• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

5. Analisis Data

Puncak kegiatan pada suatu penelitian ilmiah hukum adalah menganalisa data yang merupakan hasil penelitian yang telah dilakukan.36 Analisis data dapat diartikan sebagai proses menganalisa, manfaatkan data yang terkumpul untuk digunakan dalam pemecahan masalah penelitian. Dalam proses pengolahan, analisis dan pemanfaatan data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data kualitatif, yang bersumber dari tulisan atau ungkapan dan tingkah laku yang dapat diobservasi dari manusia.37

Mengingat sifat penelitian maupun jenis penelitian, maka semua data yang diperoleh akan dianalisa secara kualitatif, yaitu dengan cara data yang telah terkumpul dipisah-pisahkan menurut kategori masing-masing dan kemudian ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif yakni penarikan kesimpulan dari hal yang umum menjadi hal yang khusus.

36 Tampil Anshari Siregar, Metode Penelitian Hukum, (Medan: Pustaka Bangsa Pres, 2007), hal 104

37Burhan Anshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta 2007), hal 16

BAB II

BATASAN-BATASAN PEMBAGIAN WARISAN SECARA PERDAMAIAN (TASHALUH) MENURUT

HUKUM WARIS ISLAM

A. Pengertian Perdamaian (Tashaluh) Dalam Pembagian Warisan

Sebelum membahas lebih dalam mengenai pembagian warisan secara perdamaian (tashaluh), maka ada baiknya membahas terlebih dahulu mengenai waris dalam hukum Islam.

Pengertian waris dalam buku ensiklopedia hukum Islam bahwa kata waris itu berasal dari bahasa Arab yaitu waritsa-yartisu-atau irtsan-miratsun yang berarti mempusakai adalah ketentuan-ketentuan tentang pembagian harta pusaka yang meliputi ketentuan siapa yang berhak dan tidak berhak menerima harta pusaka dan berapa besar harta yang diterima masing-masing, disinggung juga hukum waris yang dibawa Nabi Muhammad SAW telah mengubah struktur hukum waris Arab pra Islam dan sekaligus merombak sistem kekerabatan, bahkan juga merombak sistem pemilikan harta didalam masyarakat Arab pada waktu itu, hukum waris Islam juga mengandung aturan setiap pribadi baik itu laki-laki atau perempuan berhak memiliki harta warisan.38

Maknanya menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain dan tidaklah terbatas hanya pada hal hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Al-mirats menurut istilah ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang

38Ensiklopedia Hukum Islam jilid 5 Cet I, Op.Cit., hal 1993

ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.39

Sedangkan waris menurut istilah yaitu, berpindahnya hak milik orang yang meninggal dunia kepada para ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkannya itu berupa harta bergerak maupun tidak bergerak atau hak-hak menurut hukum Syara’. Perkataan “warisan” atau “faraidh” (kata jama) dan kata

“warotsa “ artinya pemindahan hak milik dari seseorang kepada orang lain setelah pemiliknya meninggal dunia, sedangkan kata “faraidh” artinya bahagian yang tertentu bagi ahli waris dari harta pusaka, seperti seperdua, seperempat dan sebagainya.40 Diambil dari kata faraidh-lah beberapa istilah berikut: waris, warisan, pewaris, ahli waris, mewarisi, proses pewarisan dan hukum waris.

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam sebagaimana termuat dalam Pasal 171 huruf a menerangkan hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

Menurut Ilmu fiqih mewaris mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban ahli waris terhadap harta warisan, menentukan siapa yang berhak terhadap warisan, bagaimana cara pembagiannya masing-masing. Fiqih mewaris disebut juga ilmu faraidh, karena berbicara tentang bagian-bagian tertentu yang

39http://eightiswordpress.com.ilmu –waris-pandangan –tentang-waris.2013, diakses tanggal 7Januari 2017.

40Mahyudin Syaf, ”Pelajaran Agama Fiqih” Cet. I, (Bandung: Sulita,1967), hal 116

menjadi hak ahli waris.41 Pembahasan fiqih mewaris, meliputi masalah-masalah tajhiz, yaitu pengurusan mayat, pembayaran utang dan wasiat, kemudian tentang pembagian harta.

Kewarisan Islam memiliki sumber-sumber hukum yang menjadi dalil atau dasar sebagai penguat hukum kewarisan tersebut. Diantara sumber-sumber hukum kewarisan dalam Islam diantaranya adalah, sebagai berikut:

1. Dalil-dalil yang bersumber dari Al-Qur’an.

2. Dalil-dalil yang bersumber dari Al-Sunnah.

3. Dalil-dalil yang bersumber dari ijma’ dan ijtihad para ulama’.42 Dalam Al-Qur’an terdapat dalam Surah An-Nisa' ayat 11, 12 dan 176.

Pada Al-qur’an Surah An-Nisa' ayat 11, Allah berfirman yang artinya :

“Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak-anakmu, yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan. Dan apabila anak tersebut semuanya perempuan (lebih dari dua orang), maka berilah mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan tersebut seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang Ibu Bapak, bagai mereka masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, apabila yang meninggakan itu mempunyai anak. Apabila yang meninggal tersebut tidak mempunyai anak, sedangkan ahli waris hanya ibu dan bapak, maka bagian ibu adalah sepertiga. Apabila pewaris meninggalkan saudara, maka bagian ibu adalah seperenam. (Pembagian pembagian tersebut) dilakukan setelah pelaksanaan wasiat yang dibuat pewaris serta setelah dibayarkan utangnya.

Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, tidak akan kamu ketahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) mendatangkan manfaat kepadamu. (Ketentuan) ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Dalam Al-qur’an Surah An-Nisa' ayat 12, Allah berfirman yang artinya :

“Dan bagimu (suami-suami) adalah seperdua dari harta-harta yang ditinggalkan isteri isterimu, apabila mereka tidak mempunyai anak.

41 H.A Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Prenada Media Group, 2005), hal 48

42H.R. Otje Salman dan Mustafa Haffas., Op.Cit.,hal 3

Apabila mereka mempunyai anak, maka bagianmu (suami) adalah seperempat dari harta-harta yang ditinggalkan isteri-isterimu, setelah dilaksanakan wasiat dan dibayarkan utangnya. Para isteri memperoleh seperempat bagian dari harta yang ditinggalkan apabila kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu meninggalkan anak maka isteri-isterimu memperoleh seperdelapan bagian, setelah dilaksanakan wasiat dan dibayarkan utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan, namun tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi apabila saudara seibu tersebut lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam sepertiga tersebut, sesudah dilaksanakan wasiat yang dibuat dan dibayarkan utang yang dibuat, dengan tidak memberikan mudharat (bagi ahli waris). Allah menetapkan yang demikian tersebut sebagai syarai 'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”

Dan dalam Al-qur’an Surah An-Nisa' ayat 176, Allah berfirman yang artinya :

“Mereka meminta fatwa kepadamu tentang Kalalah (tidak meninggalkan ayah dan anak), maka katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah yaitu: Jika seorang meninggal dunia dan tidak mempunyai anak (tetapi) mempunyai (seorang saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan tersebut seperdua dari harta yang ditinggalkan, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan).

Jika ia tidak mempunyai anak, tetapi mempunyai dua orang saudara perempuan, maka bagi mereka dua pertiga dan harta yang ditinggalkannya.

Dan Jika ahli warisnya terdiri dari seorang saudara laki-laki dan saudara perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki adalah dua bahagian dari saudara perempuan. Alah menerangkan hukum ini kepadamu supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Ayat-ayat tentang kewarisan tersebut di atas merupakan ketentuan Allah SWT yang secara umum menyangkut siapa-siapa saja yang menjadi ahli waris berdasarkan hubungan kekerabatan seperti ayah, ibu, anak, dan saudara, ataupun karena hubungan perkawinan (suami/isteri). Selain dari pada itu juga menentukan tentang berapa besar bagian masing masing ahli waris dan langkah apa saja yang dilakukan sebelum menentukan harta peninggalan pewaris baru dikatakan sebagai

harta warisan (terlebih dahulu menyelesaikan wasiat pewaris dan membayarkan utang pewaris).

Dasar hukum kewarisan yang kedua yaitu dasar hukum yang terdapat dalam hadist. Dari banyak hadist Nabi Muhammad SAW yang menjadi landasan hukum kewarisan Islam, hanya dicantumkan beberapa dari hadist Nabi, diantaranya sebagai berikut :

Hadist dari Muhammad Abdullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra, yaitu artinya, Dari Ibnu Abbas ra dari Nabi SAW bersabda: “berikanlah harta pusaka kepada orang yang berhak. Sisanya untuk (orang) laki-laki yang lebih utama.”

Hadist Nabi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah menurut riwayat Imam Ibnu Majah, yaitu artinya: Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa membunuh seorang korban, maka ia tidak dapat mewarisinya, walaupun korban tidak mempunyai ahli waris lain selain dirinya sendiri, begitu juga walaupun korban itu adalah orang tuanya atau anaknya sendiri. Maka bagi pembunuh tidak berhak menerima warisan”.

