• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN JANDA TERHADAP HARTA BERSAMA DAN HARTA WARISAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM

(STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN PERKARA PENGADILAN AGAMA NOMOR 646/PDT.G/2010/PA. MDN)

TESIS

Oleh

DINDA LESTARI 107011118/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2012

(2)

KEDUDUKAN JANDA TERHADAP HARTA BERSAMA DAN HARTA WARISAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM

(STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN PERKARA PENGADILAN AGAMA NOMOR 646/PDT.G/2010/PA. MDN)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

DINDA LESTARI 107011118/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2012

(3)

Judul Tesis : KEDUDUKAN JANDA TERHADAP HARTA BERSAMA DAN HARTA WARISAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM (STUDI KASUS

TERHADAP PUTUSAN PERKARA

PENGADILAN AGAMA NOMOR

646/PDT.G/2010/PA.MDN) Nama Mahasiswa : DINDA LESTARI

Nomor Pokok : 107011118 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Abdullah Syah, MA)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD) (Dr. Idha Aprilyana, SH, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Tanggal lulus : 01 Agustus 2012

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 01 Agustus 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Abdullah Syah, MA

Anggota : 1. Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD 2. Dr. Idha Aprilyana, SH, MHum

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum

(5)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : DINDA LESTARI

Nim : 107011118

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : KEDUDUKAN JANDA TERHADAP HARTA BERSAMA DAN HARTA WARISAN MENURUT KOMPILASI

HUKUM ISLAM (STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN PERKARA PENGADILAN AGAMA NOMOR

646/PDT.G/2010/PA.MDN)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama : DINDA LESTARI Nim : 107011118

(6)

ABSTRAK

Ketentuan tentang harta bersama bila terjadi perceraian dalam perkawinan telah di atur pada Pasal 37 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing yaitu hukum agama, adat dan lainnya. Bagi warga negara yang beragama Islam berlakulah Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Harta bersama dan harta warisan telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, tetapi di dalam Al-Qur’an dan Hadis sendiri tidak ada pengaturan harta bersama secara langsung.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dasar hukum dalam menetapkan harta bersama dalam perkawinan menurut Hukum Islam, kedudukan janda terhadap harta bersama dan harta warisan ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam dan dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan Perkara Pengadilan Agama Nomor 646/Pdt.G/2010/PA.Mdn.

Sengketa harta bersama dan kewarisan telah menjadi kewenangan Peradilan Agama sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan menjadikan Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum terapan di Peradilan Agama. Namun tak banyak yang mengetahui dasar hukum dalam menetapkan harta bersama dalam perkawinan dan harta warisan pada Kompilasi Hukum Islam.

Penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan hukum dengan melihat peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Dan dilakukan juga wawancara terhadap informan sebagai data pendukung dalam penelitian ini.

Kesimpulan yang diperoleh, bahwa dasar hukum dalam menetapkan harta bersama dalam perkawinan pada Kompilasi Hukum Islam adalah hadis qudsi yang menyatakan bahwa perkongsian hukumnya boleh sehingga adat kebiasaan yang baik masyarakat muslim yang sudah lama berlangsung dan tidak ada sanggahan dari Para Ulama Islam dapat dijadikan sebagai hukum. Kompilasi Hukum Islam yang dijadikan sebagai hukum terapan pada Peradilan Agama menyatakan bahwa janda berhak mendapat setengah bagian harta bersama dan terhadap harta warisan janda mendapat seperdelapan dari harta warisan yang ditinggalkan almarhum suaminya jika pewaris ada meninggalkan anak. Dalam penerapan hukum di peradilan agama hendaknya hakim lebih berhati-hati dalam memeriksa kasus-kasus tertentu mengingat realita kehidupan keluarga di beberapa daerah di Indonesia ada pihak suami yang tidak berpartisipasi dalam membangun ekonomi keluarga. Putusan dapat di ambil secara kontra legem (bertentangan dengan Pasal 96 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam) bila ketentuan tersebut dianggap tidak adil dalam kondisi tertentu diserta dengan alasan yang akurat. Berdasarkan alasan di atas, diharapkan juga kepada Para Perumus KHI agar dapat melenturkan ketentuan Pasal 96 ayat 1 KHI.

Kata Kunci : Kedudukan Janda, Harta Bersama, Harta Warisan.

(7)

ABSTRACT

The case of joint property, when there is a divorce, has been regulated in Article 1/1974 which states that when a marriage comes to an end, the joint property will be arranged according to religious law, to adat law, and to other regulations.

For the Islamic citizens, there is the KHI (Compilation of the Islamic Law) which regulates marriage, inheritance, and perwakafan (donation for religious purposes or in the public interest). Joint property and inheritance are stipulated in the KHI, but there is no such a thing in the Al-Qur’an and Hadists.

The aim of the research was to know the legal basis of determining joint property in marriage according to the Islamic Law and the position of a widow in joint property and in inheritance, viewed from the KHI and the judge’s consideration in making the Religious Court’s verdict No. 646/Pdt.G/2010/PA.Mdn.

The dispute in joint property and in inheritance has been the responsibility of the Religious Court since Law No. 7/1989 was in effect and the KHI became the applied law in the Religious Court. However, there are not many people know the legal basis of determining joint property in marriage and in inheritance in the KHI.

The research used judicial normative approach by considering the legal provisions which came from the primary, secondary, and tertiary legal materials. The data were gathered by conducted interviews with some informants as the supporting data.

The result of the research showed that the legal basis of determining joint property in marriage in the KHI was Hadist Qudsi which states that sharing is legal;

it has been last long in the Islamic society, and there is no rejection from the ulemas (the Islamic scholars). The KHI has become the applied law in the Religious Court which states that a widow has the right to obtain half of the joint property and one- eighth of the inheritance if the testator has children. It is recommended that the judge should be careful in examining certain cases since there are some husbands who do not participate in supporting their families. The verdict can be made by using kontra legem (contrary to Article 96, paragraph 1 of the KHI) if the verdict is considered unfair in certain condition and followed by accurate reason. It is also recommended that the formulators of KHI should make the regulation in Article 96, paragraph 1 of KHI more flexible.

Keywords: Position of Widow, Joint Property, Inheritance

(8)

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul

“KEDUDUKAN JANDA TERHADAP HARTA BERSAMA MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM (Studi Kasus Terhadap Putusan Perkara Pengadilan Agama Nomor 646/Pdt.G/2010/PA.Mdn.)”. Tidak lupa juga Shalawat beriring salam penulis hadiahkan kepada Rasulullah SAW yang selalu menjadi suri tauladan dan yang syafa’atnya selalu diharapkan seluruh umatnya.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan serta dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Abdullah Syah, MA., Bapak Prof. H. M.

Hasballah Thaib, MA, PhD. dan Ibu Dr. Idha Aprillyana S., SH. M.Hum. selaku Komisi Pembimbing dan Dosen Penguji Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum. yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada:

(9)

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr Runtung SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN., selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A., SH., CN., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat selama penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah.

6. Motivator terbesar dalam hidup penulis, Ayahanda M. Thoyib Tanjung dan Ibunda Hj. Riana Hanum yang telah memberikan doa, perhatian dan kasih sayang serta dukungan yang tak putus-putusnya kepada penulis.

7. Suami tercinta Ir. Arma Indra Syahroni, anak-anak tersayang M. Ariq Prayoga, Aliyah Safirah dan Aqil Muzhaffar Ardi atas perhatian dan dukungannya.

8. Rekan-rekan Mahasiswa Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara angkatan tahun 2010, khususnya Grup B.

(10)

9. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama menjalani pendidikan.

