• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS. Oleh. M. HENDRA PRATAMA GINTING /M.Kn FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TESIS. Oleh. M. HENDRA PRATAMA GINTING /M.Kn FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN Universitas Sumatera Utara"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

NOMOR : 409/PDT.G/2011/PA.MDN)

TESIS

Oleh

M. HENDRA PRATAMA GINTING 147011181/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

NOMOR : 409/PDT.G/2011/PA.MDN)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

M. HENDRA PRATAMA GINTING 147011181/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(3)

NOMOR : 409/PDT.G/2011/PA.MDN) Nama Mahasiswa : M. HENDRA PRATAMA GINTING Nomor Pokok : 147011181

Program Studi : KENOTARIATAN

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA)

Pembimbing Pembimbing

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Dr.T.Keizerina Devi A,SH,CN,MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum) (Prof.Dr.Budiman Ginting,SH,MHum)

Tanggal lulus : 15 Agustus 2017

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Dr. Rosnidar Sembiring, SH, MHum 4. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum

(5)

Nim : 147011181

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : PEMBAGIAN HARTA WARISAN SECARA

PERDAMAIAN (TASHALUH) TANPA MELIBATKAN

SALAH SEORANG AHLI WARIS MENURUT

HUKUM WARIS ISLAM (STUDI KASUS PUTUSAN

PENGADILAN AGAMA MEDAN NOMOR :

409/PDT.G/2011/PA.MDN)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama : M. HENDRA PRATAMA GINTING Nim : 147011181

(6)

i

sejumlah harta tertentu dari harta warisan atau harta lain. Perdamaian pembagian warisan dalam keluarga disebutkan di Pasal 183 KHI. Persyaratan paling utama yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan secara perdamaian adalah adanya kesepakatan dan kerelaan dari para ahli waris. Sebaliknya, bila para ahli waris, atau di antara ahli waris tidak setuju atau tidak rela harta warisan tersebut dibagi secara kekeluargaan, maka sistem pembagiannya dilakukan sesuai aturan faraidh. Hal yang lain berberda dan dapat diamati dalam Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor : 409/Pdt.G/2011/PA.MDN dimana para ahli membagi warisan secara perdamaian namun satu sisi salah seorang ahli waris karena merantau dan tidak diketahui keberadaannya tidak mendapatkan hak warisnya.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan studi kasus. Sifat penelitian ini deskriptif analitis dan sumber bahan hukum yang digunakan ialah data sekunder dengan bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen atau studi kepustakaan. Analisis data yang digunakan menggunaka metode kualitatif dengan penarikan kesimpulan menggunakan metode berpikir deduktif.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dalam Pasal 183 KHI tidak mengatur mengenai batasan-batasan pembagian warisan secara perdamaian (tashaluh) secara rinci. Hukum waris Islam dalam pembagian warisan dengan cara perdamaian (tashaluh) tidak diharuskan dibuat dalam bentuk tertulis, namun cukup dilaksanakan secara lisan dimana disaksikan oleh dua atau lebih orang saksi. Pembagian harta warisan secara perdamaian menurut hukum waris Islam dalam Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor: 409/Pdt.G/2011/PA.MDN yang tidak mengikutsertakan salah seorang ahli waris yakni Almarhum Sanusi Puja Kesuma karena tidak diketahui keberadaannya merupakan suatu tindakan yang keliru dan tidak berdasar. Adapun saran yang dapat ditarik dalam penelitian ini adalah, walaupun salah seorang ahli waris tidak diketahui keberadaannya maka sudah selayaknya menggunakan langkah hukum yang sah yakni dengan mengeluarkan bagian warisan yang tidak diketahui keberadaannya terlebih dahulu untuk kemudian dititipkan di pengadilan (konsinyasi).

Diharapkan bagi setiap Notaris agar lebih memperbanyak pengetahuan dan pengalamannya dalam pembuatan akta khususnya akta perdamaian. Hakim Pengadilan Agama diharapkan dalam menyelesaikan perkara warisan agar dapat memberikan putusan yang adil bagi setiap para pihak yang berperkara, dengan berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum positif di Indonesia mengenai hukum perdata Islam.

Kata Kunci: Hukum Waris Islam, Pembagian Warisan Secara Perdamaian (tashaluh), Ahli waris.

(7)

ii

compensation. Negotiation in distributing inheritance among family members is stipulated in Article 183 of KHI (Compilation of the Islamic Laws). The principal requirement for it is agreement and willingness of heirs. On the other hand, if they or one of them does not agree on the negotiation, the distribution is done according to the faraidh. Such a case occurred in the Medan Religious Court’s Verdict No.

409/Pdt.G/2011/PA.MDN in which the heirs distributed the inheritance by negotiation, but one of them did not get the share since his address was unknown.

The research used juridical normative and descriptive analytic method with legal provisions and case study approach. Secondary data were obtained from primary, secondary, and tertiary legal materials. The data were gathered by conducting documentary study and library research and analyzed qualitatively, and conclusion was drawn deductively.

The conclusion of the research was that Article 183 of the KHI does not define in detail the inheritance distribution by negotiation (tashaluh). In the Islamic law, distribution of inheritance by negotiation should not be in the written form; it can be done by being witnessed by two or more witnesses. The Medan Religious Court’s Verdict No. 409/Pdt.G/2011/PA.MDN which does not include one of the heirs, the late Sanusi Puja Kesuma, since his address is unknown is ‘error in persona’ and unreasonable. Therefore, it is recommended that when the address of one of the heirs is unknown, legal act should be done by entrusting his share to the court (consignment). Notaries should increase their knowledge and experience in making deeds, especially deeds on negotiation. The judges in the Religious Courts should be fair in handing out verdicts for litigants by being guided by the KHI as the positive law in Indonesia concerning the Islamic civil law.

Keywords: Islamic Inheritance law, Distributing Inheritance by Negotiation (Tashaluh), Heir

(8)

iii

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkah, rahmat serta karunianya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul “Pembagian Harta Warisan Secara Perdamaian (TASHALUH) Tanpa Melibatkan Salah Seorang Ahli Waris Menurut Hukum Waris Islam (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor: 409/Pdt.G/2011/PA.MDN).”

Penulisan tesis ini bertujuan untuk memenuhi dan melengkapi persyaratan guna mencapai gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara Medan.

Dalam penulisan dan penyusunan tesis ini, penulis mendapat bimbingan dan pengarahan serta saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tidak ternilai harganya kepada Bapak Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA. selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, serta Ibu Dr. T. Keizerina Devi A. SH, CN, MHum., masing-masing selaku anggota komisi pembimbing yang banyak memberi masukan dan bimbingan kepada penulis selama dalam penulisan tesis ini dan kepada Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, SH, MHum. dan Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum., selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan kritikan, saran serta masukan dalam penulisan tesis ini.

(9)

iv

tiada batas yang diberikan sepanjang hidup penulis. Serta kepada istri yang di sayangi Yulia Indriani, SH., yang selalu mendampingi dan mendukung penulis dalam suka dan duka.

Selanjutnya ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A., S.H., C.N., M.Hum., selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Edy Ikhsan, S.H., MA., selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu Guru Besar dan Staf Pengajar Universitas Sumatera Utara.

6. Seluruh staf pegawai Biro Administrasi pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

7. Kepada seluruh saudara kandung penulis, yakni adik-adik tercinta Arfani ST, M.

Andri Pranata Ginting, SE, Atika Dalila

(10)

v

dan mendorong banyak hal-hal yang telah kita lewati bersama demi sebuah gelar Magister Kenotariatan, kepada Habib Muhammad Yusuf Siregar S.H., Indra Hermawan, S.H., Agustian, S.H., Irham Kosim, S.H., Agus Perwira, S.H., dan Rahmat Hasan Ashari Hasibuan,S.H, Haikal ,SH,MKN, T Omar Agam, SE, Joi Melila, SH. Fuzi, SH, MKN.serta seluruh teman-teman lain yang tidak mampu disebutkan satu persatu. Terima kasih buat kebersamaan, doa, dukungan, semangat yang kalian berikan selama masa pertemanan kita terkhusus dalam penulisan tesis ini.

