• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM PEWARISAN HUKUM ADAT BATAK TOBA

(Studi Putusan Mahkamag Agung Nomor 566 K/Pdt/2015)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

DANIEL LUMBAN GAOL NIM : 130200502

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2 0 1 9

(2)
(3)

ABSTRAK Daniel Lumban Gaol * Rosnidar Sembiring **

Syaiful Azam **

Berdasarkan hukum Adat Batak Toba, masing-masing anak kandung menurut hukum waris ada perbedaan antara anak laki-laki dengan anak perempuan karena perempuan bukan ahli waris, melainkan anak laki-laki yang berhak sebagai ahli waris dari segala harta peninggalan ayahnya karena warisan adalah simbol dari eksistensi suatu marga oleh karena itu warisan harus diberikan kepada laki-laki saja, apabila perempuan mendapat bagian akan sangat tergantung pada kebaikan hati saudara dari pihak laki-laki, karena secara tradisional falsafahnya anak perempuan kawin dengan anak orang lain. Permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini adalah bagaimana kedudukan perempuan dalam adat Batak Toba, bagaimana sistem pewarisan pada masyarakat adat Batak Toba, bagaimana kedudukan perempuan dalam pewarisan hukum adat Batak Toba berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 566 K/Pdt/2015.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif dan spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analitis. Pengumpulan data melalui data primer dan data sekunder. Metode analisis yang dipakai adalah kualitatif, dan penyajian datanya dalam bentuk laporan tertulis secara ilmiah.

Kedudukan perempuan dalam adat Batak Toba pada prinsipnya masih berbeda, bila dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan tidak berhak berbicara dan mengeluarkan pendapat di acara-acara resmi, terlihat pada pesta-pesta Batak hampir tidak pernah terlihat ada perempuan duduk di barisan depan, ikut berbicara dan mengambil keputusan. Namun saat ini, dalam lingkup pertemuan keluarga yang lebih kecil para perempuan sudah diizinkan berbicara tetapi hanya sebagai pendahuluan saja, seperti acara pemberian nama kepada anak (tardidi), acara memberi kata penghibur bagi keluarga yang berduka (mangapuli). Sistem pewarisan pada masyarakat adat Batak Toba yang susunan kekerabatannya mempertahankan garis keturunan laki-laki (patrilineal). Kedudukan perempuan dalam pewarisan hukum adat Batak Toba berdasarkan Putusan Mahkamag Agung Nomor 566 K/Pdt/2015 bahwa kedudukan yang sama dalam hak waris antara laki- laki dengan perempuan. Mengenai laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama sebagai ahli waris dan berhak untuk mendapatkan bagian yang sama dari harta warisan peninggalan orang tuanya.

Kata Kunci : Kedudukan, Perempuan, Hukum Waris Adat, Batak Toba.

.

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Dosen Pembimbing I dan Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)

ii ABSTRACT

Daniel Lumban Gaol * Rosnidar Sembiring **

Syaiful Azam **

Based on the Toba Batak customary law, each biological child according to inheritance law there is a difference between boys and daughters who are not heirs, while boys who are entitled as heirs of the inheritance of the existence of a clan, therefore inheritance must given only to men, the consent of women to get a share will depend very much on the honor of a male brother on the male side, because traditionally the philosophy of girls marrying someone else's child. The issues raised in this discussion are how the position of women in the Batak Toba adat, how the inheritance system in the Batak Toba indigenous people, how the position of women in inheritance of Batak Toba customary law based on the Decision of the Supreme Court Number 566 K / Pdt / 2015.

The research method used in writing this thesis is juridical normative and the specification of this research is analytical descriptive. Data collection through primary data and secondary data. The analytical method used is qualitative, and the presentation of data in the form of scientific written reports.

The position of women in the Batak Toba tradition is still different in principle when compared to men. Women do not have the right to speak and issue opinions at official events, seen in Batak parties there has never been a woman sitting in the front row, participating in speaking and making decisions. But now, in smaller family gatherings that have been approved, only as a prelude, such as the naming event for children (tardidi), the giving of words of consolation for the bereaved family (mangapuli). Inheritance system in the Toba Batak indigenous people whose family structure maintains patrilineal male lineage. The position of women in inheritance of Toba Batak customary law based on Mahkamag Agung Decree Number 566 K / Pdt / 2015 concerning equal position in inheritance rights between men and women. About men and women have the same position as heirs and are entitled to get the same share of the inheritance inherited from their parents.

Keywords: Position, Women, Customary Law, Toba Batak .

* University of North Sumatra Faculty of Law students

** Supervisor I and Supervisor II, Faculty of Law, University of North Sumatra.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas segala nikmat Islam dan nikmat kesempatan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul skripsi ini adalah

“Kedudukan Perempuan Dalam Pewarisan Hukum Adat Batak Toba (Studi Putusan Mahkamag Agung Nomor 566 K/Pdt/2015)”. Untuk penulisan skripsi ini penulis berupaya agar hasil dari penulisan skripsi ini bisa lebih baik seperti yang diharapkan, meskipun demikian penulisan ini masih terdapat kekurangan- kekurangan, karena manusia tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu, semua saran dan kritik akan penulis terima dari siapa saja dalam rangka penyempurnaan penulisan skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak sehingga dalam kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara..

3. Ibu Puspa Melati, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Jelly Leviza S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(6)

iv

5. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, SH.M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi sekaligus sebagai Pembimbing I yang telah banyak membantu dan memudahkan saya dalam mengajukan judul skripsi.

6. Ibu Dr. Yefrizawaty, SH.M.Hum selaku dosen pembimbing II yang telah banyak membantu berupa pikiran dan waktunya untuk memberikan pengarahan dan bimbingan kepada saya sehingga memudahkan saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini. Semoga ilmu yang penulis telah peroleh selama ini dapat bermakna dan berkah bagi penulis dalam hal penulis ingin menggapai cita-cita.

Medan, Juli 2019 Penulis

DANIEL LUMBAN GAOL

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penulisan ... 8

D. Manfaat Penulisan ... 8

E. Tinjauan Pustaka ... 9

F. Metode Penelitian... 11

G. Keaslian Penulisan ... 14

H. Sistematika Penulisan... 16

BAB II : KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM ADAT BATAK TOBA ... 18

A. Sekilas Tentang Hukum Adat Batak Toba ... 18

B. Sistem Kekerabatan Menurut Hukum Adat Batak Toba .... 23

C. Sistem Perkawinan Masyarakat Adat Batak Toba ... 25

D. Kedukan Perempuan dalam Hukum Adat Batak Toba ... 33

BAB III : SISTEM PEWARISAN PADA MASYARAKAT ADAT BATAK TOBA ... 41

A. Sistem Pewarisan dalam Hukum Adat Batak Toba ... 41

B. Subyek Hukum dalam Hukum Waris Adat Batak Toba ... 44

C. Pembagian Warisan dalam Adat Batak Toba ... 46

(8)

vi

BAB IV : KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM PEWARISAN HUKUM ADAT BATAK TOBA (Studi Putusan

Mahkamah Nomor 566 K/Pdt/2015) ... 51

A. Kedudukan Perempuan Dalam Pewarisan Hukum Adat Batak Toba ... 51

1. Hak Waris Perempuan dalam Pembagian Harta Warisan Pada Masyarakat Adat Batak Toba ... 51

2. Penyelesaian Hukum Waris Adat Batak Toba Sejak 2010 Saat ini ... 57

B. Pertimbangan Hukum Pemberian Harta Warisan Kepada Perempuan Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 566 K/Pdt/2015... 70

1. Kasus Posisi ... 70

2. Pertimbangan Hukum ... 73

3. Analisis Kasus ... 76

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 82

(9)

A. Latar Belakang

Negara Indonesia terdiri dari beragam suku, adat istiadat, bahasa, agama, sehingga menyulitkan unifikasi hukum waris secara nasional karena saat ini belum mempunyai hukum khusus yang mengatur tentang pewarisan secara nasional. Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi Pembangunan Nasional yang menuju unifikasi hukum dan terutama yang akan dilakukan melalui pembuatan peraturan perundang-undangan dengan tidak mengabaikan tumbuh dan berkembangnya hukum kebiasaan dan pengadilan dalam pembinaan hukum.1

Pembagian hukum adat waris di Indonesia sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa. Adat merupakan indentitas bagi bangsa dan identitas bagi tiap daerah. Hukum waris pada dasarnya diatur dalam KUH Perdata buku II Bab XII-Bab XVIII tetapi bagi warga negara asli masih tetap berlaku hukum waris adat.

Hukum ditinjau dari segi terbentuknya dapat berupa hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, dan di Indonesia hukum tidak tertulis dikenal dengan hukum adat yang tumbuh dari cita-cita dan alam pikiran masyarakat Indonesia.2 Menurut Soepomo bahwa corak atau pola-pola tertentu dalam hukum adat yang merupakan perwujudan dari struktur kejiwaan dan cara berfikir yang tertentu adalah:3

1 Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Meda Group, 2005), hlm. 71

2 Ibid., hlm. 19

3 R. Soepomo. Sistem Hukum Di Indonesia, Sebelum Perang Dunia Kedua, (Jakarta:

Prandnjaparamita, 2007), hlm. 140-141

(10)

2

1. Mempunyai sifat kebersamaan yang kuat artinya manusia menurut hukum adat merupakan bentuk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat rasa kebersamaan.

2. Mempunyai corak magis religius yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia.

3. Sistem hukum itu diliputi oleh pikiran serba konkrit, artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubunganhubungan hidup yang konkrit tadi dalam mengatur pergaulan hidup.

4. Hukum adat mempunya sifat visual artinya hubungan-hubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkannya dengan suatu ikatan yang dapat dilihat.

Berdasarkan sistem pembagian harta warisan di Indonesia masih mengikuti hukum waris adat yaitu di pengaruhi oleh masyarakatnya atau dari kekerabatannya. Secara hukum waris perdata tidak dibedakan semua berhak mewaris antara anak laki-laki dan perempuan mempunyai bagian yang sama sedangkan bagi warga negara asli masih tetap berlaku hukum waris adat yang diatur menurut susunan masyarakat adat, yang bersifat patrilinial, matrilineal dan parental/bilateral.4

Hukum waris adat meliputi aturan-aturan hukum yang bertalian dengan proses penerusan dan peralihan kekayaan material dan immaterial dari keturunan ke keturunan.5 Hukum Waris Adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan pada masyarakat bersangkutan yang berpengaruh terhadap penetapan ahli waris pembagian maupun bagian harta peninggalan yang diwariskan.

Pembagian harta warisan sangat berhubungan dengan susunan kekeluargaan yang ada pada masyarakat adat di Indonesia. Masyarakat adat di

4 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 2

5 Ter Haar, Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat, ( Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), hlm. 202

(11)

Indonesia dibedakan tiga kelompok, Susunan kekeluargaan patrilineal, yaitu yang menarik garis keturunan dari pihak laki-laki (bapak), Susunan kekeluargaan matrilineal, yaitu yang menarik garis keturunan dari pihak perempuan (ibu), Susunan kekeluargaan parental, yaitu di mana garis keturunan pada masyarakat ini dapat ditarik dari pihak kerabat bapak maupun dari kerabat ibu.6

Adapun sistem pewarisan yang dikenal dalam hukum adat yaitu :7

1. Sistem Pewarisan Individual, yaitu sistem pewarisan yang menentukan bahwa para ahli waris mewarisi secara perorangan.

2. Sistem Pewarisan Kolektif, yaitu sistem pewarisan yang menentukan bahwa ahli waris mewaris harta peninggalan secara bersama-sama (kolektif), sebab harta peninggalan yang diwarisi itu tidak dapat dibagi-bagi pemilikannya kepada masing-masing ahli waris.

3. Sistem Pewarisan Mayorat, yaitu sistem pewarisan di mana penerusan dan pengalihan hak penguasaan atas harta warisan itu dialihkan dalam keadaan tidak terbagi-bagi dari pewaris kepada anak tertua laki-laki (mayorat laki-laki) atau anak tertua perempuan (mayorat perempuan) yang merupakan pewaris tunggal dari pewaris.

Salah satu suku yang menganut sistem kekerabatan patrilineal yang sangat kental adalah masyarakat adat Batak Toba. Sistem patrilineal dikenal dengan perkawinan jujur pada masyarakat Batak Toba, yaitu suatu bentuk perkawinan dengan adanya pembayaran (sinamot) dari kerabat laki-laki kepada pihak kerabat perempuan dengan tujuan untuk memasukkan perempuan ke dalam klan suaminya. Supaya anak-anak yang lahir akan menjadi generasi penerus ayah.

Berbeda dengan ketentuan menurut hukum adat batak toba. Setelah isteri berada di dalam lingkungan kerabat suami, maka isteri dalam segala perbuatan hukumnya harus berdasarkan persetujan suami, atau atas nama suami atau atas persetujuan

6 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta : Haji Masagung, 2007), hlm. 129-130

7 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 43

(12)

4

kerabat suami. Oleh karena itu, pada masyarakat patrilineal yang menarik garis keturunan menurut garis bapak menjadikan kedudukan laki-laki lebih menonjol pengaruhnya dari pada kedudukan wanita dalam hal waris.8

Anak laki-laki dianggap sebagai pembawa keturunan ataupun penerus yang membawa marga dari orang tuanya, sehingga anak laki-laki saja yang berhak mewaris karena anak laki-laki dianggap sebagai generasi penerus marga/clan.

Terhadap anak perempuan, adanya hambatan dalam mewaris dari harta peninggalan orang tuanya karena adanya perkawinan jujur yang berarti perkawinan di mana anak perempuan dilepaskan dari marganya dan dimasukkan ke dalam marga suaminya, dengan membayar jujur.9

Berdasarkan hukum Adat Batak Toba, masing-masing anak kandung menurut hukum waris ada perbedaan antara anak laki-laki dengan anak perempuan karena perempuan bukan ahli waris, melainkan anak laki-laki yang berhak sebagai ahli waris dari segala harta peninggalan ayahnya karena warisan adalah simbol dari eksistensi suatu marga oleh karena itu warisan harus diberikan kepada laki-laki saja, apabila perempuan mendapat bagian akan sangat tergantung pada kebaikan hati saudara dari pihak laki-laki, karena secara tradisional falsafahnya anak perempuan kawin dengan anak orang lain.10

Secara tersirat anak perempuan dipandang mempunyai makna yang sama dengan anak laki-laki sehingga perlakuan adil harus diberikan sama dengan anak laki-laki, namun dalam hal pewarisan arti adil tadi tidak diberikan sama antara

8 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004), hlm 23

9 S. Tamakiran, Asas-Asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum (Bandung: Pionir Jaya, 2002), hlm. 68

10 Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum, (Jakarta : Yayasan Oborhlm, Indonesia, 2007). hlm.122.

(13)

anak laki-laki dan anak perempuan. Hal ini dikarenakan berkaitan dengan konsep Raja Parhata yaitu ahli waris selalu mengacu kepada anak laki-laki karena dialah yang dianggap bertanggung jawab besar untuk meneruskan keturunan marga dari ayahnya, kemudian anak perempuan dianggap menjadi anggota clan suaminya menjadi marga lain dan melipatgandakan marga dari anggota marga lain tersebut dan ikut menikmati warisan dari mertuanya, dan agar suami dari anak perempuan tidak mengusai tanah terlalu luas karena suami dari anak perempuan dianggap marga penumpang.11

Masyarakat adat Batak Toba mengenal ada beberapa istilah yang merendahkan martabat anak perempuan antara lain : 12

1. Sigoki jabu ni halak do ianggo boru (anak perempuan adalah untuk mengisi rumah orang).

2. Mangan tuhor niboru (anak perempuan dianggap barang dagangan yang diperjualbelikan).

3. Holan anak do sijalo teanteanan (zaman dahulu ada tuntutan untuk mendahulukan anak laki-laki dalam melestarikan marga, sehingga anak laki-laki berhak memiliki serta berbicara mengenai ikatan adat secara hukum.

Seiring dengan perkembangan zaman, di dalam pembagian harta warisan adanya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan mulai dirasakan oleh perempuan di dalam sistem kekerabatan Patrilineal, maka melalui pendidikan dan pengetahuannya kaum wanita melakukan penolakan (resistensi) terhadap sistem kekerabatan patrilineal, yaitu mereka tidak begitu saja tunduk kepada ketentuan hukum adat tradisionalnya, khususnya di dalam pembagian harta warisan.

Sehingga banyak konflik mengenai harta, dan kaum wanita memilih institusi peradilan dalam proses penyelesaian sengketa warisan, dalam berbagai upaya

11 Ibid., hlm.124.

12 J.C.Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, (Jakarta:PustakaAzet, 1986), hlm. 485

(14)

6

untuk memperoleh bagian dari harta ayah ataupun suami yang akhirnya keluarlah berbagai yurisprudensi yang mengatur tentang hak waris anak perempuan dalam masyarakat dengan sistem kekerabatan patriilneal seperti pada masyarakat Batak.13

Perjuangan untuk mendapatkan kedudukan yang sama khususnya dalam hal pewarisan banyak dilakukan wanita, bahkan telah ada dalam berbagai putusan hakim di berbagai tingkat pengadilan, yang telah menjadi yurisprudensi, yang memberikan hak mewaris kepada perempuan Batak. Hukum adat selalu menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang senantiasa terus berubah yang dapat dilihat dari substansinya melalui sumber-sumber hukum yang tersedia yang dapat tercermin dalam doktrin, perundang-undangan, kebiasaan, dan perumusan dalam hukum positif dilakukan melalui yurisprudensi.

Yurisprudensi disebut sebagai faktor pembentukan hukum yang dalam praktek berfungsi untuk mengubah, memperjelas, menghapus, menciptakan, atau mengukuhkan hukum yang hidup dalam masyarakat.14

Pembagian harta warisan Batak Toba terhadap perempuan, sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Nomor 566 K/Pdt/2015 antara Fitzgerald Stevan Purba, Andrey Michael Purba, Anny L. Toruan, sebagai para penggugat melawan Berthold Raja Purba sebagai tergugat. Para Penggugat dengan surat gugatannnya tanggal 28 Desember 2012 yang diterima dan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Depok pada tanggal 02 Januari 2013 di bawah Register Nomor 01/Pdt.G/2013/PN.Dpk. dan telah dilakukan perubahan/perbaikan Surat Gugatan

13 Togar Nainggolan, Batak Toba Di jakarta, (Jakarta:BM, 2000), hlm. 210

14 Soerjono Soekanto, Masalah Kedudukan Dan Peranan Hukum Adat, (Jakarta:

Academica, 2009), hlm. 24,

(15)

tertanggal 27 Maret 2013 telah mengajukan gugatan pembagian harta warisan atas harta peninggalan orang tunya berupa tanah berikut bangunan Sertifikat Hak Milik No.1054/Tanjung Sari seluas 271 m² yang terletak di Jl.Setia Budi Pasar II Blok G-8 Kota Medan yang sampai sekarang belum dibagi diantara para ahli waris.

Berdasarkan gugatan dari para penggugat, maka Pengadilan Negeri Depok memberikan putusan mengabulkan gugatan para penggugat sebagian, menetapkan harta bersama dari Alm. Drs. Victor Purba,SH, LLM yang harus dibagi kepada para ahli waris (seluruh harta warisan), serta menetapkan ahli waris dari Alm. Drs. Victor Purba,SH, LLM berikut hak/bagian masing-masing atas seluruh harta warisan yang harus dibagi tersebut adalah Anny L.Toruan sebesar ½ bagian + 1/8 bagian = 5/8 ( lima per delapan) bagian dari seluruh harta warisan, Berthold Raja Purba (tergugat) sebesar 1/8 ( satu per delapan) bagian dari seluruh harta warisan, Fitzgerald Stevan Purba sebesar 1/8 ( satu per delapan) bagian dari seluruh harta warisan, Andrey Michael Purba sebesar 1/8 (satu per delapan) bagian dari seluruh harta warisan.

Putusan Pengadilan Negeri Depok dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung dengan putusan Nomor 529/PDT/2013/PT.BDG. tanggal 05 Februari 2014. Kemudian dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung memberikan putusan menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi Berthold Raja Purba.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti, mengkaji, dan menganalisis Putusan Majelis Hakim Mahkamah Agung Nomor 566 K/Pdt/2015

(16)

8

yang memberikan pertimbangan atas pembagian harta terhadap perempuan, yang dituangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul sebagai suatu karya ilmiah dengan judul “Kedudukan Perempuan Dalam Pewarisan Hukum Adat Batak Toba (Studi Putusan Mahkamag Agung Nomor 566 K/Pdt/2015)”.

B. Perumusan Masalah

Rumusan permasalahan yang akan diteliti dibatasi sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan perempuan dalam adat Batak Toba ? 2. Bagaimana sistem pewarisan pada masyarakat adat Batak Toba ?

3. Bagaimana kedudukan perempuan dalam pewarisan hukum adat Batak Toba berdasarkan Putusan Mahkamag Agung Nomor 566 K/Pdt/2015 ?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan pokok-pokok permasalahan di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kedudukan perempuan dalam adat Batak Toba.

2. Untuk mengetahui sistem pewarisan pada masyarakat adat Batak Toba.

3. Untuk mengetahui kedudukan perempuan dalam pewarisan hukum adat Batak Toba berdasarkan Putusan Mahkamag Agung Nomor 566 K/Pdt/2015.

D. Manfaat Penulisan

Penelitian ini memiliki manfaat teoretis dan praktis. Adapun kedua kegunaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan berbagai konsep kajian yang pada gilirannya dapat

(17)

memberikan masukan bagi pembangunan ilmu hukum tentang kedudukan perempuan dalam pewarisan hukum adat Batak Toba.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini juga dapat digunakan:

a. Sebagai upaya pengembangan kemampuan dan penambah pengetahuan hukum bagi penulis mengenai ilmu bidang hukum waris adat.

b. Untuk bahan informasi bagi pihak-pihak khususnya bagi mahasiswa yang membutuhkan refrensi yang dapat digunakan untuk bahan penelitian yang lanjutannya berkaitan dengan permasalahan hukum dengan pokok bahasan hukum pembagian harta warisan dalam hukum Adat Batak Toba

E. Tinjauan Pustaka

Perkawinan dalam adat Batak Toba bukanlah urusan pribadi namun lebih dari itu yaitu urusan keluarga, clan/kerabat dan persekutuan. Soerjono Soekanto mengatakan perkawinan sebagai urusan keluarga dan kerabat menpunyai fungsi untuk memungkinkan pertumbuhan secara tertib suatu masyarakat kerabat melalui angkatan/ generasi baru, di mana anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu meneruskan masyarakat keluarga dan kerabat yang sekaligus berfungsi untuk meneruskan tertib clan atau pun suku. 15

Masyarakat hukum Indonesia jika ditinjau dari segi kekeluargaan adalah berbeda-beda, di setiap lingkungan adat ini masing-masing mempunyai sistem kekeluargaan yang berbeda-beda pula. Begitu juga dalam hal kedudukan anak laki-laki dengan anak perempuan pada prinsipnya dan asasnya adalah berbeda.

15 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 28

(18)

10

Hukum Adat Batak Toba merupakan salah satu hukum adat yang masih hidup dengan sistem kekerabatannya mengikuti garis keturunan ayah (patrilineal) yang membedakan kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki merupakan generasi penerus ayahnya, sedangkan anak perempuan tidak karena anak perempuan dianggap hanya bersifat sementara, dan suatu ketika anak perempuan akan menikah dan mengikuti suaminya, dan masuk ke dalam klan suaminya. Selama anak perempuan belum menikah, dia masih tetap kelompok ayahnya. Ahli waris dalam masyarakat Batak Toba adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan bukan sebagai ahli waris ayahnya. Anak perempuan hanya memperoleh sesuatu dari orang tuanya sebagai hadiah.

Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, bahwa setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan peristiwa hukum dan biasa disebut meninggal dunia. Apabila ada suatu peristiwa hukum yaitu meninggalnya seseorang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia.16

Anak dalam pewarisan masyarakat Batak Toba sejak dalam kandungan sudah dianggap ahli waris, hanya status si anak ditentukan pada saat lahir apakah laki-laki atau perempuan, sebab dalam pewarisan di Batak Toba hanya dikenal ahli waris adalah anak laki-laki, tetapi anak perempuan tidak. Anak perempuan tidak mewaris baik terhadap harta peninggalan/pencaharian maupun harta pusaka.17

16 Hilman Hadikusuma, Op. Cit., hlm. 45.

17 Ibid., hlm. 48.

(19)

Alasan atau argumentasi yang melandasi sistem Hukum Waris Adat pada masyarakat Batak Toba dengan sistem kekerabatan Patrilineal, sehingga keturunan laki-laki saja yang berhak mewaris harta peninggalan orangtuanya yang meninggal, sedangkan anak perempuan sama sekali tidak mewaris. Hal ini didasarkan pada anggapan kuno yang memandang rendah kedudukan wanita dalam masyarakat Batak. Titik tolak anggapan tersebut adalah :

a. Emas kawin, yang membuktikan bahwa perempuan dijual.

b. Adat levirat yaitu yang membuktikan bahwa perempuan diwarisi oleh saudara dari suaminya yang meninggal.

c. Perempuan tidak mendapat warisan.18

F. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian dan Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu penelitian yang berusaha menggambarkan sebuah kondisi/fenomena hukum dengan legalitas secara lebih mendalam/lengkap mengenai status sosial dan hubungan antar fenomena.19 Tujuan dari penelitian deskriptif adalah menghasilkan gambaran yang akurat tentang sebuah kelompok, menggambarkan sebuah proses atau hubungan, menggunakan informasi dasar dari suatu hubungan teknik dengan definisi tentang penelitian ini dan berusaha menggambarkan secara lengkap kedudukan perempuan dalam pewarisan hukum adat Batak Toba.

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian berupa inventarisasi perundang-undangan yang

18 Djaja S. Meliala dan Aswin Perangin-angin, Hukum Perdata Adat Karo Dalam Rangka Pembentukan Hukum Nasional, (Bandung: Tarsito, 1978), hlm. 65

19 Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum , (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm.105

(20)

12

berlaku, berupaya mencari asas-asas atau dasar falsafah dari perundang-undangan tersebut atau penelitian yang berupa usaha penemuan hukum yang sesuai dengan suatu kasus tertentu.20 Penelitian hukum normatif pada skripsi ini didasarkan pada bahan hukum sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kedudukan perempuan dalam pewarisan hukum adat Batak Toba. Metode pendekatan yuridis normatif dimaksudkan untuk menjelaskan dan memahami makna dan legalitas peraturan perundang-undangan21 yang mengatur tentang kedudukan perempuan dalam pewarisan hukum adat Batak Toba.

2. Sumber Data

Data penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) yang bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan informasi-informasi serta pemikiran konseptual, baik berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.22 Data sekunder yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari :

1) Bahan hukum primer, terdiri dari bahan hukum dan ketentuan-ketentuan hukum positif termasuk peraturan perundang-undangan;

2) Bahan hukum sekunder atau sering dinamakan secondary data yang antara lain :

a) Kepustakaan/buku literatur yang berhubungan dengan kedudukan anak perempuan dalam pewarisan hukum adat Batak Toba.

b) Data tertulis yang lain berupa karya ilmiah para sarjana.

20Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 12.

21 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2003), hlm.16.

22Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Surabaya:

Bayumedia, 2006), hlm.192.

(21)

c) Referensi-referensi yang relevan dengan kedudukan anak perempuan dalam pewarisan hukum adat Batak Toba.

3) Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, kamus umum dan lain sebagainya.

Bahan-bahan hukum sebagai kajian normatif sebagian besar dapat diperoleh melalui penelusuran terhadap berbagai dokumen hukum.23

3. Teknik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan membaca, mempelajari dan menganalisa literatur/buku-buku, peraturan perundang-undangan dan sumber buku lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

4. Analisis Data

Data yang dikumpulkan dapat dipertanggungjawabkan dan dapat menghasilkan jawaban yang tepat dari suatu permasalahan, maka perlu suatu teknik analisa data yang tepat. Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan.24

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini menggunakan pola pikir/logika induktif, yaitu pola pikir untuk menarik kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum.25 Pengolahan dan analisis data bergantung pada jenis datanya. Pada

23 Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum (Bandung: Mandar Maju, 2008), hlm. 98

24 Bambang Sunggono, Op.Cit, hlm.18

25 Ibid., hlm. 21.

(22)

14

penelitian hukum berjenis normatif, maka dalam mengolah dan menganalisis bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier tidak dapat lepas dari berbagai penafsiran hukum yang dikenal dalam ilmu hukum.26

F. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang

“Kedudukan Perempuan Dalam Pewarisan Hukum Adat Batak Toba (Studi Putusan Mahkamag Agung Nomor 566 K/Pdt/2015)” belum pernah dilakukan penelitian. Dengan demikian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah atau secara akademik.

Penulisan skripsi ini dimulai dengan mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan kedudukan perempuan dalam pewarisan hukum adat Batak Toba, baik melalui literatur yang diperoleh dari perpustakaan maupun media cetak maupun elektronik dan di samping itu juga diadakan penelitian. Sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini dilakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan topik dalam tesis ini antara lain:

1. Herlina Mariaty P, dengan judul skripsi : Perkembangan Hak Waris Anak Perempuan dan Janda Pada Masyarakat Batak Toba di Perkotaan (Suatu Penelitian Di Kelurahan Sudi Rejo II Kecamatan Medan Kota- Kota Medan).

Rumusan masalah dalam skripsi tersebut adalah :

26 Ibid., hlm. 22.

(23)

a. Bagaimana prinsip dan asas hukum keluarga adat Batak Toba terhadap hak waris anak perempuan dan janda ?

b. Bagaimana perkembangan hak waris anak perempuan dan janda dalam hukum adat keluarga adat Batak Toba dewasa ini ?

c. Bagaimana sikap Mahkamah Agung di dalam menentukan hak mewaris anak perempuan dan janda terhadap harta peninggalan ?

2. Julita Br. Sagala, dengan judul skripsi Efektivitas Penerapan Yurisprudensi MA-RI Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan Terhadap Hukum Waris Adat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Medan Baru). Rumusan masalah dalam skripsi tersebut adalah :

a. Bagaimana penyelesaian sengketa waris adat pada masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan di Kecamatan Medan Baru?

b. Bagaimana penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 pada masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan di Kecamatan Medan Baru?

c. Hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 pada masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan di Kecamatan Medan Baru?

3. Ulfa Sundari dengan judul : Sistem Pewarisan Dalam Perkawinan Antara Masyarakat Dengan Sistem Kekerabatan Patrilinial Dan Masyarakat Dengan Sistem Kekerabatan Matrilinial. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

(24)

16

a. Bagaimanakah hukum yang mengatur pembagian harta warisan dalam perkawinan antara masyarakat dengan sistem kekerabatan patrilinial dan masyarakat dengan sistem kekerabatan matrilinial ?

b. Bagaimanakah pelaksanaan pembagian harta warisan dalam perkawinan antara masyarakat dengan sistem kekerabatan patrilinial dan masyarakat dengan sistem kekerabatan matrilinial ?

Bila dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini saya buat, maka hal itu menjadi tanggung jawab saya sendiri.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan, dengan sub bab terdiri dari, yaitu Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penelitian, Tinjauan Kepustakaan, Sistematika Penulisan.

Bab II : Kedudukan Perempuan Dalam Adat Batak Toba meliputi : Sekilas Tentang Hukum Adat Batak Toba, Sistem Kekerabatan Menurut Hukum Adat Batak Toba, Sistem Perkawinan Masyarakat Adat Batak Toba, Kedukan Perempuan dalam Hukum Adat Batak Toba.

Bab III : Sistem Pewarisan Pada Masyarakat Adat Batak Toba meliputi : Sistem Pewarisan dalam Hukum Adat Batak Toba, Subyek Hukum dalam Hukum Waris Adat Batak Toba, Pembagian Warisan dalam Adat Batak Toba.

BAB IV : Kedudukan Perempuan Dalam Pewarisan Hukum Adat Batak Toba (Studi Putusan Mahkamag Agung Nomor 566 K/Pdt/2015) meliputi :

(25)

Kedudukan Perempuan Dalam Pewarisan Hukum Adat Batak Toba, Hak Waris Perempuan dalam Pembagian Harta Warisan Pada Masyarakat Adat Batak Toba, Penyelesaian Hukum Waris Adat Batak Toba Sejak 2010 Saat ini, Pertimbangan Hukum Pemberian Harta Warisan Kepada Perempuan Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 566 K/Pdt/2015, Kasus Posisi, Pertimbangan Hukum, Analisis Kasus.

BAB V : Kesimpulan dan saran terhadap hasil analisa dari bab-bab sebelumnya.

(26)

18 BAB II

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM ADAT BATAK TOBA

A. Sekilas Tentang Hukum Adat Batak Toba

Dalam sejarah Batak Toba, belum ada keseragaman di antara para penulis sejarah mengenai pengertian nama “Batak”. Menurut Batara Sangti bahwa bila ada buku yang membuat sejarah dan kebudayaan suku Batak kebanyakan hanya secara subyektif dengan tidak memakai tarikh (angka-angka tahun atau abad).27

Perkataan nama “Negeri Batak” telah kedapatan juga dahulu kala di tanah Melayu (sebelum ada terjadi Kesultanan Malaka, BS). Asal kata Batak lebih besar kemungkinannya datang dari kata “Bataha”, sebagai nama salah satu kampung/negeri di Burma/Siam dahulu kala sebagai kampung/negeri asal orang Batak sebelum berserak kekepulauan nusantara. Dus dari kata “Bataha” kemudian beralih menjadi kata “Batak.28

Menurut sejarah Batak bahwa tempat perkampungan leluhur suku bangsa Batak yang pertama adalah berada di tepi sungai danau Toba yang bernama Si Anjur Mula-Mula, dari tempat ini tersebar turunan suku bangsa Batak ke seluruh penjuru tanah Batak. Orang Batak Toba menganggap bahwa mereka berasal dari satu keturunan nenek moyang (geneologis) yang sama yaitu Si Raja Batak, bahwa Si Raja Batak ini adalah turunan dari Mula Jadi Na Bolon, yang mula-mula tinggal di Si Anjur Mula-Mula pada Gunung Pusuk Buhit dekat Pangururan di pulau Samosir.

27 Batara Sangti, Sejarah Batak, (Balige : Karl Sianipar Company, 1997), hlm. 17

28 Ibid., hlm. 26.

(27)

Masyarakat Batak Toba sendiri memiliki adat budaya baku yang disebut Dalihan Na Tolu yang dapat menembus sekat-sekat yang didalamnya terdapat perbedaan dalam bermasyarakat. Adat budaya Batak ini memiliki sembilan belas nilai/norma inti dalam bermasyarakat yaitu : norma adat, norma musyawarah, norma perkawinan, norma pergaulan sehari-hari, norma perceraian, norma pewarisan, norma kekeluargaan, norma integrasi, norma kejujuran, norma keadilan, norma kesejahteraan, norma kemanusiaan, norma kebebasan, norma kepemimpinan, norma ambisi, norma ketelatenan, norma keterbukaan, dan norma kedaulatan takyat yang mana semua norma tersebut tak terlepas dari praktek pelaksanaan unsur sistem Dalihan Na Tolu.

Dalihan Na Tolu yang merupakan Trias Manner of Batak lahir pada abad 14 Masehi di Tamiang yang merupakan wilayah migrasi para leluhur Batak dari perantauannya kota Bataha, bekas kerajaan Martaban di Myanmar sebelum melakukan migrasi ke penjuru daerah migrasi lainnya di wilayah Sumatera Utara, dan kemudian leluhur masyarakat Batak Toba membawanya ke wilayah migrasinya di wilayah Toba, yang kemudian prinsip budaya ini tetap dinamai Dalihan Na Tolu di Toba dan di wilayah migrasi lainnya dinamai Rakut Sitelu, Daliken Sitelu, Owuloa Hada.29

Dalam sejarah yang ada mengenai Dalihan Na Tolu, bahwa awal mula nya terdapat sebuah kesepakatan para leluhur Batak sebelum mereka menyebar ke berbagai wilayah secara berkelompok, agar selalu memegang teguh Dalihan Na Tolu dimana mereka akan tinggal. Kesepakatan atas sistem Dalihan Na Tolu yang

29 Djaren Saragih, Hukum Perkawinan Adat Batak Khususnya Simalungun, Toba, Karo, dan Undang-Undang Tentang Perkawinan (UU No. 1/1974), (Bandung : Tarsito, 1980), hlm. 85.

(28)

20

berarti kesepakatan untuk tidak mendaulat jadi seseorang menjadi raja. Mereka semua tunduk pada hukum Habatahon dengan sistem yang dinamai Dalihan Na Tolu. Kesepakatan tersebut mengartikan bahwa siapapun yang mengusulkan, alasannya sudah pasti adalah “yang mengatur kita selama ini pun adalah Habatahon/Budaya kita”. Jika kita semua tunduk pada hukum Habatahon itu, tidak akan ada konflik diantara kita. Maka semua lelaki dewasa harus sebagai Anak Ni Raja dan semua perempuan dewasa harus sebagai Boru Ni Raja.30

Dalihan Na Tolu merupakan nafas atau ibaratkan ideologi yang harus dilaksanakan bagi orang Batak manapun, terkhususnya masyarakat Batak Toba dalam kesehariannya.Dalihan Na Tolu menjadi tolak ukur, menjadi pedoman, menjadi landasan ataupun dasar masyarakat dalam bertindak dan bertingkah laku terhadap sesamanya sesuai dengan peran/status yang dia peroleh dari suatu ikatan dalam marganya sendiri.Dalihan Na Tolu ini selalu hadir didalam setiap ritus masyarakat Batak Toba yang tidak dapat tertinggal/terpisahkan.

Dalihan Na Tolu secara harafiah berarti tungku yang terdiri dari tiga kaki penyanggah.Dahulu orang Batak Toba memasak di atas tiga buah batu tersebut.Pada rumah tradisional Batak Toba, perapian merupakan dimana tungku (tataring) ini berada mengabil tempat di tengah rumah.Tungku ini menjadi pusat rumah.31 Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang sangat mutlak. Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tersebut tidak dapat digunakan. Kalau kaki lima, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan dengan sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu juga dengan

30 Ibid., hlm. 89.

31 Batara Sangti, Op. Cit., hlm 38.

(29)

tungku berkaki empat. Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu tidak mungkin terjadi.Inilah yang dipilih leluhur suku batak sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama yang bersaudara, dengan hula-hula dan boru. Hal ini dikarenakan bahwa Perlunya sebuah keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang akanpernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu di masyarakat Batak Toba.

Fungsi dari Dalihan Na Tolu secara umum adalah menjaga integrasi masyarakat Batak Toba. Dalihan Na Tolu adalah suatu bentuk nilai budaya Batak Toba. Sebagai suatu bentuk dari nilai budaya, maka Dalihan Na Tolu juga memiliki sifat yang tidak statis dan adaptif atau dapat berubah dalam tata pelaksanaan atau penerapannya.32

Untuk Orang Batak Toba, pihak pemberi isteri (hula-hula) adalah sumber kahidupan bagi pihak penerima isteri (boru). Secara konkret hal itu tampak karena pihak pemberi isteri memberikan putri mereka kepada penerima isteri, dan putri ini akan melahirkan anak laki-laki yang menjadi penerus marga. Terhadap pemberian isteri ini, penerima isteri membalas dengan mahar yang dalam bahasa Batak Toba disebut tuhor (tukar, yang bisa berarti menukarkan atau membeli).Secara simbolis pemberi isteri mempunyai status yang lebih tinggi daripada pemberian penerima isteri. Pemberi isteri mempunyai sahala, yaitu kualitas tondi (prinsip hidup) yang lebih tinggi. Kuasa sahala pemberi isteri ini mempengaruhi nasib penerima isteri baik dalam hal yang baik maupun hal yang

32 Ibid.

(30)

22

buruk, seperti: keturunan, panen gagal, kecelakaan, penyakit dan bahkan kematian. Penerima isteri merasa bahwa eksistensinya tergantung kepada berkat pemberi isteri.33

Hal ini membawa konsekuensi bahwa penerima isteri harus menaruh hormat yang tinggi kepada pihak pemberi isteri, yang dalam bahasa Batak Toba dikatakan, somba marhula-hula.Pada ritus perkawinan, penerima isteri menyembah pemberi isteri dengan membawa persembahan babi/kerbau (tudu- tudu sipanganon, yang merupakan bagian organ terpenting dari kurban babi/kerbau tersebut).Dalam hal ini tondi babi/kerbau tersebut membawa sembah /hormat penerima isteri kepada pemberi isteri yang kemudian akan sampai kepada Debata (Tuhan/Allah).34

Dari penjelasan diatas Dalihan Na Tolu dapat dikategorikan sebagai wujud kebudayaan ideas, acivities, dan artifacts. Dikatakan sebagai ideas karena Dalihan Na Tolu merupakan suatu gagasan yang merupakan nilai inti dari masyarakat Batak Toba dan bertalian satu dengan yang lainnya. Dalam wujud yang demikian sifatnya sangatlah abstrak, tak dapat di raba, maupun di foto.

Apabila Dalihan Na Tolu sudah di implementasikan dalam sebuah aktivitas seperti upacara adat dan kebiasaan „martutur‟ maka wujud dari sistem kekerabatan ini adalah activities. Martutur merupakan penelusuran mata rantai istilah kekerabatan jika ia berjumpa dengan orang Batak Toba lainnya. Hal tersebut untuk mengetahui apakah yang satu masih kerabat dari yang lainnya dan bagaimana cara yang seharusnya untuk saling bertutur sapa. Dalam wujud

33 Ibid., hlm. 43.

34 Ibid

(31)

artifacts terlihat dalam pemberian ulos, jambar, dekke, dan yang lainnya.

Pemberian ulos, jambar, dekke, ataupun yang lainnya didasarkan pada Dalihan Na Tolu.35

B. Sistem Kekerabatan Menurut Hukum Adat Batak Toba

Masyarakat Batak Toba menganut sistem garis keturunan patrilineal (garis keturunan pihak ayah). Dari garis keturunan ayah tersebut dikenal kelompok kekerabatan yang disebut marga. Marga merupakan suatu bentuk kelompok yang turun-temurun mulai dari 1 (satu) kakek yang terikat dengan pertalian darah.

Lebih jauh, J.C. Vergouwen bahwa: ”marga adalah kelompok orang-orang yang merupakan keturunan dari seorang kakek bersama, dan garis keturunan itu diperhitungkan melalui bapak atau bersifat patrilineal. Semua anggota dari satu marga memakai nama identitas yang dibubuhkan sesudah nama kecil.36 Mengetahui hubungan kekerabatan antara seseorang dengan yang lainnya dilakukan dengan menelusuri silsilah leluhur beberapa generasi di atas mereka yang dalam bahasa Batak disebut “martarombo” atau ”martutur” adalah dengan marga.

Perkataan marga berasal dari bahasa sansekerta yang artinya jalan atau, satu arah, satu keturunan sedarah dan satu lingkaran adat”.37 Menurut Djaren Saragih bahwa ”pada masyarakat Batak Toba marga ini sangat penting karena nama panggilan seseorang adalah marganya, bukan namanya. Jadi kalau orang Batak yang baru pertama kalinya bertemu yang ditanya adalah marganya bukan

35 Ibid., hlm. 44.

36 J.C.Vergouwen, Op. Cit, hlm. 9.

37 T.M. Sihombing, Op. Cit, hlm. 57

(32)

24

namanya, bukan tempat asalnya. Orang Batak hanya memanggil nama hanya kepada anak-anak.38

Marga dalam kehidupan sehari-hari, sangat berguna bagi orang batak, antara lainnya:

1. Mengatur tata pergaulan.

2. Mengatur tata cara adat,

3. Mengatur hubungan kekeluargaan. 39

Di kalangan masyarakat batak ”Dalihan Na Tolu” mengandung makna yaitu ”Somba mar hula hula”, “Elek marboru” dan ”Manat mar dongan tubu”.

Artinya ketiga pola inilah yang menjadi dasar atau pedoman dalam kehidupan sosial maupun kegiatan lainnya di masyarakat batak. Dilihat dari posisi “Dalihan Na Tolu”, terdapat perbedaan struktural dan bahkan perbedaan prinsip (pendapat), akan tetapi melalui peran “Dalihan Natolu” seluruh aspek kegiatan tetap mengacu kepada hasil yang terbaik. Dalihan Na Tolu mempunyai kedudukan dan fungsi sebagai suatu sistem kekerabatan, pergaulan dan kesopanan, sosial hukum (adat) dan akhirnya diakui menjadi falsafah hidup masyarakat Batak.48Dalam berhubungan dengan orang lain, orang Batak menempatkan dirinya dalam susunan Dalihan Na Tolu tersebut, sehingga selalu dapat mencari kemungkinan adanya hubungan kekerabatan di antara sesamanya (martutur, martarombo).40

”Somba mar hula hula”, berarti bersikap hormat kepada hula-hula yaitu marga dari pihak istri maupun marga ibu. Hula-hula diibaratkan seperti mata ni

38 Djaren Saragih, Op. Cit., hlm. 9.

39 Jailani Sihotang dan Sadar Sibarani, Pokok-Pokok Adat Batak (Tata Cara Perkawinan di Toba), (Jakarta : Mars 1988), hlm. 9.

40 S. Sagala, Majalah Budaya Batak dan Pariwisata, Nomor. 8, 1 (Medan : Yayasan Budaya Batak, 1996), hlm. 46

(33)

ari binsar yang artinya memberikan cahaya hidup di segala bidang, yang harus dihormati karena diangggap mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. “Elek marboru” berarti bersikap mengasihi atau menyayangi putri/boru dari semarga (yang termasuk kelompok boru adalah pihak keluarga Hela termasuk orang tuanya dan keturunannya, setelah anak perempuannya kawin, ia akan ikut dengan marga suaminya), dan ”Manat mar dongan tubu” berarti bersikap hati-hati terhadap kerabat semarga, teman semarga adalah teman untuk menjalankan maupun menerima adat (semarga menurut garis keturunan bapak). Budaya Dalihan Na Tolu perlu dilestarikan jangan sampai punah dengan cara mewariskan kepada generasi muda khususnya pemuda Batak, karena budaya ini merupakan kekayaan bangsa Indonesia.

Dalihan Na Tolujuga berfungsi menyelesaian perselisihan di antara suami istri, bersaudara dan juga dalam acara pernikahan, sehingga Dalihan Na Tolu sebagai falsafah batak masih dipertahankan. Dalihan Na Tolu harfiah adalah “tiga tungku sejarangan”. Inimerupakan sistem kekerabatan adat Batak yang terdiri dari hula-hula (bride giver), boru (bride taker) dan dongan tubu (kelompok saudara dalam satu marga).41

C. Sistem Perkawinan Masyarakat Adat Batak Toba

Hukum Adat Batak Toba mengenal perkawinan exogami yaitu pada prinsipnya orang Batak harus kawin dengan marga yang lain, atau dengan kata lain bahwa pada prinsipnya perkawinan antara marga yang sama adalah tidak diperbolehkan atau dilarang, misalnya seorang laki-laki dari marga A tidak boleh

41 Djaren Saragih, Op. Cit., hlm. 78.

(34)

26

kawin dengan wanita marga A.42 Perkawinan semarga ini dalam hukum adat Batak Toba dianggap perbuatan yang sangat tercela dan merupakan pelanggaran terhadap hukum adat dan dikenakan sanksi hukum adat yang sangat berat yaitu hukum “dihukum dikucilkan dari masyarakat adat, dikucilkan dari kegiatan adat dan bahkan hukuman itu dapat berupa diusir dari lingkungan masyarakat dan dari lingkungan adat masyarakat adat tersebut. Pelanggaran adat ini dalam hukum adat Batak Toba disebut dengan manompas bongbong (bendungan atau ikatan marga) yang memiliki arti mengambil isteri dari marga atau klen sendiri.43

Pelanggaran terhadap adat tersebut di atas, maka timbullah reaksi dari masyarakat dan sanksi hukum adat terhadap pelanggar itu. Agar dia dapat diterima lagi di dalam masyarakat, harus sanggup menyediakan 4-7 ekor lembu dan babi untuk disembelih ditambah pembayaran sesuai dengan keputusan raja- raja adat.44 Adanya sanksi (hukuman) yang berat ini maka sangat jarang terjadi perkawinan semarga sehingga exogami marga ini tetap dijalankan dihormati dalam lingkungan hukum Adat Batak Toba, sehingga tetap terpelihara dalam lingkungan masyarakat adat. Larangan kawin semarga dalam masyarakat Batak Toba ini kebanyakan hanya terbatas pada marga yang sama, yang termasuk sub marga besar.45

Masyarakat Batak mengenal istilah Asimetris Connubium, yaitu tidak diperbolehkannya perkawinan secara timbal balik. Misalnya seorang laki-laki bernama A Samosir kawin dengan seorang wanita B Nasution. Laki-laki yang

42 Kariahen Purba, Kedudukan Harta Perkawinan Menurut Ketentuan Hukum Adat Batak Toba Dikaitkan Dengan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (Medan : FH-USU, 2001), hlm. 8

43 Ibid.

44 Ibid.

45 Ibid, hlm. 9

(35)

kawin berasal dari marga yang berbeda dengan si wanita dan jika wanita yang bermarga Nasution itu mempunyai saudara laki-laki misalnya, P Nasution, maka ia tidak diperbolehkan kawin dengan seorang wanita saudara dari A Samosir tadi.

Walupun laki-laki dalam hal ini berbeda marga dengan perempuan, tetapi mereka tidak diperbolehkan untuk kawin. Hal inilah yang dinamakan Asimetris Connubium. Oleh karena itu sistem perkawinan pada masyarakat Batak Toba di samping menganut sistem exogami, yaitu tidak diperbolehkan perkawinan dalam satu marga, juga tidak memperboleh adanya perkawinan timbal balik.46

Perkawinan yang ideal dalam masyarakat Batak Toba adalah perkawinan cross-cousin, yaitu perkawinan antara anak laki-laki dengan gadis anak pamannya (saudara ibunya baik saudara kandung ibunya maupun saudara sepupu ibu). Jadi pemuda Batak boleh mengambil anak gadis pamannya untuk menjadi isterinya atau sering disebut dengan kawin dengan Boru Tulang/Pariban.47

Ada beberapa jenis perkawinan pada masyarakat Batak Toba, yaitu :48 1. Dialap Jual yaitu perkawinan adat dengan cara menjemput pengantin

perempuan ke rumah orang tuanya karena pesta adat sepenuhnya dilakukan oleh pihak perempuan.

2. Ditaruhon Jual yaitu perkawinan adat dengan cara pengantin perempuan di antar ke rumah laki-laki.

3. Mangalua yaitu perkawinan yang dilakukan tanpa persetujuan salah satu atau kedua keluarga, sehingga laki-laki membawa pasangannya ke rumah keluarganya lalu diadakan upacara parajahon.

Perkawinan dalam adat Batak Toba haruslah diresmikan secara adat berdasarkan adat Dalihan Na Tolu. Adapun unsur-unsur Dalihan Na Tolu adalah sebagai berikut:

46 Djaren Saragih, Op. Cit, hlm. 32

47 Kariahen Purba, Op.Cit, hlm. 10

48 Nelson Lumbantoruan, Kearifan Lokal Masyarakat Batak Toba, (Medan : Mitra, 2012), hlm. 30-31

(36)

28

1. Dongan Tubu

Dongan Tubu, yaitu yang semarga dengan suhut. Suhut ialah seseorang atau sekeluarga yang berhajat menggelar acara adat. Acara adat yang diharapkan suhut tidak akan terlaksana dengan baik bila tidak didukung oleh dongan tubunya.

Betapa pun si suhut itu kaya, pejabat tinggi, atau semacamnya, bila suhut itu tidak berjalan pada aturan adat maka adat yang digelar tersebut tidak akan terlaksana dengan baik.

Unsur yang disebut di atas mau dengan sepenuh hati mendukung atau menghadiri acara adat itu bila si suhut tersebut pada waktu sebelumnya aktif sebagai pelaku adat sesuai dengan posisinya. Hal ini dalam bahasa Batak Toba tertuang dalam pribahasa: Sisoli-soli do uhum siadapari do gogo yang artinya:

hadirilah dan laksanakanlah kewajibanmu pada acara adat sesuai dengan posisimu, agar orang lain

hadir dan melaksanakan kewajibannya pada acara adat yang dilaksanakan.49 2. Boru

Unsur boru di acara adat ialah para suami anak perempuan suhut dan suami anak perempuan dongan tubunya. Setelah anak perempuan kawin, ia akan ikut marga suaminya. Anak dari anak perempuan suhut yang sudah berkeluarga yang disebut bere itu juga tergolong boru di sebuah acara adat.50

3. Hula-hula

Hula-hula adalah sapaan terhadap saudara laki-laki dari isteri, saudara laki-laki dari ibu, saudara laki-laki dari ibu yang melahirkan ayah, saudara laki-

49 Richard Sinaga, Perkawinan Adat Dalihan Natolu, (Jakarta : Dian Utama, 2013), hlm.

13

50 Ibid, hlm. 14

(37)

laki dari ibu yang melahirkan kakek, saudara laki-laki dari ibu yang melahirkan ayah kakek. Saudara laki-laki dari ibu yang melahirkan ayah kakek sewaktu hendak melaksanakan perkawinan tentu saja sudah tiada, oleh karena itu yang mewakilinya adalah anak dan cucunya laki-laki.51 Selain yang disebut di atas, saudara laki-laki dari ibu yang melahirkan istri, saudara laki-laki dari istri saudara laki-laki, dan orang tua dari istri anak adalah juga sebagai hula-hula.

Perkawinan pada masyarakat Batak Toba sangat kuat sehingga tidak mudah untuk bercerai, karena dalam pelaksanaan perkawinan tersebut banyak orang-orang yang terlibat dan bertanggung jawab di dalamnya. Pelaksanaan perkawinan adat Batak Toba terdapat beberapa ketentuan-ketentuan tata cara perkawinan. Adapun tata cara perkawinan secara normal berdasarkan ketentuan adat Batak Toba adalah sebagai berikut:

1. Mangarisik-risik

Mangarisik-risik atau lazim juga disebut marhori-hori dinding sebaiknya hanya dilakukan orang tua atau wali calon pengantin laki-laki dengan menandatangi orang tua atau wali calon pengantin perempuan. Bawaan orang tua calon pengantin laki-laki cukup makanan biasa berupa makanan ringan. Hal yang dibicarakan dipertemuan ini ialah masalah berapa jumlah sinamot, pesta dilakukan paranak atau parboru, dan kira-kira kapan dilakukan pesta. Sebenarnya inilah yang disebut marhusip pada mulanya.52

2. Marhata Sinamot

Mulanya marhata sinamot itu harus dihadiri hula-hula masing-masing, yaitu tulang calon pengantin laki-laki dan tulang calon pengantin perempuan,

51 T.M. Sihombing, Filsafat Batak (Tentang Kebiasaan-Kebiasaan Adat Istiadat), (Jakarta : Balai Pustaka, 1986), hlm. 3

52 Richard Sinaga, Op.Cit, hlm. 166

(38)

30

akan tetapi ada baiknya acara marhata sinamot itu dianggap sudah resmi walaupun tidak dihadiri hula-hula. Acara marhusip yang dilakukan sekarang dianggap resmi adalah marhata sinamot supaya di gedung tidak ada lagi marhata sinamot. Sebab kurang pada tempatnya marhata sinamot di gedung padahal pengantin sudah diberkati di gereja, dan jambar juhut sudah dibagi.53

Perkawinan adat Batak Toba mengenal beberapa jenis sinamot yaitu : 54 a. Sinamot Nagok

Sinamot nagok adalah prinsip berkenalan kedua belah pihak yang dilaksanakan secara murni menurut kedudukan keluarga pada sistem kekerabatan masing-masing kedua belah pihak. Dengan sistem sinamot nagok ini memberi kesempatan untuk tawar menawar antara tingkat kekerabatan yang sejajar berapa besarnya todoan yang dapat disetujui masing-masing pihak serta berapa ulos yang dapat disetujui masing-masing mereka. Sinamot nagok pada adat nagok pesta adat peresmian perkawinan terlaksana dengan murni di mana pihak paranak memberikan sinamot dan pihak parboru membalasnya dengan ulos, saling bertukar yang disebut dengan istilah marsitaripar.

b. Sinamot Rambu Pinungu

Prinsipnya sama dengan sinamot nagok tetapi sudah disederhakan. Upa suhut dan upa suhi ni ampang na opat (sejumlah uang yang diberikan kepada empat penerima pemberian uang) yaitu, upa pamarai, upa simolohon, upa pariban dan upa tulang digabungkan seluruhnya. Dalam hal ini suhut parborulah yang bertanggung jawab memberikan upa suhi ni ampang na opat dari jumlah sinamot gabungan tadi.

53 Ibid.

54 DJ. Gultom Rajamarpodang, Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak, (Medan : Amanda, 2002), hlm.301-302.

(39)

c. Sinamot Sitombol

Ada istilah pada pelaksana adat di Tanah Batak yaitu disi iba hundul di sima tano ni degehon, disi iba tindang sima langit dijunjung. Maksudnya adalah di mana seseorang duduk disitulah tanah dipijak dan di mana berdiri disitulah langit dijunjung. Sidapot solup do na ro maksudnya pendatang hendaklah mempergunakan takaran setempat. Hal ini timbul adalah karena ada perbedaan pelaksanaan adat berdasarkan daerah. Suku Batak terdiri enam sub Suku batak dan dari sub Suku Batak Toba masih ada perbedaan pelaksanaan adat karena keadaan daerahnya seperti Toba, Silindung, Samosir dan Daerah Humbang.

Prinsip adat itu memang sama, tetapi berdasarkan daerah tadi ada variasi pada pelaksanaan adat.

Sinamot Sitombol adalah sejumlah uang yang disepakati kedua belah pihak laki-laki dan pihak perempuan untuk pelaksanaan upacara adat perkawinan, yang diserahkan pihak laki-laki kepada pihak perempuan (orang tua perempuan) yang diperuntukkan untuk upa suhut, todoan, dan upa-upa lainnya dan keseluruhan biaya upacara perkawinan baik untuk panjuhuti maupun dengkena. Semua pelaksana adat pada upacara peresmian perkawinan dengan sinamot sitombol dilaksanakan pihak perempuan dengan mempergumakan sejumlah uang yang telah diserahkan pihak laki-laki kepadapihak perempuan sesuai dengan kesepakatan yang telah dimufakatkan pada waktu marhata sinamot.

3. Martonggo Raja-Marria Raja

Biasanya setelah selesai acara martumpol di gereja, masing-masing paranak dan parboru melakukan acara martonggo raja dan marria raja. Paranak nanti yang melakukan pesta, paranaklah yang disebut martonggo raja, sebaliknya

(40)

32

kalau parboru nanti yang melakukan pesta, parborulah yang disebut martonggo raja dan paranak disebut marria raja. Acara ini dihadiri oleh dongan tubu, boru/bere dan dongan sahuta masing-masing. Hal yang dibicarakan di acara martonggo raja/marria raja adalah mempersiapkan segala sesuatu menghadapi pesta pernikahan.55

4. Marunjuk

Marunjuk adalah saat berlangsungnya upacara perkawinan, upacara perkawinan pada masyarakat Batak Toba ada dua macam yaitu alap dan taruhon jual. Alap jual adalah suatu upacara adat perkawinan adat Batak Toba yang tempat upacara perkawinan dilaksanakan di tempat atau di kampung perempuan.

Pengantin perempuan dijemput oleh pengantin laki-laki bersama orang tua, kaum kerabat dan para undangan ke rumah orang tuanya. Pihak pengantin laki-laki sering menyebut istilah ini mangalap boru (menjemput pengantin perempuan).

Pada acara merunjuk inilah akan berjalan semua upacara perkawinan dari makan sibuhai-buhai, pembagian, dan mangulosi.56

5. Paulak Une

Acara ini dimasukkan sebagai langkah agar kedua belah pihak bebas saling kunjung mengunjungi setelah beberapa hari berselang setelah upacara perkawinan yang biasanya dilaksanakan seminggu setelah upacara perkawinan, pihak pengantin laki-laki dan kerabatnya, bersama pengantin pergi ke rumah pihak orang tua pihak pengantin perempuan. Kesempatan inilah pihak perempuan mengetahui bahwa anak perempuannya betah tinggal di rumah mertuanya.57

55 Richard Sinaga, Op.Cit, hlm. 166

56 DJ. Gultom Rajamarpodang, Op. Cit, hlm.303

57 Richard Sinaga, Op.Cit, hlm.180

(41)

6. Maningkir Tangga

Upacara ini pihak perempuan pergi mengunjungi pengantin di rumah pihak laki-laki, di mana mereka makan bersama melakukan pembagian jambar.

Hakekatnya maningkir tangga ini dimaksudkan agar pihak perempuan secara langsung melihat dari keadaan putrinya dan suaminya karena bagaimanapun juga mereka telah terikat hubungan kekeluargaan dan sekaligus memberi nasehat dan bimbingan rumah tangga.58

D. Kedukan Perempuan dalam Hukum Adat Batak Toba

Kata “kedudukan mengandung arti tingkatan atau martabat, keadaan yang sebenarnya, status keadaan atau tingkatan orang, badan atau negara”.59 Kedudukan dalam hal ini dapat diartikan sebagai status atau tingkatan seseorang di dalam mengemban dan melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai anggota keluarga, kerabat dan masyarakat.

Masyarakat hukum Indonesia jika ditinjau dari segi kekeluargaan adalah berbeda-beda, disetiap lingkungan adat ini masing-masing mempunyai sistem kekeluargaan yang berbeda pula. Begitu juga dalam hal kedudukan laki-laki dengan perempuan pada prinsipnya dan asasnya adalah berbeda. Hukum adat Batak Toba merupakan salah satu hukum adat yang masih hidup dengan sistem kekerabatannya mengikuti garis keturunan ayah (patrilineal) yang membedakan kedudukan laki-laki dan perempuan. Laki-laki merupakan generasi penerus ayahnya, sedangkan perempuan tidak karena perempuan dianggap hanya bersifat

58 Ibid., hlm. 188.

59 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2006), hlm.38.

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan penanaman modal asing dalam sektor perkebunan dalam perspektif hukum di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman

dibidang pasar modal, perusahaan penanaman modal berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, sedang untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) perintah

Skripsi ini meneliti dua hal, yaitu (1) Bagaimana perbandingan hak waris anak angkat terhadap harta warisan orangtua angkatnya Menurut Hukum Adat Jawa, Berdasarkan Hukum islam

UU Penanaman Modal tidak membedakan hak dan kewajiban antara penanaman modal yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Oleh karena itu orang/badan hukum

“Pertanggungjawaban Hukum Pengemudi Bus Angkutan Umum Akibat Terjadinya Kecelakaan Yang Mengakibatkan Penumpang Meninggal Dunia Berdasarkan Undang-Undang Nomor

Kendala dalam pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Fakultas Hukum USU, Pelaksanaan Perda KTR di Kota Medan

Berdasarkan paparan latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul :“Tinjauan Kriminologis Terhadap Tindak Pidana Pencurian

Adapun skripsi ini berjudul “Aspek Hukum Penolakan Rakyat China Terhadap Keputusan Arbitrase Internasional dalam Kasus Laut Cina Selatan.”Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi