• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PEMBERIAN TANAH OLEH ORANGTUA KEPADA ANAK PEREMPUAN MELALUI PAUSEANG PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KEC. DOLOK SANGGUL KAB. HUMBANG HASUNDUTAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PEMBERIAN TANAH OLEH ORANGTUA KEPADA ANAK PEREMPUAN MELALUI PAUSEANG PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KEC. DOLOK SANGGUL KAB. HUMBANG HASUNDUTAN"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PEMBERIAN TANAH OLEH ORANGTUA KEPADA ANAK PEREMPUAN MELALUI PAUSEANG PADA MASYARAKAT

BATAK TOBA DI KEC. DOLOK SANGGUL KAB. HUMBANG HASUNDUTAN A. Deskripsi Wilayah Penelitian

Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara dengan Dolok Sanggul sebagai ibukotanya, yang disahkan pada tanggal 28 Juli 2003 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Pakpak Barat dan Kabupaten Humbang Hasundutan di Provinsi Sumatera Utara. Luas wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan adalah 251.765,93Ha yang terdiri dari 10 kecamatan, 153 desa dan 1 kelurahan. Kecamatan yang ada di Kabupaten Humbang Hasundutan yaitu Kecamatan Dolok Sanggul, Baktiraja, Lintong Nihuta, Onan Ganjang, Pakkat, Paranginan, Parlilitan, Pollung, Sijama Polang dan Tarabintang.69

Kecamatan Dolok Sanggul sebagai salah satu kecamatan dan ibukota Kabupaten Humbang Hasundutan, secara geografis berada di ketinggian 1300-1622 m di atas permukaan laut dan secara astronomis terletak pada 2˚9’ - 2˚25’

69http://www.humbanghasundutankab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&i d=460&Itemid=61 diakses pada tanggal 5 November 2013

(2)

Lintang Utara dan 98˚35’ - 98˚49’ Bujur Timur dengan batas wilayah sebagai berikut :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Marade, Sipituhuta, Aeknauli I dan Aeknauli II Kecamatan Pollung

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Hutatinggi dan Sirang Gitgit Kecamatan Parmonangan

3. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Siponjot (Silaban) Kecamatan Lintong ni Huta

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sibuluan Kecamatan Onan Ganjang

Wilayah Kecamatan Dolok Sanggul memiliki luas 20.930 Ha yang terdiri dari 27 desa yaitu Aek Lung, Huta Gurgur, Hutabagasan, Hutaraja, Janji, Lumban Purba, Matiti I, Matiti II, Pakkat, Parik Sinomba, Purba Dolok, Purba Manalu, Saitnihuta, Sampean, Sihite I, Sihite II, Silaga-laga, Sileang, Simangaronsang, Simarigung, Sirisirisi, Sosor Gonting, Sosor Tolong, Sosor Tambok,Bonani Onan, Lumban Tobing, dan Pasaribu serta 1 kelurahan yaitu Pasar Dolok Sanggul.70

Pada tahun 2013 jumlah penduduk Kecamatan Dolok Sanggul sebesar 48.512 jiwa,yang terdiri dari laki-laki sebanyak 23.995 jiwa dan perempuan

70 http://humbanghasundutankab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id-221:profil-kecamatan&catid=61:dolok-sanggul&Itemid=231 diakses tanggal 5 November 2013

(3)

sebanyak 24.517 jiwa dengan rincian sebagaimana diuraikan pada tabel sebagai berikut :

Tabel 2.1. Jumlah Penduduk dan Keluarga di Kecamatan Dolok Sanggul

No. Desa/ Kelurahan Jumlah

Keluarga Jumlah Penduduk 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. Desa Aeklung DesaBona Ni Onan Desa Hutabagasan Desa Hutagurgur Desa Hutaraja Desa Janji

Kelurahan Pasar Dolok Sanggul Desa Lumban Purba

DesaLumban Tobing Desa Matiti 1 Desa Matiti 2 Desa Pariksinomba Desa Pakkat DesaPasaribu Desa Purba Dolok Desa Purba Manalu Desa Saitnihuta Desa Sampean Desa Sihite 1 Desa Sihite 2 Desa Silagalaga Desa Sileang Desa Simangaronsang Desa Simarigung Desa Sirisirisi Desa Sosorgonting Desa Sosor Tambok Desa Sosor Tolong

325 360 420 420 433 156 1249 262 165 440 317 238 320 544 424 385 477 111 272 183 217 346 423 193 385 315 117 89 1.589 1.824 2.253 1.959 1.532 790 6.662 1.419 812 1.981 1.687 1.064 1.745 2.939 1.999 1.966 2.406 533 1.243 1.189 1.257 1.833 2.058 895 1.892 1.784 545 265 Jumlah 9.586 48.512

(4)

Berdasarkan Tabel 2.1., jumlah penduduk Kecamatan Dolok Sanggul sebanyak 48.512 jiwa yang terdiri dari 9.586 keluarga.Jumlah penduduk dan keluarga paling banyak terdapat di Kelurahan Pasar Dolok Sanggul sebesar 6.662 jiwa dan 1249 keluarga.

Tabel 2.2 Tabel Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

No. Desa/ Kelurahan Laki-laki

(jiwa) Perempuan (jiwa) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. Desa Aeklung DesaBona Ni Onan Desa Hutabagasan Desa Hutagurgur Desa Hutaraja Desa Janji

Kelurahan Pasar Dolok Sanggul Desa Lumban Purba

DesaLumban Tobing Desa Matiti 1 Desa Matiti 2 Desa Pariksinomba Desa Pakkat Desa Pasaribu Desa Purba Dolok Desa Purba Manalu Desa Saitnihuta Desa Sampean Desa Sihite 1 Desa Sihite 2 Desa Silagalaga Desa Sileang Desa Simangaronsang Desa Simarigung Desa Sirisirisi Desa Sosorgonting Desa Sosor Tambok Desa Sosor Tolong

761 923 1.208 958 832 470 3.242 754 400 900 838 946 880 1.323 1.034 950 1.206 263 598 657 631 724 974 433 945 761 254 133 828 901 1.045 1.001 700 320 3.420 665 412 1081 849 118 865 1.616 965 1.016 1.200 270 645 532 626 1.109 1.084 462 947 1.023 291 132 Jumlah 23.995 24.517

(5)

Berdasarkan Tabel 2.2 dapat diketahui bahwa jumlah penduduk dengan jenis kelamin perempuan jumlahnya lebih banyak sebesar 24.517jiwa apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk dengan jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 23.995 jiwa.

Pendidikan berperan penting dalam meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap ilmu pengetahuan yang dapat berguna untuk memajukan berbagai bidang kehidupan masyarakat.Tingkat pendidikan masyarakat di lokasi sampel penelitian beranekaragam mulai dari masyarakat yang tidak/ belum sekolah, tidak tamat Sekolah Dasar (SD), tamat SD, Sekolah Lanjutan Tahap Pertama (SLTP), Sekolah Menengah Umum (SMU), Diploma I-III, Strata 1 maupun Strata II. Adapun komposisi tingkat pendidikan masyarakat di lokasi sampel penelitian dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 2.3 Tingkat Pendidikan di Lokasi Sampel Penelitian

No Desa Tidak/ belum sekolah Tidak Tamat SD SD SLTP SMU Perguruan Tinggi Jumlah 1 . 2 . 3. 4 . 5 . Janji Hutaraja Sihite 1 Silaga-laga Pasaribu 87 272 238 114 494 19 374 292 311 85 40 263 297 210 360 64 370 269 202 621 388 479 325 148 1065 33 20 18 39 84 621 1778 1259 1024 2709 *Sumber : Data Kecamatan Dolok Sanggul

Berdasarkan Tabel 2.3 dapat diketahui bahwa masyarakat di lokasi sampel penelitian telah menyadari peran penting dari pendidikan untuk

(6)

memajukan kehidupan. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah penduduk yang tamat SLTA lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk yang tidak sekolah dan tidak tamat SD, bahkan di setiap desa telah ada masyarakat yang menyelesaikan pendidikannya pada tingkat perguruan tinggi.

Mayoritas penduduk di Kecamatan Dolok Sanggul memeluk agama Kristen, dimana mata pencaharian masyarakatnya bergerak di bidang pertanian, perkebunan dan perdagangan. Di bidang pertanian, masyarakat Dolok Sanggul terkenal dengan produksi kemenyan yang dikenal luas dan hasilnya telah dijual baik ke daerah-daerah yang ada di Indonesia maupun ke luar negeri. Kecamatan Dolok Sanggul juga dikenal sebagai penghasil daging kuda yang juga menjadi makanan khas daerah tersebut. Perkembangan kehidupan masyarakat di Kecamatan Dolok Sanggul lebih cepat apabila dibandingkan dengan kecamatan lainnya di Kabupaten Humbang Hasundutan.

Berdasarkan cerita rakyat yang berkembang, Dolok Sanggul pada awalnya merupakan hutan rimba yang masih dihuni oleh binatang buas dan semak belukar. Pemberian nama Dolok Sanggul berawal dari perjalanan ibu-ibu Batak menuju ke tempat pesta (ulaon) yang harus melewati daerah Dolok Sanggul. Pada perjalanan yang memakan waktu kira-kira satu hari perjalanan tersebut, mereka beristirahat tepat di Dolok Sanggul yg dulu masih hutan belantara dan tanpa sadar sanggul ibu itu tertinggal di daerah tersebut.

(7)

Hal tersebut baru disadari setelah sampai di tempat tujuan pesta. Para ibu tersebut kemudian memutuskan untuk mencarinya pada saat pulang dari tempat pesta, namun sanggul tidak ditemukan lagi. Dalam perjalanan pulang ke tempat asal, mereka memandang (manatap) dari Dolok Nabolon yang berada di Kecamatan Pollung dan menyadari bahwa tempat itu sangat indah sehingga memutuskan mulai membuka lahan di tempat tersebut. Mereka menamakan tempat tersebut dengan nama Dolok Sanggul, karena daerah tersebut berupa bukit yang dalam bahasa Batak adalah dolok dan kata sanggul berasal dari sanggul mereka yang ketinggalan dan telah hilang di daerah tersebut.71

Tradisi masyarakat di lokasi penelitian masih sering dilakukan seperti pelaksanaan pekan atau onan yaitu suatu bentuk perdagangan antar desa satu kali dalam seminggu yang dilakukan setiap hari Jumat.Pada saat onan, masyarakat setempat beramai-ramai membawa hasil berladang dan pertanian selama satu minggu untuk dijual ke pembeli yang berasal dari desa lainnya atau bahkan desa yang berada di kecamatan atau kabupaten yang berbeda. B. Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba

1. Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba

(8)

Sumatera Utara memiliki 3 (tiga) bagian penduduk asli, yaitu Batak, Melayu (Pesisir Sumatera Timur) dan Nias. Hal ini sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Van Vollenhoven dalam mengklasifikasikan seluruh daerah Indonesia di dalam 19 (sembilanbelas) lingkungan hukum adat di Indonesia. Kesembilanbelas lingkungan hukum adat tersebut, sebagaimana dikutip oleh Soepomo72adalah :

a. Aceh

b. Tanah Gayo-Alas dan Batak beserta Nias c. Daerah Minangkabau beserta Mentawai d. Sumatera Selatan

e. Daerah Melayu f. Bangka dan Belitung g. Kalimantan (Tanah Dayak) h. Minahasa i. Gorontalo j. Daerah Toraja k. Sulawesi Selatan l. Kepulauan Ternate m.Maluku, Ambon n. Irian o. Kepulauan Timor

p. Bali dan Lombok (beserta Sumbawa Barat) q. Jawa Tengah dan Timur (beserta Madura)

r. Daerah-saerah Swapraja (Surakarta dan Yogyakarta) s. Jawa Barat.

Dalam sejarah Batak Toba, belum ada keseragaman di antara penulis sejarah mengenai pengertian nama Batak. Menurut Batara Sangti, bila ada buku yang membuat sejarah dan kebudayaan suku Batak kebanyakan hanya

(9)

subjektif dengan tidak memakai tarikh (angka-angka tahun atau abad).73 Asal kata Batak kemungkinan besar berasal dari kata Bataha sebagai nama salah satu kampung/negeri di Burma/ Siam yang merupakan kampung/negeri asal orang Batak sebelum menyebar ke Nusantara.74

Asal usul suku Batak sebelum berada di Nusantara masih belum diketahui dengan pasti karena masih terdapat perbedaan pendapat sarjana tentang hal tersebut. Ada pendapat yang menyatakan bahwa suku Batak berasal merupakan ras Proto Melayu yang berbahasa Austronesia, namun ada pula yang menyatakan bahwa suku Batak berasal dari India belakang.75

Menurut sejarah di kalangan suku Batak di Indonesia khususnya Batak Toba, sebelum terjadi persebaran masyarakat, tempat perkampungan leluhur suku bangsa Batak yang pertama adalah pada mulanya berada di tepi Danau Toba yang bernama Sianjur Mula-mula, di kaki gunung Pusuk Buhit dekat Pangururan di pulau Samosir.76 Pada zaman sebelum penjajahan Belanda, daerah Batak meliputi daerah-daerah pegunungan Bukit Barisan yang berpusat di Danau Toba, dan berbatasan dengan daerah Aceh (setelah lahir kesultanan

73Batara Sangti, Sejarah Batak, (Balige: Karl Sianipar Company, 1977), hal.17 74Ibid., hal.26

75

E.H.Tambunan, Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya sebagai Sarana Pembangunan, (Bandung: Tarsito, 1982), hal.10

76Torop Eriyanto, Kedudukan Anak Perempuan Dalam Hukum Waris Adat pada Masyarakat Batak Toba di Kec.Pontianak Kota di Kota Pontianak, Tesis, (Medan: USU, 2005), hal.61-62

(10)

Aceh tahun 1513) di sebelah utara, tanah Melayu di sebelah timur, tanah Minangkabau di sebelah selatan dan Lautan Hindia di sebelah barat.77

Suku Batak merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia yang terdiri dari beberapa sub suku (puak). Pada mulanya, suku Batak masih bersatu padu dalam lingkungan Dinasti Tuan Singamangaraja (Si Raja Batak), yang terdiri dari 3 sub suku, yaitu Gayo Alas (Aceh tua/asli), Pakpak dan Toba. Setelah terjadinya Perang Padri/Bonjol di tanah Batak, lahir beberapa sub suku (puak) baru, yaitu Simalungun, Dairi, Karo, Angkola-Mandailing dan Batak-Melayu.78

Menurut Djaren Saragih79, masing-masing sub suku Batak dengan wilayah atau lingkungan adatnya dapat dibagi atas :

a. Batak Simalungun yang mendiami daerah sekitar Sibaganding, dari Sipiso-piso sampai perbatasan Tebing Tinggi, dari Parapat sampai ke Tongging dekat Saribudolok

b. Batak Karo yang bertempat tinggal di wilayah Laupakam sampai ke Gunung Sibayak dan Merek sampai ke Berastagi dan Kabanjahe

c. Batak Toba mendiami daerah wilayah dataran tinggi Toba yaitu daerah-daerah Toba Holbung, Silindung, Humbang, Pahae dan Pulau Samosir

77

Batara Sangti, Op.Cit., hal.27 78Ibid., hal.24-25

(11)

d. Batak Pakpak-Dairi, mendiami daerah Dairi di sekitar Sidikalang

e. Batak Angkola mendiami sekitar Batang Toru, Padang Lawas, Sipirok dan Padang Sidempuan

f. Batak Mandailing mendiami daerah Penyabungan dan Natal

Sistem hubungan kekerabatan pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Dolok Sanggul, ditandai dengan pencantuman marga di belakang nama seseorang. Marga merupakan suatu bentuk kelompok orang-orang yang merupakan keturunan dari seorang kakek bersama dan garis keturunan itu diperhitungkan melalui bapak atau bersifat patrilineal. Semua anggota dari satu marga memakai nama identitas yang dibubuhkan setelah nama kecil.80

Perkataan marga berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya jalan atau satu arah, satu keturunan sedarah dan satu lingkaran adat.81Marga tidak

terlepas dari asal mula sejarah masyarakat Batak.Marga berasal dari Si Raja Batak yang diyakini oleh suku Batak khususnya orang Batak Toba, merupakan nenek moyang suku Batak.

Si Raja Batak, Raja Sisingamangaraja ke-I adalah yang pertama kali melahirkan suatu ajaran (doktrin) yang mewajibkan dan mengharuskan tiap-tiap orang membuat marga-marga secara genealogis territorial tanpa kecuali

80

J.G.Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, (Yogyakarta: Lkis, 2004), hal.9 81TM Sihombing, Filsafat Batak (Tentang Kebiasaan-kebiasaan Adat Istiadat), (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hal 57

(12)

sebagaimana terdapat dalam peraturan (uhum) berbentuk peribahasa Batak “Jolo tiniptip sanggar, bahen huru-huruan; Jolo sinungkun marga, asa binoto

partuturan“ yang artinya adalah terlebih dahulu dipotong pimping (sejenis

ranting), sebelum membuat sangkar; Lebih dulu dipertanyakan marga, agar dapat diketahui partuturan (sebutan kedudukan dalam adat).82Kewajiban untuk mempertanyakan marga terlebih dahulu menjadi identitas dan titik tolak untuk mengetahui sebutan kedudukan dalam adat (partuturan) kekerabatan orang Batak. Marga yang diwajibkan untuk dimiliki setiap orang Batak, menjadi pengikat hubungan kekerabatan sesama orang Batak dimana dan kemanapun orang Batak pergi.83

Menurut Djaren Saragih, marga memiliki peranan yang penting bagi masyarakat Batak Toba, karena masyarakat Batak Toba memanggil seseorang dengan memanggil marga bukan nama. Masyarakat Batak Toba hanya memanggil nama kepada anak-anak saja.84Untuk mengetahui hubungan kekerabatan antara seseorang dengan yang lainnya dilakukan dengan menelusuri silsilah leluhur beberapa generasi di atas mereka (martarombo atau

martutur) adalah dengan berpedoman pada marga yang dimiliki seseorang.

82

Batara Sangti, Op.Cit., hal. 334 83Ibid., hal.335

(13)

Setiap orang pada masyarakat Batak mempunyai marga, sehingga demikian masyarakat Batak yang menarik garis keturunan dari laki-laki (patrilineal), terdiri dari kumpulan marga-marga.Marga yang satu dengan

marga yang lainnya saling mempunyai hubungan tertentu dalam beberapa hal

seperti dalam hubungan perkawinan. Hubungan perkawinan mengakibatkan antara marga yang satu memiliki kedudukan dengan marga yang lainnya.85

Marga bagi masyarakat Batak Toba memiliki kedudukan penting yang

mempunyai tiga fungsi yaitu mengatur tata adat, tata pergaulan dan hubungan kekeluargaan.86

2. Dalihan Na Tolu sebagai Falsafah Hubungan Kekerabatan

Kehidupan kekerabatan marga-marga Batak Toba menganut falsafah

Dalihan Na Tolu. Falsafah hubungan kekerabatan Dalihan Na Tolu merupakan

perumpamaan yang berasal dari tungku tiga kaki yang terbuat dari batu yang biasa digunakan masyarakat Batak Toba untuk memasak. Dengan adanya ketiga kaki pada tungku tersebut, periuk sebagai alat memasak yang diletakkan di atasnya menjadi diam dan tegak. Ketiadaan salah satu kaki pada tungku akan menyebabkan masakan yang berada di atasnya tumpah, demikian pula dalam kehidupan masyarakat Batak yang harus saling mendukung antara

hula-85

Ibid., hal.17

86 Jailani Sihotang dan Sadar Sibarani, Pokok-pokok Adat Batak (Tata Cara Perkawinan di Toba), (Jakarta: Mars 26, 1988), hal.9

(14)

hula, boru dan dongan sabutuha atau dongan tubu untuk menegakkan,

menghormati dan mentaati adat.87

Dalihan Na Tolu mempunyai kedudukan dan fungsi sebagai suatu

sistem kekerabatan, pergaulan dan kesopanan, sosial hukum (adat) dan akhirnya diakui menjadi falsafah masyarakat Batak.Falsafah Batak Toba sebagai dasar untuk bersikap terhadap kerabat yaitu Dalihan Na Tolu adalah

Somba Marhula-hula, Manat Mardongan Tubu dan Elek Marboru".88

Somba Marhula-hula, mengandung makna untuk bersikap hormat

kepada hula-hula yaitu marga dari pihak istri maupun marga ibu.Hula-hula diibaratkan seperti mata ni ari binsar yang berarti seperti matahari yang memberikan cahaya kehidupan di segala bidang dan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi sehingga harus dihormati.89

Elek Marboru mengandung makna untuk bersikap mengasihi atau

menyayangi putri (boru) dan kelompok parboru yang terdiri dari menantu

(hela), orangtua dan keturunannya.90Manat mardongan tubu mengandung

makna untuk bersikap berhati-hati terhadap kerabat satu marga dan teman satu

marga.91

87Ibid., hal.22

88Torop Eriyanto, Op.Cit.,hal.66 89

Tiorista, Hak Mewaris Anak Perempuan dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir), Tesis, Medan: USU, 2008, hal.44

90Ibid. 91Ibid.

(15)

Dari uraian mengenai falsafah Dalihan Na Tolu tersebut, dapat dilihat adanya tiga komponen utama dalam sistem hubungan kekerabatan masyarakat Batak Toba yaitu kelompok hula-hula, boru dan dongan sabutuha atau

dongan tubu.Suatu marga mempunyai fungsi tertentu terhadap marga lainnya

dan demikian sebaliknya.Setiap kelompok marga dalam keadaan yang tertentu dapat berubah fungsinya terhadap marga lainnya.Dalam suatu keadaan, setiap

marga dapat menjalankan fungsinya sebagai hula-hula, boru maupun dongan sabutuha atau dongan tubu.92

Peranan Dalihan Na Tolu di dalam adat Batak Toba adalah sangat penting.Suatu upacara adat bukan merupakan upacara adat tanpa kehadiran

Dalihan Na Tolu.93 Upacara adat termasuk adat pemberian pauseang kepada anak perempuan tidak akan terlaksana apabila unsur-unsur Dalihan Na Tolu tidak ada, karena segala pelaksanaan upacara adat harus terlebih dahulu dimusyawarahkan. Ini menunjukkan/ merupakan ciri khas dan kepribadian hukum adat Batak Toba.94

C. Pemberian Menurut Hukum Adat

Pemberian menjadi hal yang biasa terjadi dalam kehidupan masyarakat adat. Menurut Soerojo Wignjodipoero, pemberian adalah pembagian

92

Djaren Saragih dkk., Op.Cit., hal.22-23 93

Nalom Siahaan, Adat Dalihan Na Tolu: Prinsip dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Prima Anugrah, 1982), hal.45

(16)

keseluruhan ataupun sebagian daripada harta kekayaan semasa pemiliknya masih hidup.95Eman Suparman mempersamakan hibah dengan pemberian. Menurut Eman Suparman, hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaan pembagiannya biasanya dilakukan pada waktu penghibah masih hidup.96Hibah menurut hukum adat memiliki beberapa ketentuan, yaitu:

a. Hibah adalah jenis pemberian yang dilakukan oleh seseorang ketika masih hidup

b. Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan tanpa kontra prestasi dari pihak penerima hibah, atau dengan kata lain perjanjian secara cuma-cuma

c. Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah tersebut bertentangan dengan hukum adat

d. Benda-benda yang dapat dihibahkan adalah segala sesuatu benda milik penghibah yang telah ada pada saat dilakukan hibah, baik benda yang bergerak maupun benda tetap

e. Hibah dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis

Menurut Soepomo, pemberian semasa hidup dilakukan oleh orangtua untuk mewajibkan para waris untuk membagi-bagikan harta dengan cara layak menurut anggapan pewarisan dan juga untuk mencegah perselisihan.97 Menurut Ter Haar, hibah adalah pembagian harta peninggalan di waktu masih

95

Soerojo Wignojodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Bandung: Alumni, 1973), hal. 204

96Eman Suparman, Op.Cit., hal.81 97Soepomo, Op.Cit,hal.91

(17)

hidup dan diperuntukkan sebagai dasar kehidupan materiil anggota keluarga dan penyerahannya dilakukan dengan seketika.98

Harta pemberian adalah harta kekayaan yang diperoleh suami isteri secara bersama atau perseorangan yang berasal dari pemberian orang lain. Pemberian ini dapat berupa hadiah, hibah atau hibah wasiat.99

Menurut Hilman Hadikusuma, harta pemberian adalah harta yang diberikan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada seseorang atau kepada suami isteri bersama atau sekeluarga rumah tangga oleh karena hubungan cinta kasih, balas budi, atau jasa, atau karena sesuatu tujuan.100 Pemberian dapat berupa barang tetap, barang bergerak atau hanya berupa hak pakai yang dilakukan sebelum atau sejak adanya perkawinan dan selama perkawinan.

Bentuk-bentuk pemberian harta benda semasa hidup sebenarnya masih banyak dilakukan di daerah-daerah adat khususnya terhadap pemberian yang dilakukan oleh orang tua semasa hidupnya seperti di daerah Lampung ada kemungkinan isteri dalam perkawinan jujur mendapat pemberian barang tetap dari orang tua atau kerabatnya disebut Tanoh Sesan atau Saba Bangunan.101

Di lingkungan masyarakat adat Daya-Kendayan Kalimantan Barat kemungkinan pemberian orang tua kepada anak, akan lebih banyak diberikan

98

Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1994), hal.210 99

Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 2007), hal.193 100Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hal.51

(18)

kepada Anak Pangkalan yaitu anak yang menjamin memelihara mengurus orang tua sampai wafatnya. Begitu pula di daerah Banten pemberian orang tua biasanya dengan cara memberikan rumah kepada anak wanita dan suami si wanita setelah perkawinan mengikuti si istri. Di Aceh dikenal pemberian perhiasan, emas, rumah, pekarangan dan lainnya di antara ayah atau ibu kepada anak-anaknya ketika orangtua masih hidup yang disebut peunulang. Jumlah peunulang yang diberikan tidak boleh lebih dari 1/3 jumlah keseluruhan harta peninggalan pemberi. Pemberian peunulang juga dapat diberikan sebagai tanda balas jasa, dimana harta peunulang yang telah diberikan tidak dapat diminta kembali.102

Menurut hukum adat, motif dari penghibahan tidak berbeda dengan motif tidak memperbolehkan membagikan harta peninggalan kepada ahli waris yang tidak berhak, yaitu harta kekayaan yang merupakan dasar kehidupan

materiil yang disediakan bagi warga yang bersangkutan serta keturunannya.

Penghibahan ini merupakan cara bagi orang tuanya (si penghibah) untuk memberikan harta miliknya secara langsung kepada anak-anaknya. Penghibahan sebidang tanah kepada seorang anak merupakan suatu transaksi tanah, tetapi bukan merupakan transaksi jual. Pengibahan tanah harus

(19)

dilakukan dengan bantuan kepala persekutuan supaya menjadi sah serta terang.103

Hibah menurut hukum adat dibedakan dengan wasiat. Hibah ini dilakukan sewaktu anak-anaknya sudah menikah dan dipisahkan dengan membuatkan rumah atau memberikan pekarangan untuk pertanian. Hal tersebut harus dibedakan dengan weling (di Jawa) yang bersifat wasiat, yaitu sebelum seseorang meninggal, maka ia mengadakan ketetapan-ketetapan yang ditujukan kepada ahli warisnya atau istrinya dengan memberi petunjuk-petunjuk bagaimana harta bendanya akan dibagi waris jika orang tersebut meninggal. Jadi barang-barangnya itu belum dibagi-bagikannya kepada ahli warisnya, melainkan masih dikuasai dan jika ia meninggal maka pembagian harta peninggalannya harus dilakukan pembagian berdasarkan petunjuk-petunjuknya tersebut.104

Pada masyarakat Batak Toba, juga dikenal adanya pemberian harta kekayaan orangtua kepada anaknya, baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Harta kekayaan yang diberikan orangtua dapat berasal dari harta bawaan yang dibawa orangtua laki-laki atau perempuan sebelum melangsungkan perkawinan maupun harta yang diperoleh selama menikah.

103

Suheri, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Karena Hibah Untuk Anak di Bawah Umur, Tesis, (Semarang: UNDIP, 2010), hal.17

(20)

Harta kekayaan tersebut dapat berupa sawah dan ladang yang disebut hauma, kebun (porlak), rumah (bagas), emas, uang (hepeng) dan binatang peliharaan. Harta kekayaan yang diberikan kepada anak laki-laki disebut panjaean dimana pemberian terhadap anak laki-laki biasanya dilakukan pada saat anak laki-laki akan berpisah dengan orangtuanya karena perkawinannya. Panjaean diberikan orangtua kepada anak laki-lakinya sebagai modal pertama untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga barunya.105

Demikian pula dengan anak laki-laki, anak perempuan juga dapat menikmati harta kekayaan orangtua melalui pemberian yang disebut dengan

pauseang.Selain pemberian melaluipauseang, terdapat pula beberapa jenis

pemberianorangtua lain kepada anak perempuan, yaitu sebagai berikut :106 1. Indahan arian adalah pemberian sebidang sawah oleh seorang ayah

kepada anak perempuan yang sudah melangsungkan perkawinan yang dilakukan apabila telah lahir anak dari perkawinan tersebut. Indahan

arianpada dasarnya adalah pemberian seorang kakek kepada cucunya

yang telah lahir melalui ibunya.

2. Batu Ni Assimun adalah pemberian berupa hewan peliharaan dan emas yang diberikan oleh seorang ayah kepada seorang anak perempuannya yang telah mempunyai anak. Pemberian ini seolah-olah merupakan hadiah kepada cucunya.

3. Dondon Tua adalah pemberian berupa sawah oleh seorang ayah kepada anak perempuannya untuk kemudian dapat diberikan kepada cucunya apabila telah dia meninggal dunia.

4. Punsutali adalah pemberian seorang ayah kepada cucunya yang paling besar dari anak perempuannya. Pemberian ini merupakan pemberian

105Ibid. 106Ibid.

(21)

terakhir dan baru dapat diterima oleh anak perempuantersebut apabila ayahnya telah meninggal dunia.

Menurut Hilman Hadikusuma107, pemberian tanah yang terjadi dalam kehidupan masyarakat adat dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu sebagai berikut :

1. Sebagai tanda pengabdian, dimana tanah diberikan kepada penghulu adat atau raja sebagai tanda pengabdian atau untuk mendapatkan perhatian sukarela sebagaimana yang pernah berlaku di Minahasa, Bolaang Mongondow

2. Sebagai tanda kekeluargaan, dimana tanah diberikan sebagai tanda mengaku saudara (mewari) di daerah Lampung atau sebagai tanda mengangkat tanah yang terjadi di Minahasa

3. Sebagai pembayaran denda, dimana tanah diberikan kepada kerabat orang yang mati terbunuhuntukdigunakan sebagai tempat pekuburan, tempat kediaman atau usaha.

4. Sebagai pemberian perkawinan, misalnya tanah pei pamoya di Minahasa dan sunrang sanra di Sulawesi Selatan yang berfungsi sebagai mas kawin sementara.

5. Sebagai barang bawaan dalam perkawinan, dimana tanah diberikan oleh kerabat isteri ke dalam suatu perkawinan yang disebut sebagai

pauseang,bangunan, atau indahan ariandi tanah Batak dan tanah sesan

dalam bentuk perkawinan jujur di Lampung

Menurut Dirman Sinambela, pemberian tanah melalui pauseang untuk pertama kalinya pada masyarakat Batak Toba tidak dapat diketahui dengan pasti. Pada zaman dahulu kala pemberian tanah melalui pauseang kepada anak perempuan hanya dilakukan oleh raja-raja huta (kampung), selain untuk menunjukkan rasa kasih sayang kepada anak perempuannya, pemberian tanah

(22)

melalui pauseang juga dilakukan untuk menunjukkan bahwa keluarga tersebut adalah keluarga raja yang berkuasa dan memiliki kekayaan yang berlimpah.108

Pemberian tanah melalui pauseang berkembang dengan sendirinya berdasarkan kebiasaan yang ada di dalam masyarakat dan telah dilakukan pula oleh masyarakat biasa. Pemberian tanah melalui pauseang didorong oleh rasa kasih sayang orangtua kepada anak perempuannya yang akan melangsungkan perkawinan. Berdasarkan sistem perkawinan jujur, anak perempuan setelah melangsungkan perkawinan dengan seorang laki-laki maka dianggap telah menjadi bagian dari kelompok marga suaminya, serta segala kebutuhan hidupnya telah menjadi tanggung jawab penuh suaminya tersebut. Sehingga, diberikannya pauseang kepada anak perempuannya dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa rasa kasih sayang orangtua tidak akan putus, walaupun anak perempuan telah melangsungkan perkawinan.109

D. Faktor Penyebab Terjadinya Pemberian Tanah Oleh Orang Tua Kepada Anak Perempuan Melalui Pauseang

Pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Dolok Sanggul,terjadinya pemberian tanah melalui pauseang disebabkan beberapa faktor, sebagaimana yang diuraikan berikut ini:

108

Dirman Sinambela, tokoh adat di Desa Sihite I, hasil wawancara tanggal 18 Desember 2013

109 Bontor Sinambela, tokoh adat/ Kepala Desa Janji, hasil wawancara tanggal 18 Desember 2013

(23)

1. Faktor Kasih Sayang ( Holong Ni Roha )

Wujud rasa kasih sayang orangtua kepada anaknya dapat dilakukan dengan berbagai cara dan salah satunya adalah melalui pemberian. Pada masyarakat Batak Toba secara umum dikenal adanya pemberian yang dilakukan oleh orangtua kepada anaknya, baik kepada anak laki-laki maupun anak perempuan. Pada masyarakat Batak Toba khususnya di Kecamatan Dolok Sanggul, pemberian orangtua kepada anak laki-laki disebut dengan panjaean.

Panjaean diberikan kepada anak laki-laki sebagai modal pertamanya

dalam rumah tangga yang baru dibentuknya.Orangtua yang memiliki cukup harta, biasanya memberikan sawah (hauma), ladang, kebun (kobun), rumah (jabu), perhiasan maupun emas sebagai panjaean. Akan tetapi, bagi orangtua yang keadaan ekonominya lemah, panjaean yang diberikan dapat berupa hewan peliharaan seperti sepasang ayam maupun alat-alat yang biasa digunakan untuk bertani.110

Dalam hukum adat Batak, dikenal perumpamaan (umpasa) Dompak

marmeme anak Dompak marmeme boru yang berarti anak, baik anak

laki-laki maupun anak perempuan sama-sama disuapi makanan dengan cara yang sama. Perumpamaan ini menunjukkan bahwa anak laki-laki dan anak

(24)

perempuan tidak dibedakan, dimana masing-masing anak diberi rasa kasih sayang yang sama. Orangtua memberikan panjaean kepada anak laki-laki, demikian juga kepada anak perempuan juga diberikan apa yang dinamakan

pauseang.

Menurut Tunas Pasaribu, di Desa Pasaribu tanah pauseang diberikan kepada anak perempuan pada setelah melangsungkan perkawinan tanpa membedakan antara anak perempuan tertua dengan yang lebih muda. Pemberian tanah pauseang dilakukan orangtua dikarenakan ingin menunjukkan rasa kasih sayangnya yang tidak pernah putus kepada anak perempuan walaupun telah berumahtangga.111

Orangtua perempuan dengan sukarela memberikan bagian dari hartanya untuk keperluan hidupnya misalnya dengan memberikan ladang untuk menambah sumber mata pencaharian dari keluarga anak perempuannya, sebagaimana yang dilakukan oleh RS. RS memberikan ladang yang ditanami cabai terletak di Desa Silaga-laga yang dimilikinya agar anak perempuan dan menantunya (hela) tersebut dapat memenuhi kebutuhan rumah tangganya mengingat menantunya (hela) maupun anak perempuannya (boru) tersebut tidak memiliki pekerjaan yang layak.112

111Tunas Pasaribu, tokoh adat di Desa Pasaribu, hasil wawancara tanggal 12 Juni 2013 112RS, penduduk Desa Pasaribu, hasil wawancara tanggal 12 Juni 2013

(25)

Di samping itu, pemberian tanah pauseang kepada anak perempuan disebabkan oleh karena perempuan bukan sebagai ahli waris dalam hukum adat Batak Toba, pauseang menjadi salah satu cara agar orangtua dapat menunjukkan rasa sayang kepada anak perempuannya dengan tidak melanggar ketentuan adat tentang waris.

2. Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi memiliki peran yang penting dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga.Sebagaimana yang dikemukakan AT, tanah

pauseang yang diberikan diharapkan dapat menambah penghasilan

keluarga anak perempuannya. AT berharap agar hasil yang diperoleh dari ladang dapat dipergunakan sebagai biaya sekolah cucunya.113Hal yang serupa juga dikemukakan oleh MS yang berpendapat bahwa walaupun memberi nafkah keluarga adalah tanggung jawab menantunya (hela) sebagai seorang suami, akan tetapi sebagai orangtua, MS dapat membantu menambah penghasilan keluarga anak perempuannya tersebut melalui hasil dari ladang yang diberikannya.114

Menurut HP yang meminta tanah pauseang berupa sawah karena suaminya mengalami kesulitan ekonomi yang harus menghidupi 8 (delapan) orang anak yang masih berusia sangat muda. Hasil dari

113AT, penduduk Desa Hutaraja, hasil wawancara tanggal 22 Juni 2013 114MS, penduduk Desa Sihite I, hasil wawancara tanggal 13 Juni 2013

(26)

mengusahakan sawah tersebut diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya.115

Di Desa Janji maupun Desa Sihite I, memberikan tanah kepada anak perempuan yang berdasarkan keadaan ekonomi ini yang disebut sebagai

ulos na so ra buruk yang secara harafiah diartikan sebagai ulos yang tidak

akan pernah usang. Tanah yang diumpamakan sebagai ulos diberikan untuk selamanya kepada anak perempuan sehingga tidak dapat diminta kembali atau diminta oleh siapapun termasuk saudaranya.116

3. Faktor Tanah sebagai Identitas Kekerabatan

Tanah baik itu berupa pekarangan, ladang, sawah, kebun maupun tanah kosong mempunyai arti yang penting bagi masyarakat Batak Toba.Menurut keyakinan, antara pemilik tanah dengan tanah mempunyai ikatan batin yang bersifat religius-magis. Di samping itu, hubungan erat antara keduanya juga berasal dari sejarah dibukanya desa (huta) tempat tanah tersebut berada. Hal tersebut merupakan hal yang melatarbelakangi adanya hukum tanah marga.

Hukum tanah marga dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur kepada siapa (anggota persekutuan) dan untuk apa peruntukan tanah tersebut digunakan. Pada saat pemimpin persekutuan (pembuka kampung) masih hidup, maka tanah kampung tersebut merupakan tanah persekutuan yang diusahakan

115HP, penduduk Desa Janji, hasil wawancara tanggal 12 Juni 2013

(27)

bersama-sama oleh masing-masing anggota persekutuan. Setiap kegiatan mengenai tanah merupakan tanggung jawab dan harus diketahui serta mendapat izin dari pemimpin persekutuan.

Pemimpin persekutuan yang telah meninggal dunia kemudian meneruskan tanggung jawab atas tanah persekutuan kepada keturunannya. Penggunaan istilah tanah marga dikarenakan tanah di desa (huta) tersebut merupakan tanah yang ditempati oleh keturunan marga yang membuka kampung tersebut (marga tano atau marga raja). Dalam perkembangannya,

huta tidak lagi hanya ditempati oleh satu marga saja, tetapi beberapa marga

pendatang karena hubungan perkawinan dengan sistem eksogami yang terjadi.

Marga pendatang tersebut merupakan marga orangtua laki-laki yang melekat

pada anak perempuan yang melakukan perkawinan dengan dan tinggal bersama anak laki-laki keturunan marga tano.

Bagi masyarakat Batak Toba khususnya yang ada di Kecamatan Dolok Sanggul adalah penting untuk mengetahui identitas kekerabatan yang dimulai dari nenek moyang sampai dengan keturunan yang ada saat ini. Hal ini didasarkan pada prinsip Dalihan Na Tolu yang telah diciptakan sejak pemerintahan Raja Sisingamangaraja I (Raja Mangkuntal) dan masih melekat kuat serta menjadi pandangan hidup hubungan kekerabatan masyarakat Batak Toba. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pemberian tanah pauseang

(28)

merupakan salah satu faktor agar pihak kerabat suami dari penerima pauseang tidak hanya mengetahui identitas orangtua (pemberi pauseang), tetapi juga identitas kekerabatannya.117

Tanah bagi masyarakat di Kecamatan Dolok Sanggul merupakan identitas atau tanda pengenal kelompok kekerabatan yang ada. Menurut RP tanah pauseang berupa ladang ubi di Desa Silaga-laga, diberikan agar pihak laki-laki (paranak) tidak hanya mengenal orangtua perempuan (simatua) tetapi juga mengetahui identitas kekerabatan orangtua perempuan (simatua). Menurut RP, identitas kekerabatan orangtua perempuan dirasakan semakin penting apabila telah lahir keturunan dari hasil perkawinan anak perempuannya maupun keturunan selanjutnya.118

Menurut Wilmar Situmorang, dengan menerima dan mengusahakan

pauseang, maka anak perempuan dan suaminya tidak begitu saja melupakan

dan tetap menjalin hubungan dengan kerabat orangtua perempuan yang ada di tempat yang sama dengan tanah pauseang yang diberikan. Hal ini penting dilakukan apabila anak perempuan dan suaminya membentuk rumah tangganya di daerah yang jauh dari desa tempat tinggal orangtua perempuan (simatua).119Hal tersebut juga menunjukkan bahwa pemberian tanah pauseang

117

Dirman Sinambela, tokoh adat di Desa Sihite I, hasil wawancara tanggal 13 Juni 2013 118 RP, penduduk Desa Silaga-laga, hasil wawancara tanggal 15 Juni 2013

(29)

juga bertujuan agar hubungan antara anak perempuan dan keluarga asal tidak terlepas akibat perkawinan.

4. Faktor Kehormatan Keluarga

Pemberian tanah pauseang di Kecamatan Dolok Sanggul tidak hanya didasarkan oleh rasa sayang orangtua kepada anaknya, tetapi juga bertujuan agar anak perempuan dan keluarga perempuan dihormati di hadapan keluarga laki-laki. Sebagaimana dikemukakan oleh HS, pemberian tanah pauseang adalah untuk menunjukkan bahwa anak perempuan bukan berasal dari keluarga yang kemampuan ekonominya lemah.120

Pemberian tanah pauseang juga tidak terlepas dari keinginan orangtua anak perempuan untuk menunjukkan kepada pihak laki-laki (paranak) dan khalayak ramai bahwa keluarga tersebut adalah keluarga kaya (na mora), yang sukses dan memiliki harta yang berlimpah.Tanah yang dijadikan sebagai

pauseang oleh keluarga yang kaya biasanya telah ditentukan dan diserahkan

secara langsung pada saat acara perkawinan anak perempuannya.121

Pemberian tanah melalui pauseang kepada anak perempuan tidak dilakukan tanpa pertimbangan. Pemberian tanah melalui pauseang dilakukan dengan beberapa pertimbangan seperti kesesuaian antara jumlah tanah yang dimiliki dan jumlah anak maupun perilaku anak perempuan dan suaminya

120HS, penduduk Desa Hutaraja, hasil wawancara tanggal 22 Juni 2013

(30)

(hela). Menurut Dirman Sinambela, orangtua tidak memberikan tanah

pauseang kepada anak perempuan apabila jumlah anak lebih banyak dari

jumlah tanah yang dimiliki. Orangtua akan mempertimbangkan tanah yang dimiliki untuk diberikan kepada anak laki-laki dan benda-benda bergerak untuk diberikan kepada anak perempuan. Sikap dan perilaku anak perempuan maupun suaminya turut juga menjadi dasar pertimbangan pemberian tanah.Sikap hormat, baik, berbakti maupun hemat merupakan sikap yang menjadi pertimbangan orangtua kepada anak perempuan maupun suaminya.

Menurut Tunas Pasaribu, sesuai dengan hukum waris adat Batak Toba dimana anak laki-laki merupakan ahli waris, orangtua dalam keadaan jumlah tanah yang dimilikinya lebih sedikit dari jumlah anak, akan memberikan tanah hanya kepada ahli waris dan memberikan benda tidak bergerak kepada anak perempuannya.122

E. Pengesahan Pemberian Tanah Melalui Pauseang

Berdasarkan pengamatan, pemberian tanah melalui pauseang oleh orangtuaterjadi dengan tanpa permintaan (sukarela) atau karena adanya permintaan dari anak perempuannya.123

1. Pemberian Tanpa Permintaan

122Tunas Pasaribu, tokoh adat di Desa Pasaribu, hasil wawancara tanggal 23 Juni 2013 123Ibid.

(31)

Pemberian tanpa permintaan merupakan pemberian atas dasar keinginan orangtua kepada anak perempuan yang melangsungkan perkawinan. Pemberian tanah pauseang tanpa permintaan pada umumnya dilakukan karena rasa kasih sayang orangtua kepada anak perempuan.

2. Pemberian Atas Permintaan

Pemberian tanah pauseang tidak hanya dilakukan secara sukarela oleh orangtua anak perempuan, akan tetapi dapat pula dilakukan karena adanya permintaan dari anak perempuan. Permintaan untuk diberikan tanah

pauseang biasanya dilatarbelakangi oleh keadaan ekonomi dan orangtua

(pemberi tanah melalui pauseang) biasanya akan memenuhi permintaan tersebut karena tidak ingin melihat anak perempuan (boru) dan suaminya (hela) menderita. LP beserta suaminya meminta diberikan tanah pauseang yang berupa sawah (hauma) di Desa Silaga-laga oleh orangtua perempuan, karena tidak mampu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya.124 Demikian pula yang dilakukan oleh MS dan istrinya yang meminta untuk diberikan tanah melaluipauseang agar dapat memanfaatkan hasil ladang orangtuanya. MS terpaksa menyetujui keinginan istrinya meminta tanah

(32)

pauseang kepada orangtuanya karena penghasilan yang diperoleh tidak

mampu menafkahi dan memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.125

Permintaan tanah pauseang tidak hanya dilatarbelakangi oleh keadaan ekonomi yang lemah.Permintaan anak perempuan untuk diberikan tanah

pauseang dapat pula dilatarbelakangi oleh karena keadaan orangtua yang

kaya raya (namora) sehingga anak perempuan juga menghendaki untuk memperoleh bagian dari harta kekayaan orangtuanya sebagaimana yang dilakukan HS terhadap anak perempuannya.126

Menurut F.D.Holleman, ada empat sifat umum hukum adat di Indonesia yang hendaknya dipandang sebagai suatu kesatuan, yaitu sifat hukum adat yang religius magis, komunal, contant dan konkret. Religius magis sebagai salah satu sifat umum hukum adat di Indonesia sebenarnya adalah pembulatan atau perpaduan kata yang mengandung unsur beberapa sifat atau cara berpikir prelogis, animisme, pantangan, ilmu gaib dan lain-lain.127

Menurut Koentjaraningrat, alam pikiranreligio magis mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :

125

MS, penduduk Desa Sihite I, hasil wawancara tanggal 13 Juni 2013 126HS, penduduk Desa Hutaraja, hasil wawancara tanggal 22 Juni 2013 127Bushar Muhammad, Op.Cit.,hal.45

(33)

1. Kepercayaan terhadap makhluk halus, roh dan hantu yang menempati seluruh alam semesta dan khusus gejala-gejala alam, tumbuhan, binatang, tubuh manusia dan benda-benda

2. Kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam semesta dan khusus terdapat dalam peristiwa-peristiwa, binatang, tumbuhan, tubuh manusia dan benda-benda yang lluar biasa.

3. Anggapan bahwa kekuatan sakti yang pasif itu dipergunakan sebagai

magische kracht dalam berbagai perbuatan-perbuatan ilmu ilmu gaib

untuk mencapai kemauan manusia atau untuk menolak bahaya gaib 4. Anggapan bahwa kelebihan kekuatan sakti dalam alam menyebabkan

keadaan krisis, menyebabkan timbulnya berbagai macam bahaya gaib yang hanya dapat dihindari dengan berbagai macam pantangan.128 Demikian pula sifat umum hukum adat Batak Toba di lokasi penelitian.Secara khusus hukum adat tentang pemberian tanah melalui

pauseang dalam masyarakat Batak Toba,pemberian tersebut dianggap sebagai

pemberian yang bersifat religius magisdan melalui upacara adat yang mengandung unsur religius magis pula.Pemberian tanah melalui pauseang bersifat religius magis dikarenakan kepercayaan masyarakat Batak tentang adanya hubungan batin (tondi) antara pemilik tanah dengan tanah yang dimilikinya. Masyarakat Batak memiliki keyakinan bahwa tanah yang memberikan kehidupan untuk mereka merupakan bukti kebesaran Sang Pencipta (Mula Jadi Na Bolon).

Hubungan antara manusia dan tanah yang bersifat religius magis tersebut, diakomodir pula dalam Pasal 2 UUPA sehingga menciptakan keseimbangan dan keselarasan, dimana selain terdapat hubungan hukum yang

(34)

bersifat formal, ada pula hubungan hukum yang bersifat materil yaitu religius

magis.129

Menurut Bontor Sinambela130, di samping memiliki sifat religius magis, tanah merupakan identitas kekerabatan suatu kelompok marga yang tinggal bersama dalam suatu kampung (huta). Daerah Dolok Sanggul dahulunya merupakan hutan belantara yang kemudian dibuka (mamungka) oleh sekelompok orang yang dipimpin oleh seorang pemimpin kelompok. Kelompok orang yang awalnya berjumlah sedikit tersebut kemudian memiliki keturunan yang juga hidup bersama mendiami daerah tersebut, demikian seterusnya sehingga membentuk suatu kampung (huta).

Pada awal dibukanya, huta dihuni oleh orang-orang yang berasal dari satu marga. Marga pada awalnya merupakan marga dari pemimpin persekutuan yang menjadi kepala kampung (raja ni huta). Di beberapa kampung (huta), marga juga dijadikan sebagai nama dari kampung (huta) tersebut seperti Desa Sihite I dan Desa Pasaribu untuk menandakan bahwa

marga tersebut merupakan marga yang pertama kali membuka kampung

(huta) tersebut.Dalam perkembangannya, huta juga dihuni oleh kelompok

marga lainnya yang merupakan kelompok marga pendatang dan menjadi

129

Muh.Yamin dan Abdul Rahim Lubis, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004), hal.126

(35)

bagian dari masyarakat yang ada di huta tersebut. Penguasaan dan kepemilikan tanah di Kecamatan Dolok Sanggul pada umumnya merupakan penguasaan dan kepemilikan yang dilakukan secara turun temurun dari orangtua dan pemindahan hak atas tanah kepada kelompok marga lain merupakan hal yang sangat jarang terjadi. Berdasarkan uraian tersebut, dapat diketahui bahwa masyarakat dan tanah yang didiami mempunyai hubungan yang sangat erat dikarenakan adanya keyakinan kepada Sang Pencipta (Mula Jadi Na Bolon) dan sejarah dibukanya daerah tersebut.

Pemberian tanah melalui pauseang diawali dengan adanya pembahasan bersama antara suami istri (orangtua/ pemberi). Orangtua khususnya ayah yang merupakan pemimpin keluarga biasanya akan dengan hati-hati dan bijaksana untuk menentukan tanah yang akan diberikan melalui pauseang untuk anak perempuannya. Pertimbangannya dapat berupa kelayakan pemberian tanah

pauseang dan sikap anak perempuan maupun menantu (hela).131

Kelayakan diberikannya pauseang maksudnya adalah orangtua tidak menginginkan jika pemberian tanah pauseang kepada anak perempuan menimbulkan kecemburuan bagi anak-anaknya yang lain atau bahkan menimbulkan perpecahan dalam keluarga. Oleh karena itu, biasanya orangtua yang akan memberikan pauseang kepada anak perempuannya, telah pula

(36)

mempersiapkan pemberian lainnya kepada anak-anaknya yang lain (panjaean untuk anak laki-laki dan pauseang untuk anak perempuan) apabila tiba saatnya melangsungkan perkawinan dan berumah tangga. Apabila jumlah tanah orang tua tidak sama dengan banyaknya anak, maka orangtua tidak akan memberikan tanah sebagai pauseang untuk anak perempuannya melainkan memperuntukkan tanah yang dimilikinya untuk diwariskan kepada anak laki-lakinya.

Sikap anak perempuan dan calon menantu (hela) juga menjadi pertimbangan bagi orangtua (pemberi). Boros atau tidak dan bertanggung jawab atau tidak anak perempuannya maupun calon menantunya (hela) menjadi penentu diberikan atau tidaknya tanah pauseang. Pemberian tanah

pauseang akan disampaikan kepada anak perempuan dan calon suaminya

(hela) pada saat dilangsungkan upacara adat pernikahan dengan membuat semacam dialog antara pembicara (parhata) yang mewakili keluarga anak perempuan (parboru) dengan pembicara (parhata) yang mewakili keluarga pengantin laki-laki (paranak).132Tanah pauseang yang disampaikan untuk diberikan dapat seketika itu juga diusahai dan/ atau ditempati anak perempuan dan suaminya.

(37)

Menurut WS, anak laki-laki menjadi anak yang diprioritaskan untuk diberikan harta. Anak perempuan akan diberikan bagian harta apabila anak laki-laki telah mendapat bagian dan tanah pusaka tidak akan diberikan kepada anak perempuan karena bukan merupakan pewaris.133

Pemberian tanah pauseang dapat pula masih berupa janji atau bahkan tanah pauseang yang diberikan belum ada sama sekali.134Pemberian tanah

pauseang masih hanya berupa janji disebabkan oleh tanah pauseang yang

dijanjikan untuk diberikan merupakan tanah yang saat itu masih ditempati dan diusahakan secara bersama oleh keluarga.

Orangtua (pemberi) belum dapat menentukan apa yang menjadi tanah

pauseang bagi anak perempuannya karena tanah yang dimaksud belum ada

sama sekali. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh keyakinan dan optimisme suku Batak Toba akan adanya rezeki yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa (Mulajadi Na Bolon) di kemudian hari kepada keluarga tersebut. Apabila di kemudian hari tanah pauseang yang dijanjikan tidak ada, maka anak perempuan maupun suaminya (hela) tidak dapat menuntut kepada orangtuanya untuk memenuhi janji tersebut.135

133

WS, penduduk Desa Silaga-laga, hasil wawancara tanggal 15 Juni 2012 134

Bandingkan dengan Pasal 1667 KUH Perdata yang mengatur tentang pembatalan hibah apabila barang yang dihibahkan belum ada saat dilakukan penghibahan

(38)

Penyerahan pemberian tanah melalui pauseang secara adat, ditandai dengan telah ditentukannya tanah yang dijadikan pauseang untuk anak perempuannya. Penyerahan tanah pauseang tidak mempunyai batas waktu sejak pemberian disampaikan. Penyerahan tanah pauseang berarti bahwa penerima (boru dan suami) dapat dengan seketika itu juga menguasai dan/ atau menempati tanah pauseang yang diberikan.

Tidak seperti pemberian tanah melalui pauseang yang dilakukan pada saat dilangsungkan perkawinan, pemberian tanah melalui pauseang

berdasarkan permintaan anak perempuan (boru) dan suaminya (hela) dilakukan dengan suatu acara adat yang khusus.Acara adat khusus tersebut dilakukan di tempat tinggal orangtua perempuan (pemberi) yang harus dihadiri oleh unsur Dalihan Na Tolu.Unsur Dalihan Na Tolu yang hadir lebih sederhana apabila dibandingkan dengan dengan unsur Dalihan Na Tolu yang hadir dalam acara adat perkawinan.Unsur Dalihan Na Tolu yang utama terdiri kelompok hula-hula yang terdiri dari orangtua dan saudara kandung anak perempuan tersebut beserta suami atau istrinya masing-masing. Kelompok

hula-hula juga dapat terdiri dari kakek dan nenek (ompu) jika masih ada.136

136

Piso merupakan bentuk penghormatan yang diberikan oleh pihak boru kepada hula-hulanya, dalam hal ini antara penerima pauseang kepada pemberi pauseang. Piso diberikan dalam bentuk uang yang diselipkan ke dalam tiga helai daun sirih (napuran maniar) jumlahnya relatif (tidak ditentukan jumlahnya)

(39)

Pihak boru yang hadir terdiri dari orangtua maupun saudara kandung suami, sedangkan dongan sabutuha yang wajib hadir adalah dongan sabutuha dari pihak keluarga perempuan yaitu saudara kandung ayahnya maupun anak dari saudara kandung kakek (ompu).

Kehadiran ketiga unsur Dalihan Na Tolu merupakan bagian dari pengesahan pemberian tanah pauseang secara adat agar pemberian menjadi konkret dan terang, dimana ketiga unsur Dalihan Na Tolu bertujuan untuk membuktikan bahwa tanah pauseang yang diberikan benar-benar merupakan milik dari orangtua perempuan dan di samping itu, ketiga unsur Dalihan Na

Tolu yang hadir merupakan saksi bahwa benar tanah pauseang telah diberikan.

Apabila terjadi permasalahan terkait tanah pauseang tersebut, maka penyelesaiannya dilakukan dengan mendengarkan kesaksian dari ketiga unsur

Dalihan Na Tolu yang hadir.

Di Desa Janji, pemberian tanah pauseang juga wajib diketahui dan dihadiri oleh keturunan dari pemimpin persekutuan yang pertama kali (marga

tano atau marga raja) membuka huta tempat tanah pauseang berada.

Pemimpin persekutuan yang pertama kali membuka tanah di Desa Janji bernama Raja Upar Sinambela dan keturunan Raja Upar Sinambela yang mewakili anggota persekutuan yang lain bernama Bontor Sinambela.

(40)

Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat setempat masih mengakui eksistensi dan mematuhi hukum tanah marga.137

Pada acara adat tersebut, anak perempuan beserta suaminya (hela) membawa makanan (mamboan sipanganon) untuk diserahkan kepada

hula-hula dan kemudian dimakan bersama.Makanan yang dibawa dapat berupa satu

ekor daging kambing, babi atau kerbau sesuai dengan kemampuan yang membawa. Hula-hula kemudian menerima makanan yang dibawa dan memberikan pula ikan mas (dekke) kepada pihak boru.

Pada acara adat ini (mamboan sipanganon), pihak boru akan memberitahukan maksud kedatangannya adalah untuk meminta apa yang menjadi pauseang orangtuanya.138 Orangtua juga akan menanyakan alasan permintaan tersebut dan kemudian menyampaikan persetujuannya untuk memenuhi keinginan anak perempuannya tersebut dengan menyebutkan tanah mana yang diberikan. Pernyataan kesanggupan memberikan tanah pauseang tersebut disampaikan dengan nasehat dan memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa (Mulajadi Na Bolon). Doa yang dipanjatkan merupakan doa meminta izin kepada Tuhan untuk memberikan tanah dan meminta agar tanah

137

Bontor Sinambela, tokoh adat/ Kepala Desa Janji, hasil wawancara tanggal 12 Juni 2013 138 Sebelum dilakukan acara adat tersebut, anak perempuan sebenarnya telah menyampaikan keinginannya untuk meminta tanah pauseang kepada orangtuanya

(41)

yang diberikan menjadi berkat bagi kehidupan anak perempuan dan keluarganya.

Anak perempuan dan suaminya (hela) menyatakan akan menerima tanah pauseang tersebut dan kemudian kepada orangtua perempuan diberikan

piso yang merupakan simbol rasa hormat anak perempuan dan suaminya

kepada orangtua perempuan (simatua). Pemberian piso ini juga diyakini masyarakat Batak Toba untuk mencegah terjadinya ketidakseimbangan alam atau kekosongan magis (tondi) yang terjadi akibat pemberian tersebut yang berarti bahwa perbuatan orangtua yang memberi harus pula dibalas dengan perbuatan memberi pula.

Piso ini berupa sejumlah uang yang dimasukkan ke dalam lipatan daun

sirih dan diletakkan di atas sepiring beras. Uang yang diberikan jumlahnya tidak ditentukan (relatif) sesuai dengan kesepakatan anak perempuan dan suaminya, di samping itu uang tersebut bukanlah merupakan pembayaran atas tanah yang diberikan tersebut. Acara tersebut kemudian diakhiri dengan pemberian uang sebagai pengingat (ingot-ingot) kepada unsur Dalihan Na Tolu yang hadir lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa perlindungan hukum terhadap hak anak perempuan atas tanah pauseang diperoleh melalui pengesahan secara adat. Menurut Tunas Pasaribu, pengesahan secara adat

(42)

sudah cukup untuk memberikan kepastian hukum (secara adat) dan melindungi hak anak perempuan atas tanah pauseang yang diterimanya. Pada dasarnya, pengesahan secara adat pemberian tanah pauseang dimaksudkan untuk menjunjung nilai-nilai luhur dalam kehidupan masyarakat, bukan hanya untuk melindungi hak perempuan atas tanah pauseang.139

Menurut Dirman Sinambela, pengesahan pemberian tanah pauseang secara adat dilakukan untuk menjaga agar masyarakat Batak Toba tetap menaruh rasa hormat berdasarkan fungsinya masing-masing dalam kehidupan bermasyarakat. Bagi anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan pemberian tanah melalui pauseang dipandang sebagai sesuatu yang sakral dan merupakan amanah orangtua, sehingga anak akan sangat menghormati dan tidak berani melanggar amanah orangtuanya tersebut.140

Pengesahan pemberian tanah pauseang di hadapan unsur Dalihan Na

Tolu agar unsur Dalihan Na Tolu khususnya para ahli waris mengetahui dan

tidak menimbulkan kesalahpahaman di kemudian hari sepeninggal orangtua. Pengesahan di hadapan unsur Dalihan Na Tolu selain dapat menghindarkan perselisihan, bertujuan pula agar perselisihan yang mungkin terjadi di kemudian hari dapat diselesaikan. Pengesahan pemberian tanah pauseang di hadapan keturunan yang mewakili marga tano bertujuan untuk mencegah

139Tunas Pasaribu, tokoh adat di Kelurahan Pasaribu, hasil wawancara tanggal 12 Juni 2013 140Dirman Sinambela, tokoh adat Desa Sihite, hasil wawancara tanggal 18 Desember 2013

(43)

terjadinya kesalahpahaman antara anggota desa (huta) apabila tanah pauseang di kemudian hari diusahakan atau ditempati oleh anak perempuan beserta keluarganya maupun keturunannya.

Menurut Bontor Sinambela141, perselisihan terkait pemberian tanah

pauseang kepada anak perempuan kemungkinan dapat berasal dari pihak mana

saja, seperti saudara kandung laki-laki anak perempuan, saudara laki-laki orangtua (pemberi pauseang), maupun keturunan berikutnya. Pada umumnya segala bentuk perselisihan yang mungkin terjadi dalam pemberian tanah melalui pauseang, penyelesaiannya diawali dengan pembahasan diantara para pihak yang berselisih saja, belum melibatkan unsur Dalihan Na Tolu. Apabila tidak berhasil, maka akan diadakan pertemuan dengan mengundang ketiga unsur Dalihan Na Tolu yaitu dongan sabutuha, boru maupun hula-hula. Kehadiran ketiga unsur Dalihan Na Tolu diharapkan untuk memberikan kesaksian sesuai dengan apa yang disaksikan pada saat pemberian tanah

pauseang disahkan secara adat. Di samping itu, ketiga unsur Dalihan Na Tolu

juga diharapkan secara bijaksana dapat memberikan pemecahan atas perselisihan yang terjadi.

141

Bontor Sinambela, Kepala Desa Janji/ tokoh adat, hasil wawancara tanggal 18 Desember 2013

(44)

Menurut Pantun Panggabean142, akan selalu ada potensi terjadinya konflik di kemudian hari. Tanah yang bersifat tetap jumlahnya dan peningkatan jumlah penduduk yang membutuhkan tanah menjadi penyebab kebutuhan tanah yang semakin meningkat. Kemungkinan terbesar tidak berasal dari pihak-pihak terkait yang hadir dan menyaksikan pemberian tersebut, melainkan bukti secara tertulis dibutuhkan untuk mencegah kemungkinan konflik yang berasal dari keturunan atau generasi berikutnya.

Pemberian tanah melalui pauseang tidak dinyatakan dalam suatu akta khusus dengan judul akta pemberian tanah melalui pauseang kepada anak perempuan, akan tetapi untuk membuktikan sehingga memberikan kepastian dan perlindungan hukum dapat dilakukan dengan membuat akta hibah di hadapan PPAT. Hibah tanah adalah salah satu perbuatan hukum atas tanah dan untuk membuktikan sahnya suatu hibah tanah dilakukan dengan membuat akta hibah yang merupakan kewenangan PPAT sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) PP 37/1998.

Berdasarkan Pasal 1868 KUH Perdata, akta otentik merupakan akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang. Menurut PP 37/1998 Pasal 2 ayat 2, PPAT adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta hibah. Menurut 142Pantun Panggabean, Notaris/ PPAT di Kabupaten Humbang Hasundutan, hasil wawancara tanggal 25 Juni 2013

(45)

Pasal 1 angka 24 PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah Pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu. Dari kedua peraturan mengenai PPAT tersebut, maka dapat diketahui bahwa akta hibah merupakan akta otentik Sebagai akta otentik, akta hibah mempunyai keistimewaan sebagai suatu bukti yang sempurna (volledig bewijs-full evident) tentang apa yang dimuat di dalamnya. Artinya apabila seseorang mengajukan akta resmi kepada hakim sebagai bukti, hakim harus menerima dan menganggap apa yang tertulis di dalam akta merupakan peristiwa yang sungguh-sungguh telah terjadi dan hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian.143

Pada umumnya tanah yang ada di Kecamatan Dolok Sanggul belum dilakukan pendaftaran tanah atau belum bersertipikat, oleh karena itu pembuatan akta hibah di hadapan PPAT harus melalui dua tahap. Pertama, dilakukan pendaftaran tanah atas nama orangtua sebagai pemberi tanah. Pendaftaran tanah dapat dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan dan dapat dibantu oleh PPAT sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat 1 dan 2 PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pendaftaran tanah dilanjutkan dengan penerbitan sertipikat yang merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis tanah

(46)

yang termuat di dalamnya sebagaimana diatur dalam Pasal 32 PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Tahap kedua adalah dengan membuat akta hibah dari orangtua (pemberi) kepada anak perempuannya (penerima), sehingga dengan berdasarkan akta hibah tersebut kemudian dimohonkan untuk dilakukan balik nama sertipikat atas nama anak perempuan di Kantor Pertanahan.

Perlindungan dan kepastian hukum yang diperoleh dengan membuat akta otentik berupa akta hibah di hadapan PPAT, hanya dapat dilakukan sepanjang terdapat kesepakatan antara orangtua dengan ahli warisnya untuk memberikan hak milik tanah kepada anak perempuan. Hal tersebut berkaitan dengan sifat pemberian tanah pauseang yang tidak mengakibatkan berpindahnya hak milik tanah dari orangtua kepada anak perempuan karena hanya memberikan hak pakai tanah saja.

Perlindungan dan kepastian hukum dengan tidak mengesampingkan ketentuan-ketentuan dan mempertimbangkan keabsahan pemberian tanah melalui pauseang secara adat, dapat dilakukan dengan membuat akta otentik di hadapan Notaris yang dapat berupa Akta Berita Acara Rapat Adat (Kaum) dan Akta Hibah. Berdasarkan akta tersebut, dapat dibuktikan bahwa adalah benar telah terjadi pemberian tanah melalui pauseang secara adat oleh orangtua

(47)

kepada anak perempuannya yang disaksikan di hadapan unsur Dalihan Na

Tolu.

Jaminan kepastian dan perlindungan hukum terhadap anak perempuan atas tanah pauseang juga dapat diperoleh dengan membuat akta hibah di hadapan Notaris. Berbeda dengan akta hibah yang dibuat di hadapan PPAT, akta hibah yang dibuat di hadapan Notaris dimaksudkan untuk tanah pemberian yang belum didaftarkan sebagaimana berdasarkan UUPA dan PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Suatu akta yang dibuat di hadapan Notaris selain bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum, juga harus dapat memberikan jaminan kepastian hukum. Oleh karena itu, akta hibah yang dibuat di hadapan Notaris wajib mencantumkan secara tegas :

1. Bahwa pemberian tanah kepada anak perempuan hanya sebatas hak pakai, bukan menyebabkan terjadinya perpindahan hak milik atas tanah.

2. Bahwa pemberian tanah tidak selamanya, melainkan pemberian tanah dapat ditarik kembali yaitu apabila anak perempuan meninggal terlebih dahulu daripada orangtua (pemberi) dengan tanpa memiliki keturunan atau apabila anak perempuan bercerai dengan suaminya.

(48)

Berdasarkan hasil penelitian, responden tidak melakukan pengesahan pemberian tanah pauseang dengan membuat akta hibah di hadapan PPAT maupun Notaris yang dipengaruhi faktor sebagai berikut :

1. Faktor masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai adat.

Pemberian tanah pauseang bukan hanya sekedar pemindahan hak atas tanah dari orangtua kepada anak perempuan.Pemberian tanah pauseang merupakan peristiwa yang dianggap memiliki kekuatan magis religius. Acara pemberian tanah pauseang dilakukan dengan memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa (Mulajadi Na Bolon) untuk meminta izin memberikan tanah dan meminta agar tanah yang diberikan menjadi berkat kepada anak perempuan dan keluarganya. Akibat dari keyakinan masyarakat yang masih tinggi tersebut, pihak manapun yang ikut serta dalam peristiwa pemberian tanah pauseang dianggap tidak akan berani melanggar ketentuan yang ada.

Dalam pemberian tanah melalui pauseang terdapat amanah orangtua kepada anak-anaknya. Anak perempuan yang menerima tanah melalui

pauseang harus mempergunakan tanah dengan tujuan yang baik dan tidak

akan menelantarkan tanah yang diberikan. Anak yang belum/ tidak memperoleh tanah pauseang wajib mematuhi dan tidak dapat membantah pemberian tersebut. Kepatuhan anak yang tidak memperoleh tanah

(49)

pauseang didasari oleh rasa hormat yang tinggi kepada pemberian tanah pauseang sebagai amanah dan keyakinan bahwa pemberian tanah

dilakukan orangtua secara bijaksana.

Keyakinan masyarakat terhadap kekuatan religius magis dan amanah orangtua, menyebabkan tingkat kepatuhan dan kesadaran hukum (adat) terhadap pemberian tanah pauseang masih tinggi sampai saat ini. Penyangkalan terhadap pemberian tanah pauseang yang mengandung nilai

religius magis dan amanah orangtua, diyakini akan mendatangkan akibat

buruk atau karma.

Di samping nilai religius magis dan amanah orangtua, kepatuhan dan kesadaran hukum (adat) pemberian tanah pauseang juga dilatarbelakangi oleh hubungan kekeluargaan yang masih sangat erat dalam masyarakat. Penyangkalan terhadap pemberian tanah pauseang tidak dilakukan masyarakat agar hubungan kekeluargaan tetap terjalin dengan baik. Walaupun sangat jarang terjadi akan tetapi hal tersebut pernah dialami oleh EP, dimana tanah pauseang yang diberikan kepadanya diserahkan kepada saudara laki-lakinya yang merupakan anak tertua laki-laki di dalam keluarganya. EP mengatakan “dang pe ala ni tano, sirang mudar iba” yang artinya jangan hanya karena tanah putus hubungan kekeluargaan

(50)

dengan saudara laki-lakinya.144Hal tersebut menunjukkan bahwa tanah mempunyai arti yang penting, namun masih ada yang lebih penting lagi yaitu hubungan kekeluargaan (mudar).

2. Faktor Pengetahuan yang Kurang

Pemberian tanah melalui pauseang yang tidak dilakukan dengan membuat akta hibah di hadapan PPAT maupun Notaris, disebabkan oleh kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai manfaatnya. Hal ini didukung pula dengan keadaan dimana masyarakat jarang mengahadapi gangguan terhadap tanah yang ditempati tersebut.

Gambar

Tabel 2.1. Jumlah Penduduk dan Keluarga di Kecamatan Dolok Sanggul
Tabel 2.2 Tabel Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 2.3 Tingkat Pendidikan di Lokasi Sampel Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Langtewas Sitepu dan Ngadu Sitepu (Penggugat) yang merupakan anak kandung dari Tindik Sitepu menggugat Benih Ginting (Tergugat) di Pengadilan Negeri Kabanjahe untuk menyerahkan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan hula – hula dalam pelaksanaan perkawinan menurut adat Batak Toba di Desa Lumban Purba Saitnihuta Kecamatan Doloksanggul

Alasan penulis memilih lokasi ini karena masyarakat Batak Toba di Lintongnihuta masih bersifat homogen dan dalam upacara adat selalu berhubungan dengan penuturan

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Patar Simamora dan Bapak Langkas Lumbangaol bahwa cara pembagian warisan yang terjadi dalam masyarakat adat Batak Toba

kedudukan anak perempuan dalam hak waris adat Batak Toba yang ada di Semarang. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan penulis membahas

Berdasarkan hasil wawancara dengan nara sumber fungsi sosial ulos dalam acara pernikahan adat istiadat batak toba yaitu adalah pada saat prosesi penyerahan ulos

Nurcahaya (2007) dalam skripsi yang berjudul “ Tuturan pada upacara adat pernikahan masyarakat Batak T oba” mengkaji jenis tuturan yang terdapat pada upacara adat

Setiap orang pasti diajarkan saling mengasihi. Begitu juga pada Batak Toba. Kasih terhadap sesama masih terlihat di diri Lingga. Pada kutipan cerita Emas di Dolok