menciptakan hukum humaniter internasional sebagai bagian dari hukum internasional.

Sebagai perbandingan kelengkapan pengertian kita, kiranya perlu diketahui konsepsi dan defenisi perang itu sendiri.

Perang adalah : “Suatu keadaan legal yang memungkinkan dua atau lebih dari dua gerombolan manusia yang sederajat menurut hukum internasional untuk menjalan persengketaan bersenjata”.

Sedangkan Oppenheim berpendapat : “……war is a contention between two or more states throught their armed forces, for the purpose of overpowering each other and imposing such condition of peace as the victor pleases”11

B. Perlindungan Korban Perang Menurut Konvensi Jenewa

Perang, sebagaimana diuraiakan di atas, termasuk bagian hukum humaniter internasional dalam arti luas. Dalam hal ini jaminan individu dan kepentingannya tetap dijamin, sepanjang tidak bertentangan dengan pihak militer pada saat perang. Karena penindasan yang berlebihan dan tidak manusiawi dilarang di dalam hukum perang, para pihak yang berperang tidak dibenarkan untuk mengadakan penghancuran total kepada pihak lain, kecuali objek perang. Selanjutnya yang dihancurkan adalah kekuatan militer pihak lawan. Pengaruh masuknya pemikiran tentang hak-hak asasi manusia tersebut, Starke menyatakan : “the impoetant of human rights rules and standart internasional the law of armed conflict”.

11

H.A. Mansyur Arifin, Hukum Humaniter Internasional. Usaha Nasional, Surabaya, 1994, hal 48.

(20)

J. Pictet, lebih lanjut menjelaskan arti hukum humaniter internasional :

“internasional humanitarian law in widw sense, is costituted by all the internasional legal provisions, whether writters or customary ensuring respect for individual and his well being”12

Kemudian Mochtar Kusumaadmadja mengemukakan bahwa hukum humaniter adalah : “bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri”13

12

J. Pictet “The Principles of International Humanitarian Law”, dalam Haryomataram. Opcit, hal.15.

13

Mochtar Kusumaadmadja. “Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaannya dan Penerapannya di Indonesia. 1980, hal.5.

Kalau diperhatikan kembali defenisi/pengertian dari hukum humaniter internasional tersebut, kemudian dihubungkan dengan pembagian/cabang hukum humaniter internasional, maka dapat ditarik suatu pengertian umum, bahwa hukum humaniter internasional (dalam arti luas) terdiri dari dua cabang, yaitu hukum perang dan hak-hak asasi manusia yang mempunyai makna dan arah tidak hanya pengakuan akan adanya hak asasi manusia, tetapi juga dihormati dan dilaksanakannya hak-hak asasi manusia pada waktu manusia “dikuasai” emosi, terutama dalam saat-saat yang sangat kritis dengan memperhatikan cara-cara berperang (conduct of war) sebagaimana diatur dalam Konvensi Den Haag, sehingga diharapkan penderitaan akibat perang menjadi seminimal mungkin untuk itu dibutuhkan akan adanya kesadaran internasional yang tinggi.

(21)

Dari defenisi dan ulasan J. Pictet tersebut, tampak bahwa J. Pictet berpendapat bahwa hukum humaniter internasional mencakup juga hak-hak asasi manusia.

Pandangan sempit, dalam arti memberi defenisi dan arti hukum humaniter internasional dalam arti sempit adalah Gezaherzegh, yang membagi hukum humaniter pada hukum Jenewa saja. Alasan yang dikemukakan adalah sebagaimana yang dikutip oleh Haryomataram sebagai berikut :

1. Bahwa yang benar-benar dapat dikatakan mempunyai sifat internasional dan humaniter hanyalah apa yang disebut dengan Hukum Jenewa saja. Apabila hukum

The Hague dimasukkan, maka hal ini hanya akan mengurangi sifat humaniter yang begitu diutamakan.

2. Human Rights tidak dimasukkan karena di dalam negara sosialis, human rights ini ditegakkan (enforced) oleh negara dengan jalan menggunakan hukum nasional.

Kemudian Mochtar Kusumaadmadja berpendapat bahwa hukum humaniter internasional merupakan bagian dari hukum perang, khusus perlindungan korban perang. Sedangkan hukum perang sendiri mengatur cara berperang (conduct of war)14

Pada hakekatnya hukum perang dalam arti luas (sejak awal sampai akhir suatu peperangan), termasuk korban perang, idealnya dilakukan dengan cara-cara sesuai dengan ketentuan yang ada, sehingga segi-segi kemanusiaan tetap diperhatikan. Kalau demikian halnya, hukum humaniter internasional dalam arti luas tepat untuk

.

14

(22)

dikembangkan dan diperhatikan terus dalam setiap pertikaian/konflik yang timbul antar dua negara.

Starke termasuk aliran tengah, menurut istilah Haryomataram, terbukti dengan tulisannya yang mengatakan :”…..as will appear post, the appelation “laws of war” has been raplaaced by that of internasional humanitarian law….”15

Sedangkan Haryomataram berpendapat dan menyimpulkan “…..hukum humaniter mencakup baik Hukum Den Haag maupun Hukum Genewa, dengan dua Protokol Tambahannya….”

Kesan yang didapatkan, seperti Milan Bartos, dengan hukum humaniter internasional, berperang lebih dapat dikendalikan.

16

C. Ketentuan Tentang Perlindungan Terhadap Korban Perang

Untuk mengetahui ketentuan tentang perlindungan terhadap korban perang, terlebih dahulu harus mengetahui sumber-sumber hukum internasional yang terdapat di dalam pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional yang terdiri dari :

1. Perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersangkutan.

2. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum.

3. Prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab.

15

J.G. Starke. Introduction to InternasionalLaw. 1997, hal. 585. 16

(23)

4. Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan bagi menetapkan kaidah hukum.

Dengan demikian, perjanjian internasional diakui secara tegas (expressly recognized), kebiasaan diterima sebagai hukum (acceped as law), sedangkan prinsip hukum yang diakui oleh bangsa beradab (civilized nation), dalam arti love peace nation.

