• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

4. Analisis data

Pada penelitian yang bersifat deskiriptif analitis, dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, maka metode analisis data yang akan dipergunakan adalah metode kualitatif. Pemilihan metode kualitatif ini karena mempertimbangkan bahwa dalam penelitian ini data yang akan diperoleh sukar diukur dengan angka-angka.

Dengan dilakukannya analisis data, maka dapat ditarik kesimpulan. Penarikan kesimpulan ini dilakukan dengan memakai metode deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya mengambil atau menarik hal-hal yang khusus sebagai kesimpulan dari permasalahan yang ada.

Dengan metode deduktif juga dapat menggambarkan ketentuan pelaksanaan tentang harta bersama dan harta warisan dengan mengacu pada Kompilasi Hukum Islam.

BAB II

DASAR HUKUM DALAM MENETAPKAN HARTA BERSAMA DALAM HUKUM ISLAM

A. Harta Bersama Dalam Pandangan Hukum Islam

Dalam ajaran Islam dikenal dua istilah yang biasanya diterjemahkan menjadi Hukum Islam yakni syariat (syara') dan fikih, syariat adalah hukum-hukum yang sudah jelas maksudnya (qath'i) yang tersebut dalam Al-Qur’an atau Sunnah Rasul sedang fikih adalah pemahaman Para Ulama tentang ayat atau Sunnah Rasul (dzanni).30

Agar tidak terjadi kerancuan pengertian antara fikih dan syariat dalam membahas dasar-dasar Hukum Islam, kedua istilah tersebut sebaiknya dibedakan karena keduanya memang berbeda. Perbedaannya dimaksud adalah:31

a. Syariat yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Kitab-Kitab Hadis adalah Wahyu Allah dan Sunnah Rasul. Fikih terdapat dalam kitab-kitab fikih. Fikih adalah pemahaman atau hasil rumusan Para Ulama yang memenuhi syarat-syarat untuk menjelaskan perkara hukum.

b. Syariat bersifat fundamental, mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dari fikih karena menurut para ahli didalamnya termasuk juga akidah dan akhlak.

Fikih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang

30Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 51.

31Ibid.

mengatur perbuatan manusia, yang biasanya disebut sebagai perbuatan hukum.

c. Syariat adalah ketetapan Allah serta ketentuan Rasul karena itu syariat berlaku abadi. Fikih adalah karya manusia yang dapat diubah atau berubah dari masa kemasa yang tidak berlaku abadi.

d. Syariat hanya satu, sedang fikih mungkin lebih dari satu seperti terlihat pada aliran-aliran hukum yang disebut dengan mazhab.

e. Syariat menunjukan kesatuan dalam Islam, sedang fikih menunjukan keragamannya.

Aturan-aturan mengenai harta bersama dalam Hukum Islam bersumber dari Hadis, adat dan Kompilasi Hukum Islam. Sumber-sumber tersebut dapat dirincikan sebagai berikut :

1. Harta Bersama Dalam Tinjauan Al-Qur’an dan Hadis

Harta bersama merupakan harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami istri selama dalam ikatan perkawinan. Para pakar hukum Islam mempunyai dua pendapat yang berbeda mengenai ketentuan harta bersama dalam Al-Qur’an. Sebagian mereka berpendapat bahwa harta bersama tidak ada diatur dalam Al-Qur’an sehingga sepenuhnya harta bersama diatur menurut ketentuan para ulama sendiri. Pendapat ini dikemukakan oleh Hazairin, Anwar Harjono dan Andoerraoef serta diikuti oleh murid-muridnya.

Adapun mengenai pendapat lainnya adalah bahwa tidak mungkin jika agama Islam tidak mengatur tentang harta bersama sedangkan hal-hal lain yang kecil-kecil

saja diatur secara rinci oleh agama Islam dan ditentukan kadar hukumnya. Tidak ada satupun yang tertinggal, semuanya termasuk dalam ruang lingkup pembahasan hukum Islam. Jika tidak disebutkan dalam Al-Qur’an, maka ketentuan ini pasti dalam Hadis dan Hadis ini merupakan sumber Hukum Islam juga.32

