TESIS
Oleh
TIGOR SINAMBELA
117011115/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
TIGOR SINAMBELA
117011115/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Nama Mahasiswa : TIGOR SINAMBELA Nomor Pokok : 117011115
Program Studi : MAGISTER KENOTARIATAN
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum) (Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : TIGOR SINAMBELA
Nim : 117011115
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : STATUS KEPEMILIKAN TANAH PEMBERIAN
ORANGTUA KEPADA ANAK PEREMPUAN MELALUI PAUSEANGPADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KEC. DOLOK SANGGUL KAB. HUMBANG
HASUNDUTAN
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
ahli waris. Anak perempuan tidak mempunyai hak atas bagian dari harta peninggalan orangtuanya, namun anak perempuan dapat menikmati bagiandari harta kekayaan orangtuanya melalui pemberian. Pauseang merupakan salah satu bentuk pemberian sebelum atau setelah anak perempuan berumah tangga, dimana pemberian dapat berupa benda-benda seperti emas, perabotan rumah tangga, perhiasan, dan tanah yang berbentuk sawah, kebun, ladang maupun tanah pekarangan. Penelitian yang mendalam terhadap pemberian tanah melaluipauseangperlu dilakukan, mengingat kedudukan anak perempuan saat ini telah menuju ke arah kedudukan yang sama dengan anak laki-laki secara nasional. Di samping itu, tanah sebagai objek pemberian, tidak terlepas kaitannya dari hukum tanah marga yang berlaku. Penelitian terhadap pemberian tanah melalui pauseang dilakukan untuk mengetahui alasan pemberian tanah melaluipauseangdilakukan dan juga untuk mengetahui status kepemilikan anak perempuan terhadap tanah pemberian tersebut.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis empirisdengan sifat penelitian yangdeskriptif analitis.Penelitian menganalisis data yang diperoleh dan menggambarkan gejala-gejala, fakta-fakta serta aspek-aspek seperti menganalisis hubungan kekerabatan masyarakat, hukum waris adat, serta kedudukan anak perempuan dalam hukum adat Batak Toba. Analisis tersebut dilakukan sehingga dapat diketahui dan diperoleh hasil/ jawaban dari permasalahan.
Berdasarkan hasil penelitian, pemberian tanah melalui pauseangkepada anak perempuan dilakukan karena faktor kasih sayang, ekonomi, tanah sebagai identitas kekerabatan dan kehormatan keluarga. Perkembangan kedudukan anak perempuan sebagai ahli waris secara nasional, tidak menyebabkan anak perempuan mempunyai hak milik atas tanah pemberian orangtuanya, melainkan hanya terbatas pada hak pakai saja.
inheritance law in Batak Toba community only recognizes son as the heir; however, a daughter has the right to ‘inherit’ a part of her parents’ property as a gift. ‘Pauseang’ is one of the types of gift before and after a daughter gets married; the gift can be objects such as gold, furniture, jewelry, and a plot of land such as irrigated rice field, dry field, small field, and garden. A profound research on the giving of land through ‘pauseang’ needed to be conducted since nationally the position of a daughter today tends to be equal to that of a son. Besides that, land as a gift cannot be separated from the prevailing rule of marga land. The research on the giving of land through ‘pauseang’ was conducted to find out the reason for giving land through ‘pauseang’ and to find out the status of a daughter’s ownership of the land.
The research used judicial empirical analysis with descriptive analytic method. It analyzed the gathered data and described phenomena, facts, and other aspects such as analyzing kinship relationship, adat inheritance law, and the position of a daughter in adat law of Batak Toba. The analysis was conducted to find out and to obtain the result/answer of the problems.
Based on the result of the research, it was found that the giving of land through ‘pauseang’ was done because the factors of love and affection, economy, and land as the identity for kinship and for family honor. The development of a daughter’s position as an heir nationally did not cause her to have property rights on land, given by her parents; she only had the right of use.
memberikan berkat dan kuasa-Nya dalam mengiringi langkah Penulis menyelesaikan tesis ini dengan judul “Status Kepemilikan Tanah Pemberian Orangtua kepada Anak Perempuan melalui Pauseang pada Masyarakat Batak Toba di Kec.Dolok Sanggul Kab.Humbang Hasundutan”.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Keberhasilan dalam penulisan tesis diperoleh dengan melalui beberapa proses, dimana dalam proses penulisan sampai dengan selesai tidak terlepas dari peran para pihak yang turut serta dalam memberi arahan, bimbingan, saran, kritik dan motivasi. Sehingga pada kesempatan yang berbahagia ini, Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA (K) Rektor Universitas Sumatera Utara atas sarana dan fasilitas kampus yang mendukung Penulis dalam mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dedikasi dalam memimpin dan memajukan Fakultas Hukum sehingga proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik dan sesuai harapan.
5. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum dan Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing yang telah dengan penuh perhatian memberikan arahan, saran, kritik maupun motivasi sehingga tesis dapat diselesaikan dengan baik.
7. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A., SH., CN., M.Hum dan Bapak Notaris Dr. H. Syahril Sofyan, SH, MKn sebagai Dosen Penguji, yang telah banyak memberikan arahan, saran dan kritik yang sangat membantu dalam penulisan tesis ini
8. Bapak Bontor Sinambela, Dirman Sinambela, Erikson Simbolon, Tunas Pasaribu, Notaris/PPAT di Kabupaten Humbang Hasundutan Pantun Panggabean, SH, MKn. serta narasumber lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang dengan kerelaannya meluangkan waktunya untuk memberikan segala informasi penting yang sangat bermanfaat dalam penulisan tesis ini.
Demikian pula kepada orangtua Penulis, Ferro Sinambela, SH, M.Hum dan Betty Siregar, SH yang dengan perhatian penuh dan tidak pernah bosan memberikan motivasi, saran dan doanya yang sangat membantu Penulis khususnya pada saat Penulis mengalami kesulitan dan kebuntuan. Kiranya senantiasa diberi kesehatan, umur panjang dan dalam perlindungan Tuhan.
Kakak Penulis Ny.Mutiara Manurung br.Sinambela, SE, Ak., MM., abang ipar Penulis Saor Eirene Manurung, ST, MT, adik Penulis Tahi Bonar Sinambela serta teman dekat Penulis Mian Felicity br.Sinaga,SH yang juga telah memberikan dorongan semangat dan doa kepada Penulis.
Penulis. Kiranya keberhasilan dan kesuksesan menghampiri kita semua.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum sempurna dan memiliki kekurangan, akan tetapi Penulis berharap penulisan tesis ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Hormat saya,
Penulis,
Nama : Tigor Sinambela
Tempat/ Tanggal Lahir : Medan/ 12 Oktober 1988
Status : Belum Kawin
Alamat : Jl.HM.Said Gg A No.1 Medan
II. ORANG TUA
Nama Ayah : Ferro Sinambela,SH,M.Hum
Nama Ibu : Betty Siregar,SH
III. PENDIDIKAN
SD Budi Murni-IV Medan Tamat Tahun 2000
SLTP Budi Murni-I Medan Tamat Tahun 2003
SMU Budi Murni-I Medan Tamat Tahun 2006
S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2011
ABSTRAK ... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR ISTILAH ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 13
C. Tujuan Penelitian ... 14
D. Manfaat Penelitian ... 14
E. Keaslian Penelitian ... 15
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 16
1. Kerangka Teori ... 16
2. Konsepsi ... 22
G. Metode Penelitian ... 24
1. Spesifikasi Penelitian ... 26
2. Metode Pendekatan ... 26
3. Lokasi Penelitian ... 27
4. Populasi dan Responden ... 28
5. Sumber Data ... 30
6. Alat Pengumpulan Data ... 31
HASUNDUTAN ... 33
A. Deskripsi Wilayah Penelitian ... 33
B. Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba ... 39
C. Pemberian Menurut Hukum Adat ... 47
D. Faktor Penyebab Terjadinya Pemberian Tanah oleh Orangtua Kepada Anak Perempuan Melalui Pauseang……… ... 54
E. Pengesahan Pemberian Tanah Melalui Pauseang ... 62
BAB III STATUS KEPEMILIKAN TANAH PEMBERIAN ORANGTUA KEPADA ANAK PEREMPUAN MELALUIPAUSEANG ... 83
A. Hak Atas Tanah Menurut Hukum Adat ... 83
B. Status Kepemilikan Tanah Pemberian Orangtua Kepada Anak Perempuan Melalui Pauseang ... 88
C. Pemberian Tanah dalam Perkembangannya Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung ... 100
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 112
A. Kesimpulan ... 112
B. Saran ... 113
wanita, sebagai tanda jadi akan dilangsungkannya perkawinan 2. Ulaon= pesta
3. Manatap= memandang 4. Dolok= bukit
5. Onan = suatu bentuk perdagangan masyarakat antar desa yang dilakukan satu kali dalam seminggu
6. Tarikh= angka-angka tahun atau abad 7. Puak= sub suku
8. Genealogis territorial = keterikatan kelompok yang memiliki hubungan darah dalam suatu wilayah tertentu
9. Jolo tiniptip sanggar, bahen huru-huruan; Jolo sinungkun marga, asa binoto partuturan“ yang artinya secara harafiah adalah terlebih dahulu dipotong pimping (sejenis ranting), sebelum membuat sangkar. Merupakan perumpamaan mengenai pentingnya marga,dimana sebelum saling mengenal, lebih dulu dipertanyakan marga, agar dapat diketahui
partuturan(sebutan kedudukan dalam adat) 10.Partuturan= sebutan kedudukan dalam adat 11.Hula-hula= pihak keluarga/ kerabat istri
12.Somba Marhula-hula= sikap hormat kepada keluarga/ kerabat pihak istri 13.Mata ni ari na binsar= matahari yang memberikan terang
14.Boru= anak perempuan
15. Elek Marboru = sikap menyayangi dan mengasihi orangtua anak perempuan terhadap keluarga suami anaknya
16. Tanoh SesanatauSaba Bangunan= pemberian tanah oleh orangtua kepada anak semasa hidupnya di daerah Lampung
17. Peunulang = pemberian harta oleh orangtua kepada anak di daerah Aceh 18. Hauma= sawah atau ladang
19. Porlak atau kobun= kebun 20. Jabu atau bagas= rumah 21. Huta= kampung
24. Dondon Tua = pemberian berupa sawah oleh seorang ayah kepada anak perempuannya untuk kemudian dapat diberikan kepada cucunya apabila telah dia meninggal dunia.
25. Punsutali = pemberian seorang ayah kepada cucunya yang paling besar dari anak perempuannya. Pemberian ini merupakan pemberian terakhir dan baru dapat diterima oleh anak perempuantersebut apabila ayahnya telah meninggal dunia.
26. Umpasa= perumpamaan
27. Dompak marmeme anak Dompak marmeme boru = suatu perumpamaan tentang anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan sama-sama disuapi makanan dengan cara yang sama.
28. Simatua= mertua 29. Hela= menantu
30. Religius magis= berhubungan dengan kepercayaan
31. Mamungka = kegiatan membuka tanah yang masih berupa hutan belantara untuk dijadikan tempat tinggal
32. Mulajadi Na Bolon= sebutan kepada Sang Pencipta Alam Semesta
33. Mamboan Sipanganon = kegiatan mendatangi orangtua dengan membawa dan menghidangkan sejumlah makanan dengan maksud atau tujuan tertentu
34. Piso = uang yang diselipkan pada daun sirih dan diletakkan di atas sepiring beras
2.1. Jumlah Penduduk dan Keluarga di Kecamatan Dolok Sanggul ... 35
2.2. Tabel Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 36
ahli waris. Anak perempuan tidak mempunyai hak atas bagian dari harta peninggalan orangtuanya, namun anak perempuan dapat menikmati bagiandari harta kekayaan orangtuanya melalui pemberian. Pauseang merupakan salah satu bentuk pemberian sebelum atau setelah anak perempuan berumah tangga, dimana pemberian dapat berupa benda-benda seperti emas, perabotan rumah tangga, perhiasan, dan tanah yang berbentuk sawah, kebun, ladang maupun tanah pekarangan. Penelitian yang mendalam terhadap pemberian tanah melaluipauseangperlu dilakukan, mengingat kedudukan anak perempuan saat ini telah menuju ke arah kedudukan yang sama dengan anak laki-laki secara nasional. Di samping itu, tanah sebagai objek pemberian, tidak terlepas kaitannya dari hukum tanah marga yang berlaku. Penelitian terhadap pemberian tanah melalui pauseang dilakukan untuk mengetahui alasan pemberian tanah melaluipauseangdilakukan dan juga untuk mengetahui status kepemilikan anak perempuan terhadap tanah pemberian tersebut.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis empirisdengan sifat penelitian yangdeskriptif analitis.Penelitian menganalisis data yang diperoleh dan menggambarkan gejala-gejala, fakta-fakta serta aspek-aspek seperti menganalisis hubungan kekerabatan masyarakat, hukum waris adat, serta kedudukan anak perempuan dalam hukum adat Batak Toba. Analisis tersebut dilakukan sehingga dapat diketahui dan diperoleh hasil/ jawaban dari permasalahan.
Berdasarkan hasil penelitian, pemberian tanah melalui pauseangkepada anak perempuan dilakukan karena faktor kasih sayang, ekonomi, tanah sebagai identitas kekerabatan dan kehormatan keluarga. Perkembangan kedudukan anak perempuan sebagai ahli waris secara nasional, tidak menyebabkan anak perempuan mempunyai hak milik atas tanah pemberian orangtuanya, melainkan hanya terbatas pada hak pakai saja.
inheritance law in Batak Toba community only recognizes son as the heir; however, a daughter has the right to ‘inherit’ a part of her parents’ property as a gift. ‘Pauseang’ is one of the types of gift before and after a daughter gets married; the gift can be objects such as gold, furniture, jewelry, and a plot of land such as irrigated rice field, dry field, small field, and garden. A profound research on the giving of land through ‘pauseang’ needed to be conducted since nationally the position of a daughter today tends to be equal to that of a son. Besides that, land as a gift cannot be separated from the prevailing rule of marga land. The research on the giving of land through ‘pauseang’ was conducted to find out the reason for giving land through ‘pauseang’ and to find out the status of a daughter’s ownership of the land.
The research used judicial empirical analysis with descriptive analytic method. It analyzed the gathered data and described phenomena, facts, and other aspects such as analyzing kinship relationship, adat inheritance law, and the position of a daughter in adat law of Batak Toba. The analysis was conducted to find out and to obtain the result/answer of the problems.
Based on the result of the research, it was found that the giving of land through ‘pauseang’ was done because the factors of love and affection, economy, and land as the identity for kinship and for family honor. The development of a daughter’s position as an heir nationally did not cause her to have property rights on land, given by her parents; she only had the right of use.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum adat sebagai hukum yang hidup (living law) dikonsepsikan sebagai suatu sistem hukum yang terbentuk dan berasal dari pengalaman
empiris masyarakat pada masa lalu, yang dianggap adil dan patut dan telah
mendapatkan legitimasi dari penguasa adat sehingga mengikat atau wajib
dipatuhi (bersifat normatif).1Menurut Soerjono Sukanto, hukum adat
merupakan keseluruhan adat baik yang tidak tertulis dan hidup dalam
masyarakat berupa kesusilaan, kebiasaan dan kelaziman yang mempunyai
akibat hukum.2
Ter Haar berpendapat bahwa hukum adat merupakan seluruh peraturan
yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan yang berwibawa dari para
fungsionaris hukum seperti para hakim adat, kepala adat dan kepala desa
dalam hubungannya secara langsung satu sama lain dan timbal balik dengan
masyarakat berdasarkan ikatan struktural maupun ikatan lainnya.3
1
Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, (Bandung: Alumni, 2002), hal.27
2Iman Sudiyat,Asas-asas Hukum Adat,(Yogyakarta : Liberty, 2000), hal.9
Menurut Djojodigoeno, hukum adat yang merupakan suatu karya
masyarakat tertentu yang bertujuan tata, keadilan dan kesejahteraan
masyarakat, sehingga hukum adat tidak boleh bersifat statis dan konservatif. Hukum adat harus bersifat dinamis dan dapat menyesuaikan diri dengan suatu
keadaan atau suatu situasi tertentu (plastis).4 Menurut Bushar Muhammad, hukum adat yang ada akan patut untuk dipertahankan atau tidak, bergantung
kepada kesadaran masyarakat.5
Eksistensi berlakunya hukum adat di samping hukum nasional sampai
saat ini, dapat dilihat pada Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA)
maupun putusan badan peradilan di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang
Dasar 1945 eksistensi berlakunya hukum adat dapat dilihat pada Pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945, yang menyatakan bahwa segala badan negara
dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang
baru menurut Undang-undang Dasar ini. Badan negara dan peraturan
merupakan dua hal yang dipertahankan menurut Pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945.
Badan negara yang dimaksud adalah lembaga-lembaga hukum yang
telah ada baik sebelum maupun pada masa-masa kolonial seperti pengadilan
gubernemen, pengadilan asli, pengadilan asli, pengadilan desa dan swapraja.
Peraturan-peraturan yang dimaksud adalah seperti dalam Pasal 131 IS
(Indische Staatsregeling)dan Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) yang pada prinsipnya menetapkan bahwa bagi warga negara Indonesia asli tetap berlaku
hukum adat, sedangkan untuk keturunan Eropa dan Tionghoa berlaku
Burgerlijk Wetboek (BW) atau disebut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pemberlakuan peraturan Pasal 131 IS dan Pasal 163 IS dapat
dilihat pada bagian pertimbangan hukum hakim dalam Putusan MA
No.1596K/Pdt/1985 tanggal 27 Januari 1987 yang memutuskan perkara
penerapan hukum waris untuk orang-orang Indonesia asli adalah hukum waris
adat, bukan hukum perdata (BW) berdasarkan peraturan mengenai Pasal 131
IS dan Pasal 163 IS.6
UUD 1945 tidak menyebutkan istilah hukum adat secara eksplisitdalam pasal-pasalnya, tetapi dengan masih tetap diberlakukannya badan-badan negara
dan peraturan-peraturan yang telah ada sebelum kemerdekaan Indonesia
melalui Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 sudah cukup memadai sebagai
sebuah pedoman bahwa di luar hukum perundang-undangan masih diakui pula
adanya hukum-hukum yang tidak tertulis.7
Eksistensi masyarakat hukum adat secara implisit dapat ditemukan pada Batang Tubuh UUD 1945 Pasal 18B yang berbunyi : “Negara mengakui
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur
dalam undang-undang.”
Menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, dalam memutuskan suatu perkara hakim dan hakim
konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan
eksistensi hukum adat itu sendiri yang merupakan hukum dan nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat.
Eksistensi hukum adat di bidang pertanahan dapat dilihat dalam Pasal 5
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan angkasa adalah
hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum nasional dan negara.
Demikian puladiatur dalam Pasal 3 bahwa pelaksanaan hak-hak ulayat
masyarakat hukum adat atau yang serupa dengan itu, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain
yang lebih tinggi.
Bertitik tolak dari penjelasan tersebut di atas, maka dapat diketahui
bahwa terdapat dualisme hukum yang mengatur di bidang pertanahan. Menurut
Utrecht, sifat tersebut merupakan hal yang perlu dihindari dalam lapangan
hukum karena dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang merupakan
suatu keadaan yang bertentangan dengan falsafah dan tujuan hukum itu
sendiri.8
Hukum adat mengatur berbagai bidang kehidupan masyarakat
adat.Dalam kehidupan masyarakat adat, penggunaan istilah hukum adat sangat
jarang ditemukan. Masyarakat cenderung menggunakan istilah adat.Istilah
tersebut mengarah kepada suatu kebiasaan yaitu serangkaian perbuatan yang
pada umumnya harus berlaku pada struktur masyarakat terkait dan merupakan
pencerminan dari kepribadian suatu bangsa.9Adat diartikan sebagai suatu
kebiasaan yang menurut asumsi masyarakat telah terbentuk baik sebelum
maupun setelah adanya masyarakat.10
Menurut Hazairin, masyarakat adat adalah kesatuan-kesatuan
kemasyarakatan yang mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan
8
E.Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: PT.Penerbitan dan Balai Buku Ichtiar, 1962), hal.35
kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi
semua anggotanya.11Hukum adat mengatur berbagai sendi kehidupan
masyarakat adat seperti mengatur kehidupan keluarga, perkawinan, waris,
tanah, hutang piutang dan pelanggaran terhadap hukum adat.12
Ketentuan dalam pewarisan diatur oleh hukum waris adat. Menurut
Soepomo dalam bukunya yang berjudul “Bab-bab tentang Hukum Adat”,
hukum waris adat didefenisikan sebagai peraturan-peraturan yang mengatur
proses meneruskan serta mengoper barang-barang, harta benda dan barang
yang berwujud dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya.13Hukum waris adat mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri
yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum Islam maupun hukum
Barat.Bangsa Indonesia yang murni dalam berfikir berasas kekeluargaan, yaitu
kepentingan hidup yang rukun damai lebih diutamakan dari pada sifat-sifat
kebendaan dan mementingkan diri sendiri.
Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan
hukum yang bertalian dengan proses penerusan/ pengoperan dan peralihan/
perpindahan harta kekayaan materiil dan non-materiil dari generasi ke
generasi.14
11Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1983), hal.93
12
Soerjono Soekanto,Hukum Adat Indonesia, 2001,Op.Cit..,hal.118-119
Pada prinsipnya yang merupakan objek hukum waris adalah harta
keluarga yang dapat berupa harta suami atau isteri yang merupakan hibah atau
pemberian kerabat yang dibawa ke dalam keluarga, usaha suami atau isteri
yang diperoleh sebelum dan sesudah perkawinan, harta yang merupakan
hadiah kepada suami-isteri pada waktu perkawinan dan harta yang merupakan
usaha suami-isteri dalam masa perkawinan.15
Hukum waris suatu golongan masyarakat tidak terlepas dan
dipengaruhi oleh bentuk kekerabatan dari masyarakat itu sendiri, setiap
kekerabatan atau kekeluargaan memiliki sistem hukum waris sendiri-sendiri.
Secara teoritis sistem kekerabatan di Indonesia dapat dibedakan atas tiga corak,
yaitu sistem patrilineal, sistem matrilineal, dan sistem parental ataubilateral. Sistem keturunan ini berpengaruh dan sekaligus membedakan masalah hukum
kewarisan, disamping itu juga antara sistem kekerabatan yang satu dengan
yang lain dalam hal perkawinan.16
Menurut Wirjono Prodjodikoro17, bahwa di antara orang-orang
Indonesia asli ditemukan 3 (tiga) macam golongan kekeluargaan atau
kekerabatan yaitu ;
15Soerjono Soekanto,Hukum Adat Indonesia.,1983,Op.Cit.,hal. 277
1. Golongan kekeluargaan yang bersifat kebapakan (Patriachaat, Vaderrechtelijk) atau disebut juga patrilineal terdapat di daerah Tanah Gayo, Alas, Batak, Ambon, Irian, Timor, dan Bali ;
2. Golongan kekeluargaan yang bersifat keibuan (Matriachaat, Moderrechtelijk) atau disebut jugamatrilinealterdapat Minangkabau; 3. Golongan kekeluargaan yang bersifat kebapak-ibuan
(Parental,Ouderrechtelijk) terdapat di Jawa, Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate, dan Lombok.
Prinsip-prinsip garis keturunan terutama berpengaruh terhadap
penetapan ahli waris maupun bagian harta peninggalan yang diwariskan (baik
yang materiel maupun immateriel). Ada tiga sistem yang dikenal dalam hukum
waris adat, yaitu18:
1. Sistem kewarisan individual yang merupakan sistem kewarisan dimana para ahli waris mewarisi secara perorangan yang dapat dilihat pada suku Batak, Jawa, Sulawesi)
2. Sistem kewarisan kolektif, dimana para ahli waris secara kolektif (bersama-sama) mewarisi harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi pemiliknya kepada masing-masing ahli waris yang dapat dilihat pada suku Minangkabau
3. Sistem kewarisan mayorat terdiri dari :
a. Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua pada saat pewaris meninggal atau anak laki sulung (atau keturunan laki-laki) merupakan ahli waris tunggal, yang terdapat di daerah Lampung b. Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua pada saat pewaris meninggal adalah ahli waris tunggal, terdapat pada masyarakat di tanah Samendo.
Sistem kekerabatan pada masyarakat patrilineal mempengaruhi kedudukan janda dan anak perempuan. Anak perempuan tidak mewarisi harta
mengakibatkan anak perempuan setelah melangsungkan perkawinan,
dilepaskan dari kelompok hidup kerabatnya (bapak).19 Pada susunan
kekeluargaan yang bersifat kebapakan ataupatrilineal,yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki tidak termasuk anak perempuan, oleh karena anak
perempuan setelah melangsungkan perkawinan akan keluar dari lingkungan
keluarganya yang semula.20 Dalam perkembangannya, dalam kehidupan
masyarakat adat dengan sistem kekerabatan patrilineal telah dikenal adanya pemberian harta kekayaan orangtua kepada anak perempuannya.
Eman Suparman mempersamakan pemberian dengan hibah. Menurut
Eman Suparman, hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang
kepada pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaan
pembagiannya biasanya dilakukan pada waktu penghibah masih hidup.21
Menurut Soepomo, pemberian semasa hidup dilakukan oleh orangtua untuk
mewajibkan para waris untuk membagi-bagikan harta dengan cara layak
menurut anggapan pewarisan dan juga untuk mencegah perselisihan.22
Hibah menurut hukum adat memiliki beberapa ketentuan, yaitu23:
19Iman Sudiyat,Op.Cit.,hal.23
20G.H.S.L Tobing, Pengaturan Hukum waris Dalam Sistem Hukum Perdata Nasional, (Jakarta: Majalah BPHN Nomor 1 Tahun 1989), hal.27
21
Eman Suparman,Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat & BW,(Bandung: PT.Refika Aditama, 2005), hal.81
1. Hibah adalah jenis pemberian yang dilakukan oleh seseorang ketika masih hidup
2. Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan tanpa kontra prestasi dari pihak penerima hibah, atau dengan kata lain perjanjian secara cuma-cuma
3. Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah tersebut bertentangan dengan hukum adat
4. Benda-benda yang dapat dihibahkan adalah segala sesuatu benda milik penghibah yang telah ada pada saat dilakukan hibah, baik benda yang bergerak maupun benda tetap
5. Hibah dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis
Menurut Hilman Hadikusuma, harta pemberian dalam hukum adat
adalah harta yang diberikan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada
seseorang atau kepada suami isteri bersama atau sekeluarga rumah tangga oleh
karena hubungan cinta kasih, balas budi, jasa atau karena sesuatu tujuan.
Pemberian dapat berupa barang tetap, barang bergerak atau hanya berupa hak
pakai yang dilakukan sebelum atau sejak adanya perkawinan dan selama
perkawinan.24
Pemberian atau hibah juga diatur dalam hukum nasional, yaitu pada
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Titel X Buku III yang
dimulai dari Pasal 1666 sampai dengan Pasal 1693. Hibah menurut Pasal 1666
KUH Perdata adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah pada waktu
hidupnya dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali,
menyerahkan sesuatu benda guna keperluan penerima hibah yang menerima
penyerahan itu.
Barang-barang yang dihibahkan dapat berupa barang bergerak maupun
tidak bergerak, sepanjang barang yang dihibahkan merupakan barang yang
sudah ada saat penghibahan terjadi.25Tanah merupakan barang tidak
bergerak26, oleh karena itu tanah dapat dihibahkan.
Hibah tanah merupakan salah satu perbuatan hukum mengenai hak atas
tanah27 dan PPAT adalah pejabat yang berwenang membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan hukum terhadap tanah termasuk hibah.28 Sehingga
dapat diketahui bahwa hibah tanah tidak lagi tunduk pada ketentuan Pasal 1682
KUH Perdata bahwa hibah adalah sah apabila dilakukan dengan akta notaris
yang minut (naskah aslinya) harus disimpan notaris.
Akta hibah merupakan suatu akta otentik yang mempunyai
keistimewaan sebagai suatu bukti yang sempurna (volledig bewijs-full evident)
tentang apa yang dimuat di dalamnya. Artinya apabila seseorang mengajukan
akta resmi kepada hakim sebagai bukti, hakim harus menerima dan
menganggap apa yang tertulis di dalam akta merupakan peristiwa yang
25Lihat Pasal 1667 KUH Perdata 26
Lihat Pasal 506 KUH Perdata 27
Lihat Pasal 2 PP No.37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PP 37/1998)
sungguh-sungguh telah terjadi dan hakim tidak boleh memerintahkan
penambahan pembuktian.29
Pemberian orangtua kepada anaknya semasa hidup, terjadi dengan corak
dan tujuannya masing-masing di setiap lingkungan adat yang berbeda-beda
seperti pada masyarakat Batak Karo yang disebut pemere, masyarakat Daya Kendayan di Kalimantan, di Lampung, Banten, Aceh maupun Jawa.30
Masyarakat Batak Toba khususnya di Kecamatan Dolok Sanggul
Kabupaten Humbang Hasundutan menganut sistem kekerabatan patrilineal
dimana perempuan bukan merupakan ahli waris dari orangtuanya sampai saat
ini. Anak perempuan tidak berhak memiliki bagian dari harta kekayaan
orangtuanya. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh sistem perkawinan jujur yang dianut oleh masyarakat Batak Toba. Anak perempuan setelah melakukan
perkawinan dianggap telah berpindah dari kelompok marga orangtuanya ke kelompok keluarga orangtua laki-laki, yang ditandai dengan pemberian uang
jujuratausinamot.
Anak perempuan juga tidak memiliki kewajiban untuk memenuhi
kebutuhan hidup saudaranya selama orangtuanya masih hidup ataupun setelah
meninggal dunia.Harta peninggalan orangtua diberikan kepada anak laki-laki,
29I.G.Ray Widjaya,Merancang Suatu Kontrak,(Bekasi: Kesaint Blanc, 2004), hal.13
30Abi Yaser Handito, Status Kepemilikan Harta Benda Pemberian Orang Tua Semasa
khususnya anak laki-laki tertua yang menjadi penanggung jawab atau tulang
punggung untuk memenuhi kebutuhan hidup saudaranya.
Dalam perkembangannya anak perempuan dimungkinkan untuk
menikmati harta kekayaan orangtuanya melalui pemberian yang disebut
dengan pauseang. Pauseang yang diberikan, dapat berupa barang keperluan rumah tangga, perhiasan, emas, tanah, ladang dan sawah (hauma). Tanah
pauseang pada umumnya diberikan kepada anak perempuan saat orangtua masih hidup tetapi ada juga orangtua yang menentukan dulu tanah pauseang
yang akan diberikan untuk kemudian nanti diterima setelah orangtua
meninggal dunia.31
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui pemberian tanah pauseang
kepada anak perempuan tidak terlepas dari pengaruh hukum waris adat, sistem
kekerabatan dan hukum tanahyang berlaku dalam kehidupan masyarakat Batak
Toba. Hal tersebut yang melatarbelakangi pentingnya untuk dilakukan
penelitian dengan judul “Status Kepemilikan Tanah Pemberian Orangtua
kepada Anak Perempuan Melalui Pauseang Pada Masyarakat Batak Toba di
Kecamatan Dolok Sanggul Kabupaten Humbang Hasundutan”
B. Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Mengapa dilakukan pemberian tanah oleh orangtua kepada anak
perempuannya melalui pauseang di Kecamatan Dolok Sanggul Kabupaten Humbang Hasundutan?
2. Bagaimana status kepemilikan tanah yang diberikan kepada anak
perempuan melaluipauseang? C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui alasan dilakukannya pemberian tanahpauseang oleh orangtua kepada anak perempuannya di Kecamatan Dolok Sanggul
Kabupaten Humbang Hasundutan
2. Untuk mengetahui status kepemilikan tanahyang diberikan kepada anak
perempuan melaluipauseang
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis.
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam
bentuk sumbang saran untuk penelitian lanjutan, baik sebagai bahan awal
maupun sebagai bahan perbandingan untuk penelitian yang lebih luas
mengenai pemberian tanah yang diberikan orang tua kepada anak
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan tambahan pemahaman
tentang dinamika yang secara nyata terjadi dalam kehidupan masyarakat di
Indonesia secara umum dan masyarakat Batak Toba yang ada di
Kecamatan Dolok Sanggul Kabupaten Humbang Hasundutan secara
khusus. Sehingga dengan adanya penelitian ini diharapkan pula dapat
menjadi dasar pertimbangan dalam menyelesaikan permasalahan yang
terjadi dan dalam melakukan pembangunan hukum ke arah yang lebih baik
lagi.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya di Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul “Status
Kepemilikan Tanah Pemberian Orangtua kepada Anak Perempuan Melalui
Pauseang di Kecamatan Dolok Sanggul Kabupaten Humbang Hasundutan“
memiliki kemiripan dengan beberapa judul penelitian yang sudah pernah
dilakukan sebelumnya.
Pada tahun 2002, Lila Triana peserta Pasca Sarjana USU Program
Magister Kenotariatan telah melakukan penelitian dengan judul “Hibah
kepada Anak Angkat dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Adat”. Pokok
kepada anak angkat dalam kaitannya dengan hukum Islam dan dibandingkan
dengan hukum adat, serta peran Pengadilan Agama dalam pembatalan hibah
yang diberikan.
Pada tahun 2005, Getty Rumetha Sitio peserta Pasca Sarjana USU
Program Magister Kenotariatan juga telah melakukan penelitian dengan judul
“Pemisahan dan Pembahagian Harta Warisan Secara Damai di Hadapan
Notaris (Kajian Kasus Terhadap Masyarakat Suku Batak Non Muslim di Kota
Medan)”. Pokok permasalahan penelitian dititikberatkan pada pelaksanaan
pemisahan dan pembagian harta warisan masyarakat non muslim di kota
Medan melalui oleh notaris dibandingkan dengan hukum adat masyarakat
Batak Toba.
Sebagaimana diuraikan di atas, latarbelakang dan pokok permasalahan
yang dilakukan dalam penelitian sebelumnya berbeda dengan latarbelakang
dan pokok permasalahan yang akan diteliti, sehingga dengan demikian
penelitian ini dapat dinyatakan belum pernah dilakukan dan dapat dibuktikan
keasliannya.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kontinuitas perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada
oleh teori.32Teori didefenisikan sebagai asas-asas umum dan abstrak yang
diterima secara ilmiah dan sekurang-kurangnya dapat dipercaya untuk
menerangkan fenomena-fenomena yang ada. Teori bertujuan untuk
menerangkan atau menjelaskan mengapa terjadi gejala spesifik atau proses
tertentu terjadi.33Teori bukanlah pengetahuan yang sudah pasti, tetapi harus
dianggap sebagai petunjuk untuk analisis dari hasil penelitian yang
dilakukan.34
Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya
menundukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka
teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.35Teori
merupakan suatu penjelasan yang berupaya menyederhanakan pemahaman
mengenai suatu fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.36
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,
teori, tesis si penulis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin ia setuju
ataupun tidak disetujuinya yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka
32Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press,1982), hal.6
33M.Hisyam,Penelitian Ilmu-ilmu Sosial,(Jakarta: FE UI, 1996), hal.203
34Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal.21
35
Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Skripsi dan Tesis, (Yogyakarta: Andi, 2006), hal.6
berpikir dalam penulisan.37Sehingga fungsi teori dalam penulisan teori ini
adalah untuk memberikan arahan/ petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan
gejala yang diamati.
Penelitian dilakukan dengan berpedoman kepada pandangan Eugen
Ehrlich tentang hukum yang hidup (living law).Eugen Ehrlich berpendapat bahwa hukum tidak dapat ditemukan dalam dokumen-dokumen dan
bahan-bahan hukum formal, melainkan perlu terjun sendiri ke dalam kehidupan nyata
masyarakat. Hukum dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu hukum yang
digunakan untuk menentukan keputusan-keputusan dan hukum sebagai
peraturan tingkah laku yang dipakai oleh anggota masyarakat dalam
hubungannya satu sama lain. Hukum tidak mempunyai daya laku atau
penerapan yang universal, tiap bangsa mengembangkan kebiasaan hukumnya
sendiri.38
Eugen Ehrlich juga mengemukakan pendapatnya tentang keadilan yang
merupakan salah satu nilai dalam masyarakat. Dalam melakukan penelitian
terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat, ahli hukum harus berpedoman
pada prinsip-prinsip keadilan yang statis dan yang dinamis. Keberadaan
keadilan yang statis dalam masyarakat cenderung mempertahankan
kondisi-kondisi masyarakat yang ada, namun keberadaan keadilan yang statis akan
37
M.Solly Lubis,Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Cet-I, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 80
diperlunak oleh keadilan yang dinamis yang diarahkan oleh cita-cita
individualisme dan kolektivisme.39
Berdasarkan pendapat Eugen Eurlich mengenai hukum yang hidup
(living law) dan keadilan tersebut, dapat diketahui bahwa keadilan dalam masyarakat senantiasa berubah seiring dengan perubahan waktu dan perubahan
keadilan menyebabkan terjadinya perubahan kebiasaan hidup masyarakat.
Oleh karena hukum merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), maka secara otomatis, perubahan kebiasaan hidup masyarakat menyebabkan terjadinya perubahan hukum yang ada.
Menurut Djojodigoeno40, hukum adat mempunyai sifat yang khas
sebagai aturan yang tidak tertulis. Hukum adat mempunyai sifat yang hidup
dan berkembang. Hukum adat menjadi dinamis apabila dapat mengikuti
perkembangan masyarakat yang membutuhkan perubahan-perubahan dalam
dasar-dasar hukum sepanjang jalan sejarahnya.
Pada satu sisi, hukum adat bersifat tradisional karena melanjutkan
tradisi luhur yang cenderung mempertahankan pola-pola yang terbentuk,
sedangkan pada sisi lain sebagai hukum yang hidup dan berkembang, hukum
adat akan selalu mampu mengikuti perkembangan masyarakat.41
39
Teguh Prasetyo, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal.191
Hukum adat Batak Toba sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat
Batak Toba, ada dikarenakan masyarakat Batak Toba menghendakinya.
Hukum adat Batak Toba berasal dari kesadaran moral dan kebiasaan-kebiasaan
yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut hukum waris adat
Batak, hanya laki-laki yang merupakan ahli waris. Prinsip waris tersebut
dilatarbelakangi oleh sistem kekerabatan patrilineal dan sistem perkawinan
jujuryang dianut oleh masyarakat Batak.42
Seiring dengan perkembangan waktu, terjadi pelemahan terhadap
prinsip waris pada masyarakat Batak. Anak perempuan dapat menikmati
bagian harta kekayaan orang tuanya melalui pembekalan atau pemberian tanah
secara pauseang. Pemberian tanah melalui pauseang merupakan bukti telah terjadinya pergeseran dan perubahan dalam masyarakat.Perubahan ini telah
dianggap masyarakat Batak Toba khususnya masyarakat Batak Toba di
Kecamatan Dolok Sanggul Kabupaten Humbang Hasundutan sebagai sesuatu
yang adil dan wajar dilakukan orangtua terhadap anak perempuannya.43
Dalam hukum adat, dikenal adanya pemindahan hak atas tanah.Setiap
subyek hukum baik sebagai kodrati maupun pribadi hukum mempunyai suatu
kewenangan untuk memindahkan haknya atas tanah kepada pihak lainnya.
Pemindahan hak atas tanah merupakan peristiwa hukum yang menimbulkan
pemindahan hak dan kewajiban yang sifatnya tetap atau mungkin juga bersifat
42Eman Suparman,Op.Cit.,hal.41
sementara. Pemindahan hak atas tanah dapat terjadi karena pemberian. Subjek
hukum yang melakukan pemberian tanah harus benar-benar menguasai dan
memiliki tanah tersebut. Menurut hukum adat, dengan memberikan tanah
tersebut maka hak milik atas tanah akan berpindah seketika itu juga.44
Menurut Soerjono Sukanto45, hak atas tanah menurut hukum adat dapat
dibedakan atas hak pribadi hukum (masyarakat, keluarga luas, kerabat) atas
tanah dan hak pribadi kodrati atas tanah. Hak pribadi hukum atas tanah
merupakan hak yang dimiliki masyarakat adat sebagai suatu kesatuan
sedangkan hak pribadi kodrati atas tanah dimiliki secara individu.
Menurut Iman Sudiyat46, hak pribadi kodrati atas tanah terdiri dari hak
milik, hak menikmati hasil, hak pakai, hak keuntungan jabatan, hak wenang
beli dan hak wenang pilih. Pembagian tersebut didasarkan pada bentuk usaha
dari tanah yang bersangkutan yang berkaitan erat dengan penguasaan dan
pemilikan atasnya. Hak milik merupakan hak terkuat di antara hak-hak
perorangan yang lain.
Berdasarkan uraian mengenai hak atas tanah menurut hukum adat, maka
dapat ditentukan jenis hak apa yang melekat atas tanah pauseang yang diberikan orang tua kepada anak perempuannya. Penentuan jenis hak yang
melekat atas tanah tersebut tentunya tidak terlepas dari latarbelakang
44Eman Suparman,Op.Cit.,hal.196
pemberian tanah pauseang dan hukum adat yang berkaitan pemberian tanah dalam masyarakat setempat yaitu masyarakat Batak Toba di Kecamatan Dolok
Sanggul Kabupaten Humbang Hasundutan.
2. Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori.Peranan konsepsi
dalam penelitian adalah untuk menghubungkan teori dan observasi, antara
abstrak dan kenyataan. Konsepsi merupakan suatu pengertian mengenai suatu
fakta atau dapat berbentuk batasan (defenisi) tentang sesuatu yang akan
dikerjakan.47Konsepsi diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.48
Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian,
kalau masalahdan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah
diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian dan
suatu konsep sebenarnya adalah definisi secara singkat dari sekelompok fakta
atau gejala itu. Maka konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati,
konsep menentukan antara variabel-variabelyang ingin menetukan adanya
gejala empiris.49
Pemberian yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan pemberian
tanah melalui pauseang yang pernah dilakukan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba yang ada di lokasi penelitian berdasarkan hukum adat Batak Toba
47Hilman Hadikusuma,Op.Cit., hal.15
yang berlaku.Pemberian terjadi antara orangtua kandung sebagai pemberi dan
anak perempuan kandung sebagai penerima, dimana keduanya beragama
Kristen.
Konsepsi lainnya yang ada dalam penelitian ini dapat dilihat pada uraian
sebagai berikut :
a. Status kepemilikan yang dimaksud adalah jenis hak anak perempuan
terhadap tanah yang diberikan oleh orangtuanya melaluipauseang
b. Huta merupakan daerah persekutuan yang didiami oleh masyarakat adat yang berasal dari satu marga atau lebih. Huta dihuni oleh masyarakat
margaasal maupunmargapendatang.50
c. Tanah yang dimaksud dapat berupa sawah (h/auma), ladang, kebun, tanah kosong maupun pekarangan rumah
d. Pauseang adalah pemberian orang tua kepada anak perempuan pada saat berumah tangga yang dapat berupa benda bergerak seperti perabotan
rumah tangga dan perhiasan emas maupun barang tidak bergerak berupa
tanah, ladang atau sawah (hauma).51
e. Masyarakat Batak Toba merupakan masyarakat Batak Toba beragama
Kristen yang bertempat tinggal di Kecamatan Dolok Sanggul Kabupaten
Humbang Hasundutan
50Richard Sinaga, Kamus Batak Toba-Indonesia: Kosakata, Istilah-istilah Adat, Ungkapan,
f. Dalihan Na Tolu adalah tungku tempat memasak yang terdiri dari tiga batu52, merupakan falsafah/ pandangan hidup yang melandasi hubungan
kekerabatan masyarakat Batak Toba.53
g. Panjaean adalah pemberian orang tua kepada anak laki-lakinya sebagai modal hidup untuk berkeluarga54
h. Boru adalah anak perempuan, dalam acara perkawinan boru diartikan sebagai pihak keluarga atau kerabatmargamempelai wanita55
i. Hula-hula adalah sekelompok orang yang memiliki marga yang sama denganmargaorangtua laki-laki perempuan dalam perkawinan.56
j. Dongan sabutuhaataudongan sahutaadalah sekelompok orang yang memilikimargaatausub margayang sama57
k. Anak perempuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah anak
perempuan kandung yang lahir dari perkawinan sah seorang laki-laki dan
seorang perempuan menurut hukum adat Batak Toba
G. Metode Penelitian
Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang menggunakan pengetahuan
sebagai sumber primer dengan tujuan untuk menentukan prinsip-prinsip umum
serta mengadakan ramalan generalisasi sampel yang diteliti.58
52Dony Boy Faisal Panjaitan, Peranan Dalihan Natolu Dalam Hukum Perkawinan
Masyarakat Adat Batak Toba (Studi Mengenai Hukum Perkawinan Adat Batak Di Kecamatan Balige), Skripsi, (Medan: USU, 2009), hal.11
53Djaren Saragih dkk,Op.Cit.,hal.22 54
Ibid.,hal 83 55
Metode berasal dari bahasa Yunani yaitu methodos yang berarti jalan menuju dan secara etimologis, metode diartikan sebagai jalan atau cara melakukan atau mengerjakan sesuatu. Dalam ilmu pengetahuan, metode
merupakan titik awal menuju proposisi-proposisi akhir dalam bidang
pengetahuan tertentu.
Menurut Soerjono Soekanto, metode adalah proses, prinsip-prinsip dan
tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah
pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk
menambah pengetahuan manusia, maka metode penelitian dapat diartikan
sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang
dihadapi dalam melakukan penelitian.59Bagi kepentingan ilmu pengetahuan,
metode merupakan titik awal menuju proposisi-proposisi akhir dalam bidang
pengetahuan tertentu.60 Maka dapat dilihat peran penting metode dalam
melakukan penelitian ilmu pengetahuan secara khusus dalam ilmu hukum.
Metode penelitian merupakan cara dan prosedur yang sistematis dan
terorganisir untuk menemukan solusi atas masalah, sehingga dapat diketahui
bahwa metode penelitian merupakan keseluruhan langkah ilmiah yang
digunakan untuk menemukan solusi atas suatu masalah.61 Adapun metode
penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut :
58
Komarudin,Metode Penulisan Skripsi dan Thesis,(Bandung: Angkasa, 1974), hal.27 59Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,Op.Cit.,hal. 6
1. Spesifikasi Penelitian
Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis.Adapun yang dimaksud dengan penelitian yang bersifatdeskriptif analitis adalah suatu penelitian yang dapat menggambarkan secara rinci dan sistematis mengenai objek yang
diteliti.62Penelitian ini menganalisis data yang diperoleh dan menggambarkan
gejala-gejala, fakta-fakta serta aspek-aspek seperti menganalisis hubungan
kekerabatan masyarakat Batak Toba, hukum waris adat Batak serta kedudukan
perempuan dalam hukum adat Batak Toba, sehingga dapat diketahui dan
diperoleh hasil/ jawaban dari penelitian yang dilakukan sesuai dengan yang
diharapkan.
2. Metode Pendekatan
Studi hukum dibagi menjadi 2 (dua) cabang studi, pertama menyatakan
bahwa hukum dipelajari dan diteliti sebagai studi mengenai law in book
sedangkan kedua menyatakan bahwa hukum dapat dipelajari sebagai suatu
studi mengenailaw in action. Oleh karena mempelajari dan meneliti hubungan timbal balik antara hukum dengan lembaga-lembaga sosial yang lain maka
penelitian terhadap hukum sebagai law in action merupakan studi sosial yang
nondoctrinalyang bersifat empiris.63
62Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, Op.Cit., hal.10
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka metode pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris. Penelitian yuridis empiris merupakan penelitian terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis) dan penelitian terhadap efektivitas hukum.64 Menurut Ronny Hanitijo Soemitro
bahwa penelitian yuridis empiris adalah suatu penelitian dengan cara melihat faktor-faktor dari segi hukum yang mempengaruhi kenyataan yang terjadi di
masyarakat secara langsung untuk menjawab pokok permasalahan.65
Penelitian dilakukan dengan mengidentifikasi hukum dan efektivitas
hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Batak Toba di Kecamatan
Dolok Sanggul, sehingga penelitian yang dilakukan dapat memberikan
jawaban atas pokok permasalahan dalam penelitian yaitu mengenai status
kepemilikan tanahpauseangyang diberikan orangtua kepada anak perempuan. 3. Lokasi Penelitian
Daerah yang akan dijadikan lokasi penelitian adalah Kecamatan Dolok
Sanggul yang merupakan ibukota dari Kabupaten Humbang Hasundutan.
Kecamatan Dolok Sanggul memiliki luas wilayah 107,46 km2 yang terdiri dari
27 desa yaitu Aek Lung, Huta Gurgur, Hutabagasan, Hutaraja, Janji, Lumban
Purba, Matiti I, Matiti II, Pakkat, Parik Sinomba, Purba Dolok, Purba Manalu,
Saitnihuta, Sampean, Sihite I, Sihite II, Silaga-laga, Sileang, Simangaronsang,
Simarigung, Sirisirisi, Sosor Gonting, Sosor Tambok, Bonani Onan, Lumban
Tobin dan Pasaribu serta 1 kelurahan yaitu Pasar Dolok Sanggul.66Mengingat
banyaknya jumlah desa dan kelurahan yang akan diteliti serta jaraknya yang
saling berjauhan, maka penelitian tidak dilakukan di semua desa. Dari
keseluruhan desa yang berjumlah 27 (duapuluh tujuh) desa dan kelurahan yang
berjumlah 1 (satu) kelurahan, dipilih 5 (lima) desa sebagai sampel.
Adapun kelima desa tersebut, yaitu:
a. Desa Janji
b. Desa Hutaraja
c. Desa Sihite I
d. Desa Silaga-laga
e. Desa Pasaribu
Pemilihan kelima desa sebagai lokasi penelitian, karena masyarakat di
lokasi penelitian ini masih tunduk pada ketentuan hukum adat Batak Toba dan
pemberian tanah melalui pauseang masih dilakukan dalam kehidupan masyarakat sehingga diharapkan lokasi penelitian dapat memberikan jawaban
atas pokok permasalahan penelitian.
4. Populasi dan Responden
Menurut Winardi, populasi atau universe adalah kelompok semua elemen yang mendukung keterangan yang diperlukan guna untuk menjelaskan
sebuahproblematau alasan-alasan maksudnya yaitu sekelompok manusia yang bermukim di suatu wilayah atau daerah penelitian dan dapat pula merupakan
elemen/bagian dari tempat penelitian.67Populasi penelitian ini merupakan
semua orang Batak Toba yang bertempat tinggal di 28 (duapuluh delapan)
desa/kelurahan di Kecamatan Dolok Sanggul yang pernah melakukan
pemberian tanah melalui pauseang dan ditentukan pula desa yang dijadikan sampel penelitian sebanyak 5 (lima) desa.
Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian, terdapat 86 (delapan
puluh enam) orang yang pernah melakukan pemberian tanah melalui
pauseang.Dari populasi, ditentukan sebanyak 6 (enam) orang dari masing-masing desa sampel sebagai responden,sehingga responden dalam penelitian
berjumlah 30 (tigapuluh) orang. Penentuan responden dilakukan secara
purposive sampling, dimana responden dianggap telah dapat mewakili dan memberikan jawaban atas permasalahan penelitian. Penentuan responden
dikarenakan adanya keterbatasan waktu dan biaya mengingat populasi yang
sulit untuk diwawancarai karena harus bekerja serta tempat tinggal populasi
yang berjauhan.
Informasi yang diperoleh dari responden, didukung dan diperkuat pula
dengan informasi yang diperoleh melalui wawancara dengan nasrasumber
(informan).Adapun narasumber (informan) dalam penelitian ini terdiri dari :
a. Dirman Sinambela merupakan tokoh adat di Desa Sihite I
b. Erikson Simbolon merupakan tokoh adat di Desa Hutaraja
c. Tunas Pasaribu merupakan tokoh adat di Desa Pasaribu
d. Bontor Sinambela merupakan tokoh adat dan Kepala Desa Janji
e. Pantun Panggabean merupakan Notaris/PPAT di Kabupaten Humbang
Hasundutan
5. Sumber Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder, yaitu:
a. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui
wawancara (interview) yang dilakukan terhadap :
(1). Orangtua yang pernah memberikan tanah melaluipauseang
(2). Anak perempuan yang pernah menerima tanah melaluipauseang
(3). Tokoh masyarakat dan kepala desa
b. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan
dilakukan sebagai langkah awal untuk memperoleh bahan acuan untuk
penulisan tesis ini, yaitu:
(1). Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat
perundang-undangan, putusan pengadilan dan hukum yang tidak
dikodifikasikan yaitu hukum adat
(2). Bahan hukum sekunder yang dapat memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer seperti ketentuan-ketentuan dan
komentar mengenai hukum waris adat, jurnal, buku-buku petunjuk
lain maupun yang diperoleh dari situs internet (website) yang memberikan kejelasan terhadap penelitian ini.
6. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
a. Studi dokumen
Bahan pustaka yang dimaksud berupa peraturan perundang-undangan,
buku, laporan hasil penelitian terdahulu, makalah penataran dan bahan
kepustakaan lainnya yang bermanfaat untuk penelitian ini
b. Wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara
Wawancara dilakukan terhadap narasumber (informan) secara terarah dan sebelum melakukan wawancara dibuat pedoman wawancara sehingga hasil
wawancara relevan dengan permasalahan yang akan diteliti
7. Analisis Data
Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan menguraikan
tema dan dapat dirumuskan hipotesa kerja seperti yang disarankan data.68
Metode kualitatif dilakukan untuk memperoleh data dari responden baik yang secara lisan sehingga menghasilkan data yang deskriptif analitis, yaitu data yang dapat menggambarkan seluruh gejala, fakta dan aspek-aspek serta akibat
hukum yang diteliti. Dari pembahasan dan analisis ini akan diperoleh
kesimpulan yang memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
BAB II
PEMBERIAN TANAH OLEH ORANGTUA KEPADA ANAK PEREMPUAN MELALUIPAUSEANGPADA MASYARAKAT
BATAK TOBA DI KEC. DOLOK SANGGUL KAB. HUMBANG HASUNDUTAN
A. Deskripsi Wilayah Penelitian
Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan salah satu kabupaten yang
ada di Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan
kabupaten pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara dengan Dolok Sanggul
sebagai ibukotanya, yang disahkan pada tanggal 28 Juli 2003 sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Nias
Selatan, Kabupaten Pakpak Barat dan Kabupaten Humbang Hasundutan di
Provinsi Sumatera Utara. Luas wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan
adalah 251.765,93Ha yang terdiri dari 10 kecamatan, 153 desa dan 1
kelurahan. Kecamatan yang ada di Kabupaten Humbang Hasundutan yaitu
Kecamatan Dolok Sanggul, Baktiraja, Lintong Nihuta, Onan Ganjang, Pakkat,
Paranginan, Parlilitan, Pollung, Sijama Polang dan Tarabintang.69
Kecamatan Dolok Sanggul sebagai salah satu kecamatan dan ibukota
Kabupaten Humbang Hasundutan, secara geografis berada di ketinggian
1300-1622 m di atas permukaan laut dan secara astronomis terletak pada 2˚9’ - 2˚25’
69http://www.humbanghasundutankab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&i
Lintang Utara dan 98˚35’ - 98˚49’ Bujur Timur dengan batas wilayah sebagai
berikut :
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Marade, Sipituhuta, Aeknauli I
dan Aeknauli II Kecamatan Pollung
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Hutatinggi dan Sirang Gitgit
Kecamatan Parmonangan
3. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Siponjot (Silaban) Kecamatan
Lintong ni Huta
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sibuluan Kecamatan Onan
Ganjang
Wilayah Kecamatan Dolok Sanggul memiliki luas 20.930 Ha yang
terdiri dari 27 desa yaitu Aek Lung, Huta Gurgur, Hutabagasan, Hutaraja,
Janji, Lumban Purba, Matiti I, Matiti II, Pakkat, Parik Sinomba, Purba Dolok,
Purba Manalu, Saitnihuta, Sampean, Sihite I, Sihite II, Silaga-laga, Sileang,
Simangaronsang, Simarigung, Sirisirisi, Sosor Gonting, Sosor Tolong, Sosor
Tambok,Bonani Onan, Lumban Tobing, dan Pasaribu serta 1 kelurahan yaitu
Pasar Dolok Sanggul.70
Pada tahun 2013 jumlah penduduk Kecamatan Dolok Sanggul sebesar
48.512 jiwa,yang terdiri dari laki-laki sebanyak 23.995 jiwa dan perempuan
70
sebanyak 24.517 jiwa dengan rincian sebagaimana diuraikan pada tabel
sebagai berikut :
Tabel 2.1. Jumlah Penduduk dan Keluarga di Kecamatan Dolok Sanggul
No. Desa/ Kelurahan Jumlah
Keluarga
Kelurahan Pasar Dolok Sanggul Desa Lumban Purba
Berdasarkan Tabel 2.1., jumlah penduduk Kecamatan Dolok Sanggul
sebanyak 48.512 jiwa yang terdiri dari 9.586 keluarga.Jumlah penduduk dan
keluarga paling banyak terdapat di Kelurahan Pasar Dolok Sanggul sebesar
6.662 jiwa dan 1249 keluarga.
Tabel 2.2 Tabel Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
No. Desa/ Kelurahan Laki-laki (jiwa)
Kelurahan Pasar Dolok Sanggul Desa Lumban Purba
Berdasarkan Tabel 2.2 dapat diketahui bahwa jumlah penduduk dengan
jenis kelamin perempuan jumlahnya lebih banyak sebesar 24.517jiwa apabila
dibandingkan dengan jumlah penduduk dengan jenis kelamin laki-laki yaitu
sebanyak 23.995 jiwa.
Pendidikan berperan penting dalam meningkatkan pemahaman
masyarakat terhadap ilmu pengetahuan yang dapat berguna untuk memajukan
berbagai bidang kehidupan masyarakat.Tingkat pendidikan masyarakat di
lokasi sampel penelitian beranekaragam mulai dari masyarakat yang tidak/
belum sekolah, tidak tamat Sekolah Dasar (SD), tamat SD, Sekolah Lanjutan
Tahap Pertama (SLTP), Sekolah Menengah Umum (SMU), Diploma I-III,
Strata 1 maupun Strata II. Adapun komposisi tingkat pendidikan masyarakat di
lokasi sampel penelitian dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 2.3 Tingkat Pendidikan di Lokasi Sampel Penelitian
No Desa
SD SLTP SMU Perguruan
Tinggi Jumlah
*Sumber : Data Kecamatan Dolok Sanggul
Berdasarkan Tabel 2.3 dapat diketahui bahwa masyarakat di lokasi
memajukan kehidupan. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah penduduk yang
tamat SLTA lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk yang tidak
sekolah dan tidak tamat SD, bahkan di setiap desa telah ada masyarakat yang
menyelesaikan pendidikannya pada tingkat perguruan tinggi.
Mayoritas penduduk di Kecamatan Dolok Sanggul memeluk agama
Kristen, dimana mata pencaharian masyarakatnya bergerak di bidang
pertanian, perkebunan dan perdagangan. Di bidang pertanian, masyarakat
Dolok Sanggul terkenal dengan produksi kemenyan yang dikenal luas dan
hasilnya telah dijual baik ke daerah-daerah yang ada di Indonesia maupun ke
luar negeri. Kecamatan Dolok Sanggul juga dikenal sebagai penghasil daging
kuda yang juga menjadi makanan khas daerah tersebut. Perkembangan
kehidupan masyarakat di Kecamatan Dolok Sanggul lebih cepat apabila
dibandingkan dengan kecamatan lainnya di Kabupaten Humbang Hasundutan.
Berdasarkan cerita rakyat yang berkembang, Dolok Sanggul pada
awalnya merupakan hutan rimba yang masih dihuni oleh binatang buas dan
semak belukar. Pemberian nama Dolok Sanggul berawal dari perjalanan
ibu-ibu Batak menuju ke tempat pesta (ulaon) yang harus melewati daerah Dolok Sanggul. Pada perjalanan yang memakan waktu kira-kira satu hari perjalanan
tersebut, mereka beristirahat tepat di Dolok Sanggul yg dulu masih hutan
Hal tersebut baru disadari setelah sampai di tempat tujuan pesta. Para
ibu tersebut kemudian memutuskan untuk mencarinya pada saat pulang dari
tempat pesta, namun sanggul tidak ditemukan lagi. Dalam perjalanan pulang
ke tempat asal, mereka memandang (manatap) dari Dolok Nabolon yang berada di Kecamatan Pollung dan menyadari bahwa tempat itu sangat indah
sehingga memutuskan mulai membuka lahan di tempat tersebut. Mereka
menamakan tempat tersebut dengan nama Dolok Sanggul, karena daerah
tersebut berupa bukit yang dalam bahasa Batak adalah dolok dan katasanggul
berasal dari sanggul mereka yang ketinggalan dan telah hilang di daerah tersebut.71
Tradisi masyarakat di lokasi penelitian masih sering dilakukan seperti
pelaksanaan pekan atau onan yaitu suatu bentuk perdagangan antar desa satu kali dalam seminggu yang dilakukan setiap hari Jumat.Pada saat onan,
masyarakat setempat beramai-ramai membawa hasil berladang dan pertanian
selama satu minggu untuk dijual ke pembeli yang berasal dari desa lainnya
atau bahkan desa yang berada di kecamatan atau kabupaten yang berbeda.
B. Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba
1. Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba
Sumatera Utara memiliki 3 (tiga) bagian penduduk asli, yaitu Batak,
Melayu (Pesisir Sumatera Timur) dan Nias. Hal ini sesuai dengan apa yang
telah dikemukakan oleh Van Vollenhoven dalam mengklasifikasikan seluruh
daerah Indonesia di dalam 19 (sembilanbelas) lingkungan hukum adat di
Indonesia. Kesembilanbelas lingkungan hukum adat tersebut, sebagaimana
dikutip oleh Soepomo72adalah :
a. Aceh
b. Tanah Gayo-Alas dan Batak beserta Nias c. Daerah Minangkabau beserta Mentawai d. Sumatera Selatan
e. Daerah Melayu f. Bangka dan Belitung g. Kalimantan (Tanah Dayak) h. Minahasa
p. Bali dan Lombok (beserta Sumbawa Barat) q. Jawa Tengah dan Timur (beserta Madura)
r. Daerah-saerah Swapraja (Surakarta dan Yogyakarta) s. Jawa Barat.
Dalam sejarah Batak Toba, belum ada keseragaman di antara penulis
sejarah mengenai pengertian nama Batak. Menurut Batara Sangti, bila ada
buku yang membuat sejarah dan kebudayaan suku Batak kebanyakan hanya
subjektif dengan tidak memakai tarikh (angka-angka tahun atau abad).73 Asal kata Batak kemungkinan besar berasal dari kata Bataha sebagai nama salah satu kampung/negeri di Burma/ Siam yang merupakan kampung/negeri asal
orang Batak sebelum menyebar ke Nusantara.74
Asal usul suku Batak sebelum berada di Nusantara masih belum
diketahui dengan pasti karena masih terdapat perbedaan pendapat sarjana
tentang hal tersebut. Ada pendapat yang menyatakan bahwa suku Batak berasal
merupakan ras Proto Melayu yang berbahasa Austronesia, namun ada pula
yang menyatakan bahwa suku Batak berasal dari India belakang.75
Menurut sejarah di kalangan suku Batak di Indonesia khususnya Batak
Toba, sebelum terjadi persebaran masyarakat, tempat perkampungan leluhur
suku bangsa Batak yang pertama adalah pada mulanya berada di tepi Danau
Toba yang bernama Sianjur Mula-mula, di kaki gunung Pusuk Buhit dekat
Pangururan di pulau Samosir.76 Pada zaman sebelum penjajahan Belanda,
daerah Batak meliputi daerah-daerah pegunungan Bukit Barisan yang berpusat
di Danau Toba, dan berbatasan dengan daerah Aceh (setelah lahir kesultanan
73Batara Sangti,Sejarah Batak,(Balige: Karl Sianipar Company, 1977), hal.17 74Ibid.,hal.26
75
E.H.Tambunan, Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya sebagai Sarana Pembangunan,(Bandung: Tarsito, 1982), hal.10
76Torop Eriyanto,Kedudukan Anak Perempuan Dalam Hukum Waris Adat pada Masyarakat