Dengan demikian hukum humaniter internasional, selain terikat oleh sumber-sumber hukum internasional, juga terikat oleh hukum formal yang menyangkut aturan-aturan kemanusiaan pada umumnya. Misalnya yang termuat dalam Konvensi Jenewa 1949, diciptakan untuk “respect for human personality and equity”, beserta aturan-aturan hukum humaniter internasional yang lainnya yang didalam operasionalnya terbagi dalam dua aspek, yaitu satu pihak terkait oleh hukum perang, sedangkan dipihak lain terikat oleh hak-hak asasi manusia, sehingga sasaran utama hukum humaniter internasional adalah sejauh mana manusia tetap dapat dilindungi dalam situasi krisis/perang dan dalam keadaan tertentu. Menurut J. Pictet, “hukum humaniter internasional adalah aturan hukum yang menghormati individu dengan segala hak dan kewajibannya”. Sehingga cabang hukum ini sangat mendambakan adanya penghormatan dan bantuan yang wajar terhadap hak dan kewajiban manusia, khususnya pada saat terjadinya konflik antar negara, karena itu, hukum humaniter internasional ini mempunyai sifat internasional pula.

(24)

BAB III

ASPEK HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN KORBAN PERANG

A. Konvensi Jenewa Tentang Korban Perang

Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwa hukum humaniter internasional terdiri dari hukum Den Haag dan hukum Jenewa yang mengatur tentang cara dan alat berperang (hukum Dan Haag) dan mengatur perlindungan terhadap korban perang (hukum Jenewa).

Berikut ini akan dilihat sumber-sumber hukum humaniter tersebut sebagai berikut :

1. Konvensi Den Haag b. Konvensi Den Haag 1899

Konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I di Den Haag (tanggal 18 Mei-29 Juli 1899).

Konferensi ini merupakan prakarsa Tsar Nicolas II dari Rusia yang berusaha mengulangi usaha pendahulunya yaitu Tsar Alexander I yang menemui kegagalan dalam mewujudkan suatu konferensi internasional di Brussel pada tahun 1874. Ide fundamental untuk menghidupkan lagi konferensi internasional yang telah gagal itu adalah rencana Konsepsi Persekutuan Suci (Holy Alliance tanggal 26 September 1815 antara Austria, Prussia dan Rusia). Seperti diketahui Quadruple Alliance yang ditandatangani oleh Austria, Prussia dan Inggris tanggal 20 November 1815 merupakan kelanjutan dari Kongres Wina (September 1814-Juni 1815) untuk mengulangi kembali keadaan di Eropa setelah Napoleon Bonaparte dikalahkan di Waterloo. Pada tanggal 18 Juni 1915.

(25)

Untuk melaksanakan kehendak Tsar Nicolas II itu maka pada tahun 1898 menteri luar negeri Rusia Count Mouravieff mengedarkan surat keoada semua kepala perwakilan negara-negara yang dikreditir di St. Peterburg berupa ajakan Tsar untuk berusaha mempertahankan perdamaian dunia dan mengurangi persenjataan.

Konferensi yang dimulai pada tanggal 20 Mei 1899 itu berlangsung selama dua bulan menghasilkan tiga konvensi dan tiga deklarasi pada tanggal 24 Juli 1899.

Adapun tiga konvensi yang dihasilkan adalah :

a. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional. b. Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat.

c. Konvensi III tentang Adaptasi Asas-Asas Konvensi Jenewa tanggal 23 Agustus 1864 tentang Hukum Perang di laut.

Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut :

a. Melarang penggunaan peluru-peluru dum-dum (peluru-peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia).

b. Peluncuran proyektil-proyektil dan bahan-bahan peledak dari balon, selama jangka waktu lima tahun yang berakhir di tahun 1905.

c. Penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas-gas lebih dan beracun juga dilarang.

(26)

b. Konvensi Den Haag 1907

Konvensi ini adalah merupakan hasil Konferensi Perdamaian II sebagai kelanjutan dari Konferensi perdamaian I tahun 1899 di Den Haag.

Konvensi-Konvensi yang dihasilkan oleh Konferensi Perdamaian II di Den Haag menghasilkan sejumlah konvensi, yaitu :

1. Konvensi I tentang penyelesaian damai persengketaan internasional.

2. Konvensi II tentang pembatasan kekerasan senjata dalam menuntut penyebaran hutang yang berasal dari perjanjian perdata.

3. Konvensi III tentang cara memulai peperangan.

4. Konvensi IV tentang hukum dan kebiasaan perang di darat dilengkapi dengan peraturan Den Haag.

5. Konvensi V tentang hak dan kewajiban negara dan warga negara netral dalam perang di darat.

6. Konvensi VI tentang status kapal dagang musuh pada saat permulaan peperangan.

7. Konvensi VII tentang status kapal dagang menjadi kapal perang. 8. Konvensi VIII tentang penempatan ranjau otomatis di dalam laut. 9. Konvensi IX tentang pemboman oleh nagkatan laut di waktu perang.

10.Konvensi X tentang adaptasi asas-asas Konvensi Jenewa tentang perang di laut.

11.Konvensi XI tentang pembatasan tertentu terhadap penggunaan hak penagkapan dalam perang angkutan laut.

12.Konvensi XII tentang mahkamah barang-barang sitaan.

13.Konvensi XIII tentang hak dan kewajiban negara dalam perang di laut17

17

(27)

Dalam hubungan dengan ratifikasi Indonesia atas Konvensi-Konvensi Den Haag pada tahun 1907 itu, maka F. Sugeng Istanto menjelaskan bahwa pada waktu berlangsungnya konferensi itu, Indonesia masih bernama Hindia Belanda yang merupakan jajahan Kerajaan Belanda sehingga ratifikasi yang ditetapkan oleh kerajaan Belanda dengan Undang-Undang (Wet) tanggal 1 Juli 1909 dan Keputusan Raja tanggal 22 Februari 1919 berlaku pula bagi Hindia Belanda.

Ketika terjadi pengakuan kedaulatan oleh Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949, maka hak dan kewajiban Hindia Belanda beralih kepada Republik Indonesia Serikat melalui persetujuan peralihan yang merupakan lampiran induk perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.