Penulis juga menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan kemampuan penulis, sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dalam penulisan ke depan.ata, penulis berharap agar tesis ini bermanfaat bagi diri penulis dan juga bagi semua pihak khususnya yang berkaitan dengan bidang Kenotariatan.

Medan, Agustus 2017 Penulis

M. HENDRA PRATAMA GINTING

(11)

vi

Nama : M.HENDRA PRATAMA GINTING

Tempat dan Tanggal Lahir : Medan, 26 Maret 1987

Alamat : Jl. Abdullah Lubis no 32

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Umur : 30 Tahun

Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Islam

Nama Bapak : H. INDRA GINTING, SH

Nama Ibu : Hj. ENI WATI BR BANGUN, SE

II. PENDIDIKAN

Sekolah Dasar : 1993-1999 SD Percobaan Negeri Medan Sekolah Menengah Pertama : 2000-2002 SMP Harapan 2 Medan Sekolah Menengah Atas : 2002-2005 SMA Mulia Tanjung Sari S1 Universitas : 2005-2010 Amir Hamzah

S2 Universitas : 2014-2017 Program Studi Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

(12)

vii

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penulisan ... 11

F. Kerangka Teori Dan Kerangka Konsep ... 13

1. Kerangka Teori ... 13

2. Kerangka Konsep ... 17

G. Metode Penelitian ... 18

1. Jenis Dan Sifat Penelitian ... 19

2. Sumber Data ... 20

3. Teknik Pengumpulan Data ... 21

4. Alat Pengumpulan Data ... 21

5. Analisis Data ... 22

BAB II BATASAN-BATASAN PEMBAGIAN WARISAN SECARA PERDAMAIAN (TASHALUH) MENURUT HUKUM WARIS ISLAM ... 23

A. Pengertian Perdamaian (Tashaluh) Dalam Pembagian Warisan 23 B. Alasan Memilih Pembagian Warisan Secara Perdamaian (Tashaluh) ... 30

C. Cara Pembagian Secara Perdamaian (Tashaluh) ... 36

(13)

viii

A. Tinjauan Umum Perjanjian Perdamaian ... 51

B. Ketentuan Pembagian Warisan Dengan Cara Perdamaian (Tashaluh) Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam ... 57

C. Peranan Notaris Dalam Pembuatan Akta Tentang Pembagian Warisan Dengan Cara Perdamaian (Tashaluh) ... 63

D. Kekuatan Hukum Pembagian Warisan Dengan Cara Perdamaian (Tashaluh) ... 74

BAB IV ANALISIS HUKUM DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDANNOMOR: 409/Pdt.G/2011/PA.MDN ... 81

A. Posisi Kasus ... 81

B. Analisis Hukum Dalam Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor: 409/Pdt.G/2011/PA.MDN ... 99

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 107

A. Kesimpulan ... 107

B. Saran... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 110

(14)

A. Latar Belakang

Hukum waris dalam Islam adalah bagian dari syariat Islam yang sumbernya diambil dari Al-Qur’an dan Hadist, kemudian para ahli hukum Islam, khususnya para mujtahid dan fuqoha (ahli fikih Islam) mentransformasikan melalui berbagai formulasi waris sesuai dengan pendapatnya masing-masing.

Hukum waris Islam pada dasarnya berlaku untuk seluruh umat Islam didunia.

Sungguhpun demikian corak suatu negara Islam dan kehidupan di negara atau daerah tersebut memberi pengaruh atas hukum waris di daerah itu.

Kewarisan (al-mirats), yang disebut juga sebagai faraidh berarti bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana telah diatur dalam nash Al-Qur’an dan Al-Hadits, sehingga dapat disimpulkan bahwa pewarisan adalah perpindahan hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia terhadap orang-orang yang masih hidup dengan bagian-bagian yang telah ditetapkan dalam nash-nash, baik Al-Qur’an dan Al-Hadits.1

Hukum kewarisan termasuk salah satu aspek yang diatur dalam Al-Qur’an sebagaimana termuat dalam surah An-Nisa ayat 7 yang artinya: “bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kepada kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” Hal

1Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Bandung: Gunung Djati, 2001) hal 1.

(15)

ini membuktikan bahwa masalah kewarisan cukup penting dalam agama Islam.

Apalagi Islam pada awal pertumbuhannya telah mampu merombak tatanan atau sistem kewarisan yang berlaku pada masyarakat arab jahiliyah.2

Menurut istilah hukum Indonesia, ilmu faraidh ini disebut dengan “hukum waris” (erfrecht) yaitu hukum yang mengatur tentang apa yang terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia. Pembagian warisan didalam agama Islam merupakan suatu keharusan. Penetapan dan pembagian warisan yang telah tercantum dalam Al-Qur’an tidak boleh ditolak oleh ahli waris yang berhak menerimanya, sebelum dilakukan pembagian warisan.

Pembagian harta warisan menurut Al-Qur’an atau Hadist dapat ditemukan ketentuan hukumnya dalam Hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra.

bahwasannya, Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Serahkanlah pembagian warisan itu kepada ahlinya, bila ada yang tersisa, maka berikanlah kepada keluarga laki-laki terdekat.” (Hadist disepakati Imam Bukhari dan Imam Muslim).3 Dengan adanya kewajiban untuk menjalankan syari’at Islam dalam perkara waris maka wajib pula hukum belajar dan mengajarkan ilmu faraidh.4

Di Indonesia pada saat ini masih terdapat beraneka ragam sistem hukum kewarisan yang berlaku bagi warga negara Indonesia, yaitu: sistem hukum kewarisan perdata barat yang didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sistem hukum kewarisan adat yang dipengaruhi oleh bentuk etnis di

2Abdul Ghofur, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Yogyakarta : Gajah Mada Press,2012) hal 173

3Suhrawardi Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal 31

4H.R Otji Salman dan Mustafa Haffas, Hukum Waris Islam, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hal 4

(16)

berbagai daerah dilingkungan hukum adat, dan sistem hukum kewarisan Islam yang berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam. “Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam dimana saja berada di dunia ini. Akan tetapi corak suatu negara dan kehidupan masyarakat di negara tersebut memberi pengaruh atas hukum kewarisan di negara itu.”5

Umat Islam seyogyanya tunduk pada sistem hukum Islam termasuk dalam hal waris. Hukum waris islam dalam syariah Islam hukumannya adalah wajib, kewajiban ini dapat dipahami dalam Al-Quran yang menyebutkan orang yang tidak melaksanakan aturan Allah SWT tersebut sebagai orang-orang yang ingkar, zalim dan fasik.

Sebagaimana dalam surah Al-Maidah ayat 44 yang artinya:

“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”6

Dalam surah Al-Maidah: 45 yang artinya:

“Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”7

Dan dalam surah Al-Maidah: 47 yang artinya:

“Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”.8

Agama Islam memerintahkan umatnya untuk menyelenggarakan pembagian warisan bila pewaris sudah meninggal dunia. Hal ini didasarkan

5Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika, 1995), hal.1

6 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahannya, (Bandung:

Cordoba Internasional Indonesia, 2013), hal 115.

7Ibid

8Ibid, hal 116

(17)

kepada Hadist Rasulullah SAW yang artinya: Dari Ibnu Abbas r. a. dari Nabi Muhammad SAW beliau berkata “Bagilah harta pusaka di antara ahli-ahli waris menurut kitab Allah” (H.R. Muslim dan Abu Dawud).”9

Dalam hukum Islam peralihan harta seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya, yang dalam pengertian hukum Islam berlaku secara ijbari.10 Hal ini berarti bahwa peralihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris ataupun ahli warisnya.11 Dan asas ijbari ini terlihat dari Pasal 187 ayat 2 KHI yang berbunyi, “Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak.” Adanya kata harus dalam pasal ini menunjukkan berlakunya asas ijbari.

Sejalan dengan hal tersebut di atas terlihat bahwa proses pembagian harta dalam hukum kewarisan Islam adalah merupakan suatu hal yang wajib dan ketentuan yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadist harus diterima oleh seorang muslim. Harta warisan yang belum dibagi adalah masih berbentuk kongsi dengan ahli waris yang lain. Ahli waris yang lain mempunyai hak atas harta warisan, oleh karena itu haram dan berdosa menguasai hak orang lain. Dan perbuatan itu termasuk dalam kategori dzalim (menganiaya orang lain).

Hukum Islam telah menentukan bagian masing-masing ahli waris namun hukum Islam juga membenarkan perdamaian dengan jalan mengeluarkan sebagian

9Mukhlis Lubis, Ilmu Pembagian Waris, (Medan: Al-Manar, 2011), hal. 6

10Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta: Gunung Agung,1984), hal 29 (untuk selanjutnya disebut Amir Syarifuddin 1)

11Idris Djakfar dan Taufik Yahya,Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), hal 29

(18)

dari haknya ahli waris atas bagian warisan dengan imbalan menerima sejumlah harta tertentu dari harta warisan atau harta lain.

Mengenai perdamaian pembagian warisan dalam keluarga disebutkan di Pasal 183 KHI yang berbunyi “para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya.” Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Pada Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa peradilan agama merupakan peradilan khusus kepada orang yang beragama Islam.

Pembagian waris dengan perdamaian sesungguhnya didasarkan pada keyakinan para ulama fiqih bahwa masalah waris adalah hak individu di mana yang mempunyai hak boleh menggunakan atau tidak menggunakan haknya, atau menggunakan haknya dengan cara tertentu selama tidak merugikan pihak lain sesuai aturan standar yang berlaku dalam situasi biasa. Hal ini berbeda dengan hak Allah SWT (atau disebut juga hak umum), seperti aturan tentang larangan mencuri, berzina, membunuh, di mana hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut sudah jelas dan harus ditegakkan.12

Persyaratan paling utama yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan secara perdamaian adalah adanya kesepakatan dan kerelaan dari para ahli waris.

Lebih jauh, ahli waris tersebut juga dapat menggugurkan haknya untuk tidak mendapatkan hak waris dan memberikannya kepada ahli waris yang lain.

Sebaliknya, bila para ahli waris, atau di antara ahli waris tidak setuju atau tidak

12 Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia- Press,1988), hal 217

(19)

rela harta warisan tersebut dibagi secara kekeluargaan, maka sistem pembagiannya dilakukan sesuai aturan faraidh.

Hal berbeda terjadi dalam pembagian harta warisan secara perdamaian yang pada awalnya terjadi kesepakatan oleh para ahli waris. Namun, dalam proses pembagian warisan tidak diikuti oleh salah satu ahli waris karena tidak diketahui keberadaannya. Proses pembagaian warisan tersebut tetap dilakukan oleh para ahli waris yang sepakat dengan tidak melibatkan salah satu ahli waris yang tidak diketahui keberadaannya. Hal ini dapat dicermati dalam Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor : 409/Pdt.G/2011/PA.MDN

Kasus ini bermula ketika Siti Rosida sebagai Penggugat I, M.Rozi Maulana sebagai Penggugat II, Faisal sebagai Penggugat III, Salmah sebagai Penggugat IV, Syahrudi sebagai Penggugat V, Ratmi sebagai Penggugat VI, Watinah sebagai Penggugat VII.

Adapun yang menjadi lawannya adalah Keminah sebagai Tergugat I, Rosmawati sebagai Tergugat II, Nurlely sebagai Tergugat III, Seriwayuni sebagai Tergugat IV, Nazarudin sebagai Tergugat V, Siti Rohana sebagai Tergugat VI, Abidin S Panggabean sebagai Tergugat VII.

Keminah merupakan isteri yang sah dari Almarhum Amat Rejo dan telah meninggal dunia pada tahun 1962 di Medan. Dari perkawinan tersebut telah dikaruniai 5 (lima) orang anak yaitu 2 (dua) orang anak laki-laki dan 3 (tiga) orang perempuan yaitu :

1. Anak pertama Almarhum Sanusi Puja Kesuma, meninggalkan ahli waris tiga orang yaitu :

(20)

Satu isteri bernama Siti Rohama dan sekarang telah kawin lagi kepada orang lain, 2 (dua) orang anak yaitu: Siti Rosida dan M.Rozi Maulana.

2. Anak kedua Almarhum Legimin meninggalkan 5 (lima) orang ahli waris yaitu:

Satu isteri bernama Rosmawati, 4 (empat) orang anak yaitu: Nurlely, Seriwahyuni, Nazarudin, dan Siti Rohana.

3. Anak ketiga Almarhum Jumikem, meninggalkan ahli waris tiga orang anak yaitu: Faisal, Salmah dan Syahrudi.

4. Anak keempat Ratmi.

5. Anak kelima Watinah.

Semasa hidupnya Almarhum Amat Rejo tersebut selain meninggalkan enam orang ahli warisnya tersebut diatas, ada meninggalkan harta berupa sebidang tanah lebih kurang seluas 1.601 M2 (seribu enam ratus meter persegi), yang terletak di Jalan Panglima Denai/Jalan MedanTenggara VII, Kelurahan Amplas, Kecamatan Medan Amplas, Kota Medan sebagaimana tertuang dalam buku Sertifikat Hak Milik Nomor 23 Tahun 1983 terdaftar atas nama Keminah.

Harta peninggalan/warisan yaitu tanah tersebut diatas sejak meninggalnya Almarhum Amat Rejo sampai dengan sekarang belum pernah dibagi..

Para ahli waris sebelumnya telah membagi harta warisan secara kekeluargaan yakni dengan musyawarah dan mufakat kecuali kepada Sanusi Puja Kesuma karena pada saat itu ia merantau dan tidak diketahui alamatnya.

Kemudian sekitar bulan Desember tahun 2005 beberapa orang ahli waris yaitu Keminah, Almarhum Jumikem pada waktu masih hidup, Ratmi dan Watinah yang

(21)

pada waktu itu dengan arahan dan ditunjuk oleh Almarhum Legimin semasa hidupnya ada pergi atau menghadap kepada Abidin S. Panggabean selaku Notaris/PPAT di Medan.

Ketika itu ahli waris tersebut tidak mengikutsertakan dari Alm.Sanusi Puja Kesuma atau tanpa sepengetahuan dan persetujuan ahli waris Alm. Sanusi Puja Kesuma yakni Siti Rosida dan M.Rozi Maulana sebagai Penggugat I dan II.

Kemudian, selanjutnya dihadapan Notaris tersebut para ahli waris dari almarhum Sanusi Puja Kesuma yakni Siti Rosida dan M.Rozi Maulana ada diminta untuk membubuhkan tandatangan pada akta hibah mmengenai hasil pembagian yang telah dibagi secara perdamaian dengan seolah-olah telah terjadi hibah kepada ahli waris lain. Dalam pelaksanaan penandatanganan akta tersebut sebelumnya tidak dijelaskan, dibacakan atau menyuruh membaca kepada penghadap. Akibat tandatangan tersebut ternyata setelah disadari adalah menyangkut pembagian harta tanah terperkara dengan cara yang tidak benar yakni dengan melanggar hak- hak yang dimiliki oleh ahli waris lain. Ketidakbenaran dalam pembagian tersebut terjadi karena:

1. Keminah mendapat bagian yang sangat sedikit yaitu hanya seluas lebih kurang 19 meter persegi.

2. Almarhum Jumikem hanya mendapat bagian seluas lebih kurang 39 meter persegi.

3. Ratmi hanya mendapat bagian seluas lebih kurang 39 meter persegi.

4. Watinah hanya mendapat bagian seluas lebih kurang 45 meter persegi.

(22)

5. Selebihnya Almarhum Legimin mendapat bagian seluas lebih kurang 1.448 meter persegi.

Sedangkan ahli waris Almarhum Sanusi Puja Kesuma yakni mantan isterinya dan juga anak-anaknya sama sekali tidak ada mendapat bagian atas haknya selaku ahli waris yang sah.

Oleh karena telah dilakukan pembagian harta warisan secara perdamaian antara para ahli waris namun tidak mengikutsertakan salah seorang ahli waris karena tidak diketahui keberadaannya maka, dari itu para penggungat meminta kepada majelis hakim untuk dilakukan menetapkan siapa-siapa saja ahli warisnya, menetapkan tanah terperkara sebagai objek harta warisan, pembagaian harta warisan secara faraidh, serta patut dan beralasan hukum untuk membatalkan segala akte-akte hibah notaris yang dibuat dihadapan Abidin S. Panggabean dan atau surat-surat lainnya sepanjang ada kaitannya yang mendasari pembagian yang dilakukan sebelumnya atas harta warisan dimaksud.

Berdasarkan uraian diatas, maka dilakukan suatu penelitian untuk menelaah lebih lanjut mengenai pembagian harta warisan berdasarkan kesepakatan atau perdamaian. Penelaahan ini nantinya akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan judul “Pembagian Harta Warisan Secara Perdamaian (Tashaluh) Tanpa Melibatkan Salah Seorang Ahli Waris Menurut Hukum Waris Islam (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor : 409/Pdt.G/2011/PA.MDN)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka dapat diidentifikasi beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

(23)

1. Bagaimana batasan-batasan pembagian warisan secara perdamaian (tashaluh) menurut hukum waris Islam?

2. Bagaiaman kedudukan dan kekuatan hukum pembagaian warisan dengan cara perdamaian (tashaluh) tanpa melibatkan salah seorang ahli waris?

3. Bagaimana analisis hukum dalam Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor : 409/Pdt.G/2011/PA.MDN?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis batasan-batasan pembagian warisan secara perdamaian (tashaluh) menurut hukum waris Islam.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan dan kekuatan hukum pembagaian warisan dengan cara perdamaian (tashaluh) tanpa melibatkan salah seorang ahli waris.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor : 409/Pdt.G/2011/PA.MDN.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara teoretis kepada disiplin ilmu hukum yang kemudian dapat diterapkan oleh aparat penegak hukum maupun praktis hukum yang berkompeten dibidangnya masing-masing.

1. Secara teoritis

(24)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan penambahan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan oleh pihak yang membutuhkan sebagai bahan kajian pada umumnya, khususnya pengetahuan dalam hal pembagian harta warisan.

2. Secara praktis

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para mahasiswa dan masyarakat dalam hal mengetahui secara jelas tentang sistem pembagian harta warisan menurut hukum Islam khususnya yang berlaku di Indonesia.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan informasi yang ada dan sepanjang penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum serta Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian sebelumnya yang berjudul

“Pembagian Harta Warisan Secara Perdamaian (Tashaluh) Tanpa Melibatkan Salah Seorang Ahli Waris Menurut Hukum Waris Islam (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor : 409/Pdt.G/2011/PA.MDN).” Akan tetapi ada beberapa penelitian-penelitian terdahulu yang pernah melakukan penelitian terkait tentang pembagian harta warisan, namun judul dan substansi berbeda dengan penelitian ini.

Adapun penelitian yang berkaitan dengan pembagian harta warisan tersebut yang pernah dilakukan adalah:

1. Penelitian oleh Riva Yulia Pratiwi Ersa Br. Perangin-Angin, NIM : 107011131, Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera

(25)

Utara, dengan judul penelitian “Tinjauan Yuridis Tentang Pembagian Warisan Dengan Cara Perdamaian (Tashaluh) Menurut Hukum Islam”

masalah yang diteliti adalah:

a. Bagaimanakah pembagian warisan dengan cara perdamaian (Tashaluh) menurut hukum Islam?

b. Bagaimanakah kekuatan hukum hasil pembagian warisan dengan cara perdamaian (Tashaluh) menurut Hukum Islam tersebut?

c. Bagaimanakah pembagian warisan dengan cara perdamaian (Tashaluh) diPengadilan Agama?

2. Penelitian oleh Endah Mayana, NIM : 107011084, Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian

“Analisis Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Yang Dikuasai Oleh Salah Satu Ahli Waris (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2134/K/Pdt/1989” masalah yang diteliti adalah:

a. Faktor-faktor apa yang menyebabkan sebahagian ahli waris menguasai harta warisan?

b. Bagaimana tindakan hukum yang dilakukan ahli waris yang dikuasai haknya oleh ahli waris yang lain?

c. Bagaimana analisis terhadap putusan Mahkamah Agung dalam menyelesaikan kasus No. 2134. K/PDT/1989?

3. Penelitian oleh Julyana, NIM : 087011056, Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian

“Analisis Yuridis Pembagian Harta Bersama Milik Orang Tua Yang

(26)

Dilakukan Anak Di Kala Kedua Orang Tua Masih Hidup (Putusan MA Tanggal 27 Oktober 2004, No.1187 K/PDT/2000), masalah yang diteliti adalah:

a. Mengapa hanya seorang anak saja yang diberikan hak milik atas harta bersama berupa tanah dan bangunan Toko “Agung”?

b. Bagaimana akibat hukum pembagian harta bersama milik orang tua yang dilakukan anak di kala kedua orang tua masih hidup ?

c. Bagaimana kedudukan anak luar kawin terhadap pewarisan dalam kasus Putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Oktober 2004 No. 1187 K/PDT/2000 antara Ny. Tan Jong Nio dan Hadianto Utomo melawan Jap Hong Tjiang, Hadi Soetjipto dan Susan Cahya Dewi ?

F. Kerangka Teori Dan Kerangka Konsep 1. Kerangka Teori

Karangka teori ialah karangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem). Yang menjadi bahan perbandingan pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.13

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.14 Jelaslah kiranya teori adalah susunan konsep, defenisi yang dalam yang menyajikan pendangan yang sistematis tentang fenomena.15 Keberadaan teori dalam dunia ilmu sangat penting karena teori merupakan konsep yang akan menjawab suatu masalah.

13M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal 80

14J.J.J. Wuisman, dengan Penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu –ilmu Sosial, (Jakarta : FE-UI,1996), hal 126

15 Sofian Safitri Harahap, Tips Menulis Skripsi dan Menghadapi Ujian Komprehensif, (Jakarta : Pusaka Quantum, 2001), hal 40

(27)

Kemudian dalam membahas mengenai pelaksanaan pembagian harta warisan secara perdamaian, maka dalam penelitian ini digunakanlah teori keadilan menurut hukum waris Islam dan teori maslahat.

a. Teori keadilan menurut hukum waris Islam

Salah satu nama Allah yang terdapat dalam Asma Ul Husna adalah Al- Adil. Biasanya dalam bahasa Arab adil diartikan dengan lurus, lawan bengkok.

Orang yang adil harus berjalan lurus dan sikapnya harus menggunakan ukuran yang sama bukan ganda. Bila dia seorang Hakim, maka dia baru disebut dengan adil, bila ia tidak berpihak kepada salah seorang yang berselisih/berperkara.16

Menurut Zamakhsyari Hasballah, menjelaskan dengan adanya teori hukum Islam ‘adl memberikan ketetapan hukum dengan benar, jadi seorang yang adil adalah berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan itulah yang merupakan makna asal kata ‘adl, yang menjadikan pelakunya “tidak berpihak” kepada salah seorang yang berselisih, dan pada dasarnya pula seorang yang adil berpihak kepada yang benar, karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya dalam menerima bagian warisan.17

Sebagai pegangan, bahwa defenisi adil mempunyai 4 (empat ) arti yaitu:

a. Adil dalam arti sama : artinya tidak membedakan antara yang satu dengan yang lain sebagai contoh adalah, Hakim dipengadilan harus memandang sama, menempatkan tempat yang sama antara penggugat dan tergugat.

Maksudnya penggugat dan tergugat memiliki hak yang sama. Firman Allah disurat An-nisa’ayat 58, Yang artinya : “apabila kamu memutuskan perkara diantara manusia, maka hendaklah kamu memutuskannya dengan adil”

16 Hasballah Thaib dan Zamakhsyari Hasballah, Tafsir Tematik Al-Qur’an II, (Medan:

Pustaka Bangsa, 2007), hal. 239

17Ibid., hal 245

(28)

b. Adil artinya seimbang dalam arti proporsional yaitu keadilan yang diberikan pada hukum waris islam. Misalnya hak anak laki-laki 2 kali bahagian anak perempuan karena tanggung jawab anak laki-laki lebih berat, karena anak laki-laki nantinya akan menjadi ayah, akan menjadi suami, tentu saja wajib mengeluarkan harta lebih banyak dibanding anak perempuan yang akan menjadi isteri atau ibu.

c. Adil dalam arti hak-hak individu artinya setiap orang memiliki haknya masing-masing, atau dengan kata lain disebut menempatkan sesuatu pada tempatnya.

d. Keadilan Allah yang tidak mampu akal manusia untuk memahaminya, keadilan Allah pada hakikatnya merupakan rahmat dan kebaikannya.18 Keadilan dalam kewarisan, sebagaimana dikemukakan oleh Hasanani Muhammad Makhluf, ahli fiqih kontemporer asal mesir, bahwa Islam mensyaratkan aturan hukum yang adil karena menyangkut penetapan hak milik seseorang, yakni hak yang harus dimiliki seseorang sebagai ahli waris dengan sebab meninggalnya seseorang yang lain.19

Hal demikian menunjukkan bahwa keadilan dalam hukum waris Islam bukan saja keadilan yang bersifat distributif semata (yang menentukan besarnya porsi berdasarkan kewajiban yang dibebankan dalam keluarga), akan tetapi juga bersifat kumulatif, yakni bagian warisan juga diberikan kepada wanita dan anak- anak. Hal tersebut berbeda dengan hukum warisan Yahudi, Romawi dan juga hukum adat pra Islam, bahkan sebagiannya hingga sekarang masih berlaku.20

Konsep keadilan dalam Al-Quran dan Hadis memposisikan diri secara jelas tanpa kompromi dan diskriminasi, kita diperintahkan semaksimal mungkin untuk selalu obyektif terhadap keputusan yang akan diambil. Menghindari sikap sentimen kesukuan, kebencian, dalam memutuskan suatu perkara sehingga dapat

18Ibid.

19Hasanain Muhammad al-Makhluf, Almawaris fi al-Syari’ah al-islamiyah, (Kairo : Daar al-Fadhilah, 2007), hal 125

20 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 124.

(29)

bersikap adil, apabila seseorang berlaku adil maka ia akan lebih dekat kepada kebajikan yang sempurna, sebaliknya jika tidak berlaku adil maka kebajikan akan makin jauh dari kehidupan.

b. Teori maslahat

Teori kedua yang digunakan dalam penelitian ini yang merupakan pendukung teori keadilan adalah teori maslahat. Maslahat secara etimologi atau bahasa berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan, keselamatan, faedah atau kegunaan dan manfaat.21

Imam Al-Ghazali mengemukakan tolak ukur yang menjadi dasar utama dalam menentukan maslahat adalah syariat yang diarahkan untuk memelihara pencapaian tujuan syariat Islam yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara harta.22 Namun, Ibnu Asyura mengatakan yang termasuk dalam tujuan syariat Islam adalah memelihara lingkungan dan ketertiban umum. Maslahat berarti mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan syariat Islam. Esensi maslahat terletak pada terciptanya kebaikan dan kesenangan serta terhindar dari kerusakan dalam kehidupan manusia.

Secara normatif maslahat merujuk pada keadaan yang seharusnya ada yaitu hanya mengedapankan sifat positif dalam kehidupan berupa kebaikan, kenyamanan serta kedamaian dengan menolak berbagai sisi negatif yang menimbulkan kerusakan, bahaya serta kerugian bagi kehidupan manusia. Aspek

21 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:

Balai Pustaka, 1995), hal. 634.

22Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam Bagian Pertama, (Jakarta: Logos Wahana Ilmu, 1997), hal.142.

(30)

normatif maslahat itu harus dapat diwujudkan dalam tujuan empiris sehingga keberadaanya dirasakan dan dialami oleh masyarakat.

Kemaslahatan dijelmakan ke dalam hukum untuk dapat mewujudkan kehidupan yang bahagia, damai sesuai dengan keberadaan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Peranan maslahat dalam menentukan hukum dapat menyelesaikan sengketa warisan yang dikuasai oleh sebagian ahli waris.

Kemaslahatan senantiasa bersandar pada syariah dan hanya dapat diaplikasikan dalam bidang muamalah bukan pada ibadah yang telah ditentukan tata caranya dalam syariat Islam. Kemaslahatan mirip dengan utilitarianisme hanya saja utilitarianisme terbatas pada kebahagian dunia saja, sedangkan maslahat mencakup kemaslahatan diakhirat.

2. Kerangka Konsep

Konsepsi adalah salah satu bagian yang terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan kenyataan. Konsepsi diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang di generalisasikan dari hal-hal khusus yang disebut defenisi operasional.23 Maka dalam penelitian ini disusun berberapa defenisi operasional dari konsep-konsep yang akan digunakan agar tidak terjadi perbedaan pengertian yakni:

a. Pembagian adalah proses, cara, perbuatan membagi atau membagikan;

hitungan membagi.24

23Samadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 3

24 Dani K, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Dilengkapi Dengan EYD, (Surabaya:Putra Harsa, 2002), hal 71

(31)

b. Harta warisan adalah harta bawaan ditambah dengan bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat.25

c. Perdamaian (tashaluh) dalam ensiklopedia hukum Islamialah sepadan dengan kata as-sulh yang artinya akad untuk menyelesaikan suatu persengketaan atau perselisihan menjadi perdamaian. Dalam pengertian yang lain ialah upaya yang dilakukan secara damai.26

d. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.27

e. Hukum waris islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.28

G. Metode Penelitian

Penelitian (research) sesuai dengan tujuannya dapat didefinisikan sebagai usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.29 Usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah yang disebut dengan metodologi penelitian.30 Sebagai suatu penelitian

25Pasal 1 tentang Ketentuan Umum Point e Kompilasi Hukum Islam.

26Ensiklopedia Hukum Islam jilid 5 cet I, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,1993), hal 1653

27Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam

28Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam

29 Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, (Malang: UMM Press,2009), hal. 91

30Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yokyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, 1973), hal.5

(32)

yang ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian di awali dengan pengumpulan data hingga analisis data yang dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah penelitian sebagai berikut:

1. Jenis Dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulian tesis ini adalah yuridis normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum objektif atau norma hukum, yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum.31 Dalam metode penelitian yuridis normatif tersebut akan menelaah secara mendalam terhadap asas-asas hukum, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan pendapat para ahli hukum, serta memandang hukum secara komprehensif. Artinya hukum bukan saja sebagai seperangkat kaidah yang bersifat normatif atau apa yang menjadi teks undang- undang (law in book) melainkan juga melihat bagaimana bekerjanya hukum (law in action).

Penelitian hukum dengan subjek peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan dapat dikategorikan sebagai penelitian hukum doktrinal, yaitu penelitian inventarisasi hukum positif, asas-asas, penemuan hukum in concreto, sistem hukum, dan sinkronisasi hukum.32

Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis dengan menguraikan permasalahan secara sistematis dan kompeherensif.

Deskriptif maksudnya dari suatu penelitian diperoleh gambaran secara sistematis dan rinci tentang permasalahan yang akan di teliti. Analisis maksudnya

31Ibid, hal 12

32Ronny Hanitjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hal.106

(33)

berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan di analisis secara cermat bagaimana menjawab permasalahan. Jadi deskriptif analitis maksudnya adalah untuk menggambarkan, menjelaskan, dan menganalisis permasalahan dari setiap temuan data baik primermaupun sekunder, langsung di olah dan di analisis untuk memperjelas data secara kategoris, penyusunan secara sistematis, dan di kaji secara logis.33 Penelitian inimerupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.

2. Sumber Data

Dalam penelitian hukum normatif, data yang dipergunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) yang bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan informasi-informasi serta pemikiran konseptual, baik berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.34

Data sekunder yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, yang terdiri dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan ketentuan hukum waris yaitu Al-Qur’an dan Hadist, Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991), Undang- Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-

33Joko.P.Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,1997), hal.2

34Jhonny Ibrahim, Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Pertama, (Malang: Bayu Media, 2005), hal. 192

(34)

Undang Nomor 50 Tahun 2009, dan Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor: 409/Pdt.G/2011/PA.MDN.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang berkaitan dengan bahan hukum primer, misalnya, buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan, tulisan para ahli, makalah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan sekunder untuk memberikan informasi tentang bahan- bahan sekunder, misalnya majalah, surat kabar, kamus hukum, kamus Bahasa Indonesia dan website.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka. Dalam teknik penelitian pustaka (library research) ini berasal dari buku-buku, arikel-artikel dan peraturan perundang-undangan.

4. Alat Pengumpulan Data

Alat-alat pengumpulan data diawali dengan kegiatan penelusuran peraturan perundang-undangan dan sumber hukum positif lain dari sistem hukum yang dianggap relevan dengan pokok persoalan hukum yang sedang dihadapi.35

Untuk mendapatkan hasil penelitian yang optimal dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya. Alat pengumpulan

35Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) hal 109

(35)

data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan-bahan kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

5. Analisis Data

Puncak kegiatan pada suatu penelitian ilmiah hukum adalah menganalisa data yang merupakan hasil penelitian yang telah dilakukan.36 Analisis data dapat diartikan sebagai proses menganalisa, manfaatkan data yang terkumpul untuk digunakan dalam pemecahan masalah penelitian. Dalam proses pengolahan, analisis dan pemanfaatan data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data kualitatif, yang bersumber dari tulisan atau ungkapan dan tingkah laku yang dapat diobservasi dari manusia.37

Mengingat sifat penelitian maupun jenis penelitian, maka semua data yang diperoleh akan dianalisa secara kualitatif, yaitu dengan cara data yang telah terkumpul dipisah-pisahkan menurut kategori masing-masing dan kemudian ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif yakni penarikan kesimpulan dari hal yang umum menjadi hal yang khusus.

36 Tampil Anshari Siregar, Metode Penelitian Hukum, (Medan: Pustaka Bangsa Pres, 2007), hal 104

37Burhan Anshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta 2007), hal 16

(36)

BAB II

BATASAN-BATASAN PEMBAGIAN WARISAN SECARA PERDAMAIAN (TASHALUH) MENURUT

HUKUM WARIS ISLAM

A. Pengertian Perdamaian (Tashaluh) Dalam Pembagian Warisan

Sebelum membahas lebih dalam mengenai pembagian warisan secara perdamaian (tashaluh), maka ada baiknya membahas terlebih dahulu mengenai waris dalam hukum Islam.

Pengertian waris dalam buku ensiklopedia hukum Islam bahwa kata waris itu berasal dari bahasa Arab yaitu waritsa-yartisu-atau irtsan-miratsun yang berarti mempusakai adalah ketentuan-ketentuan tentang pembagian harta pusaka yang meliputi ketentuan siapa yang berhak dan tidak berhak menerima harta pusaka dan berapa besar harta yang diterima masing-masing, disinggung juga hukum waris yang dibawa Nabi Muhammad SAW telah mengubah struktur hukum waris Arab pra Islam dan sekaligus merombak sistem kekerabatan, bahkan juga merombak sistem pemilikan harta didalam masyarakat Arab pada waktu itu, hukum waris Islam juga mengandung aturan setiap pribadi baik itu laki-laki atau perempuan berhak memiliki harta warisan.38

Maknanya menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain dan tidaklah terbatas hanya pada hal hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Al-mirats menurut istilah ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang

38Ensiklopedia Hukum Islam jilid 5 Cet I, Op.Cit., hal 1993

(37)

ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.39

Sedangkan waris menurut istilah yaitu, berpindahnya hak milik orang yang meninggal dunia kepada para ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkannya itu berupa harta bergerak maupun tidak bergerak atau hak-hak menurut hukum Syara’. Perkataan “warisan” atau “faraidh” (kata jama) dan kata

“warotsa “ artinya pemindahan hak milik dari seseorang kepada orang lain setelah pemiliknya meninggal dunia, sedangkan kata “faraidh” artinya bahagian yang tertentu bagi ahli waris dari harta pusaka, seperti seperdua, seperempat dan sebagainya.40 Diambil dari kata faraidh-lah beberapa istilah berikut: waris, warisan, pewaris, ahli waris, mewarisi, proses pewarisan dan hukum waris.

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam sebagaimana termuat dalam Pasal 171 huruf a menerangkan hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

Menurut Ilmu fiqih mewaris mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban ahli waris terhadap harta warisan, menentukan siapa yang berhak terhadap warisan, bagaimana cara pembagiannya masing-masing. Fiqih mewaris disebut juga ilmu faraidh, karena berbicara tentang bagian-bagian tertentu yang

39http://eightiswordpress.com.ilmu –waris-pandangan –tentang-waris.2013, diakses tanggal 7Januari 2017.

40Mahyudin Syaf, ”Pelajaran Agama Fiqih” Cet. I, (Bandung: Sulita,1967), hal 116

(38)

menjadi hak ahli waris.41 Pembahasan fiqih mewaris, meliputi masalah-masalah tajhiz, yaitu pengurusan mayat, pembayaran utang dan wasiat, kemudian tentang pembagian harta.

Kewarisan Islam memiliki sumber-sumber hukum yang menjadi dalil atau dasar sebagai penguat hukum kewarisan tersebut. Diantara sumber-sumber hukum kewarisan dalam Islam diantaranya adalah, sebagai berikut:

1. Dalil-dalil yang bersumber dari Al-Qur’an.

2. Dalil-dalil yang bersumber dari Al-Sunnah.

3. Dalil-dalil yang bersumber dari ijma’ dan ijtihad para ulama’.42 Dalam Al-Qur’an terdapat dalam Surah An-Nisa' ayat 11, 12 dan 176.

Pada Al-qur’an Surah An-Nisa' ayat 11, Allah berfirman yang artinya :

“Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak- anakmu, yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan. Dan apabila anak tersebut semuanya perempuan (lebih dari dua orang), maka berilah mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan tersebut seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang Ibu Bapak, bagai mereka masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, apabila yang meninggakan itu mempunyai anak. Apabila yang meninggal tersebut tidak mempunyai anak, sedangkan ahli waris hanya ibu dan bapak, maka bagian ibu adalah sepertiga. Apabila pewaris meninggalkan saudara, maka bagian ibu adalah seperenam. (Pembagian pembagian tersebut) dilakukan setelah pelaksanaan wasiat yang dibuat pewaris serta setelah dibayarkan utangnya.

Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, tidak akan kamu ketahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) mendatangkan manfaat kepadamu. (Ketentuan) ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Dalam Al-qur’an Surah An-Nisa' ayat 12, Allah berfirman yang artinya :

“Dan bagimu (suami-suami) adalah seperdua dari harta-harta yang ditinggalkan isteri isterimu, apabila mereka tidak mempunyai anak.

41 H.A Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Prenada Media Group, 2005), hal 48

42H.R. Otje Salman dan Mustafa Haffas., Op.Cit.,hal 3

(39)

Apabila mereka mempunyai anak, maka bagianmu (suami) adalah seperempat dari harta-harta yang ditinggalkan isteri-isterimu, setelah dilaksanakan wasiat dan dibayarkan utangnya. Para isteri memperoleh seperempat bagian dari harta yang ditinggalkan apabila kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu meninggalkan anak maka isteri-isterimu memperoleh seperdelapan bagian, setelah dilaksanakan wasiat dan dibayarkan utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan, namun tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi apabila saudara seibu tersebut lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam sepertiga tersebut, sesudah dilaksanakan wasiat yang dibuat dan dibayarkan utang yang dibuat, dengan tidak memberikan mudharat (bagi ahli waris). Allah menetapkan yang demikian tersebut sebagai syarai 'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”

Dan dalam Al-qur’an Surah An-Nisa' ayat 176, Allah berfirman yang artinya :

“Mereka meminta fatwa kepadamu tentang Kalalah (tidak meninggalkan ayah dan anak), maka katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah yaitu: Jika seorang meninggal dunia dan tidak mempunyai anak (tetapi) mempunyai (seorang saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan tersebut seperdua dari harta yang ditinggalkan, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan).

Jika ia tidak mempunyai anak, tetapi mempunyai dua orang saudara perempuan, maka bagi mereka dua pertiga dan harta yang ditinggalkannya.

Dan Jika ahli warisnya terdiri dari seorang saudara laki-laki dan saudara perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki adalah dua bahagian dari saudara perempuan. Alah menerangkan hukum ini kepadamu supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Ayat-ayat tentang kewarisan tersebut di atas merupakan ketentuan Allah SWT yang secara umum menyangkut siapa-siapa saja yang menjadi ahli waris berdasarkan hubungan kekerabatan seperti ayah, ibu, anak, dan saudara, ataupun karena hubungan perkawinan (suami/isteri). Selain dari pada itu juga menentukan tentang berapa besar bagian masing masing ahli waris dan langkah apa saja yang dilakukan sebelum menentukan harta peninggalan pewaris baru dikatakan sebagai

(40)

harta warisan (terlebih dahulu menyelesaikan wasiat pewaris dan membayarkan utang pewaris).

Dasar hukum kewarisan yang kedua yaitu dasar hukum yang terdapat dalam hadist. Dari banyak hadist Nabi Muhammad SAW yang menjadi landasan hukum kewarisan Islam, hanya dicantumkan beberapa dari hadist Nabi, diantaranya sebagai berikut :

Hadist dari Muhammad Abdullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra, yaitu artinya, Dari Ibnu Abbas ra dari Nabi SAW bersabda: “berikanlah harta pusaka kepada orang yang berhak. Sisanya untuk (orang) laki-laki yang lebih utama.”

Hadist Nabi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah menurut riwayat Imam Ibnu Majah, yaitu artinya: Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa membunuh seorang korban, maka ia tidak dapat mewarisinya, walaupun korban tidak mempunyai ahli waris lain selain dirinya sendiri, begitu juga walaupun korban itu adalah orang tuanya atau anaknya sendiri. Maka bagi pembunuh tidak berhak menerima warisan”.

Meskipun Al-Qur’an dan Hadist telah memberi ketentuan terperinci tentang pembagian harta warisan, tetapi dalam beberapa hal masih diperlukan adanya ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam kedua sumber hukum tersebut. Yang dimaksud ijtihad dalam menerapkan hukum, bukan untuk mengubah pemahaman atau ketentuan yang telah ada. Misalnya mengenai bagian warisan bagi orang banci atau dalam ilmu faraidh disebut khunsta, harta warisan

(41)

yang tidak habis terbagi kepada siapa sisanya diberikan, bagian ibu apabila hanya bersama-sama dengan ayah atau duda atau janda.43

Hukum waris Islam mengenal cara pembagian waris yang disebut dengan perdamaian atau tashaluh. Menurut Ahmad Rofiq, cara damai sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Muhammad Salam Madkur, bahwa Umar Bin Khattab ra menasehatkan kepada kaum muslimin agar diantara pihak yang mempunyai urusan dapat memilih cara damai. Umar ra berkata : “boleh mengadakan perdamaian diantara kaum muslimin, kecuali mengadakan perdamaian yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal”. Lebih tegas lagi Umar memerintahkan : “kembalikanlah penyelesaian perkara diantara sanak saudara sehingga mereka dapat mengadakan perdamaian, karena sesungguhnya penyelesaian pengadilan itu menimbulkan perasaan tidak enak”.44

Selain itu, menurut Ahmad Rofiq, dengan cara damai (tashaluh) memungkinkan ditempuh upaya-upaya untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antara ahli waris yang satu dengan yang lainnya, sebab kesenjangan ekonomi antara keluarga dapat memicu timbulnya konflik di antara mereka.45

Menurut Muhibin Aman Aly dalam bukunya “Mengenal Istilah Dan Rumus Fuqaha”, membagi perdamaian menjadi 4 (empat) macam, yaitu :

1. Perdamaian antara muslim dengan kafir.

Yakni membuat perjanjian untuk meletakkan senjata dalam masa-masa tertentu secara bebas atau dengan cara mengganti kerugian yang diatur dalam Undang-Undang yang telah disepakati kedua belah pihak, atau biasa dikenal dengan istilah gencatan senjata).

2. Perdamaian antara Kepala Negara dengan pemberontak.

43Ibid., hal 10

44Ahmad Rofiq, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta:Gama Media,2000), hal.15 (selanjutnya disebut Ahmad Rofiq 2)

45Ahmad Rofiq 2, Op.Cit., hal 199

(42)

Yaitu membuat perjanjian atau peraturan yang harus ditaati mengenai keamanan.

3. Perdamaian antara suami dan isteri.

Yaitu membuat perjanjian dan aturan-aturan mengenai pembagian nafkah, dan dalam masalah menyerahkan haknya kepada suaminya manakala terjadi perselisihan.

4. Perdamaian dalam bidang muamalah.

Yaitu membentuk perdamaian dalam masalah yang ada kaitannya dalam perselisihan yang terjadi dalam masalah muamalah. Perdamaian dalam bidang atau urusan muamalah, misalnya: masalah utang-piutang, masalah jual beli, masalah orang yang berlaku curang dengan orang yang tidak curang, masalah pembunuhan, masalah harta termasuk harta warisan, dan lain sebagainya.46

Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebenarnya telah mengakomodasi sistem pembagian warisan dengan cara damai (tashaluh) ini dalam Pasal 183 KHI yang menyatakan: “para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warian setelah masing-masing menyadari bagiannya.” Kompilasi Hukum Islam dengan klausal di atas menghendaki agar pembagian warisan dengan cara damai (tashaluh) ini para ahli waris mengerti hak-hak dan bagian yang diterima, sebagaimana diatur dalam Al-Qur’an tentang furud al- muqaddarah. Setelah itu masing-masing pihak berdamai. Apabila ada di antara ahli waris yang ada secara ekonomi kekurangan dan mendapat bagian yang sedikit, kemudian ahli waris yang menerima bagian yang banyak dengan ikhlas memberikan kepada yang lain adalah tindakan yang sangat positif dan terpuji,47 atau semuanya diserahkan kepada kesepakatan ahli waris untuk menentukan bagian mereka masing-masing.

Pembagian warisan dengan cara damai (tashaluh) ini biasanya dilakukan oleh para ahli waris agar hubungan kekeluargaan tetap terjalin dengan baik.

46Muhibin Aman Aly, Mengenal Istilah Dan Rumus Fuqaha, (Kediri: Madrasah Hidayatul Mubtadiin, 2002), hal 65.

