• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019"

Copied!
207
0
0

Teks penuh

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM DIREKSI PT. BANK JAWA BARAT & BANTEN ATAS PEMBELIAN GEDUNG KANTOR PADA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NO.

2301K/PID.SUS/2016 JO. PUTUSAN TIPIKOR PADA PENGADILAN NEGERI BANDUNG NO. 147/PID.SUS-

TPK/2015/PN.BDG

TESIS

OLEH :

ROBINSON D.H. SIHOMBING NIM. 157005125/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM DIREKSI PT. BANK JAWA BARAT & BANTEN ATAS PEMBELIAN GEDUNG KANTOR PADA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NO.

2301K/PID.SUS/2016 JO. PUTUSAN TIPIKOR PADA PENGADILAN NEGERI BANDUNG NO. 147/PID.SUS-

TPK/2015/PN.BDG

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Pada Program Studi

Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH

ROBINSON D.H. SIHOMBING NIM. 157005125/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(3)
(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 13 Agustus 2019

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S.

Anggota : 1. Dr. M. Hamdan, S.H., M.H.

2. Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum 3. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum 4. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum

(5)
(6)

ABSTRAK

UU Tipikor sudah lama diberlakukan namun tetap saja tindak pidana korupsi belum dapat diberantas bahkan cenderung meningkat dari tahun ke tahun, baik secara kualitas, maupun kuantitas. Korupsi merupakan perbuatan yang sangat merugikan keuangan negara dan menyengsarakan masyarakat sekaligus pula dapat menghambat jalannya pembangunan nasional. Oleh karenanya, korupsi digolongkan sebagai suatu kejahatan luar biasa yang perlu dikikis habis, diantaranya dengan cara memaksimalkan daya kerja dan daya paksa dari peraturan perundang-undangan yang ada, baik melalui penegakan hukum pidana, maupun melalui penegakan hukum perdata. Korupsi adalah setiap perbuatan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Kajian ini memperkuat dugaan bahwa pengadaan barang dan jasa adalah sasaran empuk para koruptor. Adapun putusan pengadilan terkait perkara tindak pidana korupsi tersebut di atas, yaitu : Putusan Mahkamah Agung RI No.

2301K/PID.SUS/2016, tertanggal 26 Juli 2017 Jo. Putusan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Bandung No. 147/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Bdg., tertanggal 14 Desember 2015 yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Menariknya kasus dalam putusan ini dibahas dikarenakan, pada putusan tingkat pertama Terdakwa Wawan Indrawan dibebaskan dari semua dakwaan Penuntut Umum (vrijspraak). Setelah Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung RI, majelis hakim agung membatalkan putusan tingkat pertama dan selanjutnya menyatakan Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) subsidair 8 (delapan) bulan kurungan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka adapun permasalahan-permasalahan hukum dalam penelitian ini, yaitu : pengadaan barang/jasa di lingkungan Bank BUMN/D;

pertanggungjawaban Direksi Bank BUMN/D berbadan hukum Perseroan Terbatas dalam pengadaan barang/jasa; dan pertanggungjawaban hukum direksi pada PT. Bank Jawa Barat &

Banten atas pembelian gedung kantor pada Putusan Mahkamah Agung RI No.

2301K/PID.SUS/2016 Jo. Putusan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Bandung No.

147/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Bdg.

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Sifat penelitian adalah deskriptif analisis. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang bersumber dari bahan hukum primer, sekunder, dan tertier. Data sekunder dikumpulkan dengan teknik studi kepustakaan.

Selanjutnya, data-data tersebut dianalisa dengan menggunakan metode analisa kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : Sebaiknya dalam membuat pedoman pengadaan barang dan jasa Bank BJB harus melakukan kajian ilmiah terlebih dahulu sebagai dasar untuk membuat pedoman pengadaan barang dan jasa di lingkungan Bank BJB tersebut; Sebaiknya Pemerintah RI dalam membuat aturan pengadaan barang dan jasa yang jelas dan benar-benar memberikan batasan keberlakuan dari pengaturan pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah yang tidak dapat digunakan oleh BUMN/D Perseroan Terbatas (PT) dengan mengacu kepada sumber dananya; dan Sebaiknya penegak hukum, baik hakim, jaksa, maupun penasihat hukum dalam menganalisa suatu perkara tipikor yang dikaitkan dengan pengadaan barang dan jasa yang dihadapi oleh Bank BUMD Perseroan Terbatas harus dilakukan menggunakan instrumen ketentuan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Kata Kunci : Pengadaan barang dan jasa; Pertanggungjawaban direksi; dan Bank BUMD Perseroan Terbatas.

(7)

ABSTRACT

The Anti-Corruption Law has been enacted for a long time but still corruption cannot be eradicated and even tends to increase from year to year, both in quality and quantity.

Corruption is an act that is very detrimental to the country's finances and afflicting society at the same time can hamper national development. Therefore, corruption is classified as an extraordinary dispute that needs to be eradicated completely, as if by increasing the workforce and the forced power of existing laws and regulations, both through law enforcement, also through civil law enforcement. Corruption is any activity to enrich oneself or another person or one who can help finance or the country. This study reinforces the idea that the procurement of goods and services is an easy target for corruptors. The court's decision related to the corruption case mentioned above, namely: Decision of the Supreme Court No. 2301K/PID.SUS/2016, dated July 26, 2017 Jo. Decision of Corruption in Bandung District Court No. 147/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Bdg., Dated December 14, 2015 which has permanent legal force (inkracht). Interestingly the case in this ruling was discussed because, in the first instance decision Defendant Wawan Indrawan was acquitted of all charges of the Public Prosecutor (vrijspraak). After the Public Prosecutor filed an appeal to the Supreme Court, the panel of judges overturned the verdict of the first instance and subsequently declared the Defendant guilty of committing corruption together with imprisonment for 8 (eight) years and a fine of Rp. 1.000.000.000,- (one billion rupiah) subsidair 8 (eight) months of confinement.

Based on the foregoing, there are legal issues in this study, namely: procurement of goods/services within the SOE/R Bank; accountability of Directors of SOE/R banks incorporated as limited liability companies in the procurement of goods services; and directors' legal liability at PT. Bank of West Java & Banten for the purchase of office buildings in the Supreme Court Decision No. 2301K/PID.SUS/2016 Jo. Decision of Corruption in Bandung District Court No. 147/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Bdg.

This research is normative legal research. The nature of the study is descriptive analysis. The type of data used is secondary data sourced from primary, secondary and tertiary legal materials. Secondary data was collected by library research techniques.

Furthermore, these data are analyzed using qualitative analysis methods.

The results of the study indicate that: It is better to make guidelines for the procurement of goods and services of the BJB Bank must first conduct a scientific study as a basis for making guidelines for the procurement of goods and services within the BJB Bank environment; The Government of Indonesia should make regulations on the procurement of goods and services that are clear and truly provide limits on the enforcement of goods and services procurement arrangements within the government that cannot be used by SOE/ROE Limited Liability Companies (PT) with reference to the source of funds; and It is recommended that law enforcers, both judges, prosecutors, and legal advisors in analyzing a corruption case related to the procurement of goods and services faced by a Limited Liability Bank BUMD, be carried out using the instruments of the provisions of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies.

Keywords : Procurement of goods and services; Accountability of directors; and Regional Owned Enterprises of Bank Limited Liability Company.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan anugerah-Nya yang telah memberikan kekuatan dan kesehatan bagi penulis, sehingga dapat menyelesaikan penulisan penelitian ini. Dalam penyelesaian tesis ini banyak tantangan dan hambatan yang dihadapi, tetapi semua itu dapat diatasi berkat bantuan dan motivasi dari berbagai pihak yang terkait. Sehingga penelitian ini dapat diselesaikan secara efektif dan efisien sesuai dengan waktu yang telah direncanakan.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya atas bimbingan, kerja sama, dan masukan (motivasi) yang penulis terima selama ini dari berbagai pihak yang terkait. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., sebagai Ketua Program Studi Magister (S2) dan Doktor (S3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Penguji I.

4. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., sebagai Sekretaris Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Pembimbing III.

(9)

5. Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H, M.S., selaku Pembimbing I yang telah memberikan petunjuk, masukan, bimbingan, motivasi dan bantuan kepada penulis selama penulisan penelitian ini.

6. Bapak Dr. Hamdan, S.H., M.Hum., sebagai Pembimbing II yang memberikan kemudahan dan fokus dalam memilih metode penelitian, sehingga penelitian ini menjadi sangat bermanfaat bagi penulis.

7. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum., sebagai Penguji II yang telah memberikan pandangan-pandangan hukum pidana selama bimbingan dilakukan.

8. Seluruh Bapak dan Ibu dosen pengajar yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama menuntut ilmu di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Penulis sangat berterima kasih kepada ayahanda P. Sihombing dan Ibunda M.

Marpaung yang telah bersusah payah membesarkan, mengasuh dan mendidik serta memberikan dorongan penulis secara moril, materil, dan spiritual dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan.

10. Penulis juga sangat berterima kasih kepada isteri tercinta, Lisna Sri Rahayu Marpaung dan buah hati kami, Matthew Axel Ronatua Sihombing yang telah memberikan waktu kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian ini.

11. Kepada semua pihak yang telah turut membantu didalam penulisan penelitian ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

(10)

Penulis menyadari masih adanya kekurangan dalam penelitian ini, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis menerima komentar dan masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan penulisan tugas akhir ini, akhir kata penulis mengharapkan semoga penelitian ini dapat bermanfaat dikemudian hari. Atas perhatiannya penulis ucapkan terimakasih.-

Medan, Agustus 2019 Hormat Saya,

Penulis,

ROBINSON D.H. SIHOMBING NIM. 157005125/HK

(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI

NAMA : ROBINSON D.H. SIHOMBING

TMPT /TGL LAHIR : PEMATANG SIANTAR/ 03 NOVEMBER 1978

ALAMAT : JALAN PARAPAT PERUMAHAN BUHA

GARDEN SIMPANG II, PEMATANG SIANTAR

PANGKAT : JAKSA MUDA

GOLONGAN : III.D

NIP : 19781103 2005011 006

JABATAN : KASI DATUN KEJAKSAAN NEGERI

PEMATANG SIANTAR

INSTANSI : KEJAKSAAN TINGGI SUMUT

AGAMA : KRISTEN PROTESTAN

NAMA AYAH : P. SIHOMBING

NAMA IBU : M. MARPAUNG

ISTERI : LISNA SRI RAHAYU MARPAUNG

ANAK : MATTHEW AXEL RONATUA SIHOMBING

SUKU / BANGSA : BATAK / INDONESIA

E-MAIL : robinsonsihombing@yahoo.com

II. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

1. PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH UMUM a. SD : SD NEGERI (1986)

b. SMP : SMP NEGERI (1992)

c. SMA : SMA METHODIST SIANTAR (1995)

(12)

2. PENDIDIKAN TINGGI

a. S1 : SARJANA HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KATOLIK ST. THOMAS MEDAN (2003)

b. S2 : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM,

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS

SUMATERA UTARA, MEDAN (2019) III. RIWAYAT PENDIDIKAN JAKSA

1. DIKLAT TENAGA ADMINISTRASI KEJAKSAAN DI PUSDIKLAT KEJAKSAAN RI TAHUN 2006;

2. PRAJAB DI BADAN DIKLAT PROVINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2006;

3. PPJ DI PUSDIKLAT KEJAKSAAN RI TAHUN 2007;

4. DIKLAT PENANGANAN PERKARA PIDANA KHUSUS DI PUSDIKLAT KEJAKSAAN RI TAHUN 2011;

5. DIKLAT PENANGANAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN DI PUSDIKLAT KEJAKSAAN AGUNG RI TAHUN 2011;

6. DIKLAT PENANGANAN PERKARA PEMILU DI CIANJUR TAHUN 2014.

IV. RIWAYAT KEPANGKATAN DAN GOLONGAN 1. YUANA WIRA TU, GOLONGAN III/A TAHUN 2005;

2. AJUN JAKSA MADYA, GOLONGAN III/A TAHUN 2007;

3. AJUN JAKSA, GOLONGAN III/B TAHUN 2008;

4. JAKSA PRATAMA, GOLONGAN III/C TAHUN 2011;

5. JAKSA MUDA, GOLONGAN III/D TAHUN 2015.

(13)

IV. RIWAYAT PENUGASAN

1. CPNS DI KEJAKSAAN NEGERI PANYABUNGAN TAHUN 2005;

2. PNS DI KEJAKSAAN NEGERI PANYABUNGAN TAHUN 2006;

3. JAKSA FUNGSIONAL PADA CABANG KEJAKSAAN NEGERI TERNATE DI SANANA, PROVINSI MALUKU UTARA TAHUN 2007;

4. KASUBSI PIDANA DAN PERDATA CABANG KEJAKSAAN NEGERI TERNATE DI SANANA, PROVINSI MALUKU UTARA TAHUN 2008;

5. KASUBSI PENUNTUTAN KEJAKSAAN NEGERI SANANA, PROVINSI MALUKU UTARA TAHUN 2009;

6. KASIPIDSUS KEJAKSAAN NEGERI SANANA, PROVINSI MALUKU UTARA TAHUN 2010;

7. KASIPIDUM KEJAKSAAN NEGERI TARUTUNG, PROVINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2012;

8. KACABJARI TARUTUNG DI SIBORONG-BORONG TAHUN 2015;

9. KASI INTEL KEJAKSAAN NEGERI SIMALUNGUN TAHUN 2017;

10. KASI DATUN KEJAKSAAN NEGERI PEMATANG SIANTAR DI SIANTAR TAHUN 2019.

(14)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penelitian ... 10

F. Kerangka Teori dan Konsep ... 12

1. Kerangka Teori ... 12

2. Kerangka Konsep ... 28

G. Metode Penelitian ... 31

1. Jenis Penelitian ... 31

2. Sifat Penelitian ... 31

3. Sumber Data ... 32

4. Teknik Pengumpulan Data ... 35

5. Analisis Data ... 36

BAB II : PENGADAAN BARANG/JASA DI LINGKUNGAN BANK BUMN/D ... 38

A. Pengadaan Barang/Jasa di Lingkungan Pemerintah (Lembaga/ Kementerian/Dinas/Instansi) dan BUMN/D ... 38

B. Pengadaan Barang/Jasa di Lingkungan BUMN/D Yang Sumber Dananya Berasal Dari Kekayaan Negara/Daerah Yang Dipisahkan 45

1. BUMN/D Persero Sebagai Badan Hukum Mandiri ... 46

2. Status Kekayaan Dipisahkan Pada BUMN/D Persero ... 50

C. Dasar Hukum Pengadaan Barang/Jasa di Lingkungan Bank BUMN/D Persero ... 55

BAB III : PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI BANK BUMN/D BERBADAN HUKUM PERSEROAN TERBATAS DALAM PENGADAAN BARANG/JASA ... 62

A. Pengelolaan Perseroan Terbatas oleh Direksi ... 62

1. Direksi Perseroan Terbatas ... 62

2. Kewenangan Direksi ... 62

3. Tanggung Jawab Direksi ... 64

4. Tugas Direksi ... 64

(15)

5. Prinsip-Prinsip Pengelolaan Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ... 66 B. Tanggung Jawab Hukum Direksi Pada Perseroan Terbatas ... 69 C. Kerugian Atas Pengelolaan Perusahaan BUMN Persero ... 79 D. Pertimbangan Perlunya Business Judgment Rule Dalam

Pengelolaan Perusahaan ... 88 E. Pertanggungjawaban Direksi Bank BUMN/D Berbadan Hukum

Perseroan Terbatas Dalam Pengadaan Barang/Jasa ... 105 BAB IV : PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM DIREKSI PT. BANK

JAWA BARAT & BANTEN ATAS PEMBELIAN GEDUNG KANTOR PADA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NO.

2301K/PID.SUS/2016 JO. PUTUSAN TIPIKOR PADA PENGADILAN NEGERI BANDUNG NO. 147/PID.SUS- TPK/2015/PN.BDG. ... 110 A. Kronologis Kasus ... 110 B. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim ... 129

1. Pertimbangan Hukum Putusan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Bandung No. 147/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Bdg. ... 129 2. Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Agung RI No.

2301K/PID.SUS/2016 ... 146 C. Amar Putusan ... 150 D. Pertanggungjawaban Hukum Direksi PT. Bank Jawa Barat &

Banten Atas Pembelian Gedung Kantor Pada Putusan Mahkamah Agung RI No. 2301K/PID.SUS/2016 Jo. Putusan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Bandung No. 147/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Bdg. 152 1. Bank BJB Merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)

Provinsi Jawa Barat & Banten Berbadan Hukum Perseroan Terbatas ... 152 2. Pertanggungjawaban Direksi Bank BJB Atas Pembelian

Gedung T-Tower Sebagai Gedung Kantor Bank BJB ... 164 3. Laporan Pertanggungjawaban Direksi Bank BJB Dalam RUPS

Tahunan Telah Diterima Pemegang Saham dan Telah Dinyatakan “Acquit et Decharge” (Pelepasan Pertanggungjawaban dan Tuntutan Hukum) ... 168 4. Risiko Keuangan Negara Dengan Risiko Bisnis ... 172 5. Pertanggungjawaban Hukum Direksi PT. Bank Jawa Barat

Banten Atas Pembelian Gedung Kantor Dinilai Berdasarkan Penilaian Bisnis (Business Judgment) ... 174

(16)

BAB V : KESIMPULAN & SARAN ... 182

A. Kesimpulan ... 182

B. Saran ... 184

DAFTAR PUSTAKA ... 185

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara etimologis atau menurut ilmu bahasa, korupsi berasal dari bahasa latin yakni corruptio atau corruptus, dan dalam bahasa latin yang lebih tua dipakai istilah corrumpere. Dari bahasa latin itulah turun ke berbagai bahasa bangsa-bangsa di Eropa, seperti Inggris : coruption, corruptr; Perancis : Corruption; dan Belanda : corruptie atau korruptie, yang kemudian turun ke dalam bahasa Indonesia menjadi korupsi. Arti harafiah dari kata korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.1

Secara sosiologi, korupsi merupakan tindakan disosialisasi, yaitu suatu tindakan yang tidak memperdulikan hubungan-hubungan dalam sistem sosial.

Mengabaikan keperdulian sosial merupakan salah satu ciri korupsi pelaku tidak peduli terhadap hak-hak orang lain, yang dipentingkan adalah hak individunya dapat terpenuhi, meskipun harus mengorbankan kepentingan orang lain. Dalam cara pandang sosiologi maka korupsi di Indonesia dapat dibagi dalam tiga model.

Pertama, Corruption by need, artinya kondisi yang membuat orang harus korupsi.

Apabila tidak korupsi atau melakukan penyimpangan, maka pelaku korupsi tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Kedua corruption by greed, artinya

1 Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm. 7.

(18)

korupsi yang memang karena keserakahan/ketamakan, sekalipun secara ekonomi pelaku korupsi tersebut cukup, tetapi tetap saja melakukan perbuatan korupsi. Ketiga, corruption by chance, artinya korupsi terjadi karena adanya kesempatan dan niat.2

Menurut Susan Rose-Ackerman mendefenisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Hubungan pemberi-penerima jasa di sektor publik membuka peluang untuk melakukan perbuatan korupsi. Defenisi ini memberikan pengertian begitu saja tanpa memisahkan perbedaan antara peran umum dengan peran pribadi seorang pelaku. Artinya, tidak jelas kapan seorang pejabat melakukan perbuatan tersebut dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik dan kapan sebagai pribadi. Di sektor swasta, kebiasaan memberi hadiah berlaku umum dan juga sangat dihargai, dan tampaknya lumrah untuk memberi pekerjaan dan kontrak kepada teman atau keluarga. Pada umumnya tidak ada yang merasa aneh untuk berlaku serupa di masyarakat umum. Dalam kenyataanya, bagi kebanyakan orang, perbedaan tajam antara dunia umum dan dunia pribadi merupakan sesuatu yang aneh, sekalipun demikian penduduk di negara berkembang, membuat perbedaan yang jelas antara tingkah laku apa yang dapat diterima dan apa yang ditolak berdasarkan norma budaya mereka sendiri.3 Penggambaran korupsi oleh Rose- Ackerman seperti itu lebih menekankan pada aspek budaya.

2 KPHA. Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Jakarta Lawyer Club, 2010), hlm. 5.

3 Susan Rose-Ackerman, diterjemahkan oleh Toenggoel P. Siagian, Korupsi Pemerintah, Sebab Akibat dan Reformasi, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2006), hlm. 127.

(19)

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, definisi korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek, bergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan.4 Demikian pula dalam perspektif hukum, korupsi merupakan konsep hukum yang secara defenitif diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Korupsi telah menjadi masalah dunia, bukan semata-mata masalah di negara berkembang seperti Indonesia, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa selanjutnya akan disingkat PBB, memandang perlu untuk mengadopsi, “United Nation Convention Against Corruption”, selanjutnya disingkat UNCAC, melalui Resolusi 58/4, tanggal 31 Oktober 2003, yang kemudian pada tanggal 10 Januari 2005 ditandatangani oleh 116 negara, dan 15 negara telah meratifikasi dan salah satu negara tersebut adalah Indonesia yang telah meratifikasinya melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convetion Against Corruption (UNCAC), 2003, Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tersebut diundangkan atau disahkan pada tanggal 18 April 2006.

PBB menyebutkan berbagai alasan atas prakarsa yang akhirnya melahirkan UNCAC, termasuk timbulnya kesadaran dunia bahwa praktek-praktek korupsi meruntuhkan seluruh bangsa ke dalam kemiskinan dan krisis sosial. Tidak berlebihan apabila PBB menyebutnya sebagai “Multi Dimensional Challenge” atau tantangan

4 Suyatno, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2005), hlm. 16.

(20)

Multi Dimensi, baik hak asasi manusia selanjutnya disingkat HAM, demokrasi, peraturan hukum atau rule of law, pembangunan yang berkelanjutan atau sustainable development pasar, keamanan, maupun kualitas kehidupan. Dalam konteks tersebut UNCAC menawarkan bantuan kepada negara-negara penandatangan untuk memberantas korupsi dalam perspektif mereka melalui modifikasi kerjasama dan asistensi. Dalam compendium of internation legal instruments on corruption, ditegaskan bahwa UNCAC menawarkan seperangkat pendekatan yang komprehensif untuk menghadapi korupsi. Konvensi internasional tersebut dapat dibagi ke dalam meta-provinsi diantaranya yaitu :

1. “Kebijakan pencegahan dan penataan ulang pelayanan publik sebagai cara dalam menciptakan transparansi dan pemerintahan yang bersih dan baik.

2. Menghukum berat pelaku tindak pidana korupsi sebagai suatu kejahatan luar biasa.

3. Kerjasama internasional dalam menangkap pelaku tindak pidana korupsi.

4. Penyitaan asset pelaku tindak pidana korupsi”.5

Korupsi merupakan perbuatan yang sangat merugikan keuangan negara dan menyengsarakan masyarakat sekaligus pula dapat menghambat jalannya pembangunan nasional. Oleh karenanya, korupsi digolongkan sebagai suatu kejahatan luar biasa yang perlu dikikis habis, diantaranya dengan cara memaksimalkan daya kerja dan daya paksa dari peraturan perundang-undangan yang ada, baik melalui penegakan hukum pidana, maupun melalui penegakan hukum perdata. Korupsi adalah setiap perbuatan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.

5 Adil Surowidjojo, Konvensi PBB Tentang Penanganan Tindak Pidana Korupsi dan Pencegahannya, (Jakarta : Pelita Ilmu, 2009), hlm. 29.

(21)

Pengadaan barang dan jasa umumnya menyangkut jumlah uang yang besar, sehingga pengadaan barang dan jasa adalah yang selalu berpeluang besar untuk dijadikan lahan korupsi di Indonesia.6 Kasus wisma atlet, hambalang merupakan contoh nyata bahwa pengadaan barang dan jasa pemerintah menjadi lahan subur tindak pidana korupsi tidak hanya pada tingkat pejabat menegah kebawah, tapi juga mengakibatkan pejabat tinggi negara dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.

Meskipun UU Tipikor, sudah lama diberlakukan namun tetap saja tindak pidana korupsi belum dapat diberantas bahkan cenderung meningkat dari tahun ke tahun, baik secara kualitas, maupun kuantitas. Persentase korupsi pada pengadaan barang dan jasa hampir mencapai 60% pengeluaran belanja negara yang digunakan untuk pengadaan barang dan jasa sebagai gambaran APBN Tahun Anggaran 2010, dana untuk pengadaan barang dan jasa mencapai Rp. 189 Triliun. Angka tersebut tidak termasuk dana yang dikelola BUMN/D, kontraktor kemitraan dan belum mencakup anggaran pemerintah daerah. Hasil kajian pemerintah Indonesia yang bekerja sama dengan Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank) yang berjudul Country Procurement Assesment Report (CPAR) Tahun 2010, menyebutkan 10% s.d. 50% pengadaan barang dan jasa mengalami

6 Budi Raharjo, Praktek Pelaksanaan Tender Pengadaan Barang dan Jasa dan Pengawasannya, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hlm. 18.

(22)

kebocoran, baik di tingkat pusat, maupun tingkat daerah. Kajian ini memperkuat dugaan bahwa pengadaan barang dan jasa adalah sasaran empuk para koruptor.7

Sebagai contoh kasus yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu kasus

“Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadaan Gedung Kantor PT. Bank Jawa Barat &

Banten”, sebagai berikut8 :

“Perkara ini bermula ketika BJB hendak membeli gedung sebagai kantor cabang khusus di Jakarta pada 2006. Anggaran yang disetujui Bank Indonesia awalnya Rp 200 miliar. Belakangan Bank BJB setuju membeli 14 dari 27 lantai T-Tower yang rencananya dibangun di Jalan Gatot Subroto kaveling 93, Jakarta. Tim BJB lantas bernegosiasi dengan PT. Comradindo Lintasnusa Perkasa, perusahaan teknologi informasi yang membuka penawaran pembelian gedung tersebut dan mengklaim sebagai pemilik lahan Kaveling 93, Jakarta Selatan.

Setelah menggelar beberapa kali pertemuan, Tim Negosiasi yang dipimpin Wawan menyepakati harga Rp 543,4 miliar. Rapat direksi kemudian setuju membayar uang muka 40% atau sekitar Rp 217,36 miliar pada 12 November 2012. Sisanya, dicicil senilai Rp 27,17 miliar per bulan selama setahun.

Namun kemudian ditemukan sejumlah kejanggalan dalam transaksi tersebut.

Misalnya, status tanah yang diduga milik perusahaan lain, sehingga rawan sengketa, harga tanah yang jauh di atas harga pasar, hingga pembayaran uang muka yang menyalahi ketentuan”.

Adapun putusan pengadilan terkait perkara tindak pidana korupsi tersebut di atas, yaitu : Putusan Mahkamah Agung RI No. 2301K/PID.SUS/2016, tertanggal 26 Juli 2017 Jo. Putusan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Bandung No. 147/Pid.Sus- TPK/2015/PN.Bdg., tertanggal 14 Desember 2015 yang telah berkekuatan hukum

7 Indonesia Procurement Watch, Tool Kit Anti Korupsi Bidang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintrah : Lima Belas Langkah Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, ADB Project Relations Activities In Support of Government’s Anti Corruption Effort Tool Kit, hlm. 4.

8 Majalah Tempo, “Para Tersangka Korupsi Menara Bank BJB”, diterbitkan pada hari Selasa, tanggal 28 Mei 2013. Lihat juga : Harian Tribun, “Kasus Korupsi Pembangunan Tower, Dirut Bank BJB Diperiksa Penyidik Kejagung”, diterbitkan pada hari Rabu, tanggal 28 Agustus 2013.

(23)

tetap (inkracht). Menariknya kasus dalam putusan ini dibahas dikarenakan, pada putusan tingkat pertama Terdakwa Wawan Indrawan dibebaskan dari semua dakwaan Penuntut Umum (vrijspraak). Setelah Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung RI, majelis hakim agung membatalkan putusan tingkat pertama dan selanjutnya menyatakan Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) subsidair 8 (delapan) bulan kurungan.9

Adapun permasalahan-permasalahan hukum yang menarik dibahas dalam penelitian putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap tersebut, antara lain :

1. Adanya kekayaan daerah yang dipisahkan, apalagi perusahaan PT. Bank Jawa Barat & Banten adalah perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas Terbuka yang sebagian sahamnya dimiliki publik. Ditambah lagi, PT. Bank Jawa Barat & Banten bergerak dalam bidang perbankan yang berlaku kepadanya undang-undang di bidang perbankan, harus menjaga kerahasiaan bank.

2. Pengaturan proses pengadaan barang/jasa di instansi pemerintahan berbeda dengan pengaturan proses pengadaan barang/jasa di lingkungan Bank BUMD berbadan hukum Perseroan Terbatas.

9 Putusan Mahkamah Agung RI No. 2301K/PID.SUS/2016, tertanggal 26 Juli 2017, hlm. 358 jo. Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Bandung No. 147/Pid.Sus- TPK/2015/PN.Bdg., tertanggal 14 Desember 2015, hlm. 443.

(24)

3. Pertanggungjawaban direksi sebagai pengurus perusahaan PT. Bank Jawa Barat & Banten.

4. Adanya perbedaan putusan, di tingkat pertama dibebaskan, sedangkan di tingkat Mahkamah Agung RI dinyatakan bersalah dan dihukum penjara.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penelitian berjudul

“Pertanggungjawaban Hukum Direksi PT. Bank Jawa Barat & Banten Atas Pembelian Gedung Kantor Pada Putusan Mahkamah Agung RI No.

2301K/PID.SUS/2016 Jo. Putusan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Bandung No.

147/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Bdg”, layak untuk dikaji lebih lanjut.

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka adapun permasalahan yang dapat dirumuskan, sebagai berikut :

1. Bagaimana pengadaan barang/jasa di lingkungan Bank BUMN/D?

2. Bagaimana pertanggungjawaban Direksi Bank BUMN/D berbadan hukum Perseroan Terbatas dalam pengadaan barang/jasa?

3. Bagaimana pertanggungjawaban hukum direksi pada PT. Bank Jawa Barat &

Banten atas pembelian gedung kantor pada Putusan Mahkamah Agung RI No.

2301K/PID.SUS/2016 Jo. Putusan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Bandung No. 147/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Bdg?

(25)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini dibuat adalah didasari dengan rumusan masalah di atas, sebagai berikut :

1. Untuk mengkaji dan menganalisis pengadaan barang/jasa di lingkungan Bank BUMN/D.

2. Untuk mengkaji dan menganalisis pertanggungjawaban Direksi Bank BUMN/D berbadan hukum Perseroan Terbatas dalam pengadaan barang/jasa.

3. Untuk mengkaji dan menganalisis pertanggungjawaban hukum direksi pada PT. Bank Jawa Barat & Banten atas pembelian gedung kantor pada Putusan Mahkamah Agung RI No. 2301K/PID.SUS/2016 Jo. Putusan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Bandung No. 147/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Bdg.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dibuat untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan studi magister ilmu hukum pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat secara teoritis dan praktis, sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis, sebagai bahan masukan bagi akademisi untuk memperkaya khasanah perpustakaan dan sebagai bahan pertimbangan untuk melanjutkan penelitian mengenai tindak pidana korupsi pada bank-bank BUMD berbadan hukum Perseroan Terbatas.

2. Manfaat Praktis, penelitian ini bermanfaat bagi :

(26)

a. Direksi PT. Bank Jawa Barat & Banten, sebagai bahan pertimbangan dan masukan untuk menyusun kebijakan dalam membuat pedoman pengadaan barang/jasa di lingkungan PT. Bank Jawa Barat & Banten.

b. Penyidik Tipikor, terdiri dari : Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar dalam melakukan penyidikan sebaiknya membedakan perbuatan melawan hukum dalam bidang tindak pidana korupsi dengan perbuatan melawan hukum dalam bidang hukum privat.

c. Masyarakat selaku nasabah bank sebagai informasi bahwasanya bank BUMD berbadan hukum Perseroan Terbatas berbeda dengan bank swasta Perseroan Terbatas lainnya.

E. Keaslian Penelitian

Menurut data yang didapat dari pemeriksaan dan hasil-hasil judul penelitian yang ada pada Perpustakaan Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan pada Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, bahwa penelitian yang berjudul : “Pertanggungjawaban Hukum Direksi PT. Bank Jawa Barat & Banten Atas Pembelian Gedung Kantor Pada Putusan Mahkamah Agung RI No. 2301K/PID.SUS/2016 Jo. Putusan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Bandung No. 147/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Bdg” belum pernah dilakukan. Namun, terdapat beberapa penelitian yang membahas kajian yang serupa tapi permasalahan dan tujuan penelitian berbeda, yaitu :

(27)

Tabel 1.

Penelitian Terdahulu

No. Judul Penelitian Permasalahan Nama Mahasiswa

1. Tesis berjudul :

TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH CV

PADA PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

DI KOTA BINJAI (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN TIPIKOR NO.

05/PID.SUS-K/2011/PN.MDN) Lulus pada 29 Maret 2014

- Bentuk-bentuk tipikor dalam praktek pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah;

- Tipikor yang dilakukan oleh CV pada pengadaan barang/jasa pemerintah di Kota Binjai;

- Pertanggungjawaban dalam pengadaan barang/jasa pemerintah menurut Peraturan Presiden RI No. 54 Tahun 2010.

SESY SEPTIANA SEMBIRING 107005087/HK Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara, Medan

2. Tesis berjudul :

ANALISIS TERHADAP PENERAPAN HUKUM DALAM

TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS PUTUSAN

PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN NO.

566/PID.B/2000/PN.JAK.SEL JO.

PUTUSAN MA RI NO. 380 K/PID/2001 Lulus 10 Oktober 2007

- Pertimbangan hukum hakim PN. Jakarta Selatan sehingga membebaskan Terdakwa PNL dari Tipikor pada kasus PT. Bank Bali;

- Apakah MA RI telah benar dalam menerapkan hukum tindak pidana korupsi terhadap Terdakwa PNL pada kasus PT.

Bank Bali.

NELSON SIAGIAN 037005023/HK Program Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara, Medan

3. Tesis berjudul :

PUTUSAN OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGAWASAN PERBANKAN UNTUK MENCEGAH TINDAK PIDANA KORUPSI DI PT.

BANK SUMUT Lulus 24 Januari 2018

- Prosedur OJK dalam melakukan pengawasan pada sektor perbankan terhadap bank-bank pemerintah dan swasta;

- Fungsi penyelidikan dan penyidikan OJK dalam mencegah Tipikor dalam industri perbankan;

- Peran & fungsi OJK dalam melakukan pengawasan perbankan pada PT. Bank Sumut untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi.

MUHAMMAD FIRDAUS 157005198/HK Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara, Medan

Sumber : Website Resmi Perpustakaan Universitas Sumatera Utara Program Magister Ilmu Hukum, http://repository.usu.ac.id/., diakses pada hari Senin, tanggal 22 Oktober 2018.

Dapat dilihat pada tabel di atas bahwa permasalahan yang diutarakan pada penelitian ini adalah berbeda dengan penelitian terdahulu. Dengan demikian, penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah berdasarkan kajian ilmu pengetahuan hukum dan asas-asas penulisan yang harus dijunjung tinggi yaitu jujur, rasional, objektif serta terbuka. Hal ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah.

(28)

F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori

Landasan teori merupakan bagian dari penelitian yang memuat teori-teori yang berasal dari studi kepustakaan yang berfungsi sebagai kerangka teori dalam menyelesaikan penelitian. Landasan teori paling tidak berisi diskripsi, yaitu uraian sistematis mengenai teori-teori. Teori-teori ini dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan kenyataan di lapangan. Selain itu, landasan teori juga bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar belakang penelitian sebagai bahan pembahasan hasil penelitian.10

Adapun teori hukum yang digunakan dan dijadikan sebagai landasan teori dalam penelitian ini, yaitu :

a. Teori Badan Hukum

Teori badan hukum yaitu teori realistis (realist theory) ini sering juga disebut sebagai teori organ (organ theory) dari Otto van Gierke, menyatakan bahwa badan hukum itu adalah suatu realitas sesungguhnya sama seperti sifat kepribadian alam manusia ada di dalam pergaulan hukum. Keberadaan badan hukum dalam tata hukum sama saja dengan keberadaan manusia sebagai subjek hukum. Bahwa suatu organisasi atau lembaga dapat menjadi subjek hukum (rechts subject) sama halnya manusia (natuurlijke persoon).11 Badan hukum juga memiliki hak dan kewajiban yang sama

10 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung : Alfabeta, 2009).

11 Arifin P. Soeria Atmadja, “Transformasi Status Hukum Negara Sebagai Teori Hukum Keuangan Publik Yang Berdimensi Pengetahuan Eksistensi Badan Hukum”, makalah dalam Workshop

(29)

dengan subjek hukum lainnya. Hal tersebut dapat terjadi apabila suatu perkumpulan atau suatu lembaga telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam pendirian suatu badan hukum sesuai yang diatur dalam ketentuan yang berlaku. Jadi, badan hukum bukanlah khayalan dari hukum sebagaimana diajarkan oleh teori fiksi, melainkan benar (realistis) ada dalam kehidupan hukum. Dalam hal ini badan hukum tersebut bertindak lewat organ-organnya, sehingga teori ini disebut juga sebagai teori organ.

Badan hukum terbagi atas 2 (dua) jenis yaitu badan hukum publik (personne morale / publiek rechtspersoon) dan badan hukum privaat (personne juridique / privaat rechtspersoon). Badan hukum publik adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum publik atau yang menyangkut kepentingan publik atau orang banyak atau negara umumnya. Badan ini merupakan badan-badan negara dan mempunyai kekuasaan wilayah atau merupakan lembaga yang dibentuk oleh yang berkuasa berdasarkan perundang-undangan yang dijalankan secara fungsional oleh eksekutif atau badan pengurus yang diberikan tugas untuk itu. Untuk melaksanakan tugasnya, badan hukum publik mempunyai kewenangan mengeluarkan kebijakan publik, baik yang mengikat umum maupun yang tidak mengikat umum.

Sedangkan badan hukum privaat adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum privaat (sipil) yang menyangkut kepentingan pribadi orang di dalam badan hukum tersebut. Badan hukum ini merupakan badan swasta yang didirikan oleh orang-perorangan atau badan hukum untuk tujuan tertentu. Sehingga

Pencerahan dari Pakar untuk membedah topik Keuangan Negara dan Kerugian Negara, diselenggarakan Selasa, 28 November 2006 di Hotel Sahid, Jakarta.

(30)

mengedepankan unsur-unsur kepentingan individual di dalamnya. Ciri utama dari badan hukum privaat yaitu tidak mempunyai kewenangan mengeluarkan kebijakan publik yang mengikat umum, sehingga kebijakan yang dikeluarkan hanya mengikat orang-orang atau badan hukum yang berhubungan dengan badan hukum ini.

Negara sebagai badan hukum publik dalam menjalankan kewenangannya dilakukan melalui organ yang diwakili oleh pemerintah. Negara sebagai badan hukum publik dapat membentuk badan hukum publik seperti daerah maupun badan hukum privaat atau ikut tergabung dalam suatu badan hukum privaat. Namun, dalam domain yang berbeda tersebut, kedudukan hukum negara berbeda pula. Dalam kedudukan sebagai badan hukum publik, negara berhubungan dengan subjek lain dalam kontek hukum publik yang sifatnya mengikat umum. Sedangkan dalam kedudukan sebagai badan hukum privat, negara melakukan hubungan hukum dengan subjek lain berdasarkan hukum privaat.

Apabila dicermati dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, maka BUMN yang ada di Indonesia lebih mendekati apa yang di Belanda namakan sebagai public rechtelijk organisatie yang full state (penuh dimiliki Negara) atau sepenuhnya untuk kepentingan Negara/Rakyat Indonesia.

Teori badan hukum digunakan dalam penelitian ini karena objek penelitiannya adalah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) berbentuk Perseroan Terbatas. BUMD tunduk kepada Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan peraturan pelaksanaannya, sedangkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tunduk kepada Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

(31)

Konsep teori badan hukum terkait dengan harta kekayaannya BUMN yaitu mengenai prinsip separate legal entity. Prinsip ini mengisyaratkan bahwa pemilik perusahaan berbeda dengan perusahaannya. Harta perusahaan berbeda dengan harta pemilik perusahaan, atau dengan kata lain, ada pemisahan harta kekayaan. BUMN adalah termasuk ke dalam privaat rechtspersoon.

Bentuk hukum PT. Bank Jawa Barat & Banten didirikan berdasarkan

“perintah” dari Undang-Undang No. 13 Tahun 1962 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Bank Pembangunan Daerah, bentuk hukum PT. Bank Karya Pembangunan Daerah Jawa Barat berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 11/PD- DPRD/1972, tertanggal 27 Juni 1972 tentang Penyempurnaan Kedudukan Hukum bank Kerja Pembangunan Daerah Jawa-Barat.

Perubahan bentuk hukum Bank Jabar diubah dari Perusahaan Daerah (PD) menjadi Perseroan Terbatas (PT) adalah berdasarkan Akta No. 4 Tahun 1999 yang dibuat dihadapan Ny. Popy Kuntari Sutresna SH. Notaris di Bandung tanggal 8 April 1999 berikut Akta Perbaikan Nomor 8 Tanggal 15 April 1999 yang telah disahkan oleh Menteri Kehakiman RI tanggal 16 April 1999.

Selain itu, ditinjau dari perspektif sumber dana untuk melaksanakan pengadaan barang dan jasa di lingkungan PT. Bank Jawa Barat & Banten, maka berdasarkan Pasal 2 dari Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, secara tegas menyatakan bahwa ruang lingkup Peraturan Presiden ini, meliputi :

(32)

1) “Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan K/L/D/I yang pembiayaannya, baik sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD;

2) Pengadaan Barang/Jasa untuk investasi di lingkungan Bank Indonesia, Badan Hukum Milik Negara, Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya dibebankan kepada APBN/APBD”.

Ruang lingkup keberlakuan tersebut, tidak berpedoman pada lembaga yang melaksanakan, tetapi berpedoman pada sumber dana yang digunakan, meskipun Pasal 2 ayat (1) huruf b Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tersebut menyebutkan pengadaan barang dan jasa di BUMN sebagai bagian dari lingkup keberlakuan peraturan tersebut, namun tidak berarti bahwa demi hukum pengadaan barang dan jasa BUMN harus menggunakan Perpres tersebut. Hal ini dikarenakan yang terpenting adalah sumber dana dari pengadaan barang/jasa tersebut, apabila sumber dana pengadaan barang/jasa berasal dari APBN, baik sebahagian maupun seluruhnya, maka pengadaan barang/jasa tersebut tunduk pada Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010. Apabila sumber biaya pengadaan barang dan jasa tersebut, baik sebahagian atau seluruhnya bukan berasal dari APBN, maka pengadaan barang dan jasa di BUMN tidak termasuk dalam lingkup keberlakuan Peraturan Presiden tersebut, melainkan Direksi BUMN membuat aturan tersendiri.

b. Doktrin Business Judgment Rule

Beranjak dari teori organisasi yang dikemukan oleh Otto Von Gierke bahwa teori sangat relevan menganalisis permasalahan yang telah dikemukakan terutama terkait dengan sistem pertanggungjawaban dari Direksi Perseroan Terbatas dalam melaksanakan prinsip pengelolaan perusahaan berdasarkan duty of loyalty dan duty of

(33)

care, demikian juga halnya dengan doktrin Business Judgment Rule dan teori Treatment yang dipakai dalam menganalisis penelitian ini.

Adapun doktrin yang dipakai dalam penelitian ini adalah doktrin Business Judgment Rule, adalah salah satu doktrin yang sangat popular untuk menjamin keadilan bagi para Direksi yang mempunyai itikad baik. Penerapan doktrin ini mempunyai misi utama yaitu untuk mencapai keadilan khususnya bagi para Direksi perseroan dalam melakukan suatu keputusan bisnis, artinya tidak terdapat kepentingan pribadi yang dilakukan oleh Direksi dalam menjalankan perseroan.

Doktrin ini mengandung suatu hak yang berupa perlindungan bagi Direksi dalam menjalankan perseroan yaitu tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi atas tindakan yang telah dilakukan bila dapat membuktikan suatu tindakan yang dilakukan dengan jujur, itikad baik, dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.12

Doktrin Business Judgement Rule akan melindungi direksi dari kewajiban atas keputusan bisnis yang menimbulkan kerugian pada korporasi. Dalam sistem hukum common law untuk pertanggungjawaban Direksi Korporasi dapat dilihat pertimbangan pengadilan dalam perkara Gries Sports Enterprises, Inc. v. Cleveland Browns Football Co., Inc. 26 Onio St.3d 15, 496 N.E.ed 959 (1986) :

12 Sartika Nanda Lestari, “Business Judgment Rule Sebagai Immunity Doctrine Bagi Direksi Badan Usaha Milik Negara di Indonesia”, Jurnal Notarius Edisi 08 No. 2, September 2015, hlm. 302- 315, menyatakan bahwa : “Business Judgment Rule adalah Immunity Doctrine”, hal ini sejalan dengan yang disampaikan Bismar Nasution dalam makalahnya. Sehingga Business Judgment Rule adalah doktrin.

(34)

“The business judgement rule is a principle of corporate governance that has been part of the common law for at least one hundred fifty years. It has traditionally operated as a shield to protect directors form liability for their decisions. If the directors are entitled to the protection of the rule, then the courts should not interfere with or second-guess their decisions. If the directors are not entitled to the protection of the rule, then the courts scrutinize the decision as to its intrinsic fairness is rebuttable presumtion that directors are better equiped than the courts to make business judgments and that the directors acted without self-dealing or personal interest and exercised reasonable diligence and acted with good fait. A party challenging a board of directors’ decision bears the burden of rebutting the presumption that the decision was a proper exercise of the business judgment of the board”.13 Dalam sistem hukum nasional doktrin Business Judgement Rule telah diakomodasi dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Menyangkut tugas seorang direksi Pasal 92, menyatakan bahwa :

1) “Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;

2) Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar”.

Lebih lanjut Pasal 97, menyatakan bahwa :

1) “Direksi bertanggungjawab atas pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1);

2) Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab;

3) Setiap anggota direksi bertanggungjawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2);

4) Dalam hal direksi terdiri dari 2 (dua) anggota direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota direksi;

5) Anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan :

13 Lewis D. Solomon, et.al., Corporation Law and Policy Materials and Problems, 3rd Ed., American Casebook Series, (St.Paul, Minn : West Publishing Co., 1994), hlm. 695.

(35)

a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;

c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya

kerugian tersebut;

6) Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan;

7) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mengurangi hak anggota direksi lain dan/atau anggota Dewan Komisaris untuk mengajukan gugatan atas nama perseroan”.

Dari ketentuan Pasal 97 UUPT, dapat ditarik benang merah bahwa doktrin Business Judgement Rule telah diakomodasi dalam UUPT khususnya pada huruf b, c, dan d, sedangkan huruf a yang menyatakan : kerugian tersebut bukan karena kesalahan dan kelalaiannya adalah merupakan ketentuan yang sudah jelas, dan ketentuan ini merupakan tambahan di UU PT.

Pada Pasal 97 ayat (2) UU PT, mengatakan bahwa : “Kepengurusan perusahaan terletak di tangan direksi harus berdasarkan itikad baik dan penuh tanggung jawab”. Ukuran tanggung jawab dan iktikad baik inilah yang tidak ada.

Namun, tidak boleh juga dikatakan tidak ada. Hal ini dapat dilihat melalui Business Judgement Rule yang berdasarkan fiduciary duty.

Fiduciary duty terbagi 2 (dua), yaitu : duty of care, dan duty of loyalty. Prinsip ini terdapat pada Pasal 97 ayat (2) dan ayat (3) UU PT. Prinsip itikad baik dan tanggung jawab yang diutarakan Pasal 97 ayat (2) di atas sudah sama dengan prinsip fiduciary duty yang terdapat dalam Business Judgement Rule, maka selanjutnya akan

(36)

dibahas mengenai fiduciary duty dan pembagiannya. fiduciary duty mengandung artian bahwa dalam menjalankan perseroan, direksi harus bertolak dari landasan bahwa tugas dan wewenang yang diperolehnya didasarkan pada dua prinsip. Kedua prinsip itu adalah kepercayaan yang diberikan oleh perseroan kepadanya (duty of loyalty) dan prinsip yang merujuk kepada kemampuan dan kehati-hatian dari tindakan direksi itu sendiri (duty of care).14

Berdasarkan Pasal 97 ayat (5) UUPT yang mengatur tentang prinsip pembelaan direksi perseroan (business judgement rule), dapat langsung digunakan baik dalam hukum pidana maupun dalam hukum perdata. Direksi harus membuat uraian-uraian pembelaannya dengan menerapkan unsur-unsur ketentuan tersebut dalam pengurusan dan pengelolaan perseroan di depan persidangan. Namun, terhadap putusannya tetap kembali kepada hakim yang menyidangkan perkara tersebut. Hal ini dapat dilihat dari contoh kasus tindak pidana korupsi yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu : Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Bandung No.

147/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Bdg., tertanggal 14 Desembar 2015 An. Terdakwa “W.I”.

Dalam nota pembelaannya yang telah dibacakan di depan persidangan, Penasihat Hukum Terdakwa “W.I” menggunakan pembelaan direksi menggunakan doktrin business judgement rule dengan menerapkan Pasal 97 ayat (5) UUPT, dan majelis hakim sependapat dengan Nota Pembelaan tersebut, hingga akhirnya membebaskan

14 375 U.S. 180, 195-196 (1965) dalam Bismar Nasution, “Pertanggungjawaban Direksi Dalam Pengelolaan Perusahaan”, disampaikan pada Seminar Nasional Sehari dalam rangka menciptakan Good Corporate Governance pada Sistem Pengelolaan dan Pembinaan PT (Persero) BUMN “Optimalisasi Sistem Pengelolaan, Pengawasan, Pembinaan dan Pertanggungjawaban Keberadaan PT (Persero) di Lingkungan BUMN Ditinjau dari Aspek Hukum dan Transparansi”, diselenggarakan oleh Inti Sarana Informatika, Hotel Borobudur Jakarta, Kamis, 07 Maret 2007, hlm. 1.

(37)

terdakwa dari segala dakwaan penuntut umum. Berbeda dengan Putusan Mahkamah Agung RI No. 2301K/PID.SUS/2016, tertanggal 26 Juli 2017 yang ternyata majelis hakim agung berpendapat lain, dan membatalkan putusan tingkat pertama. Akhirnya, menyatakan terdakwa bersalah dan menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa.

Dengan kata lain, fiduciary duty adalah hubungan profesionalitas antara perseroan dengan direksi, atau apabila dianalogikan dapat dilihat dengan hubungan antara pengacara dengan kliennya. Jadi, setiap pekerjaan yang profesional memiliki hubungan fiduciary duty.15

Setiap Direksi dapat dibela dengan menggunakan Pasal 97 UUPT apabila dituntut oleh Pemegang Saham atau Dewan Komisaris mengenai kebijakan yang diambilnya. Namun, dalam pembuktiannya direksi harus membuktikan bahwa dalam mengambil keputusan tersebut sudah menganut prinsip fiduciary duty, yaitu : duty of care dan duty of loyalty. Hal ini merupakan ukuran bagi Direksi untuk menjalankan perusahaan dengan itikad baik dan tanggung jawab.

Sebuah perseroan tidak selamanya menguntungkan shareholders, melainkan dapat merugi. Namun, hal ini tidak bisa seenaknya saja dalam menyalahkan direksi.

Apabila direksi dalam mengambil keputusan tersebut sudah menggunakan akal sehat, dan kerugian yang ditimbulkan lebih sedikit dari pada mengambil keputusan yang lainnya. Contohnya: apabila pada saat sebelum kebijakan diterapkan oleh direksi kerugian perusahaan Rp. 250 juta, namun setelah diambil kebijakan oleh direksi kerugian perusahaan mengecil menjadi Rp. 50 juta. Maka, dalam hal ini direksi sudah

15 Bismar Nasution, Loc.cit.

(38)

benar dalam mengambil tindakan dan perlu untuk diberi penghargaan atas pencapaiannya. Keunggulan seorang Direksi bukan saja diukur dari keuntungan yang dibuatnya melainkan juga diukur dengan seberapa mampu direksi dalam menyelesaikan persoalan dengan meminimalisir kerugian perseroan.

Untuk meminimalisir kerugian perseroan tersebut diperlukan penerapan prinsip kehati-hatian (prudent principle).16 Berdasarkan Pasal 97 ayat (5) UUPT, telah terang dan jelas bahwa direksi haruslah menggunakan pengurusan perseroan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. Kehati-hatian ini bisa bersifat individu-individu direksi ataupun secara kumulatif Direksi sesuai dengan pengambilan keputusannya. Segala macam risiko yang didapatkan dalam pengambilan keputusan tersebut harus dapat dipertanggung-jawabkan sesuai dengan prinsip pertanggungjawaban untuk menjadikan good corporate governance. Pertanggungjawaban tersebut baik bersifat positif maupun pertanggungjawaban negatif yang kesemuanya telah dijabarkan.

Kebutuhan iklim investasi yang tinggi juga sebagai faktor pendorong terjadinya tindakan yang tidak sesuai aturan sehingga menyebabkan tidak terjadinya keseimbangan yang nyata di dalam perusahaan itu sendiri.

16 Lihat : Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1998 tentang Informasi Keuangan Tahunan Perusahaan. Lihat juga : Penjelasan Umum Peraturan Bank Indonesia No. 13/25/PBI/2011, menyatakan bahwa : “… penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain berpotensi meningkatkan risiko bank. Sehingga, hal tersebut harus dilakukan dengan menerapkan prinsip kehati- hatian dan manajemen risiko yang memadai. Di samping itu, kejelasan atas tanggung jawab bank terhadap pekerjaan yang diserahkan kepada pihak lan dan aspek perlindungan nasabah menjadi hal yang sangat penting diperhatikan. Penguatan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain yang diiringi dengan terlindunginya kepentingan nasabah diharapkan dapat menjaga integritas sistem perbankan khusus dan sistem keuangan secara keseluruhan”.

(39)

Apabila prinsip kehati-hatian tidak diterapkan oleh direksi dalam hal pengambilan keputusan, maka pengambilan keputusan tersebut dapat merugikan perseroan. Pengambilan keputusan itu akan selalu dikaitkan dengan pertanggung- jawaban sehingga baik buruknya keputusan yang diambil dapat dinilai dari sejauh mana keberhasilan perseroan tersebut.

c. Teori Pertanggungjawaban Hukum

Teori pertanggungjawaban hukum digunakan adalah untuk mengkaji permasalahan kedua dan ketiga dalam penelitian ini sebagai tindaklanjut dari doktrin Business Judgment Rule.

Kedudukan negara sebagai pemegang saham Persero adalah sejajar dengan pemegang saham lain. Kedudukan negara sebagai pemegang saham terpisah dan harus dibedakan tegas dengan kedudukan Negara sebagai pemerintah. Dalam kedudukannya sebagai pemegang saham, negara berarti menyertakan modal dalam bentuk saham-saham. Dalam kedudukannya sebagai pemerintah, negara menyerahkan anggaran tersendiri lepas dari saham-sahamnya, yang harus dikelola Persero untuk melaksanakan Public Service Obligation (PSO). Dengan kedudukan ini, maka Direksi Persero juga mempunyai kedudukan ganda, yaitu direksi sebagai penanggungjawab anggaran pelaksanaan PSO yang diserahkan pada Persero, dan direksi sebagai pengurus yang bertanggungjawab atas manajemen Persero.17

17 Dwi Ananda Fajar Wati, “Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Kerugian Keuangan Negara Pada BUMN/Persero”, Badamai Law Journal, Vol. 1, Issues 1, April 2016, hlm. 171.

(40)

Pertanggungjawaban direksi sebagai penanggungjawab manajerial persero tergambar dalam laporan tahunan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan atau Luar Biasa,. Lalu, bagaimana halnya dengan perbuatan hukum yang dilakukan oleh direksi yang berakibat merugikan negara telah melalui tahapan pembebasan dan pelunasan dalam RUPS Tahunan (“acquit et de charge”) dan dalam hal ini Menteri Negara BUMN (sebagai wakil pemerintah) sendiri yang bertindak sebagai RUPS? Apakah adil apabila direksi yang bersangkutan ‘ujung-ujungnya’

dimintai pertanggungjawaban secara pidana atau disangka korupsi atas tindakannya selaku direksi?.18

“Acquit et de charge” merupakan pembebasan dan pelunasan kewajiban pertanggungjawaban direksi dalam konteks perdata, artinya apabila terjadi kerugian persero, maka direksi dibebaskan dari kewajiban mengganti kerugian yang diderita oleh persero. Hal ini merupakan ‘harmoni’ dari kedudukan pemerintah sendiri dalam persero adalah sebagai pemegang saham. Adalah suatu hal yang mustahil dan tidak adil apabila tindakan atau keputusan yang diambil oleh direksi dengan persetujuan RUPS dialihkan menjadi tanggung jawab publik dengan memindah pengertian

‘kerugian persero’ akibat perbuatan direksi menjadi ‘kerugian negara’, sekalipun terjadi ‘kerugian negara’ berupa pengurangan kekayaan persero secara signifikan sehingga mengurangi potensi keuntungan yang diterima oleh negara, maka pertanggungjawaban yang harus dibebankan kepada direksi tetap melalui prosedur hukum privat atau tunduk kepada ketentuan UUPT yaitu melalui mekanisme RUPS,

18 Ibid., hlm. 171.

(41)

bukan melalui prosedur yang ditetapkan dalam ketentuan UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara ataupun ketentuan hukum pidana berupa pengkategorian sebagai tindak pidana korupsi.19

Direksi perseroan yang tidak diberikan acquit et decharge, maka berdasarkan Pasal 155 UUPT, menyatakan : “Ketentuan mengenai tanggung jawab Direksi dan/atau Dewan Komisaris atas kesalahan dan kelalaiannya yang diatur dalam undang-undang ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang hukum pidana”. Maksud dari ketentuan tersebut dikaitkan dengan ditolaknya laporan pertanggungjawaban direksi dan/atau dalam pengelolaan perusahaan, apabila diduga direksi dan/atau komisaris telah melakukan kesalahan ataupun kelalaian, maka direksi dan/atau komisaris tersebut dapat dituntut secara hukum pidana. Permintaan pertanggungjawaban direksi dan/atau komisaris ini harus didasarkan dengan adanya Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang di dalam kebijakannya menentukan untuk melakukan langkah hukum pidana lebih lanjut terhadap direksi dan/atau komisaris tersebut.

Menurut Erman Rajagukguk, ahli hukum bisnis dalam makalahnya berjudul

“Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Negara” menyatakan bahwa20 :

“Direksi suatu perusahaan BUMN Persero dapat dituntut dari sudut hukum pidana. Hal ini dapat saja dilakukan apabila direksi bersangkutan melakukan penggelapan, pemalsuan data dan laporan keuangan, pelanggaran UU Perbankan, pelanggaran UU Pasar Modal, pelanggaran UU Anti Monopoli,

19 Ibid., hlm. 171-172.

20 Erman Rajagukguk, “Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Negara”, Makalah disampaikan pada Diskusi Publik “Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi” yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) RI, Jakarta, 26 Juli 2006, hlm. 7.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Alasan utama mengapa inovasi kolaboratif lebih cocok bagi inovasi di sektor publik, karena mampu membuka siklus inovasi ke berbagai aktor yang menyentuh sumber daya inovasi

Tanggung jawab pribadi berkaitan dengan maladministrasi dalam penggunaan wewenang maupun public service. Seorang pejabat yang melaksanakan tugas dan kewenangan

Metode backpropagation dapat digunakan untuk melakukan pendeteksian suatu jenis penyakit, gangguan, maupun kasus yang memiliki data masa lalu dan dengan metode backpropagation

Pemisahan ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 21 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah bahwa Penyertaan Modal Pemerintah Pusat/

Ketentuan dalam annex yang menyangkut perundingan di bidang angkutan laut dalam ayat (1) menyatakkan bahwa Pasal 2 dan annex tentang pengecualian Pasal 2 termasuk keharusan

PERUSAHAAN ANGKUTAN LAUT INDONESIA PADA PERDAGANGAN BEBAS DALAM KERANGKA WTO, Tesis ini bertujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan yang harus dilengkapi dalam rangkaian

Berdasarkan pasal 16 ayat (1) butir (a) UUJN, dalam menjalankan jabatannya notaris berkewajiban bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak

35 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT.. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,