Ketika susunan negara mengalami dari Republik indonesia Serikat menjadi Republik Indonesia kesatuan, maka ketentuan perlihan UUDS 1950 telah menjadi jembatan penghubung tetap sahnya ratifikasi itu, demikian juga ketika UUD 1945 berlaku kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Pasal II Aturan Peralihan telah menampung hal-hal yang belum diatur dalam UUD 1945 termasuk ratifikasi terhadap Konvensi Den Haag 1907 tersebut.18

2. Konvensi Jenewa 1949.

Bahwa hukum Jenewa merupakan dua aturan pokok dalam hukum humaniter internasional sebagaimana yang dikemukakan oleh J. Pictet, bahwa : “humanitarian law has two branches, one bearing the name of Genewa and the other neme of the Hague”.

18

(28)

Hukum Jenewa, yang mengatur mengenai perlindungan korban perang, terdiri dari beberapa perjanjian pokok, perjanjian tersebut adalah keempat Konvensi Jenewa1949, yang masing-masing adalah :

a. Konvensi mengenai perbaikan anggota Angkatan Perang di laut yang luka dan sakit di medan pertempuran darat.

b. Konvensi mengenai perbaikan keadaan anggota Angkatan Perang di laut yang luka, sakit dan korban karam.

c. Konvensi mengenai perlakuan tawanan perang.

d. Konvensi mengenai perlindungan orang-prang sipil di waktu perang.

Keempat Konvensi Jenewa tahun 1949 tersebut dalam tahun 1977 ditambahkan lagi dengan Protokol Tambahan 1977, yakni disebut dengan :

1. Protocol additional to the Geneva Convention of 12 August 1949, and relating to the protections of victims of international armed conflict (Protokol I). 2. Protocol additional to the Geneva conventions of 12 august 1949, and relating

to the protection of victims of non internasional armed conflict (Protokol II) Protocol I maupun II tersebut di atas adalah merupakan tambahan dari konvensi-konvensi Jenewa 1949. penambahan itu dimaksudkan sebagai penyesuaian terhadap perkembangan pengertian pertikaian bersenjata, pentingnya perlindungan yang lebih lengkap bagi mereka yang luka, sakit dan korban dalam suatu peperangan, serta antisipasi terhadap perkembangan mengenai alat dan cara berperang. Protocol I tahun 1977 mengatur tentang perlindungan korban pertikaian bersenjata internasional, sedangkan Protokol II mengatur tentang korban pertikaian bersenjata non-internasional.

(29)

Baik Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 maupun Protokol Tambahannya tahun 1977 merupakan sumber-sumber hukum humaniter internasional. Dalam Konvensi Jenewa beberapa pasal diantaranya dipandang sangat penting dan mendasar sehingga perlu dicantumkan di setiap konvensi, baik diletakkan pada nomor pasal yang sama, atau hampir sama. Pasal-pasal tersebut lazim disebut “ketentuan-ketentuan yang bersamaan” atau “common articles”. Common article ini meliputi beberapa hal penting seperti ketentuan umum (Pasal 1,2,3,6-11), ketentuan hukum terhadap pelanggaran dan penyalahgunaan (pasal 49,50,51 dan 52) dan ketentuan mengenai pelaksanaan dan ketentuan penutup (pasal 55-64).

Selanjutnya Konvensi Jenewa 1949, memuat ketentuan dasar dan umum, dalam istilah konvensi, disebut “Ketentuan-Ketentuan yang bersamaan”, yang berisi:

1. Ketentuan Umum.

Ketentuan umum dimuat dalam konvensi I, antara lain dalam pasal 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10 dan 11. Beberapa pasal yang penting sebagai berikut Pasal 1 : “pihak peserta yang berjanji untuk menghormati dan menjamin penghormatan dalam segala keadaan”.

Berarti para pihak benar-benar harus bertindak obyektif, tidak cukup menghormati, tetapi harus melaksanakan, dalam situasi apapun, semua ketentuan dalam konvensi. Mochtar Kusumaadmadja mengatakan : berlakunya konvensi tidak boleh dipengaruhi oleh sifat pertikaian bersenjata19

19

(30)

Menurut Draper, kewajiban tersebut bersifat unilateral, tidak bersifat timbal balik (reciprocity) dan lebih bersifat legialatif dan kontraktual.20

1. Orang-orang yang tidak mengambil bagian aktif dalam pertikaian itu, termasuk anggota angkatan bersenjata yang tidak meletakkan senjata-senjata mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penahanan atau sebab lain apapun dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan kemanusiaan tanpa memandang perbedaan ras, kulis, agama, kepercayaan, jenis kelamin, keturunan atau kekayaan atau setiap kriteria lainnya yang serupa itu. Untuk maksud ini, tindakan-tindakan berikut

Pasal 2 antara lain berbunyi : “…..konvensi ini juga berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap pertikaian bersenjata lainnya yang mungkin timbul antara dua atau lebih penandatanganan, sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu diantara mereka”.

Konvensi ini juga berlaku untuk semua peristiwa pendudukan sebagian atau seluruhnya dari wilayah peserta agung, sekalipun pendudukan tersebut tidak menemui perlawanan. Meskipun salah satu dari negara bukan peserta konvensi. Negara yang menjadi peserta konvensi ini akan tetap sama terikat olehnya di dalam hubungan dengan negara bukan peserta, apabila negara yang disebut kemudian ini menerima dan melaksanakan ketentuan-ketentuan konvensi ini.

Pasal 3 berbunyi antara lain : “dalam hal pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung dalam salah satu pihak peserta agung penandatanganan, tiap pihak dalam pertikaian itu tidak akan diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

20

(31)

ditentang dan tetap dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas pada waktu dan tempat apapun juga.

a. Tindakan kekerasan jiwa dan raga. b. Penyanderaan.

c. Perkosaan atas kehormatan pribadi, menghina dan merendahkan martabat. d. Menghukum atau menghukum mati tanpa keputusan pengadilan.