47Ahmad Rofiq 2, Op.Cit., hal 200

(43)

Sebenarnya, inti pokok dari asas ini adalah adanya kerelaan dari ahli waris yang ada untuk memberikan bagian sesuai dengan “kehendak” dari ahli waris. Kalau ada ahli waris yang karena secara ekonomis berkecukupan, sementara ahli waris yang lain ada yang miskin, maka dengan kerelaan, ahli waris yang miskin mengambil bagian yang lebih banyak. Begitu juga dapat terjadi seorang ahli waris memberikan tambahan bagian pada bagian ahli waris-ahli waris yang lain, sedangkan ahli waris yang bersangkutan ikhlas tidak mengambil bagiannya sama sekali.48

Kata mufakat yang dihasilkan berdasarkan musyawarah, kadang-kadang mengakibatkan adanya perbedaan bagian yang diterima oleh ahli waris dengan bagian menurut yang ditentukan dalam Islam. Walaupun demikian, semangat atau jiwa dari hukum kewarisan Islam tidak ditinggalkan, artinya pada ahli waris ada kesadaran mengenai bagian yang harus didapat berdasarkan angka-angka faraidh, tetapi sering kali hal itu disubordinasikan (ditarik ke belakang) dengan memberikan kesempatan bagi prinsip “kerelaan” untuk lebih berperan. Hal ini terbukti ketika ahli waris tidak menemui kata sepakat, yang berarti kerelaan di antara ahli waris tidak ada, maka satu-satunya alternatif adalah menjalankan ketetapan sebagaimana termaktub dalam hukum kewarisan Islam.

B. Alasan Memilih Pembagian Warisan Secara Perdamaian (Tashaluh) Kewarisan menurut hukum Islam ialah proses pemindahan harta peninggalan seseorang yang telah meninggal, baik yang berupa benda yang wujud maupun yang berupa hak kebendaan, kepada keluarganya yang dinyatakan berhak

48Fatchur Rahman., Ilmu Waris, ( Bandung : Al-Maarif, 1997), hal 115

(44)

menurut hukum Islam. Maka dalam waris Islam ada prinsip yang mengaturnya adapun prinsip tersebut dapat disimpulkan yaitu:

1. Waris menempuh jalan tengah antara memberi kebebasan kepada seseorang untuk memindahkan harta peninggalannya dengan jalan wasiat kepada orang lain yang dikehendaki seperti yang berlaku dalam masyarakat individualis/kapitalis, dan melarang sama sekali pembagian harta peninggalan seperti yang menjadi prinsip komunisme yang tidak mengakui adanya lembaga hak milik perorangan, yang dengan sendirinya tidak mengenal sistem kewarisan.

2. Waris merupakan ketetapan hukum yang mewariskan tdak dapat menghalangi ahli waris dari haknya atas harta peninggalan dan ahli waris berhak atas harta peninggalan tanpa memerlukan pernyataan menerima dengan sukarela atau atas putusan pengadilan tetapi ahli waris tidak dibebani melunasi hutang pewaris dari harta pribadinya.

3. Waris terbatas dalam lingkungan keluarga, dengan adanya hubungan perkawinan atau pertalian darah, keluarga yang lebih dekat hubungannya dengan pewaris lebih diutamakan daripada keluarga yang lebih jauh.

4. Waris Islam lebih condong untuk membagi harta warisan kepada sebanyak mungkin ahli waris yang sederajat, dengan menentukan bagian tertentu kepada beberapa ahli waris, misalnya jika ahli waris terdiri dari ibu, istri, seorang anak perempuan dan saudara perempuan kandung, semuanya mendapat bagian.

5. Waris tidak membedakan hak anak atas harta peninggalan, anak yang sulung, menengah atau bungsu, telah besar atau atau baru saja lahir, telah berkeluarga atau belum, semua berhak atas harta peninggalan orang tua.

6. Waris Islam membedakan besar kecil bagian tertentu ahli waris diselaraskan dengan kebutuhannya dalam kehidupan sehari-hari, disamping memandang jauh dekatnya hubungan kekeluargaan dengan pewaris.49

Menurut Islam, mempusakai atau mewarisi itu berfungsi menggantikan kedudukan pewaris dalam memiliki dan memanfaatkan harta miliknya. Bijaksana sekali sekiranya kalau penggantian ini dipercayakan kepada orang-orang yang banyak memberi bantuan, pertolongan, pelayanan, pertimbangan dalam kehidupan berumah tangga dan mencurahkan tenaga dan harta demi pendidikan putra- putrinya, seperti suami istri. Atau dipercayakan kepada orang-orang yang selalu

49Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta : UUI Pres Yogyakarta, 2001), hal132-134

(45)

menjunjung tinggi martabat dan nama baiknya dan selalu mendoakan sepeninggalnya, seperti anak turunannya. Atau dipercayakan kepada orang yang telah banyak menumpahkan kasih sayang, menafkahinya, mendidiknya, serta orang yang rela mengorbankan harta bendanya untuk membebaskannya dari perbudakan menjadikan dia manusia bebas yang mempunyai hak kemerdekaan penuh dan cakap bertindak, seperti orang yang membebaskan budak dan lain sebagainya.50

Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.

Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.

Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah SAW dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu

50H.R. Otje Salman dan Mustofa Haffas, Op.Cit, hal 6.

(46)

hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.

Hukum Islam adalah hukum yang bersifat universal, karena merupakan bagian dari ajaran agama Islam yang universal sifatnya, yaitu berlaku bagi setiap orang di manapun ia berada dan apapun nasionalismenya. Adapun tujuan dari hukum Islam pada hakikatnya adalah untuk merealisir kemaslahatan umum dan mencegah kemudaratan bagi umat manusia.51 Di dalam hukum Islam masalah kewarisan mendapat perhatian besar dan merupakan bagian yang terpenting dalam sistem hukum Islam, sehingga Islam mengatur pembagian warisan secara rinci agar tidak terjadi perselisihan sesama ahli waris sepeninggal orang yang hartanya diwarisi. Pengaturan ini dikenal dengan hukum kewarisan Islam, yaitu aturan yang mengatur pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya.52

Pembagian warisan dengan cara damai (tashaluh) ini biasanya dilakukan oleh para ahli waris agar hubungan kekeluargaan tetap terjalin dengan baik.

Sebenarnya, inti pokok dari asas ini adalah adanya kerelaan dari ahli waris yang ada untuk memberikan bagian sesuai dengan “kehendak” dari ahli waris. Kalau ada ahli waris yang karena secara ekonomis berkecukupan, sementara ahli waris yang lain ada yang miskin, maka dengan kerelaan, ahli waris yang miskin

51Yahya Muhtar, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Bandung:Al-Ma’arif,1993), hal 333

52Ali Zainuddin, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia Cet ke-1, (Jakarta: Sinar Grafika,2008), hal 33

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Hasil penelitian diketahui bahwa: 1) Akibat hukum atas pelaksanaan pemberian wakaf atas tanah yang dibuat dibawah tangan yang tidak disetujui oleh ahli waris yaitu status tanah

Erwin Harris Rahman : Tindak Pidana Penggelapan Yang Dilakukan Pejabat Notaris Dikaitkan Dengan Sumpah Jabatan Notaris (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Medan 2601/Pid.B/2003/

Adapun hal ini terlihat dari pendapat Majelis Hakim yang melihat perbedaan yaitu Penggugat mengetahui peralihan hak atas tanah kepada orang lain atas Surat Pelepasan

Dalam tesis ini yang menjadi titik permasalahan adalah bagaimana kedudukan hukum ahli waris golongan II setelah terbitnya penetapan pengesahan yang dilakukan setelah pewaris

ditandatangani oleh seluruh ahli waris, kepala desa dan camat serta saksi-saksi sebagai alat bukti yang memiliki kekuatan hukum yang kuat dalam menentukan ahli waris yang

Isi amar Putusan Pengadilan Tinggi Nomor: 311/PDT/2009/ PT.SBY Nomor 3 tentang pembagian warisan Almarhum Agus Wijaya kepada ahli warisnya tidak sesuai menurut Kitab

Perselisihan tersebut terjadi sejak adanya pengumuman/aanmaning yang dilakukan oleh VN selaku kuasa hukum dari ahli waris pemilik tanah yang pada intinya menyatakan terhadap tanah

Pada dasarnya tesis ini merupakan upaya untuk memahami tentang bagaimana pengadilan (hakim) di Indonesia — khususnya di lokasi penelitian — mempraktekkan ketentuan