• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

4. Analisis Data

Analisis data adalah pengolahan data yang diperoleh baik dari penelitian pustaka maupun penelitian lapangan.57

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dan asumsi tentang realitas atau

55 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 116-117

56 Ronny Soerhitro Hanintijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Juru Materi, (Jakarta : Gahlia Indonesia, 1998), hal. 9

57 Dalam Hal ini khususnya di Pengadilan Agama Medan

fenomena sosial yang bersifat unik dan kompleks. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi (keragaman)58

Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar59. Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati60.

Data sekunder yang diperoleh kemudian disusun secara berurutan dan sistematis untuk selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode berfikir deduktif. Berfikir secara deduktif yaitu cara berfikir yang dimulai dari hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus sebagai kesimpulan dan selanjutnya dipresentasikan dalam bentuk deskriptif. Deskriptif adalah pemaparan hasil penelitian dengan tujuan agar diperoleh suatu gambaran yang menyeluruh namun tetap sistematik terutama mengenai fakta yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diajukan dalam usulanpenelitian ini.

Analitis artinya gambaran yang diperoleh tersebut dilakukan analisis dengan cermat sehingga dapat diketahui tentang tujuan dari penelitian ini sendiri yaitu membuktikan permasalahan sebagaimana telah dirumuskan dalam perumusan permasalahan tersebut.

58 Burhan Bungi, Analisa Data Kualitatif, Permohonan Filosofi dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003 ), hal. 53

59 Lexy. J. Moleong, Metode Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 103

60 lbid, hal. 3

Tahap selanjutnya adalah pengolahan data yaitu analisis yang dilakukan dengan metode kualitatif yaitu penguraian hasil penelitian pustaka data sekunder sehingga dapat diketahui upaya hukum yang dapat dilakukan seorang ibu jika tidak terpenuhinya putusan yang mewajibkan ayah untuk membiayai pemeliharaan anak setelah perceraian dan langkah pengadilan agama dalam melaksanakan putusan yang mewajibkan ayah untuk membiayai pemeliharaan anak setelah perceraian.

BAB II

TANGGUNG JAWAB ORANG TUA YANG TELAH BERCERAI TERHADAP NAFKAH ANAK BAGI WARGA NEGARA INDONESIA

YANG BERAGAMA ISLAM

A. Tanggung Jawab Orangtua Terhadap Anak Dalam Hukum Islam 1. Pengertian Tanggung Jawab

Pada prinsipnya tanggung jawab adalah siap menerima kewajiban atau tugas.

Artinya tanggung jawab bersifat kodrati, sehingga sudah menjadi bagian kehidupan manusia, bahwa setiap manusia pasti dibebani dengan tanggung jawab apabila setiap manusia tidak mau bertanggung jawab maka ada pihak lain yang memaksakan tanggung jawab ini dengan demikian tanggung jawab itu dapat dilihat dari dua (2) sisi, yaitu dari sisi pihak yang berbuat dan dari sisi kepentingan pihak lain.61

Tanggung jawab secara bahasa berasal dari dua kata yaitu : tanggung dan jawab, dalam kamus bahasa Indonesia "tanggung" berarti ; "beres tidak perlu khawatir". Sedangkan "jawab" berarti membalas, disahuti.62 Jadi tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersilahkan, dan sebagainya).63 Sedangkan secara istilah tanggung jawab adalah suatu keadaan yang dimiliki seseorang sehingga apa yang di perbuat dan dilakukan akan berpengaruh bagi dirinya sendiri dan berpengaruh bagi orang lain.

Sedangkan "orang tua" adalah orang yang bertanggung jawab dalam satu keluarga

61 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesian, (Jakarta : UI - Press, 1986), hal: 20

62 Tim penyusun kamus bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta,Balai Pustaka, 2003), hal. 1139

63 Ibid

atau rumah tangga, yang dalam penghidupan sehari-hari lazim disebut dengan ayah ibu.64

Sehubungan dengan ketentuan diatas bahwa secara kodrat ibu-bapak di dalam rumah tangga keluarga adalah sebagai penanggung jawab tertinggi, mau tidak niau merekalah menjadi tumpuan segala harapan, tepat meminta segala kebutuhan bagi semua anak-anaknya. Orang tualah yang menjamin kesejahteraan materiil dan kesejahteraan rohani. Tanggung jawab ini tidak dapat dielakkan oleh orang tua, harus dipikul dengan rasa penuh tanggung jawab.65 Islam menempatkan suatu beban tanggung jawab pada pundak setiap orang, di mana tak seorang pun bebas dari padanya. Orang tua bertanggung jawab memberikan kepada anak - anaknya suatu pendidikan dan ajaran Islam yang tegas, yang didasarkan atas karakteristik yang mulia sebagaimana disebutkan Nabi, bahwa beliau di utus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Melihat hal tersebut tidak ada bukti yang kuat mengenai beratnya tanggung jawab orang tua untuk membawa anak mereka mematuhi Allah dan Rasul-nya.66 Dengan demikian jelas bahwa orang tua (keluarga) bertanggung jawab atas perlindungan anaknya dari berbagai persoalan, baik yang berhubungan dengan persoalan dunia maupun akhirat.

Selanjutnya dengan demikian tanggung jawab orang tua kepada anaknya menurut pernyataan Rasulullah SAW adalah merupakan hak anak terhadap orang

64 Thamrin Nasution, dkk, Peranan Orang Tua Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Anak, (Jakarta, Gunung Mulia, 1989), hal. 1

65 Muhammad Zein, Methodologi Pengajaran Agama, (Yogyakarta, Inda Buana, 1995), hal.221

66 M. Ali-Hasyimi, Menjadi Muslim Ideal, (Yogyakarta, Mitra Pusaka, 2000), hal. 129

tuanya. Dengan demikian para orang tua harus memberikan hak itu kepada mereka.

Di antara hak itu sabda Rasul Allah SAW adalah : "memberinya nama yang baik, mengkhitannya, mengajarkannya Al-Kitab (Al-Qur'an) dan menikahkannya". Di sini terlihat bahwa tingkat keberhasilan para orang tua melaksanakan tugas - tugas tersebut dipandang sebagai kredibilitas dan sekaligus penilaian terhadap tanggung jawabnya selaku orang tua.67

Menurut Islam orang tua bertanggung jawab terhadap anggota keluarganya, jika anggota keluar seorang muslim mengabaikan atau gagal dalam menjalankan kewajibannya kepada Allah dan Rasul-Nya, dia-lah yang bertanggung jawab.

Artinya:

Setiap orang di antara kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang pejabat adalah pemimpin, seorang lain-laki adalah pemimpin keluargnya, seorang perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya, dan anak suaminya, setiap orang diantara kalian adalah pemimpin, yang akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya.68

Sesuai uraian di atas dapat diketahui bahwa tanggung jawab orang tua, baik ayah maupun ibu terhadap anak-anaknya, mereka tidak mungkin dialihkan kepada selain keduanya, bahwa kebanyakan degradasi anak sekarang ini adalah akibat dari

67 Jalaluddin, Mempersiapkan Anak Saleh, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000) hal. 101

68 Abi Abdullah ibn Isma'il ibn Ibrahim, Shahih Bukhari, Juz V (Dar. Al-Fikr, 1981) hal.152

kesalahan orang tua dan para pendidik dalam mendidik mereka.69 Untuk itulah maka kita harus berhati-hati, jangan sampai menyerahkan pendidikan anak kepada para pembantu, dan jangan sampai pula menyerahkan pendidikan anak kepada panti asuhan. Karena mereka akan membentuk anak-anak sesuai dengan konsep mereka, yang tentunya akan berseberangan dengan akidah kita agama Islam.