2. Yang luka dan yang sakit harus dikumpulkan dan dirawat.

Pasal 3 disinggung tentang pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional. Hal ini walau sulit ditentukan karena kepentingan masing-masing negara berbeda, ada beberapa kriteria yang penting untuk diketahui walaupun tidak mengikat, yaitu :

a. Pihak yang memberontak memiliki kekuatan militer yang terorganisasi, pimpinan yang bertanggung jawab dalam wilayah tertentu.

b. Pemerintah mengakui pemberontak sebagai belligeren.

c. Pertikaian tersebut masuk dalam agenda dewan keamanan PBB.

d. Penguasa sipil pemberontak menjalankan kekuasaan de fakto atas wilayah tertentu.

e. Menaati hukum perang.21

2. Ketentuan tentang pelanggaran dan penyalahgunaan.

Ketentuan tersebut antara lain terdapat dalam pasal 49 sampai Pasal 52. Intinya, setiap peserta agung harus menetapkan dalam undang-undang nasional yang memuat ketentuan-ketentuan tentang pelanggaran atas konvensi ini, sehingga peserta agung kalau terbukti melakukan pelanggaran dan harus dituduh melanggar konvensi ini dan menyerahkan kepada pihak (negara lain). Walaupun demikian orang dituduh tersebut harus mendapat jaminan peradilan/pembelaan

21

(32)

yang wajar. Sedang Pasal 50 mencantumkan beberapa ketentuan yang termasuk pelanggaran berat, antara lain pembunuhan disengaja, penganiayaan (termasuk percobaan biologik), tindakan yang mengakibatkan penderitaan/luka berat, penjarahan semena-mena. Ketentuan-ketentuan tersebut ditujukan kepada pelaku tindak pidana perseorangan.

3. Ketentuan pelaksanaan dan penutup.

Ketentuan tersebut mulai dari Pasal 55 sampai dengan Pasal 64. Berlakunya konvensi, sebagaimana kebiasaan yang ada, ditentukan enam bulan sesudah saat penyimpanan dokumen ratifikasi pada pemerintah Swiss. Bagi negara yang menyatakan turut serta (accession), berlaku 6 bulan sesudah penerimaan.

Ketentuan lain yang penting, sebagaiamana dimuat, menetapkan bahwa ketentuan konvensi mengikat untuk waktu yang tidak tertentu, sedangkan penyataan tidak terikat lagi sebagaimana termuat di dalam Pasal 63, dimungkinkan. Namun kewajiban untuk memenuhi kewajiban berdasarkan asas-asas hukum internasional dan kemanusiaan serta panggilan hati nurani (dictates of public conscience) tetap berlaku.

B. Perlindungan Tentang Korban Perang

Hak asasi manusia yang sebagian sudah tercakup di dalam peraturan-peraturan formal, dimuat dalam Konvensi Den Haag dan Konvensi Jenewa 1949yang betujuan untuk memperlakukan manusia lain dengan memperhatikan unsur-unsur/segi-segi kemanusiaan khususnya dalam keadaan perang. Oleh karena itu, pada hakekatnya hukum humaniter internasional dan hukum hak asasi manusia memiliki tujuan yang sama, yaitu membantu yaitu membantu menjamin

(33)

memberi perlindungan terhadap manusia, meskipun hukum HAM memberikan perlindungan terhadap manusia pada masa damai sedangkan hukum humaniter internasional memberikan perlindungan kepada manusia pada masa perang saja.

Hukum humaniter internasional diterapkan apabila terjadi sengketa bersenjata internasional maupun non-internasional ataau perang saudara (civil war). Hukum humaniter internasional terdiri dari peraturan-peraturan tentang alat dan cara berperang (hukum Den Haag) dan tentang perlindungan korban perang (Hukum Jenewa). Sedangkan ketentuan-ketentuan HAM dimaksudkan untuk menjamin hak dan kebebasan baik sosial, politik, ekonomi maupun budaya bagi setiap orang. Dalam hukum HAM ini setiap orang harus dilindungi dari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dari pemerintah. Hukum HAM tersebut terdapat baik dalam berbagai peraturan nasional maupun internasional.

Hukum humaniter internasional berlaku pada waktu sengketa bersenjata, sedangkan hukum HAM berlaku pada waktu damai. Namun inti sari HAM atau “hard core rights” tetap berlaku sekalipun pada waktu sengketa bersenjata dan keduanya saling melengkapi. Juga ada keterpaduan dan keserasian kaidah-kaidah yang berasal dari instrumen hukum humaniter internasional. Keduanya tidak hanya mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyat tetapi juga mengatur hubungan diantara mereka secara timbal balik.

Dengan demikian, maka kedua bidang ini merupakan instrumen-instrumen hukum yang memberikan perlindungan kepada orang-perorangan. Adapun instrumen

(34)

hukum yang memberikan perlindungan terhadap orang-perorangan ini dibedakan atas empat kelompok22

1. Instrumen hukum yang bertujuan melindungi orang-perorangan sebagai anggota masyarakat. Perlindungan ini meliputi segala segi perilaku perorangan dan sosialnya. Perlindungan ini bersifat umum, sehingga kategori ini justru mencakup hukum HAM internasional

, yaitu :

2. Instrumen yang bertujuan melindungi orang-perorangan yang berkaitan dengan keadaannya di dalam masyarakat, seperti hukum internasional tentang perlindungan terhadap kaum wanita dan hukum internasional yang berkaitan dengan perlindungan terhadap anak.

3. Instrumen hukum yang bertujuan melindungi orang-perorangan dalam kaitannya dengan fungsinya di dalam masyarakat, seperti hukum internasional tentang buruh.

4. Instrumen hukum yang bertujuan melindungi orang-perorang dalam keadaan darurat, apabila terjadi sesuatu situasi yang tidak biasa dan yang mengakibatkan ancaman adanya pelanggaran atas hak seseorang yang mengakibatkan ancaman adanya pelanggaran atas hak seseorang yang biasanya dijamin oleh hukum yang berlaku, seperti hukum internasional tentang pengungsi dan hukum humaniter internasional yang melindungi para korban akibat dari sengketa bersenjata.

Pada mulanya, tidak pernah ada perhatian mengenai hubungan antara hukum HAM dengan hukum humaniter internasional. Oleh karena itu tidaklah

22

Anne- Sophie Gindroz, “Hukum Humaniter Internasional dan Hak Asasi Manusia” dalam Fadillah Agus (ed). “Hukum Humaniter suatu Persfektif” Pusat Studi Hukum Humaniter Fakultas Hukum Univ. Trisakti-ICRC, Jakarta. 1997. hal. 85-86.

(35)

mengherankan jika Pernyataan Universal tentang hak-hak asasi manusia sedunia (Deklaration Of Human Rights) 1948 tidak disinggung tentang penghormatan terhadap hak asasi manusia pada waktu terjadinya sengketa bersenjata. Akan tetapi tidak berarti huku m HAM tidak memiliki hubungan sama sekali dengan hukum humaniter internasional. Antara keduanya terdapat hubungan dan keterkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Di satu sisi ada kecendrungan untuk memandang bahwa ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa 1949 tidak hanya mengatur tentang hak orang-perorang sebagai pihak yang dilindungi. Keempat Konvensi Jenewa 1949 menegaskan bahwa penolakan terhadap hak-hak yang diberikan oleh Konvensi Jenewa 1949 ini tidak dapat dibenarkan apalagi adanya Pasal 3 ketentuan yang bersamaan pada keempat Konvensi Jenewa 1949 yang mewajibkan setiap negera peserta untuk menghormati peraturan-peraturan dasar kemanusiaan pada saat terjadinya sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional. Dengan demikian, maka Pasal 3 ini mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga ngaranya, yang berarti mencakup bidang tradisional dari HAM.

Di sisi lain, dalam konvensi-konvensi tentang HAM terdapat pula berbagai ketentuan yang pnerapannya justru pada situasi perang. Konvensi Eropa tahun 1950 misalnya, dalam Pasal 15, menentukan bahwa bila terjadi perang atau bahaya umum lainnya yang mengancam stabilitas nasional, maka hukum yang dijamin di dalam konvensi ini tidak boleh dilanggar, meskipun dalam keadaan demikian., paling tidak ada tujuh hak yang harus tetap dihormati karena merupakan intisari dari konvensi ini, yaitu :

(36)

a. Hak atas kehidupan b. Hak atas kebebasan c. Hak atas integritas fisik

d. Hak atas status sebagai subjek hukum e. Hak atas kepribadian

f. Hak atas perlakuan tanpa diskriminasi. g. Hak atas keamanan.

Ketentuan-ketentuan ini terdapat juga di dalam Kovenant PBB mengenai hak sipil dan politik, pasal 4 dari Konvensi Hak Asasi Manusia Amerika, Pasal 27.

Selain itu terdapat pula hak-hak yang tidak boleh dikurangi (non derogable rights) baik dalam keadaan damai maupun pada waktu sengketa bersenjata. Hak-hak yang tidak dapat dikurangi tersebut meliputi hak hidup, prinsip (perlakuan) non-diskriminasi, larangan penyiksaan (torture), larangan berlaku surutnya hukum pidana yang ditetapkan dalam pasal 15 Konvenant Politik, hak untuk tidak dipenjarakan karena ketidakmampuan melaksanakan ketentuan perjanjian (kontrak), perbudakan (slavery), perhambaan (sevitude), larangan penyimpangan berkaitan dengan penawanan, pengakuan seseorang sebagai subjek hukum, kebebasan berpendapat, keyakinan dan agama, larangan penyanderaan, larangan penjtuhan hukumn tanpa putusan yang diumumkan lebih dulu oleh pengadilan yang lazim, larangan menjatuhkan hukuman mati dan

(37)

melaksanakan eksekusi dalam keadaan yang ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (1) (d) yang bersamaan pada keempat konvensi Jenewa 1949.23

Dalam hukum humaniter internasional pengaturan mengenai hak-hak yang tidak dapat dikurangi ini antara lain tercantum dalam ketentuan pasal 3 yang merupakan ketentuan yang bersamaan pada keempat konvensi Jenewa 1949. Pasal ini penting karena membebankan kewajiban kepada “Pihak Peserta Agung” untuk tetap menjamin perlindungan kepada orang-perorang dengan mengesampingkan status belligerent menurut hukum atau sifat dari sengketa bersenjata itu.24

23

Andrey Sudjatmoko, “Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Hukum HAM dan Hukum Humaniter Internasional”, Kumpulan tulisan, Pusat Studi Hukum Humaniter Fakultas hukum Universitas Trisakti. 1999. hal. 103.

24

Ibid. hal. 103.

Kesadaran akan adanya hubungan antara hak asasi manusia dengan hukum humaniter baru disadari pada akhir tahun 1960-an. Kesadaran ini semakin meningkat dengan terjadinya berbagai sengketa bersenjata seperti dalam perang kemerdekaan di afrika dan di berbagai belahan dunia lainnya yang menimbulkan masalah baik dari segi hukum humaniter internasional maupun dari segi hak asasi manusia. Konferensi internasional mengenai HAM yang diselenggarakan oleh PBB di Teheran tahun 1968 secara resmi meyakini akan adanya hubungan antara HAM dengan hukum humaniter internasional, khususnya dalam Resolusi XXIII tanggal 12 Mei 1968 mengenai “penghormatan HAM pada waktu pertikaian bersenjata”, memuat agar konvensi-konvensi tentang pertikaian bersenjata diterapkan secara lebih sempurna dan supaya disepakati perjanjian baru mengenai hal ini. Resolusi ini mendorong PBB untuk menangani huku m humaniterintrnasional.

(38)

Selanjutnya oleh Duswald-Beck dan vite, kemudian diuraikan peristiwa-peristiwa yang terjadi yang membuktikan adanya keterkaitan dan saling mempengaruhi antara HAM dengan hukum humaniter internasional sebagai berikut :

1. Kejadian pertama yang menunjukkan semakin dekatnya dua sistem hukum ini adalah apa yang terjadi dalam international Conference on Human Rights, di Teheran tahun 1968. Pada waktu itu, untuk pertama kali PBB mempertimbangkan diaplikasikannya “human rights” dalam setiap konflik bersenjata. Para delegasi menerima sebuah resolusi yang meminta kepada Sekretairs Jenderal PBB untuk mempelajari perkembangan hukum humaniter internasional dan untuk mempertimbangkan langkah-langkah untuk meningkatkan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dengan adanya keputusan tersebut maka mulailah PBB lebih memperhatikan tentang hukum humaniter internasional.

2. Konferensi yang dimulai sejak tahun 1968 itu terus bergulir. Perumusan-perumusan teks hak asasi semakin banyak, menggunakan gagasan (ide) dan konsep yang khas dimiliki oleh hukum humaniter internasional. Sebaliknya juga terjadi, walaupun tidak terlalu sering. Singkatnya dapat dikatakan bahwa gap yang masih ada diantara dua sistem hukum itu mulai dipersempit. Pengaruh dari kedua pihak secara perlahan-lahan mendekatkan dua sistem hukum itu.

3. Adanya pendekatan dan saling pengaruh-mempengaruhi itu antara lain dapat dilihat diterimanya Protokol Tambahan 1977, dapat dianggap sebagai refleksi

(39)

dari Pernyataan Teheran. Apabila diperhatikan, maka subjek dan perumusan pasal 75 dari protokol I yang berjudul “jaminan-jaminan utama (fundamental guaranted) sesungguhnya diilhami oleh dokumen-dokumen utama hak asasi. Demikian pula pasal 4,5 dan 6 dari Protokol Tambahan II yang mengatur konflik bersengketa yang bersifat non-internasional, merupakan cerminan dari pasal yang terdapat dalam Protokol Tambahan I.

4. Hal sama dapat dilihat pada “Convention on the Rights or the Child” 1989. Sekalipun dapat dikatakan bahwa prosedur penerimaan konvensi substansi dari ketentuannya maupun mekanisme untuk pelaksanaannya.semua dapat digolongkan masuk dalam kelompok perjanjian hak asasi, namun demikian pengaruh hukum humaniter tetap dilihat dapat dilihat.

Dengan adanya pasal ini maka jelaslah bahwa dalam kovensi yang mengatur hak asasi dimasukkanlah referensi ketentuan hukum humaniter yang berlaku bagi anak-anak, dan selanjutnya menentukan sendiri peraturan yang berlaku dalam konflik bersenjata.

5. Tendensi semacam ini juga terlihat dalam instrumen internasional lainnya yang kekuatan mengikatnyasecara hukum kurang dibandingkan dengan konvensi di dalam beberapa Resolusi Majelis Umum PBB, misalnya telah dicampurkan referensi tentang hukum humaniter dan hak asasi dalam satu teks yang sama. Sering dalam Resolusi itu terdapat perumusan sebagai berikut : “Majelis Umum berlandaskan prinsip-prinsip yang terdapat dalam Piagam PBB, Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia dan ketentuan humaniter yang telah diterima, seperti yang ditentukan dalam

(40)

Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977, contoh : Resolusi 46/135 tentang situasi hak asasi di Kuwait sewaktu diduduki oleh Irak.

6. Pendekatan ini juga terlihat dalam keputusan forum lebih terbatas dari pada PBB, misalnya dalam Islamic Conference of Ministers of Foreign Affairs, yang diselenggarakan pada bulan April 1990. dalam salah satu deklarasi yang dinyatakan sebagai instrumen hak asasi, tetapi deklarasi tersebut berisi ketentuan yang yang inspirasinya secara langsung diambil dari hukum humaniter. Dinyatakan antara lain : “apabila digunakan kekuatan bersenjata, atau kalau terjadi konflik bersenjata, maka penduduk yang tidak turut serta dalam pertempuran, seperti orang-orang lanjut usia, wanita, anak-anak, yang luka dan sakit harus dilindungi”.

Selain apa yang disebutkan di atas, juga diatur cara dan alat bertempur. Perlu diketahui bahwa dokumen yang dipakai dalam wold Conference of Human Rights yang diselenggarakan di Wina tahun 1993, yaitu bersatunya hukum humaniter dan HAM. Ini juga terlihat dalam tata kerja badan-badan yang bertanggung jawab melaksanakan monitoring dan pelaksanaan hukum internasional dengan ketentuan antara lain :

1. Dapat dicatat bahwa akhir-akhir ini Dewan Keamanan PBB dalam resolusinya semakin sering menyebutkan mengenai hukum humaniter internasional untuk mendukung resolusi tersebut. Contoh resolusi terakhir adalah Resolusi PBB No. 808 tahun 1993 tentang konflik di bekas Yugoslavia. Menentukan akan membentuk suatu Mahkamah Internasional untuk mengadili orang-orang

(41)

yang bertanggung jawab atas pelanggaran berat ini dari hukum humaniter internasional yang dilakukan di wilayah bekas Yugoslavia sejak tahun 1991. 2. Salah satu badan yang khusus memperhatikan implementasi hak asasi, yaitu

Commission of Human Rights, tidak lagi ragu-ragu untuk menggunakan hukum humaniter untuk mendukung rekomendasinya. Salah satu contoh adalah Report on the Situation of Human Rights in Kuwait under Iraq Occupation.

3. Special Rapporteur untuk masalah-masalah Kuwait dalam salah satu bab yang berjudul “interaction between human rights and humanitarian laws”,

menyatakan : “telah ada konsensus dalam masyarakat internasional bahwa hak-hak asasi manusia dari semua orang harus dihormati dan dilindungi baik dalam keadaan damai maupun masa konflik bersenjata. Selanjutnya diterapkan adalah hukum kebiasaan internasional.

Selanjutnya ada tiga ketentuan hukum humaniter yang dianggap sebagai prinsip-prinsip kebiasaan (customary principle) dalam perlindungan hak asasi manusia, yaitu :

1. Hak para pihak untuk memilih cara dan alat untuk melukai lawan adalah tidak tak terbatas.

2. Harus dibuat pembedaan antara orang-orang yang turut serta dalam operasi militer dan mereka yang tergolong penduduk sipil, dan bahwa golongan terakhir harus dilindungi.

(42)

Rapporteur selanjutnya mempertimbangkan bahwa ketentuan hukum kebiasaan yang diterapkan dalam pendudukan Kuwait oleh Irak juga mencakup pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 pasal 75 Protokol Tambahan 1977 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Juga dinytakan bahwa dipandang dari segi hukum positif, maka ia menganggap bahwa kedua perjanjian yaitu tentang hak politik dan sipil serta hak ekonomi, sosial dan budaya dari konvensi Jenewa 1949 juga dapat diterapkan.

Satu hal penting lainnya adalah bahwa seperti yang telah kita ketahui pada saat ini banyak terjadi kerusuhan-kerusuhan secara meluas yang belum mencapai keseriusan sehingga dapat dianggap sebagai konflik bersenjata dimana hukum humaniter internasional baru dapat diberlakukan, sementara korban dari pihak-pihak yang terlibat telah banyak berjatuhan, seperti konflik masa damai di Aceh yang sedang dibahas oleh penulis yang tidak saja menimbulkan korban jiwa, tetapi juga harta benda. Oleh karena itu tentunya dalam hal ini pemerintah hendaknya melakukan suatu pendekatan (approach) yang baru yang mampu memberikan perlindungan kepada individu. Sebab sebelumnya untuk menghadapi situasi seperti ini, pemerintah seringkali hanya menetapkan “keadaan darurat” dan dalam hal ini juga menyebabkan terjadinya penangguhan perlindungan terhdap hak asasi manusia karena hukum humaniter internasional belum dapat diberlakukan, sehingga baik kombatan maupun non-kombatan (penduduk sipil) kehilangan perlindungan. Maka perlu pula disusun suatu instrumen hukum baru yang menggabungkan unsur-unsur hak asasi dan hukum humaniter internasional

(43)

yang dapat memberikan perlindungan kepada individu, baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan perang.

Sedangkan kalau kita lihat di Indonesia sendiri, masalah perlindungan HAM ini telah direalisasikan dengan dibentuknya Komisi Nasional HAM (KOMNAS HAM) oleh Presiden Soeharto dengan dikeluarkannya Keppres No. 50 tahun 1993. Di mana berdasarkan Keppres tersebut, kegiatan dari KOMNAS HAM ini adalah untuk menyebarluaskan wawasan nasional dan internasional mengenai HAM, baik kepada masyarakat Indonesia maupun kepda duni internasional. Selanjutnya, juga mengkaji berbagai instrumen PBB tentang HAM, dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi atau ratifikasinya.25

25

Institut Ecata- Pact, “Hak Asasi Dalam Tajuk”. Penerbit Institut Ecata dan INPI-Pact. Jakarta.1997, hal. 71.

(44)

BAB IV

IMPLEMENTASI HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP HUKUM HUMANITER TENTANG KORBAN PERANG

A. Gambaran Umum Mengenai Aceh

Bangsa Aceh adalah kumpulan beberapa suku bangsa yang mendiami belahan ujung pulau Sumatera. Bangsa Aceh terdiri dari sembilan sub-etnis (Aceh, Tamiang, Gayo, Alas, Aneuk Jamee, Kluet, Aneuh Laot, Simeulue dan Sinabang) yang masing-masing memiliki budaya dan bahasa serta pola pikir sendiri-sendiri. Di tengah terdapat orang Alas dan Gayo yang menurut pendapat beberapa peneliti, memiliki pemikiran dan adat serta budaya yang berbeda dengan suku Aceh yang berdiam di sepanjang pesisir. Kehidupan pesisir adalah kehidupan yang keras, ringkas dan mengutamakan sikap yang efisien dan efektif. Wajar saja jika dalam bahasa yang dipergunakan oleh bangsa Aceh masuk golongan dalam rumpun bahasa Detro Melayu yang menggunakan jumlah suku kata yang sangat singkat.

Di kalangan peneliti sejarah dan antropologi menyebutkan bahwa asal-usul bangsa Aceh berasal dari suku Mantir (Bhs. Aceh : Mantee) yang hidup dirimba raya Aceh, mempunyai ciri dan postur tubuh agak kecil dibandingkan orang Aceh sekarang. Diduga suku Mantir ini mempunyai kaitan dengan suku bangsa Mantera di Malaka, bagian bangsa Monk Khmer dari Hindia Belakang. Dengan ini terlihat, semangat dan api revolusi senantiasa hidup dalam jiwa-jiwa orang Aceh sebagaimana revolusionernya orang-orang Khmer. Ditambah pengaruh dari

(45)

pembaruan dengan suku bangsa yang datang dari Andaman, India dan Nicobar di sebelah utara26

Cerita mitologis lainnya yang hidup di kalangan rakyat (folklore), istilah Aceh berasal dari sebuah kejadian di mana istri raja yang tengah mengandung, tiba-tiba melahirkan anak. Oleh penduduk saat itu disebut “kaceh”, yang artinya

, menjadikan bangsa Aceh sebagai bangsa yang berjiwa gerilya. Asal-usul bangsa Aceh secara mitologis berasal dari sebuah keluarga yatim. Diceritakan dalam dongeng tentang Puteri Baren yang mempunyai dua anak laki-laki disebabkan rasa tidak aman, mereka berniat meninggalkan negerinya setelah mendengar berita ada pulau yang makmur terletak jauh ditengah lautan Hindia. Puteri Baren bersama dua orang anak laki-lakinya berangkat dari dataran Paris sampai ke India bersama rombongan mencari tempat yang dimaksud. Di tengah perjalanan, sang abang berpisah tak mau menurut kehendak adiknya ke Aceh dan memutuskan jalannya sendiri : menuju Tiongkok. Sedangkan sang adik dengan rombongannya menuju Aceh.

Setibanya mereka di pantai, disambut oleh penduduk setempat yang dikira rombongan abangnya, “Aji datang, Aji datang”. Aji dalam bahasa India berarti “abang”. Jadi maksud dari seruan tadi, “Abang yang datang”. Istilah Aji atau Achin kemudian dikenal di kalangan bangsa-bangsa Cina belakangan untuk menyambut Aceh. Bagaimanapun kontroversinya mitologi ini, tetaplah bangsa Aceh dianggap merupakan perpaduan dari berbagai bangsa Aceh, dalam kesadaran orang-orangnya sekarang, adalah bangsa melting-pot. Seluruh bangsa, kecuali Yahudi, melebur di Aceh.

26

(46)

telah lahir, dan dari sini asal kata Aceh itu. 27 Banyak dongeng-dongeng tentang asal Aceh, baik yang berarti Aceh itu “lahir” atau “Pecah”28

Wilayah kekuasaan Aceh adalah lokasi bangsa-bangsa kecil seperti Pidie, Linge, Pasai, Peureulak dan lain-lain yang berada di tengah jalur lalu lintas kelautan antar benua. Bangsa-bangsa atau kerajaan-kerajaan disebut Aceh.

. Kisah asal-usul ini diceritakan oleh banyak oran-orang tua terkadang untuk menunjukkan karakter bangsa ini yang tidak mudah terpecah. Misalnya, setiap orang aceh pastilah Islam, hal ini menunjukkan bahwa kekuatan Islam adalah Fundamental bagi terbentuknya bangsa Aceh ke dalam sebuah sistem pemerintahan masa sultan-sultan.

29

Pengaruh pertama kerajaan Poli di Sigil ini masih membekas sampai sekarang melalui nama-nama tempat di Aceh yang banyak sekali memakai nama Hindu, seperti Indrapuri, Indraputra, Gandapura, Kleng, Raja Dagang, nama Konfederasi kerajaan-kerajaan Aceh ini kemudian menetapkan kutaraja sebagai ibukotanya. Konfederasi Aceh inilah yang kemudian membentuk suatu jaringan kekuasaan dan dagang yang luas. Jalinan dagang sutra dan produk-produk manufaktur begitu hidupnya di kutaraja. Kehidupan dagang inilah yang kemudian menjadikan Aceh sebagai tempat yang sangat strategis untuk memungkinkan datangnya pengaruh-pengaruh dari luar, yang pada masa itu memkai sarana jalur kelautan.

27

Adapula menurut dongeng terdamparnya perahu si raja Aceh Sigli yang berbunyi “Ceh”. Seperti yang dikutip oleh Al-Chaidar, Op.Cit, hal.12.

28

Atau kata Aceh ini terdiri dari dua rangkaian kata, yaitu A artinya tidak, Ceh artinya pecah. Jadi Aceh berarti tidak pecah, sebab dikatakan aceh adalah suatu suku bangsa yang bersatu tidak bercerai-cerai. Tetapi sejak kapan kata Aceh diberikan untuk nama belum diketahui dengan pasti seperti yang dikutip oleh Al-Chaidar. Ibid,.hal.13

29

(47)

Hindu, seperti Indrapuri, indraputra, Gandapura, Kleng, Raja dagang, dan lain sebagainya. Dan pula rakyat Aceh umumnya suka memakai pakaian berwarna merah, kuning atau hitam seperti orang India. Tiga paduan warna ini merupakan warna revolusioner. Wajar jika warna bendera Aceh Merdeka didominasi oleh warna merah. Merah adalah warna ceria bagi rakyat Aceh. Selainnya sifatnya yang revolusioner, bangsa Aceh ternyata masih mempercayai tahyul-tahyul dari orang keramat, sambil membakar kemenyan, mereka juga asik makan sirih, main rapa’I dan sebagainya. Masakan Aceh juga merip resep gulai India yang banyak memakai kunyit, rajamaneh, dan juga rempah-rempah.

Namun sekental apapun pengaruh India terhadap Aceh, pengaruh Islam lebih dahsyat lagi dalam dinamika budaya Aceh. Islam Aceh (the Achenized Islam) berasal dari Arab. Kendatipun demikian, Islam di Aceh berkembang setelah orang-orang Islam berlayar ke negeri China singgah ke Aceh, itu terjadi sejak masa Khalifah Usman bin Affan. Program pengembangan dan penyebaran Islam di Aceh dilakukan di bawah komando Sa’ad bin Abi Waggas. Mereka berlayar ke negeri China30

30

Van Leur mengungkap bahwa perkampungan orang-orang Arab sudah lama berdiri di Canton jauh sebelum masa Nabi Muhammad SAW, yaitu sejak abad ke-4 Masehi. Dan bertambah ramai setelah para pedagang Arab menyiarkan Islam. Seperti yang dikutip oleh Al-Chaidar. Ibid. hal. 14.

, melalui Lautan Hindia, Selat Malaka dan Laut China Selatan yang kemudian menuju Islam mencapai China sekitar akhir abad ke-7 atau paling lambat awal abad ke-8. Dengan demikian, Islam tersebar tidak begitu lama

setelah terjadinya penaklukan dari assabiqunal awwalun penyebar-penyebar (pen-syi’ar) Islam abad pertama Hijriyah.

(48)

Mengenai keadaan ekonomi, Aceh memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Pada era awal (1966/1967) orde baru Indinesia benar-benar terpuruk seperti sekarang ini. Pertumbuhan ekonomi dibawah nol, inflasi membumbung setinggi 650% serta situasi politik sangat tidak stabil. Pada saat itulah, tahun 1969, ditemukan sumur pertama gas alam cair (LNG) di Kampung Arun, Aceh Utara. Pada tahun 1971 dimulai pembangunan Kilang pecairan gas alam, dan “mentari Pagi” mengucapkan selamat pagi Indonesia dan Happy oil Booming. Maka Aceh pun berkembang sebagai kawasan zona industri kimia dasar, menjadi tiga besar penghasil devisa untuk Indonesia (di samping Kaltim dan Riau). Kilang gas alam Arun sejak beroperasi pada tahun 1977 menghasilkan empat produk utama, yaitu (data informasi per Agustus 1998) :

1. Condensate (minyak mentah), telah diekspor 1.697 kapal atau 673.402.340 M bbls (hitungan harga per bbls US$ 12-18).

2. LNG (liquid natural gas/gas alam cair) telah diekspor 3.135 kapal atau 389.309.390 ton (hitungan harga per kapal rata-rata US$ 6.000.000-9.000.000) 3. LPG Propane, telah diekspor, 344 kapal atau 7.225.442 ton (hitungan hargaper

kapal rata-rata US$ 2.700.000).

4. LPG Butane, telah diekspor 348 kapal atau 6.731.689 ton (hitungan harga per kapal rata-rata US$ 2.700.000).

Keempat produk ini bernilai rata-rata US$ 2.600.000.000 per tahun atau jika dikonversikan dengan nilai rupiah pada Desember 1997 berarti Rp. 315 triliun. Nilai tersebut belum termasuk nilai dari industri hilir berupa : Pabrik

Referensi

Dokumen terkait

1. Belum pernah dihukum atau residivis. Dengan maksud bahwa terdakwa sebelum melakukan tindak pidana, terdakwa tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang

Upaya yang dilakukan dengan adanya penerbitan bilyet giro kosong adalah dengan mengajukan kepada Bank Indonesia agar penerbit nasabah biro yang bersangkutan dimasukkan

Penerapan CSR harus dimulai dari komitmen dan pemahaman yang baik dari pihak pengusaha bahwa setiap perusahaan hendaknya mengembangkan kegiatan sosial yang bukan

Pemilihan forum arbitrase (choice of forum) dan hukum yang berlaku (choice of law). Para pihak bebas untuk menentukan sendiri pemilihan forum arbitrase dalam

Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, menyatakan bahwa pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang

Dan Keputusan Walikota Medan Nomor 9 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pajak Daerah Kota Medan yang dimana dalam

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas serta sesuai dengan judul skripsi ini, yaitu: “Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Penggunaan Dan Pertanggungjawaban

Kegiatan penanaman modal asing dalam sektor perkebunan dalam perspektif hukum di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman