• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANGGUNG JAWAB ORANG TUA TERHADAP NAFKAH ANAK PASCA PUTUSAN PERCERAIAN BAGI WARGA NEGARA INDONESIA YANG BERAGAMA ISLAM TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TANGGUNG JAWAB ORANG TUA TERHADAP NAFKAH ANAK PASCA PUTUSAN PERCERAIAN BAGI WARGA NEGARA INDONESIA YANG BERAGAMA ISLAM TESIS"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

TANGGUNG JAWAB ORANG TUA TERHADAP NAFKAH ANAK PASCA PUTUSAN PERCERAIAN BAGI WARGA

NEGARA INDONESIA YANG BERAGAMA ISLAM

TESIS

OLEH :

ANJANI SIPAHUTAR 117005053

PROGRAM STUDI PASCA SARJANA ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2013

(2)

TANGGUNG JAWAB ORANG TUA TERHADAP NAFKAH ANAK PASCA PUTUSAN PERCERAIAN BAGI WARGA

NEGARA INDONESIA YANG BERAGAMA ISLAM

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

ANJANI SIPAHUTAR 117005053

PROGRAM STUDI PASCA SARJANA ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2013

(3)

JUDUL TESIS : TANGGUNG JAWAB ORANG TUA TERHADAP

NAFKAH ANAK PASCA PUTUSAN

PERCERAIAN BAGI WARGA NEGARA INDONESIA YANG BERAGAMA ISLAM

NAMA : ANJANI SIPAHUTAR

NIM : 117005053

PROGRAM STUDI : Magister Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof.Dr.Tan Kamello, SH.M.S) Ketua

(Prof.Dr.Runtung,SH.M.Hum) (Dr. Utary Maharany Barus, S.H, M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan

(Prof.Dr. Suhaidi,SH.MH) (Prof.Dr.Runtung,SH.M.Hum) Lulus Tanggal: 09 Desember 2013

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 09 Desember 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof.Dr.Tan Kamello,SH.M.S Anggota : 1. Prof.Dr.Runtung,SH.M.Hum

2. Dr. Utary Maharany Barus, S.H, M.Hum 3. Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum.

4. Dr. Idha Aprilyana, S.H., M.Hum.

(5)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : ANJANI SIPAHUTAR

Nim : 117005053

Program Studi : Magister Ilmu Hukum

Judul Tesis : TANGGUNG JAWAB ORANG TUA TERHADAP NAFKAH ANAK PASCA PUTUSAN PERCERAIAN BAGI WARGA NEGARA INDONESIA YANG BERAGAMA ISLAM

Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan, Februari 2016 Yang membuat Pernyataan

ANJANI SIPAHUTAR

(6)

ABSTRAK

TANGGUNG JAWAB ORANG TUA TERHADAP NAFKAH ANAK PASCA PUTUSAN PERCERAIAN BAGI WARGA NEGARA INDONESIA YANG

BERAGAMA ISLAM

Tanggung jawab merupakan siap menerima kewajiban atau tugas. Artinya tanggung jawab bersifat kodrati, sehingga sudah menjadi bagian kehidupan manusia, bahwa setiap manusia pasti di bebani dengan tanggung jawab apabila setiap manusia tidak mau bertangung jawab maka ada pihak lain yang memaksakan tanggung jawab ini. Dengan demikian jelas bahwa dalam suatu perkawinan apabila terjadi perceraian, orang tua (keluarga) bertanggung jawab atas semua perlindungan anaknya dari berbagai persoalan, baik yang berhubungan dengan persoalan dunia maupun akhirat.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah bagaimana tanggung jawab orang tua yang telah bercerai terhadap nafkah anak bagi Warga Negara Indonesia yang beragama Islam, dan mengapa ada penyimpangan terhadap putusan Hakim yang mewajibkan orang tua laki-laki (ayah) terhadap nafkah anak pasca putusan perceraian, serta apakah hukum in concrete yang terdapat dalam putusan pengadilan agama sudah sesuai dengan norma hukum yang diatur dalam Undang-Undang.

Penalitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analitis. Penelitian ini menitikberatkan pada penelitian dokumen atau kepustakaan dengan mencari teori-teori pandangan yang mempunyai korelasi dan relefan, dengan permasalahan yang akan diteliti dan untuk melengkapi data yang diperoleh dari penelitian dokumen dan kepustakaan maka dilakukan penelitian lapangan, yaitu dari narasumber.

Dalam gugatan (cerai talak) suami terhadap istri, Hakim diberikan kewenangan oleh Undang-Undang membebani suami untuk memberikan nafkah iddah dan mut 'ah terhadap istri. Istri juga diberikan hak untuk mengajukan gugatan balik untuk nafkah anak, jika cerai gugat dari istri disamping mengajukan perceraian sekaligus mengajukan nafkah untuk istri (diri sendiri/penggugat) dan nafkah anak.

Pemohon istri atas nafkah, biaya pemeliharaan anak, dan harta perkawinan dapat juga terjadi selama proses pemeriksaan berlangsung, pengadilan agama dapat menentukan jumlahnya yang disesuaikan dengan kemampuan suami dan tidak memberatkannya.

Kata Kunci: Tanggung jawab, Perceraian, dan Pemeliharaan anak

(7)
(8)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Segala puji hanya bagi Allah SWT, atas segala limpahan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya, kesehatan, kekuatan dan kemudahan yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian tesis ini sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan studi di program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, yang berjudul “TANGGUNG JAWAB ORANG TUA TERHADAP NAFKAH ANAK PASCA PUTUSAN PERCERAIAN BAGI WARGA NEGARA INDONESIA YANG BERAGAMA ISLAM”. Sholawat dan salam penulis hadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan orang-orang yang istiqomah mengikuti jejaknya hingga akhir zaman.

Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Prof.

Dr. Tan Kamello, S.H, M.S. selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan ilmu, meluangkan waktu untuk memberikan masukan, bimbingan dan motivasi kepada penulis hingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum. selaku dosen pembimbing kedua yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Utary Maharany Barus, S.H., M.Hum. yang dengan sabar membimbing, mengarahkan, mengoreksi tulisan penulis, dan menyediakan waktu berdiskusi dalam penulisan tesis ini. Semoga

(9)

Allah SWT membalas segala kebaikan Bapak/Ibu Dosen dalam bimbingan dan ilmu yang telah diberikan.

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi- tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Dr.dr.Syahril Pasaribu,D.T.M&H.,M.Sc.(C.T.M), Sp.A.(K.), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr.Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum. selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukan dan saran yang membangun dalam penyusunan tesis ini.

6. Ibu Dr. Idha Aprilyana, S.H., M.Hum. selaku Dosen Penguji kedua yang juga telah memberikan masukan dan saran yang membangun dalam penyusunan tesis ini.

7. Seluruh Dosen dan Staff Tata Usaha Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantu dalam proses administrasi.

Tesis ini penulis dedikasikan kepada kedua orang tua tercinta, Ayahanda Ir.

Kamal Sipahutar dan Ibunda Almh. Arni yang telah melahirkan, mendidik dan mendo’akan setiap langkah kehidupan ananda dengan ikhlas penuh kasih sayang,

(10)

serta memotivasi penulis sehingga dapat menyelesaikan pendidikan. Ucapan terima kasih dari hati yang tulus atas segala pengorbanan jiwa raga yang tiada bandingnya, semoga Allah SWT membalas kebaikan yang telah diberikan dengan sebaik-sebaik balasan. Aamiin.

Terima kasih kepada suamiku tercinta Dicky Kurnia dan sahabat-sahabat seperjuangan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Hendri Nauli Rambe, Roy, Izal, Iqbal serta teman-temanku tercinta yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi teknik penulisan maupun dari segi pembahasannya, karena itu kritik dan saran dari berbagai pihak yang membangun sangat diharapkan untuk kesempurnaan pada masa yang akan datang. Semoga tesis ini bermanfaat bagi dunia pendidikan dan masyarakat luas serta mendapat keberkahan dan ridho dari Allah SWT. Dan semoga Allah membalas kebaikan yang diberikan. Aamiin Ya Rabbal ‘Aalamiin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Medan, Februari 2016 Penulis

ANJANI SIPAHUTAR

(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. Data Pribadi

Nama : Anjani Sipahutar

Tempat/tanggal Lahir : Medan, 14 Agustus 1987 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status : Menikah

Nama Suami : Dicky Kurnia

Alamat : Jln. Pintu Air, Gg. Keluarga No. 33B Medan

2. Keluarga Nama Orangtua

Ayah : Ir. Kamal Sipahutar

Ibu : Almh. Arni

3. Pendidikan

a. SD Negeri Nomor 36 Jambi Lulus Tahun 1999

b. SMP Negeri 5 Jambi Lulus Tahun 2002

c. SMA Negeri 2 Medan Lulus Tahun 2005

d. Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas

Islam Sumatera Utara Lulus Tahun 2009

e. Strata Dua (S2) Program Studi Magister

Ilmu Hukum USU Lulus Tahun 2013

(12)

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan...iii

Pernyataan...v

Abstrak...vi

Abstract...vii

Kata Pengantar...viii

Daftar Riwayat Hidup...xi

Daftar Isi...xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1

B. Perumusan Masalah...18

C. Tujuan Penelitian...18

D. Manfaat Penelitian...19

E. Keaslian Penelitian...19

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi...20

1. Kerangka Teori...20

2. Kerangka Konsepsi...31

G. Metode Penelitian...34

1. Jenis Dan Sifat Penelitian...34

2. Sumber Data...35

3. Teknik Pengumpulan Data...36

4. Analisis Data...36

BAB II TANGGUNG JAWAB ORANG TUA YANG TELAH BERCERAI TERHADAP NAFKAH ANAK BAGI WARGA NEGARA INDONESIA YANG BERAGAMA ISLAM A. Tanggung Jawab Orangtua Terhadap Anak Dalam Hukum Islam...39

1. Pengertian Tanggung Jawab...39

2. Pengaturan Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak...42

(13)

a. Al-Qur'an dan Hadist...42 b. Undang - Undang No. l Tahun 1974………...48 c. Kompilasi Hukum Islam (KHI)...52 B. Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak Pasca Perceraian

Menurut Hukum Islam...56

1. Alasan-alasan terjadinya

perceraian...56 2. Harta

Bersama...62

3. Akibat Terhadap

Anak...65

BAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PENYIMPANGAN TERHADAP PUTUSAN HAKIM YANG MEWAJIBKAN AYAH MEMBERIKAN NAFKAH ANAK PASCA PUTUSAN PERCERAIAN

A. Hak-Hak Anak Setelah Perceraian...68 1. Hak Hadhanah (Pemeliharaan Anak)...68

a. Pengertian

Hadhanah...68

b. Orang Yang Melaksanakan

Hadhanah...71

c. Cara Melakukan

Hadhanah...73 d. Berakhirnya

Hadhanah...78

2. Hak Nafkah...80 3. Nafkah Setelah Perceraian...82 B. Penyimpangan Terhadap Putusan Hakim yang Mewajibkan

Orang Tua Laki-Laki (Ayah) Terhadap Nafkah Anak

Pasca Putusan Perceraian...87

(14)

1. Rendahnya Tingkat Perekonomian...87 2. Adanya Indikasi Orang Tua Menikah Lagi...89 3. Dampak Psikologi...90 4. Orang Tua Perempuan Tidak Mampu Untuk

Memberikan Biaya Nafkah Anak...92

BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PECERAIAN PADA PENGADILAN AGAMA MEDAN

A. Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Undang-Undang...94 B. Hukum In Konkrito Dalam Putusan Pengadilan Agama

Terhadap Sengketa Perceraian...99 1. Putusan Pengadilan Agama Medan Dengan Register

Nomor : 191/Pdt.G/2012/PA.Mdn...100 2. Putusan Pengadilan Agama Medan Dengan Register

Nomor : 206/Pdt.G/2012/PA.Mdn...102 3. Putusan Pengadilan Agama Medan Dengan Register

Nomor : 207/Pdt.G/2012/PA.Mdn...103 4. Putusan Pengadilan Agama Medan Dengan Register

Nomor : 220/Pdt.G/2012/PA.Mdn...105 5. Putusan Pengadilan Agama Medan Dengan Register

Nomor : 230/PdtG/2012/PA.Mdn...107 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan...110 B. Saran...111 DAFTAR PUSTAKA...112

(15)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan No.l Tahun 1974 (UUP No.l Tahun 1974), menjelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Didalam penjelasan ditegaskan lebih rinci bahwa sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lain/jasmani, tetapi unsur bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting.

Selanjutnya R. Sardjono mengatakan, bahwa "ikatan lahir" berarti bahwa para pihak yang bersangkutan karena perkawinan itu secara formil merupakan suami-istri baik bagi dalam hubungannya satu sama lain maupun bagi suami-istri dalam hubungannya dengan masyarakat luas. Pengertian ikatan bathin dalam perkawinan berarti bahwa bathin suami-istri yang bersangkutan terkandung niat yang sungguh- sungguh untuk hidup bersama sebagai suami istri dengan tujuan membentuk dan membina keluarga bahagia dan kekal.1

1 R. Sardjono, Berbagai-bagai Masalah hukum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan. (Paper). Di edarkan dikalangan mahasiswa Fakultas Hukum dan Pengetahuan Kemasyarakatan Universitas Trisakti Jakarta, hal. 6

(16)

Maksud dilaksanakannya perkawinan adalah untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna yang merupakan jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan anak-anak yang akan dilahirkan sebagai satu pertalian yang amat teguh guna memperkokoh pertalian persaudaraan antara kaum kerabat suami dengan kaum kerabat istri yang pertalian itu akan menjadi suatu jalan yang membawa kepada saling menolong antara satu kaum dengan yang lain, dan akhirnya rumah tangga tersebut menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak perdataan biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah2. Oleh karena itu, suami istri dalam suatu perkawinan mempunyai pertanggungjawaban secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa di samping mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik suami dan istri serta anak-anak yang lahir dalam perkawinan. Dalam Al-Qur'an Surat Ar-Rum ayat 21 allah berfirman:

"Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir ".

Ayat tersebut mengungkapkan tujuan dasar setiap pembentukan rumah tangga, yaitu disamping untuk mendapat keturunan yang saleh, adalah untuk dapat hidup tentram, adanya suasana sakinah yang disertai rasa kasih sayang. Ikatan

2 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 1998, hal.

69

(17)

pertama pembentukan rumah tangga telah dipatri oleh ijab kabul yang dilakukan waktu akad nikah. Kalimat ijab kabul sangat mudah untuk diucapkan oleh calon suami dan wall calon istri. Ijab kabul seperti ini oleh Rasulullah disebut sebagai Khafifatani fi al-Lisan Saqilatani fi al-Mizan (ringan untuk diciptakan oleh lidah, tetapi berat pada timbangan). Artinya, bahwa ucapan ijab dan kabul sungguh gampang diucapkan, namun berat dalam pelaksanaanya, karena memerlukan perhatian yang serius dan terus-menerus.3

Sesuai UUP No.l Tahun 1974 adanya mengatur hak dan kewajiban antara orang tua dan anak yang menyangkut beberapa hal diantaranya; Pertama mengatur tentang kewajiban pemeliharaan dan pendidikan, bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) UUP No.l Tahun 1974 ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Khusus di dalam masalah hak dan kewajiban antara orang tua dan anak yang diatur di dalam UUP No.l Tahun 1974 mendapat perhatian dari Hazairin dalam tinjauannya tentang hal tersebut istilah belum dewasa dijumpai dalam Pasal 46 ayat (2) dan Pasal 49 ayat (1). Menurut Pasal 45 kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya berlaku sampai anak-anak itu menikah atau dapat berdiri sendiri. Sebaliknya menurut Pasal 46, maka jika anak telah "dewasa" wajib

3 Satria Effendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Mam Kontemporer, (Jakarta:

Kencana), 2004, hal. 96

(18)

memelihara menurut kekuatannya orang tuannya apabila mereka memerlukan bantuannya.4

Kehidupan masyarakat Indonesia, hubungan hukum antara orang tua dengan anak terlihat secara jelas dalam "alimentatieplicht" yaitu suatu kewajiban orang tua terhadap anak untuk memberikan penghidupannya sampai anak memiliki kemampuan untuk mencari nafkah sendiri, misalnya sudah bekerja, bahkan adakalanya anak di biayai oleh orang tuanya walaupun sudah berumah tangga misalnya untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi. Hal ini tergantung kepada kondisi orang tua masing-masing anak. Sebaliknya, adakalanya seorang anak sudah dibebani kewajiban untuk mencari nafkah hidupnya sejak tamat Sekolah Dasar (SD) dan bahkan membantu orang tuanya untuk mengurangi beban kehidupan mereka.

Secara normatif, orang tua memiliki kewajiban hukum sebagai perwujudan tanggung jawab terhadap anaknya untuk membiayai kehidupan sandang, pangan, dan pendidikan selama anak-anak tersebut masih belum dewasa. Kewajiban normatif tersebut bersifat hukum memaksa (dwingendrechf) yaitu tidak boleh kewajiban orang tua terhadap anaknya dilepaskan dengan membuat perjanjian untuk itu.5

4 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT. Melton Putra, 1991), Cetakan Pertama, hal. 188-189

5 Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Hukum Orang dan Keluarga, (Medan : USU Press, 2011), hal. 64

(19)

UUP No.l Tahun 1974 telah meletakkan kewajiban orang tua terhadap anak adalah :6

1. Kedua orang tua wajib memelihara anak;

2. Kedua orang tua wajib mendidik anak;

3. Kedua orang tua wajib memberi nafkah;

4. Kedua orang tua wajib menyediakan tempat tinggal;

5. Kedua orang tua mewakili kepentingan hukum anak sampai anak tersebut dewasa.

Kewajiban orang tua tersebut akan berakhir jika anak tersebut berumah tangga, atau anak sudah hidup mandiri.

Sebagai suatu aspek agama, perkawinan merupakan sesuatu yang suci, sesuatu yang dianggap luhur untuk dilakukan oleh karena itu, kalau seorang hendak melangsungkan perkawinan dengan tujuan yang sifatnya sementara saja sebagai tindakan permainan, agama Islam tidak memperkenankannya karena itu pula perkawinan mut'ah yang sifat nya sementara hanya untuk bersenang senang selama waktu tertentu saja, seperti yang terdapat dalam masyarakat Arab Jahilliyah dahulu dan beberapa waktu setelah Islam, dilarang oleh Nabi Muhammad SAW.7

Tujuan perkawinan menurat Pasal 1 UUP No.l Tahun 1974 adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Meskipun demikian tidak setiap perkawinan akan mencapai tujuan yang baik. Kekekalan dan kebahagiaan yang diinginkan kadang kala tidak berlangsung lama dalam arti perkawinan tersebut tidak berujung pada kebahagiaan

6 Ibid.

7 Muhammad Baud Ali, Hukum Islam : Pengantar ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia cetakan sebelas, ( Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada 2004 ) hal.140.

(20)

dan tidak menutup kemungkinan akan terjadinya perceraian walaupun semua calon suami istri tersebut telah penuh kehati-hatian dalam menjatuhkan pilihannya.

Penelitian ini penting dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui akibat putusnya perkawinan karena perceraian sebagaimana tujuan dari suatu perkawinan yang telah disebutkan diatas. Prinsip perkawinan sendiri adalah untuk membentuk suatu keluarga yang tentram damai dan kekal untuk selamanya namun perjalanan kehidupan tidak selalu sesuai dengan keinginan manusia. Perceraian merupakan realitas yang tidak dapat dihindari apabila kedua belah pihak telah mencoba untuk mencari penyelesaian dengan cara damai yakni dengan jalan musyawarah, suami-istri dalam ajaran Islam tidak boleh terlalu cepat mengambil kepetusan bercerai, karena benang kusut itu sangat mungkin disusun kembali. Walaupun dalam ajaran Islam ada jalan penyelesaian terakhir yaitu perceraian, namun perceraian adalah suatu hal yang meskipun boleh dilakukan tetapi dibenci oleh Nabi. Untuk mencapai perdamaian antara suami-istri bilamana tidak dapat diselesaikan oleh mereka, maka Islam mengajarkan agar diselesaikan melalui hakam, yaitu dengan mengutus satu orang yang dipercaya dari pihak laki-laki dan satu orang dari pihak perempuan guna berunding sejauh mungkin untuk didamaikan.8

Dalam Al-Qur'an Surah An-Nisa ayat 35 Allah berfirman:

"Dan jika kamu khawatir akan ada persengketaan antara keduanya (suami- istri), maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan (perdamaian), niscaya Allah akan memberi tauflk

8 Satria Effendi M.Zein, Op.Cit. hal.97

(21)

kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenar.

Apabila masih belum terdapat kesepakatan dan merasa tidak dapat melanjutkan keutuhan keluarga maka barulah kedua belah pihak dapat membawa permasalahan ini ke pengadilan untuk dicari jalan keluar yang terbaik.

Pengadilan merupakan upaya terakhir untuk mempersatukan kembali suami dan istri yang berniat bercerai, dengan jalan membuka lagi pintu perdamaian dengan cara musyawarah memakai penengah yakni hakim, untuk orang yang beragama Islam akan membawa permasalahan ini kepada pengadilan agama sementara untuk agama lainnya merujuk kepada Pengadilan Negeri sesuai tempat tinggal masing-masing.

Pengadilan agama9 merupakan salah satu wujud dari kekuasaan kehakiman.

Sebagai sebuah lembaga peradilan yang untuk (dapat mengeksekusi putusannya sendiri) ,10 pengadilan agama menyelanggarakan penegakan hukum dan keadilan dalam perkara tertentu bagi orang yang beragama Islam berdasarkan hukum Islam.

Pengadilan Agama di Indonesia, khususnya Sumatera Utara salah satu tugas dan kewenangannya11 adalah menangani masalah perkawinan yaitu perceraian. Diantara beberapa masalah yang menyangkut hubungan antara manusia atau dalam perspektif agama Islam terkenal dengan istilah muamalat duniawi, masalah perkawinan

9 Dasar Hukum Pengadilan Agama adalah UU No.7 Tahun 1989 jo UU No.3 Tahun 2006 jo UU No.50 Tahun 2009

10 A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama ( Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2003 ) hal. 8

11 Lihat Pasal 49 ayat (1)UU No.7 Tahun 1989 yang berbunyi tugas dan wewenang Pengadilan Agama : Memeriksa, Memutus, dan Menyelesaikan perkara-perkara orang-orang yang beragama islam dibidang : a. perkawinan, b. Kewarisan, Wasiat, dan Hibah yang dilakukan Berdasarkan Hukum Islam, c. Wakaf dan Shadaqah

(22)

(munakahaf) dengan segala persoalan yang berada disekitarnya mendapatkan perhatiannya yang istimewa12 .

Perceraian dalam Islam merupakan sebuah tindakan hukum yang dibenarkan oleh agama dalam keadaan darurat, sebagaimana sabda Rasullullah SAW bahwa perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah Thalaq13. Dalam kalimat lain disebutkan :"Tidak ada sesuatu yang dihalalkan Allah, tetapi dibencinya selain daripada Thalaq" (HR. Abu Dawud ra)14.

Mengenai perceraian yang terjadi di kehidupan masyarakat, merupakan momok yang ditakuti karena dampaknya bukan saja bagi suami istri melainkan lebih luas kepada anak - anak dan keluarga kedua belah pihak. Walaupun agama melarang dan dampaknya tidak baik dalam lingkungan keluarga atau social tetapi dalam praktik perkawinan selalu saja terjadi perceraian yang seolah-olah sulit untuk dihindarkan.

Hal ini dapat dilihat dari berita-berita media masa dan semakin banyaknya perkara perceraian yang diselesaikan oleh pengadilan.15

Pada Pasal 413 Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) menyebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena 3 (tiga) hal, yaitu : pertama, kematian, kedua, perceraian, ketiga, putusnya pengadilan. Apabila perkawinan berakhir karena kematian atau perceraian, maka akibat-akibat hukumnya berdampak kepada anak- anak yang di tinggalkan, ataupun terhadap pasangan suami istri yang bersangkutan.

12 Mustafa Kamal dkk, Fikih Mam, (Yogyakarta, Citra Karsa Mandiri, 2002), hal. 243

13 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 8( Bandung : Alma Arif, 1997), hal. 12

14 Ibid, hal. 13

15 Tan Kamello dan Syarifah lisa Andriati, Op.Cit hal. 79-80

(23)

Berdasarkan Pasal 39 UUP No.l Tahun 1974, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian juga harus dengan cukup alasan bahwa sudah tidak terdapat lagi kecocokan dan persamaan tujuan dalam membina rumah tangga, artinya sudah tidak dapat hidup rukun kembali sebagai sepasang suami istri.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Pengadilan Agama Medan ada sebanyak 535 perkara yang diterima dalam perkara perceraian melalui cerai talak dan diputus sebanyak 495, sedangkan melalui cerai gugat ada 1379 perkara yang diterima dan diputus sebanyak 1315 selama Tahun 2012. Dalam hal ini dapat diuraikan melalui table dibawah ini16:

Tabel 1.

Perkara Gugatan Perceraian yang Diterima dan Diputus di Pengadilan Agama Medan Tahun2012

Cerai Talak Cerai Gugat

NO Bulan Diterima Diputus NO Bulan Diterima Diputus

1 Januari 56 32 1 Januari 129 89

2 Februari 53 41 2 Februari 131 114

3 Maret 45 51 3 Maret 102 114

4 April 41 38 4 April 118 108

5 Mei 38 46 5 Mei 131 127

16 Sumber data diperoleh dari Pengadilan Agama Medan pada tahun 2012

(24)

6 Juni 47 33 6 Juni 115 122

7 Mi 36 53 7 Juli 94 111

8 Agustus 39 22 8 Agustus 67 82

9 September 45 36 9 September 137 77

10 Oktober 43 53 10 Oktober 137 144

11 Nopember 55 53 11 Nopember 109 113

12 Desember 37 37 12 Desember 109 114

Jumlah 535 495 Jumlah 1.379 1.315

Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa tingkat perceraian di Pengadilan Agama Medan pada Tahun 2012 cukup tinggi dibandingkan pada tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2011 tercatat hanya ada 435 perkara yang diterima sedangkan yang diputus sebanyak 424 perkara perceraian yang terjadi melalui cerai talak dan sebanyak 1.218 perkara yang diterima dan perkara yang di putus sebanyak 1.193 melalui cerai gugat17.

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian, maka Pasal 41 UUP No.l Tahun 1974 menyebutkan bahwa:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak pengadilan memberi keputusannya.

17 Sumber data diperoleh dari Pengadilan Agama Medan pada tahun 2011

(25)

b. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, dan bila ternyata dalam kenyataannya bapak tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul kewajiban tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan / atau menentukan suatukewajiban bagi bekas istri.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai hukum materiil bagi lingkungan Peradilan Agama maupun Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989, belum memberikan jawaban secara limitatif terhadap beberapa permasalahan hukum dalam menetapkan pemeliharaan anak ketika kedua orang tuanya bercerai.

Dalam KHI setidaknya ada 2 (dua) Pasal yang menentukan pemeliharaan anak yaitu Pasal 105 dan 156. Pasal 105 KHI, menentukan tentang pengasuhan anak pada 2(dua) keadaan.

1. Ketika anak masih dalam keadaan belum mumayyiz (kurang dari 12 tahun) pemeliharaan anak ditetapkan kepada ibunya.

2. Ketika anak tersebut mumayyiz (usia 12 tahun ke atas) dapat diberikan hak kepada anak untuk memilih dipelihara oleh ayah atau ibunya.

(26)

Adapun Pasal 156 KHI, mengatur tentang pemeliharaan anak ketika ibu kandungnya meninggal dunia dengan memberikan urutan yang berhak memelihara anak, antara lain18:

1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:

a. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu, b. ayah,

c. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah d. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan,

e. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

2. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.

3. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menj amin keselamatan j asmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.

4. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).

5. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan naflcah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), dan (d).

6. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan danpendidikan anak-anak, yang tidak turut padanya.

Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 50 Tahun 2009 tidak memberikan perubahan yang berarti mengenai penyelesaian permasalahan pemeliharaan anak.

Nampaknya permasalahan pemeliharaan anak seperti sangat sederhana dan akan cukup diselesaikan dengan Pasal 105 dan Pasal 156 KHI, akan tetapi pada

18 Lihat, Pasal 156 Undang-Undang No.l Tahun 1991 tentang Tentang Kompilasi Hukum Islam.

(27)

kenyataannya timbul berbagai macam permasalahan diluar jangkauan pasal-pasal tersebut.

Ketentuan yang terdapat pada Pasal 49 UUP No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan menerangkan tentang adanya kemungkinan orang tua (ayah dan ibu) atau salah satunya dicabut kekuasaannya untuk waktu tertentu dengan alasan suami sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya atau suami berkelakuan buruk sekali.

Kemudian ketika mengajukan permohonan perceraian, para pihak dapat mengajukan permohonan putusan pembagian harta dan pemeliharaan anak bersama dengan permohonan cerai, atau setelah ikrar Thalaq diucapkan (Pasal 66 ayat 5 Undang - Undang Peradilan Agama No.7 tahun 1989)19. Terhadap permohonan ini Majelis Hakim akan membuka sidang untuk memeriksa permohonan tersebut layak dikabulkan atau tidak. Prosedur Pengajuan Permohonan atau Gugatan di Pengadilan Agama adalah sebagai berikut:

1. Pengajuan perkara di Kepaniteraan 2. Pembayaran panjar biaya perkara 3. Pendaftaran perkara

4. Penetapan Majelis Hakim 5. Penunjukkan Panitera sidang 6. Penetapan hari sidang

7. Pemanggilan para pihak

19 A. Mukti Arto, Op.Cit, hal.57

(28)

Permohonan yang berkaitan dengan biaya pemeliharaan anak yang dibebankan kepada ayah, Majelis Hakim akan mengabulkan permohonan tersebut baik sebagian atau seluruhnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan nilai keadilan yang berkembang di dalam masyarakat.

Mengenai pertanggungjawaban ayah terhadap biaya pemeliharaan anak tidak dapat dilepaskan dari kebijakan Legislatif dan Eksekutif yang tertuang dalam UUP No.l Tahun 1974 maupun KHI kedua peraturan tersebut telah mencantumkan beberapa ketentuan tentang kewajiban orangtua (khususnya anak) terhadap anak- anaknya. Pasal 45 UUPNo.l Tahun 1974 menyatakan bahwa orangtua wajib memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, dan kewajiban ini akan terus berlaku meskipun perkawinan kedua orangtuanya putus.

Selanjutnya seorang ibu maupun ayah mempunyai hak yang sama untuk mengasuh dan mendidik anaknya. Sebagaimana yang dikemukakan dalam Hukum Islam bahwa yang bertanggung jawab berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak adalah bapak, sedangkan ibu hanya bersifat membantu dimana ibu hanya berkewajiban menyusui dan merawatnya. Seorang ayah bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak dan bilamana dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu juga ikut memikul biaya tersebut.

Sesuai dasarnya Hadhanah (pemeliharaan anak) terhadap anak yang belum mumayyiz ( anak yang belum berusia 12 Tahun ) adalah hak ibunya sesuai dengan

(29)

bunyi Pasal 105 ayat (1) KHI, kecuali apabila terbukti bahwa ibu telah murtad dan memeluk agama selain agama Islam, maka gugurlah hak ibu untuk memelihara anak tersebut. Hal ini sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor : 210 IK/AG/1996 yang mengandung abstraksi hukum bahwa agama merupakan syarat untuk menentukan gugur tidaknya hak seorang ibu atas pemeliharaan dan pengasuhan (hadhanah) terhadap anaknya yang belum mumayyiz20 . Sehingga pengasuh anak tersebut ditetapkan kepada ayah dengan pertimbangan untuk mempertahankan akidah si anak.

Bagi orang tua yang diberi hak untuk memelihara anak, hams memelihara anak dengan sebaik-baiknya21. Pemeliharaan anak bukan hanya meliputi member!

nafkah lahir saja, tetapi juga meliputi nafkah bathin seperti pendidikan formal dan pendidikan informal. Dalam hal mi siapapun yang melakukan pemeliharaan anak, menurut Pasal 41 UUP No.l Tahun 1974 ayah tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan dan nafkah anak sampai anak berumur 21 ( dua puluh satu ) tahun.

Mengenai pemeliharaan anak Kompilasi Hukum Islam memberikan pengaturan sebagaimana yang terdapat dalam BAB XIV Pasal 98 yaitu :

a) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 ( dua puluh satu) tahun; sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

20 "Badilag", artikel, di dalam http : //www.badilag.net/data/artikel/varia.pdf, diakses tanggal 20 Februari 2013

21 "Kamus Bahasa Indonesia", di dalamwww.kamusbahasaindonesiaonline.org. Pengertian Pemeliharaan adalah cara, prose, perbuatan memelihara, penjagaan dan perawatan. Pengertian asuh adalah menjaga, merawat dan mendidik anak kecil, diakses tanggal 20 februari 2013.

(30)

b) Orangtuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan.

Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orangtuanya tidak mampu, Oleh karena itu bila terjadi kealpaan ataupun kelalaian oleh orang tuanya dengan sengaja atau tidak melakukan tanggung jawabnya sebagai orang tua maka dia dapatlah dituntut dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan22. Bagi salah satu orang tua yang melalaikan kewajibannya tersebut menurut Pasal 49 UUP No.l Tahun 1974 dapat dicabut kekuasaannya atas permintaan orang tua yang lain. Sebagai contoh, upaya hukum akan dilakukan seorang ibu sebagai cara untuk memperoleh keadilan dan perlindungan/kepastian hukum agar anak mendapatkan hak yang telah dilalaikan ayahnya. Upaya hukum adalah suatu usaha bagi setiap pribadi atau badan hukum yang merasa dirugikan haknya atau atas kepentingannya untuk memperoleh keadilan dan perlindungan kepastian hukum, menurut cara-cara yang ditetapkan dalam undang-undang.

Apabila tergugat ataupun termohon tidak mau menjalankan isi putusan tersebut dengan sukarela maka dapat diajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Agama. Untuk dapat mencegah terjadinya hambatan eksekusi dilapangan, maka para pihak dalam hal mi Ketua Pengadilan Agama dan saksi di tempat eksekusi tetap mempertahankan pendekatan persuasif kepada pihak tergugat atau tereksekusi agar berarahkan damai.

22 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, ( Bandung : CV Mandar Maju, ] 990), hal. 14

(31)

Satu persoalan yang akan menjadi kajian dalam penelitian ini adalah benar terjadi perceraian yang telah berkekuatan hukum tetap, akan tetapi terjadi suatu penyimpangan bahwa suami tidak melaksanakan putusan pengadilan tersebut dalam hal biaya pemeliharaan dan menafkahi anaknya. Dalam hal ini terlihat secara signifikan mengenai kurangnya pertanggung jawaban orang tua terhadap anaknya pasca putusan perceraian yang terjadi diantara keduanya. Berdasarkan dari berbagai gugatan yang pernah terjadi tentang nafkah dan pemeliharaan anak di Pengadilan Agama Medan melalui Putusan perkara No.l91/Pdt.G/2012/PA Mdn, dan juga berdasarkan putusan No.206/Pdt.G/2012/PA Mdn, juga terhadap putusan No.

207/Pdt.G/2012/PA Mdn, dan putusan No.220/Pdt.G/2012/PA Mdn, serta putusan No.230/Pdt.G/2012/ Mdn. Beberapa Nomor perkara diatas merupakan bukti bahwa banyaknya perceraian yang mengakibatkan hak anak sebagai tanggung jawab orang tua lalai terhadap nafkah anaknya kemudian beberapa perkara yang disebutkan diatas sebagai putusan Pengadilan Agama Medan merupakan suatu missal atau contoh dari beberapa perkara perceraian yang mengakibatkan tanggung jawab orang tua laki-laki (ayah) untuk menafkahi anak pasca putusan perceraian.

Berdasarkan pada uraian di atas, penelitian ini penting untuk dikaji dan membahas masalah yang akan diteliti dengan judul "Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang beragama Islam ".

(32)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan masalah- masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana tanggung jawab orang tua yang telah bercerai terhadap nafkah anak bagi WNI yang beragama Islam ?

2. Mengapa ada penyimpangan terhadap putusan Hakim yang mewajibkan orang tua laki-laki (ayah) terhadap nafkah anak pasca putusan perceraian ?

3. Apakah hukum in konkrito yang terdapat dalam putusan pengadilan agama sudah sesuai dengan norma hukum yang diatur dalam Undang-Undang ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan tersebut, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis tanggung jawab orang tua terhadap nafkah anak bagi WNI yang beragama Islam.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis adanya penyimpangan terhadap putusan Hakim yang mewajibkan orang tua laki-laki (ayah) terhadap nafkah anak pasca putusan perceraian.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis hukum in konkrito yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Agama apakah sudah sesuai dengan norma hukum yang diatur dalam Undang-Undang.

(33)

D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi hukum bagi para akademis bidang hukum, khususnya tanggung jawab orang tua terhadap nafkah anak setelah perceraian. Selain itu, diharapkan dapat menjadi bahan menambah wawasan ilmu hukum bidang perdata bagi masyarakat umum.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi para praktisi peradilan yang terlibat langsung dalam proses pelaksanaannya, yaitu para hakim peradilan agama khususnya di kota Medan. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontsribusi, referensi atau bahkan bacaan tambahan bagi mahasiswa Fakultas Hukum di masyarakat luas.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan kepustakaan sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul "Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia (WNI) Yang Beragama Islam". Belum pernah dilakukan baik judul maupun permasalahan yang sama pada program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara akan tetapi pernah dilakukan penelitian pada Magister Kenoktariatan Universitas sumatera Utara dengan judul:

(34)

1. Nama Mahasiswi Tessy, Nim : 097011100, judul Tesis : Tanggung jawab hukum suami atau istri dalam perceraian terhadap anak (Studi kasus putusan Nomor 209/Pdt.G/2007/PN.Mdn. Dengan permasalahan sebagai berikut:

1) Apa yang merupakan dasar pertimbangan hukum hakim dalam menentukan tanggung jawab pengasuhan anak setelah perceraian ?

2) Bagaimana akibat hukum dari tidak terlaksananya hak dan kewajiban terhadap anaknya setelah perceraian kedua orang tuanya ?

3) Bagaimana upaya yang dapat dilakukan oleh suami atau istri apabila salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya terhadap anak sesuai putusan pengadilan ?

2. Nama Mahasiswi Ernawati Sitorus, judul Tesis : Perlindungan hukum terhadap anak di bawah umur akibat putusnya perkawinan karena perceraian (Studi pada masyarakat Batak Toba Kristen di Medan).

3. Nama Mahasiswa Junjungan Moses, judul Tesis : Perceraian dan akibat hukumnya pada masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen Protestan (Studi di desa Martoba ( biustolping ) kecamatan Simanindo kabupaten Samosir).

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah bagian penting dalam penelitian, artinya teori hukum harus dijadikan dasar dalam memberikan preskripsi atau penilaian apa yang seharusnya memuat hukum. Selain teori juga bisa digunakan untuk menjelaskan fakta

(35)

dan peristiwa hukum yang terjadi. Kaelan M.S. mengatakan landasan teori pada suatu penelitian adalah bersifat strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian23. Kerangka teoretis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan sebagai berikut :24

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;

b. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan defenisi-defenisi;

c. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.

Teori ini sendiri adalah serangkaian proposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefinisikan dan saling berhubungan antar variabel sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh suatu variabel dengan variabel lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variabel25.

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk mensistematiskan penemuan- penemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan

23Kaelan M.S, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma Bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni), (Yogyakarta : Paradigma, 2005), hal. 239

24 Soerjono Soekamto,Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia), hal.

121

25 Maria S.W Sumardjono, Pembuatan Usulan Penelitian, (Yogyakarta : PT. Gramedia, 1989), hal. 19

(36)

menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya, teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan dengan benar .26

Hal ini sesuai dengan pendapat Peter M. Marzuki yang menyatakan bahwa penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori, ataupun konsep baru sebagai persepsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi27.

Teori hukum yang digunakan dalam menjawab penelitian ini sebagai pisau analisis adalah teori liability atau teori pertanggungjawaban dan sebagai teori pendukung adalah teori Maqashid Al-Syari'ah, teori keadilan, serta teori perlindungan hukum dalam penelitian ini. Sehingga nantinya dapat memberikan pedoman pembahasan pada uraian berikutnya.

Teori pertangungjawaban ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus hukum yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang luas yang merujuk hampir semua karakter resiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya, atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan Undang- Undang. Dalam pengertian Praktis istilah liability menunjukan pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan OS oleh subyek hukum.28

26 M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : CV. Mandar Maju, 1994 ), hal .80

27 Peter M.Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2005 ) hal. 35

(37)

Menurut teori ini tanggung jawab orang tua setelah bercerai terhadap nafkah anak , yang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 41 huruf (b) UUP No.l Tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa:

"Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, dan bila ternyata dalam kenyataanya bapak tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul kewajiban tersebut."29

Adapun yang dimaksud dengan tanggung jawab pendidikan adalah kewajiban orang tua untuk memberikan pendidikan dan pengajaran yang memungkinkan anak tersebut menjadi manusia yang mempunyai kemampuan dan dedikasi hidup yang dibekali dengan kemampuan dan kecakapan sesuai dengan pembawaan bakat anak tersebut yang akan dikembangkan di tengah-tengah masyarakat Indonesia sebagai landasan hidup dan penghidupannya setelah anak tersebut lepas dari tanggung jawab orang tuanya.30

Selanjutnya M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasa Hukum Perkawinan Nasional, mengemukakan bahwa arti pemeliharaan anak adalah :31

a. Tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup dari anak oleh orang tua.

28 Ridwan H.R, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006), hal.335-337

29 Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

30 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan : Zahir Trading, 1975), hal.205- 206.

31 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan : CV. Zahir Trading CO, 1975), hal. 204

(38)

b. Tanggung jawab yang berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah tersebut bersifat continuous (terus menerus) sampai anak itu mencapai batas umur yang legal sebagai orang dewasa yang telah bisa berdiri sendiri.

Beranjak dari ayat-ayat Al-Qur'an seperti yang terdapat didalam Surat Luqman 12-19, setidaknya ada delapan nilai-nilai pendidikan yang harus di ajarkan orang tua kepada anaknya seperti berikut:

1. Agar senantiasa mensyukuri nikmat Allah SWT 2. Tidak mensyarikatkan Allah dengan sesuatu yang lain

3. Berbuat baik kepada orang tua, sebagai bukti kesyukuran anak 4. Mempergauli orang tua secara baik-baik (ma 'ruf)

5. Setiap perbuatan betapapun kecilnya akan mendapatkan balasan dari Allah

6. Menaati perintah Allah SWT, seperti sholat, amar ma'ruf dan. nahi munkar , serta sabar dalam menghadapi berbagai cobaan

7. Tidak sombong dan angkuh

8. Sederhana dalam bersikap dan bertutur kata.32

Menurut teori maqasyid al-syari'ah sebagai pendukung teori pertanggungjawaban, teori maqasid al-syari'ah terdiri dari kata, maqasyid yang TO merupakan bentuk jamak dari kata maqashad yang berarti tujuan 33, dan kata al- syari'ah yang sering dipahami dalam arti hukum islam. Jadi istilah Maqasyid al- syari'ah berarti tujuan-tujuan syari'at.34

Dalam ilmu ushul fiqih, bahasan maqashid al-syari'ah bertujuan untuk mengetahui tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh perumusnya dalam

32 Ahmad Rofiq, Op.cit, hal.240-244

33 Al-Fayumi, Al-Mishbah al-Munirr, (Kairo : Muassasah al-Mukhtar, 2008), hal. 374

34 Al-Ghazali, Al-Mushtashfa, (Beirut: Daar Ihya Jurats al-Arabi, 1997), jilid 2, hal 481

(39)

mensyari'atkan hukum. Tujuan hukum ini merupakan salah satu faktor penting dalam menetapkan hukum Islam yang ditetapkan melalui ijtihad. 35

Maqashid al-Syari'ah di kalangan ulania ushulfiqh disebut juga dengan asrar al-Syari'ah36, yaitu rahasia-rahasia yang terdapat di balik suatu hukum yang ditetapkan oleh syarak, berupa kemashlahatan bagi umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Sebagai contoh, syarak mewajibkan berbagai macam ibadah dengan tujuan untuk menegakkan agama Allah S.W.T di syari'atkan hukuman zina bagi untuk memelihara kehormatan dan keturunan, disyari'atkan hukuman meminum minuman keras untuk memelihara akal, dan disyari'atkan hukuman Qishash untuk memelihara jiwa seseorang.

Imam asy-Syatibi, ahli Ushul Fiqh mazhab Maliki, menyatakan bahwa untuk mewujudkan kemashlahatan dunia dan akhirat, ada lima pokok yang harus diwujudkan dan dipelihara. Dengan mewujudkan dan memelihara kelima pokok tersebut, seorang mukallaf akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Berdasarkan hasil induksi ulama Ushul Fiqh terhadap berbagai nash, kelima masalah pokok itu ialah : agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.37

Prinsip yang lima ini pertama kali diperkenalkan oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya "al-Mustashfafi Ushul al-Fiqh", namun kemudian diterima oleh para ulama setelahnya dan disepakati sampai hampir menjadi ijmak. Kelima masalah pokok ini

35 Al-Youbi, Maqashid al-syari 'ah w alaqatuha bi al-Syar 'iyyah, (Riyadh : Daar Ibn al-Jauzi, 2008), hal.44

36 Ar-Raysuni, Nadzariyyah al-Maqashid, (Herdon : HIT, 2000), hal.10

37 Wahba Zuhaily, Nadzhariyyat ad-Dharurah, (Damaskus : Daar al-Fikr, 2003), hal.51

(40)

biasa disebut dengan 'al-Kulliyat al-Khamsah'.38 Dari kelima al-Kulliyat al-Khamsah sebagai prinsip pokok dalam hukum Islam yang dipakai dalam penelitian ini adalah memelihara jiwa dan memelihara keturunan.

Kemudian dalam memelihara jiwa, usaha yang dilakukan dapat dipandang dari sisi pengadaan (al-wujud), dalam pemeliharaan jiwa Islam menetapkan tanggung jawab masing-masing individu sesuai dengan keadaan dan fase kehidupannya. Islam menetapkan tangung jawab orang tua terhadap anak, tangung jawab kepala keluarga memberi nafkah kepada istri dan anak-anak, tanggung jawab ibu menyusui anak sanipai usia dua tahun, dan lain sebagainya.39 Menurut teori ini hukum bertujuan walaupun orang tua telah bercerai maka kedua orang tua tetap bertangung jawab terhadap anak nya sampai anak itu dapat berdiri sendiri sesuai dengan Pasal 45 UUP No.l Tahun 1974.

Sehubungan dengan hal pemeliharaan keturunan sebagai prinsip pokok dalam hukum Islam, mendapat keturunan merupakan salah satu tujuan dari pernikahan.

Keturunan diharapkan dapat melanjutkan misi dan impian orang tuannya yang belum terealisasi dalam hidupnya. Dalam memelihara keturunan, ajaran Islam memerintahkan hal-hal sebagai berikut40 :

1. Islam memerintahkan para pemuda dan pemudi yang sudah mampu untuk menikah. Bahkan Islam mendorong para wall untuk mempermudah proses nikah dengan tidak menetapkan mahar yang terlalu tinngi sehingga memberatkan para calon suami.

38 Yusuf Al-A'lim, Al-Maqashidal-A 'mmah li as-Syari'ah al-Islamiyah, hal.35

39 Zamakhsyari, Teori-Teori Hukum Islam Dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, (Bandung : Cita pustaka, 2013),hal.l9 Ibid, hal.24

40 Ibid, hal. 24

(41)

2. Islam menjelaskan kriteria suami ideal dan istri ideal, hak dan kewajiban suami dan istri, agar dapat terwujud keluarga sakinah, mawaddah, dan warahmah, sehingga tujuan dari pernikahan yang kekal abadi dapat terlaksana.

3. Islam mensyaratkan adanya kesetaraan (takafii) antara suami dan istri agar terwujud kesesuaian visi dan misi yang dapat mengekalkan kehidupan rumah tangga yang harmonis.

4. Islam mensyaratkan keadilan bagi para suami yang ingin berpoligami, sehingga tidak merugikan salah satu istri atau anak-anak hasil perkawinannya.

Menurut teori keadilan sebagai pendukung teori pertanggungjawaban dipakai teori dalam pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan re//zonc.Spesifik dilihat dalam buku nicomachean etnichs, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang berdasarkan filsafat hukum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, "karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan".41

Aristoteles melalui teori keadilan legal mengungkapkan bahwa keadilan legal mengungkapkan bahwa keadilan legal yaitu perlakuan yang sama terhadap semua orang sesuai dengan hukum yang berlaku. Itu berarti semua orang haras dilindungi dan tunduk pada hukum yang ada secara tanpa pandang bulu.Keadilan legal menyangkut hubungan antara individu atau kelompok masyarakat dengan Negara.42

Yahya harahap juga mengemukakan hukum harusnya mengendalikan keadilan (law wants justice). Keadilan yang dikehendaki tersebut seharusnya mencapai nilai

41 Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta : Kanisius, 1995), Cetakan Kedelapan, hal. 197

42 "Blogspot" Kumpulan-teori-skripsi, di dalam http;//kumpulan-teori-skripsi, blogspot.com/2011/09/teori-keadilan-aristoteles, html, diakses tanggal 28 februari 2013.

(42)

persamaan (equality), hak asasi individu (individual right), kebenaran (truth), kepatuhan (fairness), dan melindungi masyarakat (protection public interes).43

Pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian hak persamaan tapi bukan persamarataan.Aristoteles membedakan hak persamaannya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak dipandang manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama.Inilah yang dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap warga Negara dihadapkan hukum sama. Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukanya.

Menurut teori ini hukum bertujuan mencapai keadilan bagi anak dimana hak dan kewajiban antara orang tua terhadap anak sebagaimana diatur dalam Pasal 45 UUP No.l Tahun 1974 tentang perkawinan :

1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik- baiknya.

2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua putus.

Selanjutnya dengan demikian orang tua memiliki kewajiban hukum sebagai perwujudan tanggung jawab terhadap anaknya untuk membiayai kehidupan sandang, pangan, dan pendidikan selama anak-anak tersebut masih belum dewasa. Kewajiban normatif tersebut bersifat hukum memaksa (dwingendrechi) yaitu tidak boleh

43 Alvi Syarin, Beberapa Masalah Hukum, (Medan : PT.Sofmedia, 2009), hal.3

(43)

kewajiban orang tua terhadap anaknya dilepaskan dengan membuat perjanjian untuk itu.44

Kemudian teori perlindungan hukum, teori ini bersumber dari teori hukum alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid Plato), dan Zeno (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.

Menurut Thomas Aquinas mengatakan bahwa hukum alam adalah ketentuan akal yang bersumber dari Tuhan yang bertujuan untuk kebaikan dan dibuat oleh orang yang mengurus masyarakat untuk disebarluaskan. Eksistensi dam konsep hukum alam selama ini, masih banyak dipertentangkan dan ditolak oleh sebagian besar filosof hukum, tetapi dalam kanyataann justru tulisan-tulisan pakar yang menolak itu, banyak menggunakan paham hukum alam yang kemungkinan tidak disadarinya. Salah satu alasan yang mendasari penolakkan sejumlah filosof hukum terhadap hukum alam, karena mereka masih mengganggap pencarian terhadapsesuatu yang absolut dari hukum alam, hanya merupakan suatu perbuatan yang sai-sia dan tidak bermanfaat.45 Terjadi perbedaan pandangan para filosof tentang eksitensi hukum alam, tetapi pada aspek yang lain juga menimbulkan sejumlah harapan bahwa

44 Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit, hal.64

45 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hal. 116

(44)

pencarian pada yang "absolut" (tetap) merupakan kerinduan manusia akan hakikat keadilan. Hukum alam sebagai kaidah yang bersifat "universal " , abadi, dan berlaku mutlak", ternyata dalam kehidupan modern sekalipun tetap akan eksis yang terbukti dengan semakin banyaknya orang membicarakan masalah hak asasi manusia (HAM).46

Sesuai penelitian ini teori perlindungan hukum yang dipakai adalah menurut pendapat Pjillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif.47 Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah berikap hati-hati dalam pengambilan keputusan bedasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penangananya di lembaga peradilan.48

Patut dicatat bahwa upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum, meskipun pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar tersebut bersitegang, namun haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan.49 Fungsi primer hukum, yakni melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat

46 Ibid

47 Phillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), hal.2 .

48 Maria Alfons, Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-produk Masyarakat Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual, Ringkasan Disertasi Doktor, (Malang:

Universitas Brawijaya, 2010), hal. 18.

49 Ibid

(45)

merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun penguasa.

Di samping itu berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban, tidak terkecuali kaum wanita.50

Kemudian dengan menggunakan teori perlindungan hukum sebagai pendukung teori pertanggungjawaban, dimana teori perlindungan hukum adanya suatu ketentuan dimana kewajiban suami dengan nafkah diatur dalam Pasal 80 ayat (4) KHI dalam pasal ini diatur bahwa sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung :

a. Nafkah, kiswah dan tempat tinggal kediaman bagi istri

b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.

Apabila suami melalaikan kewajibannya, istri dapat mengajukan gugatan nafkah ke pengadilan (lihat Pasal 34 ayat (3) UUP No.l Tahun 1974). Bagi penganut agama Islam gugatan dapat diajukan ke pengadilan agama pada domisili tergugat dan bagi yang beragama lainnya gugatan dapat diajukan ke pengadilan negeri pada domisili tergugat.

2. Kerangka Konsepsi

Guna menghindari kesalahpahaman atas berbagai istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini, selanjutnya akan dijelaskan maksud dari istilah-istilah tersebut

50 "Perlindungan Hukum Wanita", www.supanto.staf.hukum.uns.ac.id, diakses tanggal 15 Mei 2013.

(46)

dalam suatu kerangka konsep. Kerangka konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.51 Didalam penjelasan ini ditegaskan lebih rinci bahwa sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan penting.

2. Perkawinan menurut Hukum Islam adalah suatu perikatan suci, yang diperintahkan kepada tiap-tiap umat Islam yang sanggup melaksanakannya, kecuali jika ada hal-hal yang tidak memungkinkannya untuk melaksanakannya52. 3. Perceraian menurut UU No.l Tahun 1974 adalah berakhirnya perkawinan yang telah dibina oleh pasangan suami istri yang disebabkan oleh beberapa hal seperti kematian dan atas keputusan pengadilan. Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan suami istri kemudian hidup berpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku.

51 Sudarsono, Op.Cit, hal. 9

52 Al-Qur'an Surat An-Nur ayat (32), hadis Nabi Muhammad S.A.W. Muhammad Fuad Abdul Baqi-Wensinkhal. 506-511

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Dapatan kajian menunjukkan daya tahan dari aspek keyakinan diri pelajar bandar dan luar bandar berada pada tahap yang tinggi dengan skor min 3.78 dan 3.77.. Ini menunjukkan

6 Saya mendapatkan kualitas jasa yang lebih baik dari promosi Go-Jek di bandingkan transportasi lainnya. SS S N TS

Berbagi fantasi pengetahuan sifat Al- lah ini merupakan perilaku mereka sebagai sebuah komitmen subkultur bersama dalam kelompok Muslim-Tionghoa, kelompok yang anggotanya

Memori jenis ini telah dibuktikan memberikan manfaatnya yang besar dibidang pengolahan citra paralel terutama untuk memproses masalah citra yang bersifat lokal (misalnya:

Pelayanan Makanan Rumah Sakit dan Asupan Makanan dengan Perubahan Status Gizi Pasien (Studi di RSUD Sunan Kalijaga Kabupaten Demak). Jurnal

Dari beberapa dimensi dasar untuk men- definisikan komunikasi di atas, pada dasarnya ki- ta dapat menarik benang merah sebagai berikut; (1) Komunikasi merupakan proses di mana

Dari grafik terlihat bahwa tingkat kebenaran tertinggi yang dapat dicapai adalah 96,36%, lebih tinggi bila dibandingkan dengan sistem neural network tanpa