2. Pengaturan Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak a. Al-Qur'an dan Hadist

Anak adalah amanat Allah yang harus dirawat, dipelihara dan dididik dengan penuh kasih sayang. Mendidik anak adalah kewajiban orang tua yang paling utama yang akan berpengaruh kuat dalam perkembangan anak pada masa-masa selanjumya.

Kewajiban itu meliputi pendidikan jasmani dan rohani yang dimulai sedini mungkin.

Sehingga harus dipertanggung jawabkan oleh setiap orang tua dalam berbagai aspek kehidupannya.70

Pendidikan perlu dilihat sebagai suatu proses yang berterusan, berkembang, dan serentak dengan perkembangan individu seorang anak yang mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya. Dengan kemahiran yang diperolehnya anak akan mengaplikasikannya dalam konteks yang bermacam-macam dalam hidup kesehariannya disaat itu ataupun sebagai persiapan untuk kehidupannya dimasa yang akan datang.

69 Hamad Hasan Ruqaith, Kaifa Nurabbi Abna'ana Tarbiyatan Sholihatan, terj.Luqman Abdul Jalal, Sudahkah Anda Mendidik Anak Dengan Benar, Konsep Islam dalam Mendidik Anak, (Jakarta, Cendikia, 2004), hal. 30

70 Safuddin Mujtaba dan Imam Jauhari, Hak-Hak Anak Dalam Hukum Islam (Jakarta ; Pustaka Bangsa Press) hal. 84

Menurut perspektif Islam, pendidikan anak adalah proses mendidik, mengasuh dan melatih jasmani dan rohani mereka yang dilakukan orang tua sebagai tanggung jawabnya terhadap anak dengan berlandaskan nilai baik dan terpuji bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah. Bahkan dalam Islam system pendidikan keluarga ini dipandang sebagai penentu masa depan anak. Sampai-sampai di ibaratkan bahwa surga neraka anak tergantung terhadap orang tuanya.71 Maksudnya adalah untuk melahirkan anak yang menjadi generasi insane yang rabbani yang beriman, bertaqwa, dan beramal shaleh adalah tanggung jawab orangtua.

Menurut konsep Islam, anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, yaitu kondisi awal yang suci yaitu berkecendrungan kepada kebaikan tetapi secara pengetahuan ia belum tahu apa-apa. Kendatipun demikian, modal dasar bagi pengembangan pengetahuan dan sikapnya telah diberikan Allah yaitu berapa alat indera, akal dan hati. Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT, dalam surat An-Nahl ayat 78 sebagai berikut:

"Dan Allah mengeluarkan kamu dariperut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur". (QS. An-Nahl: 78)72

Melihat betapa pentingnya keluarga dalam pembentukan anak-anak, maka orang tua bertanggung jawab mengurusi anak dimulai sebelum kelahirannya (saat masih berapa janin di dalam kandungan) sampai anak mengalami masa

71 M. Nippan Abdul Halim, Anak Sholeh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2003) cet.3.hal. 87

72 Soenarjo dkk, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra, 1989), hal. 413

perkembangan hingga anak dewasa selalu berada di dalam keluarga. Bahkan sebelum anak berinteraksi dengan orang lain, anak tersebut sudah dibentuk oleh orang tua.

Oleh karena itu orang tua (keluarga) memiliki peranan yang sangat besar terhadap perkembangan anak, baik dalam aspek kesehatan, pendidikan dan akhlak anak. Orang tua juga memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap pembentukan karakter, kebiasaan sampai agama yang dianut oleh anak. Orang tua, ibu dan ayah juga memagang peranan yang penting terhadap pendidikan anak-anaknya. Sejak anak lahir, ibunyalah yang selalu ada di sampingnya, oleh karena itu ia meniru sesuatu yang selalu ada di sampingnya. Selain ibu, ayah mempunyai pengaruh yang besar pula terhadap anaknya.73 Dengan demikian yang dimaksud dengan pendidikan dalam kewajiban orang tua untuk memberikan pendidikan dan pengajaran yang memungkinkan kemampuan dan dedikasi hidup yang dibekali dengan kemampuan dan kecakapan sesuai dengan pembawaan bakat anak tersebut yang akan dikembangkan di tengah-tengah masyarakat Indonesia sebagai landasan hidup dan penghidupannya setelah anak tersebut lepas dari tanggung jawab orang tua.74

Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dan utama bagi seseorang dan orang tua sebagai kuncinya. Pendidikan dalam keluarga terutama berperan dalam pengembangan watak, kepribadian, nilai-nilai budaya, nilai-nilai keagamaan dan moral, serta keterampilan sederhana. Pendidikan dalam konteks ini mempunyai arti pembudayaan, yaitu proses sosialisasi dan enkulturasi secara berkelanjutan dengan

73 Zakiah Darajad, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 1995), hal.

74 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan, Zahir Trading, 1975) hal. 204

tujuan untuk mengantar anak agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak luhur, mandiri, kreatif, inovatif, beretos kerja, setia kawan, peduli akan lingkungan dan sebagainya.75

Orang tua mendidik anak dengan memperhatikan potensi yang dimilikinya.

Karena itu, peran orang tua dalam mendidik anak dilakukan dengan cara membimbing, membantu atau mengarahkannya agar ia mengenal norma dan tujuan hidup yang hendak dicapainya.76 Orang tua atau ibu dan ayah memegang peranan penting dan amat berpengaruh atas pendidikan anak-anaknya. Sejak seorang anak lahir, ibunyalah yang selalu ada disampingnya. Oleh karena itu anak meniru perangai ibunya dan biasanya seorang anak lebih cinta kepada ibunya. Apabila ibu itu menjalankan tugasnya dengan baik. Pengaruh ayah terhadap anaknya besar pula, di mata anaknya seorang ayah yang menjadi panutan tertinggi dan menjadi tumpuan di antara orang - orang yang dikenalnya. Sehingga apa yang diperbuat ayahnya akan mempengaruhi sikap anak-anaknya, termasuk ketika ayah melakukan pekerjaannya sehari-hari akan mempengaruhi pada cara pekerjaan anaknya.

Menurut Syaiful Bahri Djamarah keluarga adalah sebagai sebuah institusi yang terbentuk karena ikatan perkawinan. Di dalamnya hidup bersama pasangan suami-istri secara sah karena pernikahan. Mereka hidup bersama sehidup semati,

75 Muhammad Tholhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, (Jakarta, Lantabora Press, 2005), hal. 48

76 Ibid

ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, selalu rukun dan damai dengan suatu tekad dan cita-cita untuk membentuk keluarga bahagia dan sejahtera lahir dan batin.77

Keluarga merupakan wadah yang sangat penting diantara individu dan group dan merupakan kelompok sosial yang pertama di mana anak-anak menjadi anggotanya. Dan keluargalah sudah barang tentu yang pertama-tama pula menjadi tenipat untuk mengadakan sosialisasi kehidupan anak-anak, ibu, ayah dan saudara-saudaranya serta keluarga-keluarga yang lain, dan orangtualah yang pertama di mana anak mengadakan kontak dan yang pertama pula untuk mengajar pada anak-anak itu sebagaimana hidup dengan orang lain. Sehingga apapun yang diajarkan orang tua terhadap anak akan diikuti oleh anak-anak mereka, termasuk agama.78 Pada dasarya kenyataan-kenyataan yang dikemukakan di atas berlaku dalam kehidupan keluarga atau rumah tangga. Hal itu menunjukkan ciri-ciri dan watak rasa tanggung jawab setiap orang tua atas kehidupan anak-anak mereka untuk masa kini dan mendatang. Bahkan para orang tua umumnya merasa bertanggung jawab atas segalanya dari kelangsungan hidup anak-anak mereka. Karenanya tidaklah diragukan bahwa tanggung jawab pendidikan secara mendasar dipikul kepada orang tua.

Apakah tanggung jawab pendidikan itu diakuinya secara sadar atau tidak, diterima dengan sepenuh hatinya atau tidak, hal itu adalah merupakan fitrah yang telah dikodratkan Allah SWT kepada setiap orang tua. Mereka tidak bisa mengelakkan

77 Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak Dalam Keluarga, (Rineka Cipta : 2004), hal. 16

78 Zakiah Darajad, llmu Pendidikan Islam, (Jakarta, Bumi Kasara, 1996), hal. 35

tanggung jawab itu karena telah merupakan amanah dari Allah yang dibebankan kepada mereka.79

Selanjutnya dari uraian di atas dapat diketahui bahwa tangung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak secara mendasar dipikul oleh kedua orang tua berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan tanggung jawab terhadap anak pengadilan yang memberi keputusan.

Kemudian pada dasarnya jika terjadi perceraian antara suami-istri mereka masih tetap bertanggung jawab terhadap anak untuk memelihara dan mendidik bagi kepentingan anak. Dalam pemeliharaan tersebut walaupun pada prakteknya dijalankan oleh salah seorang dari mereka, tidak berarti bahwa pihak lainnya terlepas dari tanggung jawab terhadap pemeliharaan tersebut.80

Apabila terjadi perceraian, siapakah yang berhak untuk memelihara anak. Di dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud ada peristiwa, seorang wanita menghadap Rasulullah dan berkata.81

"Ya Rasulullah bahwasannya anakku ini perutkulah yang mengandungnya, asuhankulah yang mengawasinya, dan air susukulah minumnya. Bapaknya hendak mengambilnya dariku, maka bersabda Rasulullah, engkau lebih berhak untuk memelihara anak itu, selama engkau belum menikah dengan lelaki lain".( H.R. Ahmad dan Abu Daud ).

Demikian jelaslah jika terjadi perceraian, antara kedua orangnya menetapkan untuk pemeliharaan pada pihak ibu selama si anak belum balig dan menikah dengan

79 Ibid, hal. 36

80 Amiur nuriddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2004), hal. 296

81 Ibid, hal. 296-297

laki-laki lain.82 Alasannya bisa dilihat pada pernyataan Abu Bakar Siddiq dibawah ini : "Ibu lebih cenderung (sabar) kepada anak, lebih halus, lebih pemurah, lebih penyantun, lebih baik, dan lebih penyayang. la lebih berhak atas anaknya( H.R. Abu Bakar Siddiq).

b. Undang - Undang No.l Tahun 1974

Pengaturan tanggung jawab terhadap anak berdasarkan UUP No. 1 Tahun 1974 Pasal 45 menyebutkan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, dan kewajiban ini akan terus berlaku meskipun perkawinan kedua orang tuanya putus. Selanjutnya Pasal 46 UUP No.l Tahun 1974 ini menambahkan bahwa anak wajib menghormati orang tuanya dan mentaati kehendak mereka dengan baik, dan apabila telah dewasa anak wajib memelihara orang tua dan keluarganya menurut kemampuannya apabila mereka membutuhkan bantuannya.

Akibat putusnya perkawinan karena perceraia, Pasal 41 huruf (a) UUP No. 1 Tahun 1974 menyebutkan, baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak pengadilan memberi keputusannya.

Meskipun demikian karena konsekuensi perceraian adalah seperti itu maka anak haras tetap memilih untuk ikut salah satu orangtuanya. Dalam sidang pengadilan yang menangani perceraian, untuk anak yang masih belum berumur 12 (dua belas) tahun (belum mumayyiz) biasanya hakim memutuskan ikut dengan ibunya. Hal ini

82 Ibid, hal. 297

didasarkan pertimbangan bahwa anak dengan umur seperti itu masih sangat membutuhkan kasih sayang ibunya. Ini bukan berarti ayah tidak sanggup memberikan kasih sayang yang dibutuhkan anak, akan tetapi seorang ayah biasanya sibuk bekerja sehingga waktu yang dimiliki untuk memperhatikan anak kurang.83

Mengenai sistem pertanggung jawaban ayah terhadap anak tidak dapat dilepaskan dari kebijakan legislatif yang tertuang dalam undang-undang perkawinan.

Peraturan tersebut telah mencantumkan beberapa ketentuan tentang tanggung jawab orang tua (khususnya ayah) terhadap anak-anaknya. UUP No.l Tahun 1974 sampai saat belum mengatur secara khusus tentang penguasaan anak bahkan di dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 secara luas dan rinci. Sehingga pada waktu itu sebelum tahun 1989 para hakim masih menggunakan kitab-kitab fiqh. Barulah setelah diberlakukannya Undang - Undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 dan Inpres No. 1 Tahun 1999 tentang penyebarluasan KHI, masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan peradilan agama diberi wewenang untuk memeriksa dan menyelesaikannya.84

Kendati demikian, secara global sebenarnya UUP No.l Tahun 1974 telah memberi aturan pemeliharaan anak tersebut yang dirangkai dengan akibat putusnya

83 Mardani, Hukum Secara Per data Peradilan Agama dan Mahkamah Syar 'iyah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal. 52

84 Abdul manna, Problematika Hadhanah dan Hubungannya dengan Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama, Mimbar Hukum No. 49 Thn. IX 2000, hal. 69

sebuah perkawinan.85 Di dalam Pasal 41 dinyatakan : "Apabila perkawinan putus karena perceraian, maka akibat itu adalah:

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak pengadilan memberikan keputusan.

2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilmana bapak dalam kenyatannya tidak dapat memenuhi kewajibannya tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagian bekas istri.

Pasal 41 UUP No. 1 Tahun 1974 ayah tetap bertanggung jawab untuk memberi biaya pemeliharaan dan nafkah anak sampai anak berumur 21 ( dua puluh satu) tahun. Bagi orang tua yang diberi hak untuk memelihara anak, harus memelihara anak dengan sebaik-baiknya.86 Pemeliharaan anak bukan hanya meliputi memberi nafkah lahir seperti biaya hidup dan biaya pendidikan saja, tetapi juga meliputi nafkah bathin seperti kasih sayang.

Apabila terjadi kealfaan ataupun kelalaian oleh orang tuanya dengan sengaja atau tidak melakukan tanggung jawabnya sebagai orang tua maka dia dapat dituntut dengan mengajukan gugatan ke pengadilan87. Bila orang tuanya tidak melakukan tanggung jawab perkawinan putus karena perceraian menimbulkan tanggung jawab orang tua terhadap anak secara timbale balik. Akibat perkawinan terhadap anak yang lahir dalam perkawinan, mengakibatkan :

85 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2008), hal. 299

86 www.kamusbasahaindonesia.org,Pe«gert/aw Pemeliharaan adalah secara proses perbuatan memelihara, penjagaan dan perawatan. Pengertian asuh adalah menjaga, merawat dan mendidik anak kecil.

87 Hilman Hadi Kusuma,Op.Cit, hal.14

1. Kedua orang tua bertanggung jawab memelihara dan mendidik anak-anak sebaik-baiknya, sampai saat anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Selanjutnya tanggung jawab itu berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus.

Dalam praktik, apabila perkawinan putus karena perceraian atau karena atas putusan pengadilan, maka atas permohonan dari pihak suami atau istri, pengadilan akan menyerahkan anak-anak tersebut kepada suami atau istri yang benar-benar beritikad baik, dipelihara dan dididik secara baik.

2. Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah kawin, berada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

3. Orang tua mewakili anak tersebut, mengenai segala perbuatan hukum baik di dalam dan di luar pengadilan.

4. Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang yang dimiliki oleh anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun belum yang belum pernah kawin sebelumnya, kecuali kalau untuk kepentingan anak tersebut yang menghendaki.88

5. Kekuasaan salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandungnya yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang.89

5. Kekuasaan salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandungnya yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang.89

Dokumen terkait