10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis berharap semoga perhatian dan bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan yang sebaik-baiknya dari Allah SWT.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariatan pada khususnya.

Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin.

Medan, Agustus 2012 Penulis,

DINDA LESTARI

(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI

Nama Lengkap : Dinda Lestari

Tempat/Tanggal Lahir : Medan/18 Februari 1978 Kewarganegaraan : Indonesia

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jalan STM Suka Ria Nomor 17 Medan II. KELUARGA

Nama Ayah : M. Thoyib Tanjung

Nama Ibu : Hj. Riana Hanum

Nama Suami : Ir. Arma Indra Syahroni Nama Anak : Muhammad Ariq Prayoga

Aliyah Safirah Aqil Muzhaffar Ardi III. PENDIDIKAN

- SD : Tahun 1984 s/d 1990

SD Negeri Nomor 060823

- SMP : Tahun 1990 s/d 1993

SMP Harapan II Medan

- SMA : Tahun 1993 s/d 1996

SMA Harapan II Medan - Perguruan Tinggi/S1 : Tahun 1997 s/d 2001

Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara Medan

- Perguruan Tinggi/S2 : Tahun 2010 s/d 2012

Fakultas Hukum Program Studi Magister

Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah... 7

C. Tujuan Penelitian... 8

D. Manfaat Penelitian... 8

E. Keaslian Penelitian ... 9

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 11

1. Kerangka Teori ... 11

2. Konsepsi ... 18

G. Metode Penelitian... 21

1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 21

2. Sumber Data ... 22

3. Alat Pengumpul Data... 23

4. Analisis data... 24

BAB II DASAR HUKUM DALAM MENETAPKAN HARTA BERSAMA DALAM HUKUM ISLAM ... 26

A. Harta Bersama Dalam Pandangan Hukum Islam ... 26

1. Harta Bersama Dalam Tinjauan Al-Qur’an dan Hadis ... 27

2. Harta Bersama Berdasarkan Adat ( ‘Urf ) ... 34

B. Harta Bersama Dalam Kompilasi Hukum Islam ... 40 C. Pendapat Para Ulama Tentang Harta Bersama Dalam Perkawinan 47

(13)

BAB III KEDUDUKAN JANDA TERHADAP HARTA BERSAMA DAN HARTA WARISAN DITINJAU DARI KOMPILASI

HUKUM ISLAM ... 53

A. Kedudukan Janda Terhadap Harta Bersama Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam ... 53

B. Kedudukan Janda Terhadap Harta Warisan Dalam Kewarisan Islam ... 56

BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA PENGADILAN AGAMA MEDAN NOMOR 646/PDT.G/2010/PA.MDN... 72

A. Kasus Posisi Beserta Isi Putusan Sengketa Harta Bersama Dan Harta Warisan Dalam Putusan Perkara Pengadilan Agama Medan Nomor 646/Pdt.G/2010/PA.Mdn ... 72

B. Analisis Terhadap Putusan Dan Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Pengadilan Agama Nomor 646/Pdt.G/2010/PA.Mdn... 81

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 96

1. Kesimpulan... 96

2. Saran ... 97 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(14)

ABSTRAK

Ketentuan tentang harta bersama bila terjadi perceraian dalam perkawinan telah di atur pada Pasal 37 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing yaitu hukum agama, adat dan lainnya. Bagi warga negara yang beragama Islam berlakulah Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Harta bersama dan harta warisan telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, tetapi di dalam Al-Qur’an dan Hadis sendiri tidak ada pengaturan harta bersama secara langsung.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dasar hukum dalam menetapkan harta bersama dalam perkawinan menurut Hukum Islam, kedudukan janda terhadap harta bersama dan harta warisan ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam dan dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan Perkara Pengadilan Agama Nomor 646/Pdt.G/2010/PA.Mdn.

Sengketa harta bersama dan kewarisan telah menjadi kewenangan Peradilan Agama sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan menjadikan Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum terapan di Peradilan Agama. Namun tak banyak yang mengetahui dasar hukum dalam menetapkan harta bersama dalam perkawinan dan harta warisan pada Kompilasi Hukum Islam.

Penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan hukum dengan melihat peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Dan dilakukan juga wawancara terhadap informan sebagai data pendukung dalam penelitian ini.

Kesimpulan yang diperoleh, bahwa dasar hukum dalam menetapkan harta bersama dalam perkawinan pada Kompilasi Hukum Islam adalah hadis qudsi yang menyatakan bahwa perkongsian hukumnya boleh sehingga adat kebiasaan yang baik masyarakat muslim yang sudah lama berlangsung dan tidak ada sanggahan dari Para Ulama Islam dapat dijadikan sebagai hukum. Kompilasi Hukum Islam yang dijadikan sebagai hukum terapan pada Peradilan Agama menyatakan bahwa janda berhak mendapat setengah bagian harta bersama dan terhadap harta warisan janda mendapat seperdelapan dari harta warisan yang ditinggalkan almarhum suaminya jika pewaris ada meninggalkan anak. Dalam penerapan hukum di peradilan agama hendaknya hakim lebih berhati-hati dalam memeriksa kasus-kasus tertentu mengingat realita kehidupan keluarga di beberapa daerah di Indonesia ada pihak suami yang tidak berpartisipasi dalam membangun ekonomi keluarga. Putusan dapat di ambil secara kontra legem (bertentangan dengan Pasal 96 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam) bila ketentuan tersebut dianggap tidak adil dalam kondisi tertentu diserta dengan alasan yang akurat. Berdasarkan alasan di atas, diharapkan juga kepada Para Perumus KHI agar dapat melenturkan ketentuan Pasal 96 ayat 1 KHI.

Kata Kunci : Kedudukan Janda, Harta Bersama, Harta Warisan.

(15)

ABSTRACT

The case of joint property, when there is a divorce, has been regulated in Article 1/1974 which states that when a marriage comes to an end, the joint property will be arranged according to religious law, to adat law, and to other regulations.

For the Islamic citizens, there is the KHI (Compilation of the Islamic Law) which regulates marriage, inheritance, and perwakafan (donation for religious purposes or in the public interest). Joint property and inheritance are stipulated in the KHI, but there is no such a thing in the Al-Qur’an and Hadists.

The aim of the research was to know the legal basis of determining joint property in marriage according to the Islamic Law and the position of a widow in joint property and in inheritance, viewed from the KHI and the judge’s consideration in making the Religious Court’s verdict No. 646/Pdt.G/2010/PA.Mdn.

The dispute in joint property and in inheritance has been the responsibility of the Religious Court since Law No. 7/1989 was in effect and the KHI became the applied law in the Religious Court. However, there are not many people know the legal basis of determining joint property in marriage and in inheritance in the KHI.

The research used judicial normative approach by considering the legal provisions which came from the primary, secondary, and tertiary legal materials. The data were gathered by conducted interviews with some informants as the supporting data.

The result of the research showed that the legal basis of determining joint property in marriage in the KHI was Hadist Qudsi which states that sharing is legal;

it has been last long in the Islamic society, and there is no rejection from the ulemas (the Islamic scholars). The KHI has become the applied law in the Religious Court which states that a widow has the right to obtain half of the joint property and one- eighth of the inheritance if the testator has children. It is recommended that the judge should be careful in examining certain cases since there are some husbands who do not participate in supporting their families. The verdict can be made by using kontra legem (contrary to Article 96, paragraph 1 of the KHI) if the verdict is considered unfair in certain condition and followed by accurate reason. It is also recommended that the formulators of KHI should make the regulation in Article 96, paragraph 1 of KHI more flexible.

Keywords: Position of Widow, Joint Property, Inheritance

(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak dilahirkan manusia sebagai makhluk sosial telah dilengkapi dengan naluri untuk senantiasa hidup bersama dan saling membutuhkan antara satu sama lain. Tuhan telah menciptakan segala sesuatu saling berpasangan, ada laki-laki dan perempuan. Untuk tetap mempertahankan generasi dan keturunannya maka manusia mewujudkannya dengan melangsungkan perkawinan. Perkawinan merupakan satu- satunya cara untuk membentuk keluarga.

Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan setiap manusia yang akan menimbulkan akibat lahir maupun batin antara mereka. Pembinaan terhadap perkawinan merupakan konsekwensi logis dan sekaligus merupakan cita- cita bangsa Indonesia, agar memiliki peraturan hukum perkawinan yang bersifat nasional yang berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia.

Indonesia sebagai negara hukum telah mengatur undang-undang tentang perkawinan yang tertuang dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974, dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 yaitu tentang Pelaksanaan Undang- Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku secara nasional, dan Intruksi Presiden No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) bagi semua warga negara Indonesia yang beragama Islam dan peraturan lainnya mengenai perkawinan.

(17)

Diharapkan dengan adanya aturan hukum ini, persoalan perkawinan yang terjadi di Indonesia dapat diselesaikan dengan baik berdasarkan hukum positip juga berdasarkan hukum agama (terutama Islam sebagai penganut mayoritas yang ada di Indonesia). Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Adapun perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah (ketenangan hati), mawaddah (rasa cinta) dan rahmah (kasih sayang).1

Ditinjau dari sudut pandang Islam, lembaga perkawinan merupakan suatu lembaga yang suci dan luhur, di mana kedua belah pihak dihubungkan sebagai suami istri dengan mempergunakan nama Allah SWT, sesuai dengan bunyi surat An-Nissa’

ayat 1 yang artinya :

“Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhan yang telah menciptakan kamu dan dari padanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain dan peliharalah hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.2

Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai dua naluri yaitu naluri untuk mempertahankan hidup dan naluri untuk melanjutkan hidup. Untuk terpenuhinya dua

1Tim Redaksi Aulia, Kompilasi Hukum Islam, Nuansa Aulia, Jakarta, 2008, hlm. 2.

2Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, CV.Toha Putra, Semarang, 1989.

(18)

naluri tersebut Allah menciptakan dalam diri setiap manusia dua nafsu, yaitu: nafsu makan dan nafsu syahwat. Nafsu makan berpotensi untuk memenuhi naluri mempertahankan hidup dan karena itu setiap manusia memerlukan sesuatu yang dapat dimakannya.3Dari sinilah muncul kecenderungan manusia untuk mendapatkan dan memiliki harta. Nafsu syahwat berpotensi untuk memenuhi naluri melanjutkan kehidupan dan untuk itu setiap manusia memerlukan lawan jenisnya untuk menyalurkan nafsu syahwatnya itu.4

Allah mengatur dua hal dalam segi kehidupan manusia yaitu pertama hal-hal yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah Penciptanya disebut hablum min Allah dan kedua berkaitan dengan hubungan antar manusia dan alam sekitarnya disebut hablum min an nas. Di antara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan Allah adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang timbul sebagai akibat dari suatu kematian.

Apabila suatu kematian terjadi, sudah dapat dipastikan akan menimbulkan akibat-akibat terhadap orang-orang yang berkaitan dalam satu keluarga, dalam hal ini akibat hukumnyalah yang akan dititikberatkan. Akibat hukum dari kematian ini tentunya menyangkut pula terhadap harta bersama, harta warisan, siapa yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya dan bagaimana cara mendapatkannya.

Pada akhirnya, harta bersama dan harta warisan akan menjadi awal persengketaan. Dan tidak dapat dipungkiri lembaga peradilan akan sangat berperan

3Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Kencana, Cet. ke-3, Jakarta, 2004, hlm. 2.

4Ibid.

(19)

dalam proses penyelesaian persengketaan dimaksud. Lembaga peradilan akan menjadi media bagi keluarga yang bersengketa untuk menuangkan segala argumentasi mereka, khususnya dalam rangka mewujudkan keinginan masing-masing pihak untuk menguasai harta tersebut.

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 telah memuat beberapa pasal tentang harta benda dalam perkawinan, yaitu dalam Bab VII Pasal 35-37, yang berbunyi sebagai berikut:5

Pasal 35 :

1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pasal 36:

1. Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

2. Mengenai harta bawaan masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Pasal 37:

Bila perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

5Tim Redaksi Aulia, Op. Cit., hlm. 91.

(20)

Aturan-aturan pasal tersebut pada dasarnya telah memberikan gambaran yang cukup jelas. Namun bila di analisa lebih lanjut ternyata ungkapan pada Pasal 37 terungkap bahwa yang dimaksud dengan “hukumnya masing-masing” ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya.6

Memperlihatkan Pasal 37 dan penjelasannya, ternyata undang-undang ini tidak memberikan keseragaman hukum positip tentang bagaimana penyelesaian harta bersama apabila terjadi perceraian. Kalau dicermati pada penjelasan Pasal 37, maka undang-undang memberikan jalan pembagian sebagai berikut:7

1. Dilakukan berdasarkan hukum agama itu merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam mengatur tata cara perceraian.

2. Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat, jika hukum tersebut merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan.

3. Atau hukum-hukum lainnya.

Berhubung Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang tidak dengan tegas mengatur pembagian harta bersama dan tidak ada mengatur tentang harta warisan, berakibat timbul kesulitan bagi pihak penyelenggara hukum untuk menyelesaikan perkara yang berhubungan dengan harta bersama dan harta warisan. Dari sisi hukum, hal ini berdampak negatif, baik bagi pihak-pihak pencari keadilan maupun bagi

6 M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang- Undang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, C.V. Zahir Trading Co., Cet. 1, Medan, 1975, hlm.125.

7Ibid.

(21)

lingkungan masyarakat sekitarnya, khususnya bila para pihak yang berperkara atau masyarakat dimaksud adalah muslim. Paparan ini akan lebih mengarah pada satu pertanyaan, apakah ajaran Hukum Islam mengatur harta bersama dan harta warisan atau tidak. Tujuannya adalah untuk mempertegas permasalahan yang akan dibahas.

Pada dasarnya, bila ajaran Islam dimaksud adalah tuntutan Al-Qur’an dan Hadis, maka secara eksplisit dapat dinyatakan bahwa Islam tidak mengatur perihal harta bersama secara konkrit. Pada hakekatnya, syirkah dalam hal ini tidak dapat dikategorikan sebagai harta bersama secara langsung, sebab dalam prakteknya ulama- ulama fikih tidak mengenal adanya harta bersama atau pencaharian bersama suami istri dalam lingkungan dan kondisi hidup mereka. Sedangkan terhadap harta warisan, hanya sebagian kecil saja masalah-masalah yang telah ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan Hadis dengan keterangan yang jelas dan pasti sedangkan sebagian besar tidak disinggung secara eksplisit atau disinggung tetapi tidak dengan keterangan yang jelas dan pasti.

Pembagian harta bersama dan harta warisan ini jelas diatur dalam undang- undang, hanya saja sebagai manusia biasa tidak lepas dari keinginan untuk menguasai dan memiliki harta tersebut. Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian perihal penyelesaian sengketa harta bersama dan harta warisan pada Pengadilan Agama Medan yang belum pernah diteliti.

Adapun yang akan diteliti dalam kasus ini adalah mengenai kedudukan janda cerai mati terhadap harta bersama dan harta warisan yang dikuasai oleh sebagian anak kandung. Kasus ini berawal dari meninggalnya almarhum sebagai kepala

(22)

keluarga atau sebagai pewaris yang semasa hidupnya almarhum telah menikah dengan Penggugat I dan dikarunia 8 anak kandung yaitu 7 anak perempuan (Penggugat II, III, IV, Tergugat I, II, III dan IV), 1 anak laki-laki kandung (Penggugat VI). Semasa hidup almarhum ada mengangkat seorang anak laki-laki (Penggugat V) yang diakui sebagai anak berdasarkan Ikrar (pengakuan) dan Bayyinah (kesaksian).

Para Tergugat telah menguasai dan mengelola harta peninggalan almarhum tanpa persetujuan dan tanpa ijin Para Penggugat.

Para Tergugat juga menolak untuk menjual harta peninggalan almarhum yang berupa rumah toko karena masih digunakan sebagai tempat usaha, sedangkan Para Penggugat lainnya menginginkan semua harta peninggalan almarhum segera dijual dan dibagi untuk membiayai pengobatan/penyembuhan Penggugat I. Dengan demikian telah terjadi sengketa antara Para Penggugat dengan Para Tergugat mengenai harta peninggalan almarhum.

Berdasarkan penjelasan di atas, masalah ini menarik untuk diteliti, dengan judul “Kedudukan Janda Terhadap Harta Bersama Dan Harta Warisan Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Perkara Pengadilan Agama Nomor 646/Pdt.G/2010/PA. Mdn.)”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dikemukakan beberapa permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut antara lain sebagai berikut:

a. Apakah yang menjadi dasar hukum dalam menetapkan harta bersama dalam perkawinan menurut Hukum Islam?

(23)

b. Bagaimanakah kedudukan janda terhadap harta bersama dan harta warisan ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam?

c. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan Perkara Pengadilan Agama Nomor 646/Pdt.G/2010/PA.Mdn?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dasar-dasar hukum dalam menetapkan harta bersama dalam perkawinan menurut Hukum Islam.

2. Untuk mengetahui kedudukan janda terhadap harta warisan dan harta bersama ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam.

3. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutuskan Putusan Perkara Pengadilan Agama Nomor 646/Pdt.G/2010/PA.Mdn.

D. Manfaat Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan hukum Islam pada khususnya, terutama mengenai kedudukan janda terhadap harta bersama dan harta warisan yang diperoleh dalam perkawinan baik ditinjau dari Hukum Islam maupun Kompilasi Hukum Islam.

2. Secara Praktis

(24)

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada:

a. Masyarakat khususnya umat Islam untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang harta bersama dan harta warisan.

b. Pengadilan Agama untuk memberikan penjelasan yang lebih luas tentang keberadaan Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum materil pada Pengadilan Agama sebagai upaya menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam kepada masyarakat.

c. Pihak Pemerintah untuk meningkatkan landasan hukum Kompilasi Hukum Islam dari Inpres menjadi Undang-Undang.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran dan pemeriksaan yang telah dilakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, ditemukan 2 (dua) penelitian mengenai harta bersama tapi dibahas secara terpisah.

1. Tesis Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam oleh Ismy Syafriani Nasution Nim. 077011030/Mkn. Tesis ini membahas tentang akibat hukum penyelesaian sengketa terhadap harta bersama menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, pertimbangan hakim dalam menentukan pembagian harta bersama akibat perceraian dan akibat hukum penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan pemeliharaan anak setelah terjadinya perceraian. Hasil yang dicapai dalam

(25)

tesis tersebut adalah (1) bahwa Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan perkawinan putus karena perceraian maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam harta bersama setelah terjadinya perceraian akan dibagi dua setengah untuk suami dan setengah untuk istri; (2) Majelis Hakim Pengadilan Agama Medan menyatakan bahwa gugatan cerai digabung dengan harta bersama adalah hal yang dibenarkan berdasarkan Pasal 86 ayat 1 Undang-Undang Pengadilan Agama Nomor 7 Tahun 1989; (3) hak pemeliharaan anak yang masih dibawah umur 12 tahun diserahkan kepada ibunya sedangkan hak-hak pemeliharaan anak yang berumur 12 tahun atau lebih ditentukan berdasarkan pilihan anak sendiri, ingin dipelihara ibu atau dipelihara bapaknya.

2. Tesis Penyelesaian Pembagian Harta Bersama Dalam Hal Terjadinya Perceraian oleh Sugih Ayu Pratitis Nim.077005133/Hk. Tesis ini membahas tentang akibat hukum perceraian terhadap kedudukan harta benda perkawinan, pelaksanaan penyelesaian pembagian harta bersama di Pengadilan Agama dan pertimbangan Hakim dalam menetapkan putusan terhadap penyelesaian harta bersama. Hasil yang dicapai dalam tesis tersebut adalah (1) Bila terjadi perceraian antara suami istri maka harta yang diperoleh selama perkawinan dibagi dua yaitu setengah untuk suami dan setengah untuk istri.(2) Bila perceraian sudah disetujui Hakim maka suami istri dapat mengajukan permohonan pembagian harta bersama sesuai dengan hukum yang berlaku. (3)

(26)

Hakim Pengadilan Agama menyatakan bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama-sama selama dalam ikatan perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.

Tesis Kedudukan Janda Terhadap Harta Bersama menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi Putusan PA No.646/Pdt.G/2010/PA.Mdn) ini tentu berbeda dengan tulisan-tulisan yang sudah ada. Disini pembahasan yang akan dilakukan adalah mengenai kedudukan janda terhadap harta bersama dan harta warisan yang timbul akibat perceraian karena kematian, sedangkan tesis-tesis yang terdahulu membahas harta bersama akibat perceraian semasa hidup.

Oleh karena itu, penelitian ini adalah asli adanya. Artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu kerangka yang menjadi dasar pemikiran, guna menerangkan atau menjelaskan permasalahan penelitian. Kerangka teori ini kemudian dijadikan sebagai pisau analisis objek penelitian dengan mengahadapkannya pada fakta-fakta yang ada.

Konsep teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, mengenai suatu kasus ataupun permasalahan (problem) yang bagi si pembaca menjadi bahan

(27)

pertimbangan, pegangan teori yang mungkin ia setuju ataupun tidak disetujuinya, ini merupakan masukan eksternal bagi peneliti.8

Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jelas nilai- nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi. Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidak- tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.9

Oleh sebab itu, teori atau kerangka teori mempunyai kegunaan paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut:10

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau di uji kebenarannya.

b. Teori sangat berguna didalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan defenisi-defenisi.

c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti.

d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor- faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.

e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti.

8M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, C.V. Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 80.

9Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra aditya bakti , Bandung, 1991, hlm. 354.

10Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1998, hlm. 3.

(28)

Dalam penelitian ini dibahas tentang kedudukan janda cerai mati terhadap pembagian harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan antara janda dan almarhum suaminya. Harta bersama dan harta warisan tersebut menjadi sengketa dalam peradilan agama karena adanya penguasaan sepihak oleh beberapa anak kandung tanpa terlebih dahulu melaksanakan pembagian harta peninggalan pewaris untuk dibagi-bagikan kepada janda yang berhak atas harta bersama yang diperoleh selama perkawinan maupun kepada para ahli waris yang berhak, sesuai dengan Hukum Islam yang berlaku di Indonesia.

Kedudukan janda karena kematian terhadap harta bersama memang telah diatur didalam Pasal 96 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam, dimana menyatakan bahwa apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan hidup lebih lama.

Bila mencermati dasar-dasar yang menjadi acuan terciptanya ketentuan mengenai harta bersama di dalam Kompilasi Hukum Islam salah satunya adalah adat yang hidup di dalam masyarakat Indonesia, maka tidak semua harta bersama di dalam perkawinan dibagi dua yaitu ½ untuk suami dan ½ untuk istri. Namun ada juga yang membagi 2/3 untuk suami dan 1/3 untuk istri.

Menurut Abdullah Syah pada masyarakat Melayu Sumatera Timur, jika sama- sama bekerja seperti bertani, berdagang dan sebagainya yang sama-sama dikerjakan oleh suami istri, maka harta bersama dibagi rata, yaitu masing- masing ½ (setengah). Tetapi apabila suami saja yang bekerja seperti nelayan yang berusaha kelaut luas dan istri tidak pernah ikut, maka harta bersama dibagi tiga, 2/3 untuk suami dan 1/3 untuk istri. Hal semacam ini tidak

(29)

menutup kemungkinan sebaliknya, seperti istri pegawai negeri, suami menjaga anak di rumah dan tidak berusaha, maka istri 2/3 dan suami 1/3.11 Barang-barang milik bersama apabila terjadi putusnya perkawinan dibagi antara kedua belah pihak masing-masing pada umumnya dibagi dua, tetapi ada beberapa tempat (daerah) yakni di Jawa Tengah disebut Sagendong Sapikul, di Bali disebut Sasuhun Sarembat, yang mempunyai kebiasaan sedemikian rupa sehingga suami mendapat 2/3 (dua pertiga) dan istri mendapat 1/3 (sepertiga).12

Dalam putusan perkara nomor 646/Pdt.G/2010 PA.Mdn. yang akan dianalisis dalam tesis ini adalah bagaimana Hukum Islam mengatur tentang pembagian harta bersama dalam perkawinan, pembagian harta warisan dan bagaimana pula seharusnya Hakim menetapkan suatu putusan yang memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang bersengketa dengan tetap memperhatikan kemaslahatan (kebaikan) bagi para pihak.

Berdasarkan hal tersebut maka teori yang dipakai dalam tesis ini adalah teori kemaslahatan sebagai grand theory (teori dasar) dan sebagai pendukung adalah teori keadilan.

Secara etimologi atau bahasa kemaslahatan dapat diartikan sebagai sesuatu yang mendatangkan kebaikan, keselamatan, faedah atau kegunaan dan manfaat.13 Aturan-aturan yang ditetapkan Allah disebut juga hukum syari’at. Tujuan utama syari’at diturunkan adalah untuk kemaslahatan dan mencegah kemafsadatan

11Abdullah Syah, Integrasi Antara Hukum Islam dan Hukum Adat dalam Kewarisan Suku Melayu, Citapustaka Media Perintis, Bandung, 2009, hlm. 169.

12Tesis, Suwatno, Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian Menurut Hukum Adat Jawa Di Kecamatan Tarub Kabupaten Tegal, Mkn, Semarang, Universitas Diponegoro, 2010, hlm. 74.

13Departemen Pendidikan dan Kebudayaa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1995, hlm. 634.

(30)

(kerusakan). Syari’at menetapkan ada lima kebutuhan pokok manusia yang harus dilindungi oleh hukum, yaitu:14agama, jiwa, harta, akal dan keturunan.

Syari’at dalam Islam merupakan aturan yang ditetapkan Allah pada umumnya mudah dipahami dan dijalankan oleh umat Islam yang berlatar belakang budaya dan bangsa yang berbeda. Dalam penerapannya harta bersama dalam perkawinan tidak secara jelas diatur dalam syari’at, namun dengan adanya penyesuaian dari adat yang berlaku di Indonesia sehingga timbulnya harta bersama dalam perkawinan diharapkan dapat menciptakan kemaslahatan umat.

Kata adil dalam bahasa Arab disebut al ‘adl yang artinya sesuatu yang baik, sikap yang memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan. Syari’at Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang teratur dan adil. Konsep keadilan dalam hukum ditentukan oleh tujuannya. Dengan demikian, konsep keadilan dalam Islam berbeda dengan konsep keadilan dalam hukum sipil, karena tujuan kedua hukum itu berbeda.

Keadilan dalam hukum Islam digantungkan kepada keadilan yang telah ditentukan oleh Allah sendiri. Karena tidak mungkin manusia mengetahui keadilan itu secara benar dan tepat. Di sini pun keimanan mendahului pengertian karena telah ditetapkan bahwa segala yang ditentukan oleh Allah SWT pasti adil.15

Aristoteles memperkenalkan teori etis (ethische theory) dalam bukunya Rhetorica dan Ethica Necomachea. Dalam teori ini dinyatakan bahwa tujuan hukum

14Daud Rosyid, Indahnya Syari’at Islam, Usamah Press, Jakarta, 2003, hlm. 35.

15Bustanhul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia Akar Sejarah, hambatan dan prospeknya, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hlm. 127.

(31)

itu semata-mata mewujudkan keadilan. Keadilan disini adalah memberikan kepada setiap orang apa saja yang menjadi bagian atau haknya (ius suum cuique tribuere).

Dalam bukunya Rhetorica, Aristoteles membedakan keadilan dalam dua bentuk, yaitu:

1. Keadilan distributif (justitia distributiva)

Keadilan distributif adalah suatu keadilan yang memberikan kepada setiap orang didasarkan atas jasa-jasanya atau pembagian menurut haknya masing-masing.16 Dalam hal ini keadilan yang dimaksud adalah bukan berarti tiap-tiap orang mendapat bagiannya sama banyaknya, bukan persamaan melainkan kesebandingan.

Keadilan distributif adalah kewajiban para pakar hukum untuk memberikan putusan secara proporsional atau seimbang dengan jasa suami atau istri dalam harta bersama.

2. Keadilan Kumulatif (justitia commulativa)

Keadilan kumulatif adalah suatu keadilan yang diterima oleh masing-masing anggota tanpa memperdulikan jasa masing-masing.17Keadilan disini dapat diartikan bahwa setiap orang harus diperlakukan sama tanpa memandang kedudukannya.

Gustav Radburch seorang filsuf hukum Jerman mengajarkan adanya tiga ide dasar hukum yang oleh sebagian besar pakar teori hukum dan filsafat hukum, juga diidentikkan sebagai tiga tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.18Radburch mengajarkan bahwa diperlukan penggunaan asas prioritas dalam menentukan tujuan hukum itu, dimana prioritas pertama adalah keadilan, kedua

16 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 40.

17 R. Soeroso, Op. Cit., hlm. 64.

18 Satjipto Raharjo, Op. Cit., hlm. 21.

(32)

adalah kemanfaatan dan terakhir barulah kepastian hukum. Dapat dilihat disini bahwa yang menjadi prioritas utama dalam mengambil keputusan adalah keadilan, penegakan hukum dapat diabaikan jika hukum itu sendiri tidak dapat berlaku adil untuk beberapa perkara tertentu.

Sekalipun ketiga-tiganya merupakan nilai dasar hukum, namun diantara mereka terdapat suatu ketegangan satu sama lain. Hubungan atau keadaan tersebut disebabkan karena ketiga dasar hukum tersebut masing-masing mempunyai tuntutan yang berbeda satu sama lainnya, sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan.19

Jika lebih cenderung berpegang pada nilai-nilai kepastian hukum maka ia menggeser nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan. Karena yang penting pada nilai kepastian adalah peraturan itu sendiri tentang apakah peraturan itu memenuhi rasa keadilan dan bermanfaat bagi masyarakat, adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum. Begitu juga jika cenderung berpegang kepada nilai kemanfaatan saja maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan, karena yang penting bagi nilai kemanfaatan adalah kenyataan apakah hukum tersebut bermanfaat atau berguna bagi masyarakat.

Demikian juga haknya jika hanya berpegang pada nilai keadilan saja maka sebagai nilai dasar ia menggeser nilai kepastian dan nilai kemanfaatan, karena nilai keadilan tidak terikat kepada kepastian hukum ataupun nilai kemanfaatan, disebabkan

19Ibid.

(33)

karena sesuatu yang dirasakan adil belum tentu sesuai dengan nilai kemanfaatan dan kepastian hukum.

Bila dikaitkan dengan hak waris yang telah ditentukan Allah SWT, maka terlihat adanya pembagian yang adil sesuai dengan kewajiban dan tanggung jawab para ahli waris dalam keluarga, bagian laki-laki lebih besar dari bagian perempuan sebab tanggung jawab dan kewajiban laki-laki lebih besar dari perempuan. Karena itu sistem kewarisan Islam menganut asas keadilan yang seimbang. Berbeda dengan pembagian harta bersama, ketentuan tersebut tidak ada disebutkan dalam Al-Qur’an, hanya disebutkan dalam Hadis Qudsi.

Dalam hal ini, sebaiknya para prakstisi hukum perlu mempertimbangkan tentang pembagian harta bersama dalam perkawinan sehingga terciptanya rasa keadilan sesuai dengan Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan.20

2 . Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang

20Tim Redaksi Aulia, Op. Cit., hlm. 73.

(34)

digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut dengan defenisi operasional (operational defenition).21

Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini perlu didefenisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan dalam penelitian ini. Suatu konsep atau suatu kerangka konsepsionil pada hakikatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebig konkrit daripada kerangka teoritis yang seringkali masih bersifat abstrak. Namun demikian, suatu kerangka konsepsionil, kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional yang dapat dijadikan pegangan konkrit didalam proses penelitian.22

Agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka diperlukan uraian pengerian-pengertian konsep yang dipakai sebagai berikut:

a. Kedudukan adalah letak, tempat atau keadaan seseorang yang sebenarnya.

b. Janda adalah wanita yang telah bercerai atau ditinggal mati suaminya.23 c. Harta bersama adalah harta yang dimiliki dan dimanfaatkan secara bersama-

sama.24

d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.25

21 Samadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm. 3.

22 Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 133.

23 Umi Chulsum, Windy Novia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Yoshiko Press, Cet. 1, Surabaya, 2006, hlm. 312.

24 Umi Chulsum, Op. Cit., hlm. 275.

(35)

e. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajniz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.26

f. Kompilasi Hukum Islam adalah hukum material Pengadilan Agama yang terkodifikasi dan unifikasi yang pertama saat ini dan diperlukan untuk landasan rujukan setiap keputusan peradilan agama.27

g. Peradilan Agama adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang. Lingkungan Peradilan Agama meliputi Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama.

h. Pengadilan Agama adalah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibukota kabupaten atau kota. Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Agama memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, warisan dan wakaf. Pengadilan Agama dibentuk melalui Undang-Undang dengan daerah hukum meliputi wilayah kota atau kabupaten.

25Tim Redaksi Aulia, Op. Cit., hlm. 54.

26Ibid.

27M. Hasballah Thaib, Ilmu Hukum Waris Islam, Mkn, USU, Medan, 2006, hlm. 11.

(36)

G. Metode Penelitian

Sebagai suatu penelitian ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian dinilai dari pengumpulan data sampai pada analisis data dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah ilmiah sebagai berikut:

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu suatu penelitian yang mendeskripsikan atau menggambarkan dan menjelaskan permasalahan yang dikemukakan secara analitis tentang harta bersama dalam hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam.

Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah dengan metode pendekatan yuridis normatif, dimana dilakukan pendekatan permasalahan yang telah dirumuskan dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan, buku-buku yang berkaitan dengan harta bersama, sehingga dapat diketahui landasan legalitas yang ada telah memadai untuk mengatur masalah harta bersama.

Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan hukum dengan melihat peraturan-peraturan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder atau pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang- undangan yang berlaku.28

Dalam hal ini metode pendekatan dilakukan untuk menemukan hukum in- konkrito dan juga penelitian sejarah hukum. Metode Pendekatan dengan metode

28 Roni Hantijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia, Semarang, Indonesia, 1998, hlm. 11.

(37)

yuridis normatif diambil dengan pertimbangan bahwa pendekatan ini cukup layak untuk diterapkan, karena dalam metode ini akan diperoleh data dan informasi secara menyeluruh yang bersifat normatif baik dari sumber hukum primer, sekunder dan tertier.

2. Sumber Data

Adapun sumber data utama dari penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

Data sekunder merupakan data yang dikumpulkan dalam penelitian kepustakaan.

Penelitian kepustakaan adalah teknik untuk mencari bahan-bahan atau data-data yang bersifat sekunder yaitu data yang erat hubungannya dengan bahan primer dan dapat dipakai untuk menganalisa permasalahan.

Dalam penelitian ini bila dilihat dari sudut sumbernya menggunakan data berupa putusan pengadilan, di mana yang dimaksud di sini adalah Pengadilan Agama Medan. Dan jika dilihat dari sumber mengikatnya penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, yaitu berupa Kompilasi Hukum Islam, sedangkan untuk bahan hukum sekunder dapat berupa hasil karya dari kalangan hukum, serta bahan hukum tertier berupa kamus dan ensiklopedia.

Data sekunder dibedakan dalam :

a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan yang mengikat dan terdiri:

1. Al-Qur’an dan Hadis.

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

3. Kompilasi Hukum Islam.

(38)

b. Bahan hukum sekunder yaitu memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya :

1. Keputusan yang terkait dengan harta bersama.

2. Hasil penelitian, karya ilmiah dari kalangan hukum dan sebagainya.

c. Bahan tersier, yaitu bahan hukum yang dijadikan pegangan atau acuan bagi kelancaran proses penelitian.

Bahan hukum tersier merupakan bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder misalnya kamus hukum, agar diperoleh informasi yang terbaru dan berkaitan erat dengan permasalahannya maka kepustakaan yang di cari dan diperoleh harus relevan dan mutakhir.29

Sebagai data pendukung dalam penelitian ini, maka dilakukan wawancara terhadap para informan yang dalam hal ini adalah 2 (dua) orang hakim dari Pengadilan Agama Medan yang memutus perkara nomor 646/Pdt.G/2010/PA.Mdn.

3. Alat Pengumpulan Data

Berdasarkan metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, maka alat pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut:

a. Studi dokumen atau penelitian kepustakaan (library research) untuk memperoleh data sekunder, yaitu pengumpulan data sekunder baik berupa

29 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 116.

(39)

peraturan perundang-undangan yang berlaku, putusan Pengadilan Agama Medan maupun teori-teori dan asas-asas hukum, doktrin-doktrin yang berkaitan dengan permasalahan yang dikemukakan.

b. Wawancara secara langsung kepada informan dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Wawancara dilakukan terhadap 2 (dua) orang Hakim Pengadilan Agama Medan. Informan utama adalah Drs. H. Mohd. Hidayat Nassery selaku Ketua Majelis Hakim dan Informan kedua adalah Drs. H. Abd. Halim Ibrahim, M.H. selaku Hakim Anggota, dalam hal ini keduanya merupakan Hakim yang memberikan putusan perkara di Pengadilan Agama Medan Nomor 646/Pdt.G/2010/PA.

Mdn.

4. Analisis Data

Pada penelitian yang bersifat deskiriptif analitis, dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, maka metode analisis data yang akan dipergunakan adalah metode kualitatif. Pemilihan metode kualitatif ini karena mempertimbangkan bahwa dalam penelitian ini data yang akan diperoleh sukar diukur dengan angka- angka.

Dengan dilakukannya analisis data, maka dapat ditarik kesimpulan. Penarikan kesimpulan ini dilakukan dengan memakai metode deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya mengambil atau menarik hal-hal yang khusus sebagai kesimpulan dari permasalahan yang ada.

(40)

Dengan metode deduktif juga dapat menggambarkan ketentuan pelaksanaan tentang harta bersama dan harta warisan dengan mengacu pada Kompilasi Hukum Islam.

(41)

BAB II

DASAR HUKUM DALAM MENETAPKAN HARTA BERSAMA DALAM HUKUM ISLAM

A. Harta Bersama Dalam Pandangan Hukum Islam

Dalam ajaran Islam dikenal dua istilah yang biasanya diterjemahkan menjadi Hukum Islam yakni syariat (syara') dan fikih, syariat adalah hukum-hukum yang sudah jelas maksudnya (qath'i) yang tersebut dalam Al-Qur’an atau Sunnah Rasul sedang fikih adalah pemahaman Para Ulama tentang ayat atau Sunnah Rasul (dzanni).30

Agar tidak terjadi kerancuan pengertian antara fikih dan syariat dalam membahas dasar-dasar Hukum Islam, kedua istilah tersebut sebaiknya dibedakan karena keduanya memang berbeda. Perbedaannya dimaksud adalah:31

a. Syariat yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Kitab-Kitab Hadis adalah Wahyu Allah dan Sunnah Rasul. Fikih terdapat dalam kitab-kitab fikih. Fikih adalah pemahaman atau hasil rumusan Para Ulama yang memenuhi syarat-syarat untuk menjelaskan perkara hukum.

b. Syariat bersifat fundamental, mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dari fikih karena menurut para ahli didalamnya termasuk juga akidah dan akhlak.

Fikih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang

30Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 51.

31Ibid.

(42)

mengatur perbuatan manusia, yang biasanya disebut sebagai perbuatan hukum.

c. Syariat adalah ketetapan Allah serta ketentuan Rasul karena itu syariat berlaku abadi. Fikih adalah karya manusia yang dapat diubah atau berubah dari masa kemasa yang tidak berlaku abadi.

d. Syariat hanya satu, sedang fikih mungkin lebih dari satu seperti terlihat pada aliran-aliran hukum yang disebut dengan mazhab.

e. Syariat menunjukan kesatuan dalam Islam, sedang fikih menunjukan keragamannya.

Aturan-aturan mengenai harta bersama dalam Hukum Islam bersumber dari Hadis, adat dan Kompilasi Hukum Islam. Sumber-sumber tersebut dapat dirincikan sebagai berikut :

1. Harta Bersama Dalam Tinjauan Al-Qur’an dan Hadis

Harta bersama merupakan harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami istri selama dalam ikatan perkawinan. Para pakar hukum Islam mempunyai dua pendapat yang berbeda mengenai ketentuan harta bersama dalam Al-Qur’an. Sebagian mereka berpendapat bahwa harta bersama tidak ada diatur dalam Al-Qur’an sehingga sepenuhnya harta bersama diatur menurut ketentuan para ulama sendiri. Pendapat ini dikemukakan oleh Hazairin, Anwar Harjono dan Andoerraoef serta diikuti oleh murid-muridnya.

Adapun mengenai pendapat lainnya adalah bahwa tidak mungkin jika agama Islam tidak mengatur tentang harta bersama sedangkan hal-hal lain yang kecil-kecil

(43)

saja diatur secara rinci oleh agama Islam dan ditentukan kadar hukumnya. Tidak ada satupun yang tertinggal, semuanya termasuk dalam ruang lingkup pembahasan hukum Islam. Jika tidak disebutkan dalam Al-Qur’an, maka ketentuan ini pasti dalam Hadis dan Hadis ini merupakan sumber Hukum Islam juga.32

Menurut H.M. Hasballah Thaib, kata-kata harta syarikat terdiri dari dua suku kata yang berasal dari bahasa Arab disebut dengan “amwal” dan “syarikat”.33 Kata- kata amwal berbentuk jamak dari mal, banyak dijumpai didalam Al-Qur’an dan Hadis dengan berdasarkan firman Allah SWT yaitu:

“Dan janganlah sebagian kamu memakan sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan harta itu kepada hakim-hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa padahal kamu mengetahui”.34

Sedangkan kata syarikat berarti perkongsian, persekutuan atau jama’ah. Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa kata-kata harta dan syarikat masih bersifat umum karena tidak ditentukan dari mana harta itu diperoleh, begitu juga dengan syarikat tidak diketahui harta apa yang dipersyarikatkan.35

Syarikat itu dapat dilaksanakan asalkan tidak dengan paksaan dan dilaksanakan dengan itikad yang baik. Jika salah satu pihak merasa tidak cocok lagi

32T. Jafizham, Persentuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, Percetakan Mustika, Medan, 1977, hlm. 119.

33H.M. Hasballah Thaib, Hukum Benda Menurut Islam, Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa, Medan, 1992, hlm. 21.

34QS. Al-Baqarah ayat 188.

35H.M. Hasballah Thaib, Op. Cit., hlm. 22.

(44)

melaksanakan perkongsian yang disepakati, maka ia dapat membubarkan perkongsian itu secara baik dan terhadap hal ini tidak dapat diwariskan.36

Agama Islam mempunyai peraturan dan dasar hukum untuk semua persoalan dan cocok untuk segala zaman, dengan demikian dasar penetapan harta syarikat dapat dihubungkan dengan Hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Daud37, yaitu:

Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Allah SWT berfirman: “Aku adalah ketiga dari dua orang yang bersekutu, selama yang seorang tidak mengkhianati kawannya. Tapi apabila ia khianati, aku keluar dari mereka.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud dan disahkan oleh Hakim).

Dengan adanya Hadis di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa:

1. Perkongsian hukumnya boleh.

2. Tidak dibenarkan adanya penipuan dan pengkhianatan karena perkongsian yang tidak ada penipuan disukai Allah SWT.

3. Allah SWT bersama-sama orang yang bersyarikat selama salah seorang dari yang berkongsi itu tidak mengkhianati kawannya, begitu juga perkongsian suami istri yang sangat berbeda dengan perkongsian lainnya yang biasa terjadi di tengah-tengah masyarakat. Perkongsian suami istri yang dimulai dengan ijab dan kabul pada saat aqad nikah pada dasarnya bertujuan untuk membina rumah tangga yang diridhai Allah.38

36Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan Agama, Pustaka Bangsa Press, Jakarta Pusat, 2003, hlm. 159.

37M. Hasballah Thaib, Op. Cit., hlm. 27.

38Ibid.

(45)

4. Kebijaksanaan dalam urusan dunia lebih banyak diserahkan kepada muslimin sendiri sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW “Kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu.”

Berpijak pada uraian di atas perlu adanya ketetapan pembagian harta bersama apabila suami istri bercerai, baik bercerai mati atau cerai hidup. Dalam hal ini Moh.

Anwar, berpendapat bahwa: ...Suami mendapat 2/3 (dua pertiga) sedang istri mendapat 1/3 (sepertiga) dengan perhitungan bahwa laki-laki lebih kuat dari perempuan.39

Berdasarkan hal di atas bagian laki-laki lebih banyak dari bagian perempuan dalam pembagian harta bersama, mengingat bahwa laki-laki lebih banyak memberikan saham dan andil dibandingkan dengan perempuan dalam memperoleh harta bersama tersebut, namun demikian hukum Islam tidak mengatur ketetapan pembagian yang pasti tentang harta bersama dalam suatu perkawinan sebagaimana pembagian warisan.

Adat kebiasaan sebaiknya disesuaikan dalam menentukan pembagian harta bersama karena tidak adanya ketetapan yang pasti, sebagaimana yang dikemukakan oleh H. Ismuha bahwa pembagian harta bersama antara suami istri itu disesuaikan menurut adat setempat, karena Islam tidak menetapkan cara pembagian sebagaimana yang telah ditetapkan dalam pembagian waris.40

39Al Imam Jalaluddin ‘Abdur Rahman bin Abi Bakar As-Sayuthi, Jami’us Shaghir, Juz I, hlm. 108.

40Abdurrahman al-Jaziri, Kitabul Fiqhi ‘Ala Mazahibil Arba’ah, Juz III, Darul Fikri, Beirut, hlm. 315.

(46)

Abdullah Syah juga menambahkan bahwa:41

1. Tidak ada suatu nash pun yang menunjukkan bahwa perkongsian semacam itu tidak dibolehkan dalam Islam. Satu-satunya alasan yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i ialah adanya penipuan. Tetapi alasan ini dapat ditolak dengan alasan di atas.

2. Ketentuan Hukum Islam yang berbunyi Al-‘Adatu muhakkamah dapat berlaku di sini. Mengingat adat kebiasaan dalam menyelesaikan dan pengurusan harta syarikat sudah merupakan adat kebiasaan yang diterima dengan baik oleh masyarakat. Kebiasaan ini tidak bertentangan dengan salah satu nash yang pasti.

3. Syariat Islam datang untuk menciptakan kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

4. Perubahan hukum karena perubahan-perubahan suasana telah terjadi pada masa Nabi dan pada masa sahabat.

5. Sighat ijab dan qabul dalam perkongsian suami istri dalam harta syarikat dapat diartikan suatu lafaz atau pernyataan izin kepada kongsinya untuk bertindak atas namanya. Kalau ada izin seperti itu, meskipun tidak ada lafaz perkongsian, juga dianggap cukup. Kebiasaan yang berlaku di Indonesia, dengan terjadinya perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita, maka masing-masing pihak sudah memberi izin kepada pihak lainnya untuk

41Abdullah Syah, Op. Cit., hlm. 172.

(47)

bertindak atas namanya dalam menempuh hidup berumah tangga, maka dalam hal ini berlaku lagi kaidah Al-‘Adatu Muhakkamah.

6. Sekalipun Mazhab Syafi’i tidak membolehkan perkongsian tenaga (‘abdan) dan perkongsian tidak terbatas (mufawadah) karena adanya unsur kesukaran dalam mengukur unsur tenaga dalam perkongsian (dapat menimbulkan penipuan), Mazhab Safi’i menerima adat kebiasaan sebagai dasar hukum, demikian juga ‘urf yang baik yang telah berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak diingkari oleh masing-masing pihak (suami atau istri) dengan membuat perjanjian lain.

Menurut H.M. Arsyad Thalib Lubis harta dapat dimiliki seseorang dengan dua cara, yaitu:42

1. Sebab yang dapat menimbulkan milik.

2. Sebab yang dapat memindahkan milik.

Adapun yang dimaksud dengan menimbulkan milik adalah menjadikan harta yang sah dan belum menjadi milik orang sama sekali, maka harta tersebut dapat menjadi milik seseorang dengan jalan mengambil dan menguasai dengan sengaja atau menguasai sesuatu harta yang sah menurut hukum Islam atau hukum yang mengatur hal itu, misalnya: air sungai, batu emas, pohon dan lain sebagainya menjadi milik bagi orang yang mula-mula mengambil dan menguasai harta itu dengan sengaja.

Demikian juga harta yang telah menjadi milik seseorang dapat berpindah menjadi milik orang lain dengan 2 cara, yaitu:

42H.M Arsyad Thalib Lubis, , Ilmu Fiqih, Firma Islamiyah, Cet. III, Medan, hlm. 198.

(48)

a. Pindah dengan akad

Yaitu memindahkannya dengan melakukan akad jual beli, hibah, sedekah, wasiat dan sebagainya.

b. Pindah dengan dipusakai

Yaitu bila seseorang mati meninggalkan harta milik maka harta itu pindah menjadi milik warisnya dengan jalan dipusakai.43

Dengan demikian cara pemilikan harta itu dapat dilakukan dengan cara memiliki harta yang belum dimiliki orang sama sekali atau dengan memindahkan hak milik itu menjadi milik orang lain dengan jalan akad atau dipusakakan.

Di dalam ajaran Islam dibolehkan membuat perjanjian yang berguna untuk mengantisipasi efek yang timbul setelah adanya jalinan hubungan suami istri termasuk akibat dari harta kekayaan mereka, hal ini dapat dihubungkan dengn firman Allah SWT yang berbunyi:44

“Hai orang-orang yang beriman, sempurnakanlah segala janji-janjimu.”

Selain menunjukkan bolehnya membuat janji juga diwajibkan memenuhi janji yang telah dibuat antara satu dengan lainnya. Selain itu dengan adanya perjanjian yang dibuat oleh suami istri di saat berlangsungnya perkawinan dengan sendirinya suami atau istri secara pasti telah mempunyai tanggung jawab menjaga dan memelihara harta kekayaan mereka secara timbal balik di samping kewajiban yang lain.

43Ibid.

44QS.Al-Maaidah ayat 1.

Referensi

Dokumen terkait

Kedudukan Anak Angkat Dalam Pembagian Harta Warisan Apabila Ada Anak Kandung Dan Apabila Tidak Ada Anak Kandung Menurut Hukum Waris Adat Di Kecamatan. Susukan

“Analisis Yuridis Tentang Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Jasa Penerbangan Dalam Hal Pembatalan Penerbangan Secara Sepihak Ditinjau Dari UU Perlindungan Konsumen (Studi

Hakim pengawas dalam PKPU adalah salah seorang hakim pengadilan 151 yang diangkat oleh pengadilan untuk mengawasi pengurusan, pemberesan harta debitor dan berwenang

Upaya yang dilakukan dalam penyelesaian sengketa wanprestasi pada perjanjian pemborongan pekerjaan milik Pemerintah Provinsi Sumatera Utara oleh CV.. Dina Utama yaitu dengan

Berdasarkan sengketa dihubungkan dengan pertimbangan hakim dan amar putusan dalam Putusan Pengadilan yang memutuskan yang telah diuraikan di atas, dapat dinyatakan bahwa

Di dalam kasus sengketa perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah yang termuat dalam Putusan MA No.3703.K/PDT/2016, permasalahan yang terjadi adalah bahwa

Adapun sekutu tersebut adalah sekutu koplementer (aktif) yaitu sekutu yang bertanggungjawab samapi kepada harta pribadi atas pailitnya CV sedangkan sekutu komanditer

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Walaupun UU Sistem Peradilan Pidana Anak tidak dimungkinkan untuk melakukan upaya diversi terhadap Anak Berkonflik Hukum tindak pidana