Meskipun Al-Qur’an dan Hadist telah memberi ketentuan terperinci tentang pembagian harta warisan, tetapi dalam beberapa hal masih diperlukan adanya ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam kedua sumber hukum tersebut. Yang dimaksud ijtihad dalam menerapkan hukum, bukan untuk mengubah pemahaman atau ketentuan yang telah ada. Misalnya mengenai bagian warisan bagi orang banci atau dalam ilmu faraidh disebut khunsta, harta warisan

yang tidak habis terbagi kepada siapa sisanya diberikan, bagian ibu apabila hanya bersama-sama dengan ayah atau duda atau janda.43

Hukum waris Islam mengenal cara pembagian waris yang disebut dengan perdamaian atau tashaluh. Menurut Ahmad Rofiq, cara damai sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Muhammad Salam Madkur, bahwa Umar Bin Khattab ra menasehatkan kepada kaum muslimin agar diantara pihak yang mempunyai urusan dapat memilih cara damai. Umar ra berkata : “boleh mengadakan perdamaian diantara kaum muslimin, kecuali mengadakan perdamaian yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal”. Lebih tegas lagi Umar memerintahkan : “kembalikanlah penyelesaian perkara diantara sanak saudara sehingga mereka dapat mengadakan perdamaian, karena sesungguhnya penyelesaian pengadilan itu menimbulkan perasaan tidak enak”.44

Selain itu, menurut Ahmad Rofiq, dengan cara damai (tashaluh) memungkinkan ditempuh upaya-upaya untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antara ahli waris yang satu dengan yang lainnya, sebab kesenjangan ekonomi antara keluarga dapat memicu timbulnya konflik di antara mereka.45

Menurut Muhibin Aman Aly dalam bukunya “Mengenal Istilah Dan Rumus Fuqaha”, membagi perdamaian menjadi 4 (empat) macam, yaitu :

1. Perdamaian antara muslim dengan kafir.

Yakni membuat perjanjian untuk meletakkan senjata dalam masa-masa tertentu secara bebas atau dengan cara mengganti kerugian yang diatur dalam Undang-Undang yang telah disepakati kedua belah pihak, atau biasa dikenal dengan istilah gencatan senjata).

2. Perdamaian antara Kepala Negara dengan pemberontak.

43Ibid., hal 10

44Ahmad Rofiq, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta:Gama Media,2000), hal.15 (selanjutnya disebut Ahmad Rofiq 2)

45Ahmad Rofiq 2, Op.Cit., hal 199

Yaitu membuat perjanjian atau peraturan yang harus ditaati mengenai keamanan.

3. Perdamaian antara suami dan isteri.

Yaitu membuat perjanjian dan aturan-aturan mengenai pembagian nafkah, dan dalam masalah menyerahkan haknya kepada suaminya manakala terjadi perselisihan.

4. Perdamaian dalam bidang muamalah.

Yaitu membentuk perdamaian dalam masalah yang ada kaitannya dalam perselisihan yang terjadi dalam masalah muamalah. Perdamaian dalam bidang atau urusan muamalah, misalnya: masalah utang-piutang, masalah jual beli, masalah orang yang berlaku curang dengan orang yang tidak curang, masalah pembunuhan, masalah harta termasuk harta warisan, dan lain sebagainya.46

Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebenarnya telah mengakomodasi sistem pembagian warisan dengan cara damai (tashaluh) ini dalam Pasal 183 KHI yang menyatakan: “para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warian setelah masing-masing menyadari bagiannya.” Kompilasi Hukum Islam dengan klausal di atas menghendaki agar pembagian warisan dengan cara damai (tashaluh) ini para ahli waris mengerti hak-hak dan bagian yang diterima, sebagaimana diatur dalam Al-Qur’an tentang furud al-muqaddarah. Setelah itu masing-masing pihak berdamai. Apabila ada di antara ahli waris yang ada secara ekonomi kekurangan dan mendapat bagian yang sedikit, kemudian ahli waris yang menerima bagian yang banyak dengan ikhlas memberikan kepada yang lain adalah tindakan yang sangat positif dan terpuji,47 atau semuanya diserahkan kepada kesepakatan ahli waris untuk menentukan bagian mereka masing-masing.

Pembagian warisan dengan cara damai (tashaluh) ini biasanya dilakukan oleh para ahli waris agar hubungan kekeluargaan tetap terjalin dengan baik.

46Muhibin Aman Aly, Mengenal Istilah Dan Rumus Fuqaha, (Kediri: Madrasah Hidayatul Mubtadiin, 2002), hal 65.

47Ahmad Rofiq 2, Op.Cit., hal 200

Sebenarnya, inti pokok dari asas ini adalah adanya kerelaan dari ahli waris yang ada untuk memberikan bagian sesuai dengan “kehendak” dari ahli waris. Kalau ada ahli waris yang karena secara ekonomis berkecukupan, sementara ahli waris yang lain ada yang miskin, maka dengan kerelaan, ahli waris yang miskin mengambil bagian yang lebih banyak. Begitu juga dapat terjadi seorang ahli waris memberikan tambahan bagian pada bagian ahli waris-ahli waris yang lain, sedangkan ahli waris yang bersangkutan ikhlas tidak mengambil bagiannya sama sekali.48

Kata mufakat yang dihasilkan berdasarkan musyawarah, kadang-kadang mengakibatkan adanya perbedaan bagian yang diterima oleh ahli waris dengan bagian menurut yang ditentukan dalam Islam. Walaupun demikian, semangat atau jiwa dari hukum kewarisan Islam tidak ditinggalkan, artinya pada ahli waris ada kesadaran mengenai bagian yang harus didapat berdasarkan angka-angka faraidh, tetapi sering kali hal itu disubordinasikan (ditarik ke belakang) dengan memberikan kesempatan bagi prinsip “kerelaan” untuk lebih berperan. Hal ini terbukti ketika ahli waris tidak menemui kata sepakat, yang berarti kerelaan di antara ahli waris tidak ada, maka satu-satunya alternatif adalah menjalankan ketetapan sebagaimana termaktub dalam hukum kewarisan Islam.

B. Alasan Memilih Pembagian Warisan Secara Perdamaian (Tashaluh) Kewarisan menurut hukum Islam ialah proses pemindahan harta peninggalan seseorang yang telah meninggal, baik yang berupa benda yang wujud maupun yang berupa hak kebendaan, kepada keluarganya yang dinyatakan berhak

48Fatchur Rahman., Ilmu Waris, ( Bandung : Al-Maarif, 1997), hal 115

menurut hukum Islam. Maka dalam waris Islam ada prinsip yang mengaturnya adapun prinsip tersebut dapat disimpulkan yaitu:

1. Waris menempuh jalan tengah antara memberi kebebasan kepada seseorang untuk memindahkan harta peninggalannya dengan jalan wasiat kepada orang lain yang dikehendaki seperti yang berlaku dalam masyarakat individualis/kapitalis, dan melarang sama sekali pembagian harta peninggalan seperti yang menjadi prinsip komunisme yang tidak mengakui adanya lembaga hak milik perorangan, yang dengan sendirinya tidak mengenal sistem kewarisan.

2. Waris merupakan ketetapan hukum yang mewariskan tdak dapat menghalangi ahli waris dari haknya atas harta peninggalan dan ahli waris berhak atas harta peninggalan tanpa memerlukan pernyataan menerima dengan sukarela atau atas putusan pengadilan tetapi ahli waris tidak dibebani melunasi hutang pewaris dari harta pribadinya.

3. Waris terbatas dalam lingkungan keluarga, dengan adanya hubungan perkawinan atau pertalian darah, keluarga yang lebih dekat hubungannya dengan pewaris lebih diutamakan daripada keluarga yang lebih jauh.

4. Waris Islam lebih condong untuk membagi harta warisan kepada sebanyak mungkin ahli waris yang sederajat, dengan menentukan bagian tertentu kepada beberapa ahli waris, misalnya jika ahli waris terdiri dari ibu, istri, seorang anak perempuan dan saudara perempuan kandung, semuanya mendapat bagian.

5. Waris tidak membedakan hak anak atas harta peninggalan, anak yang sulung, menengah atau bungsu, telah besar atau atau baru saja lahir, telah berkeluarga atau belum, semua berhak atas harta peninggalan orang tua.

6. Waris Islam membedakan besar kecil bagian tertentu ahli waris diselaraskan dengan kebutuhannya dalam kehidupan sehari-hari, disamping memandang jauh dekatnya hubungan kekeluargaan dengan pewaris.49

Menurut Islam, mempusakai atau mewarisi itu berfungsi menggantikan kedudukan pewaris dalam memiliki dan memanfaatkan harta miliknya. Bijaksana sekali sekiranya kalau penggantian ini dipercayakan kepada orang-orang yang banyak memberi bantuan, pertolongan, pelayanan, pertimbangan dalam kehidupan berumah tangga dan mencurahkan tenaga dan harta demi pendidikan putra-putrinya, seperti suami istri. Atau dipercayakan kepada orang-orang yang selalu

49Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta : UUI Pres Yogyakarta, 2001), hal132-134

menjunjung tinggi martabat dan nama baiknya dan selalu mendoakan sepeninggalnya, seperti anak turunannya. Atau dipercayakan kepada orang yang telah banyak menumpahkan kasih sayang, menafkahinya, mendidiknya, serta orang yang rela mengorbankan harta bendanya untuk membebaskannya dari perbudakan menjadikan dia manusia bebas yang mempunyai hak kemerdekaan penuh dan cakap bertindak, seperti orang yang membebaskan budak dan lain sebagainya.50

Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.

Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.

Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah SAW dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu

50H.R. Otje Salman dan Mustofa Haffas, Op.Cit, hal 6.

hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.

Hukum Islam adalah hukum yang bersifat universal, karena merupakan bagian dari ajaran agama Islam yang universal sifatnya, yaitu berlaku bagi setiap orang di manapun ia berada dan apapun nasionalismenya. Adapun tujuan dari hukum Islam pada hakikatnya adalah untuk merealisir kemaslahatan umum dan mencegah kemudaratan bagi umat manusia.51 Di dalam hukum Islam masalah kewarisan mendapat perhatian besar dan merupakan bagian yang terpenting dalam sistem hukum Islam, sehingga Islam mengatur pembagian warisan secara rinci agar tidak terjadi perselisihan sesama ahli waris sepeninggal orang yang hartanya diwarisi. Pengaturan ini dikenal dengan hukum kewarisan Islam, yaitu aturan yang mengatur pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya.52

Pembagian warisan dengan cara damai (tashaluh) ini biasanya dilakukan oleh para ahli waris agar hubungan kekeluargaan tetap terjalin dengan baik.

Sebenarnya, inti pokok dari asas ini adalah adanya kerelaan dari ahli waris yang ada untuk memberikan bagian sesuai dengan “kehendak” dari ahli waris. Kalau ada ahli waris yang karena secara ekonomis berkecukupan, sementara ahli waris yang lain ada yang miskin, maka dengan kerelaan, ahli waris yang miskin

51Yahya Muhtar, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Bandung:Al-Ma’arif,1993), hal 333

52Ali Zainuddin, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia Cet ke-1, (Jakarta: Sinar Grafika,2008), hal 33

mengambil bagian yang lebih banyak. Begitu juga dapat terjadi seorang ahli waris memberikan tambahan bagian pada bagian ahli waris-ahli waris yang lain, sedangkan ahli waris yang bersangkutan ikhlas tidak mengambil bagiannya sama sekali.53

Pembagian warisan dengan prinsip kesepakatan dan kekeluargaan sesungguhnya didasarkan pada keyakinan para ulama fiqh bahwa masalah waris adalah hak individu di mana yang mempunyai hak boleh menggunakan atau tidak menggunakan haknya dengan cara tertentu selama tidak merugikan pihak lain sesuai aturan standar yang berlaku dalam situasi biasa. Hal ini berbeda dengan hak Allah (atau disebut juga hak umum), seperti aturan tentang larangan mencuri, berzina, membunuh, di mana hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut sudah jelas dan harus ditegakkan. Dalam hal ini manusia tidak mempunyai hak untuk memberi toleransi dan pemaafan.54

Sebagai dasar hukum positif yang memiliki kekuatan legal, Kompilasi Hukum Islam menegaskan hal ini dalam pasal 183 yang berbunyi :

“Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya. “ Dengan demikian penyelesaian masalah waris dengan menggunakan prinsip kesepakatan ini bukanlah sesuatu yang tidak mempunyai pijakan doktrinal dalam sistem hukum Islam.55

53Fatchur Rahman., Op. Cit., hal 115

54 Salman, Calon Hakim Pengadilan Agama Cilegon, Penyelesaian Pembagian Waris Dengan Prinsip Kesepakatan (Kekeluargaan), http://www.arsip.badilag.net/data/ARTIKEL/

Salman%20Artikel%20Waris%20WebsiteBadilag.pdf, hlm.1, (di akses pada tanggal 4 Juli 2017 pukul 20.00).

55Ibid.

Sebagaimana dikutip Prof. Satria, Abu Zahrah, seorang ulama usul fiqh

Sebagaimana dikutip Prof. Satria, Abu Zahrah, seorang ulama usul fiqh

Dokumen terkait