Menurut H.M. Hasballah Thaib, kata-kata harta syarikat terdiri dari dua suku kata yang berasal dari bahasa Arab disebut dengan “amwal” dan “syarikat”.33 Kata-kata amwal berbentuk jamak dari mal, banyak dijumpai didalam Al-Qur’an dan Hadis dengan berdasarkan firman Allah SWT yaitu:

“Dan janganlah sebagian kamu memakan sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan harta itu kepada hakim-hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa padahal kamu mengetahui”.34

Sedangkan kata syarikat berarti perkongsian, persekutuan atau jama’ah. Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa kata-kata harta dan syarikat masih bersifat umum karena tidak ditentukan dari mana harta itu diperoleh, begitu juga dengan syarikat tidak diketahui harta apa yang dipersyarikatkan.35

Syarikat itu dapat dilaksanakan asalkan tidak dengan paksaan dan dilaksanakan dengan itikad yang baik. Jika salah satu pihak merasa tidak cocok lagi

32T. Jafizham, Persentuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, Percetakan Mustika, Medan, 1977, hlm. 119.

33H.M. Hasballah Thaib, Hukum Benda Menurut Islam, Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa, Medan, 1992, hlm. 21.

34QS. Al-Baqarah ayat 188.

35H.M. Hasballah Thaib, Op. Cit., hlm. 22.

melaksanakan perkongsian yang disepakati, maka ia dapat membubarkan perkongsian itu secara baik dan terhadap hal ini tidak dapat diwariskan.36

Agama Islam mempunyai peraturan dan dasar hukum untuk semua persoalan dan cocok untuk segala zaman, dengan demikian dasar penetapan harta syarikat dapat dihubungkan dengan Hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Daud37, yaitu:

Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Allah SWT berfirman: “Aku adalah ketiga dari dua orang yang bersekutu, selama yang seorang tidak mengkhianati kawannya. Tapi apabila ia khianati, aku keluar dari mereka.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud dan disahkan oleh Hakim).

Dengan adanya Hadis di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa:

1. Perkongsian hukumnya boleh.

2. Tidak dibenarkan adanya penipuan dan pengkhianatan karena perkongsian yang tidak ada penipuan disukai Allah SWT.

3. Allah SWT bersama-sama orang yang bersyarikat selama salah seorang dari yang berkongsi itu tidak mengkhianati kawannya, begitu juga perkongsian suami istri yang sangat berbeda dengan perkongsian lainnya yang biasa terjadi di tengah-tengah masyarakat. Perkongsian suami istri yang dimulai dengan ijab dan kabul pada saat aqad nikah pada dasarnya bertujuan untuk membina rumah tangga yang diridhai Allah.38

36Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan Agama, Pustaka Bangsa Press, Jakarta Pusat, 2003, hlm. 159.

37M. Hasballah Thaib, Op. Cit., hlm. 27.

38Ibid.

4. Kebijaksanaan dalam urusan dunia lebih banyak diserahkan kepada muslimin sendiri sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW “Kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu.”

Berpijak pada uraian di atas perlu adanya ketetapan pembagian harta bersama apabila suami istri bercerai, baik bercerai mati atau cerai hidup. Dalam hal ini Moh.

Anwar, berpendapat bahwa: ...Suami mendapat 2/3 (dua pertiga) sedang istri mendapat 1/3 (sepertiga) dengan perhitungan bahwa laki-laki lebih kuat dari perempuan.39

Berdasarkan hal di atas bagian laki-laki lebih banyak dari bagian perempuan dalam pembagian harta bersama, mengingat bahwa laki-laki lebih banyak memberikan saham dan andil dibandingkan dengan perempuan dalam memperoleh harta bersama tersebut, namun demikian hukum Islam tidak mengatur ketetapan pembagian yang pasti tentang harta bersama dalam suatu perkawinan sebagaimana pembagian warisan.

Adat kebiasaan sebaiknya disesuaikan dalam menentukan pembagian harta bersama karena tidak adanya ketetapan yang pasti, sebagaimana yang dikemukakan oleh H. Ismuha bahwa pembagian harta bersama antara suami istri itu disesuaikan menurut adat setempat, karena Islam tidak menetapkan cara pembagian sebagaimana yang telah ditetapkan dalam pembagian waris.40

39Al Imam Jalaluddin ‘Abdur Rahman bin Abi Bakar As-Sayuthi, Jami’us Shaghir, Juz I, hlm. 108.

40Abdurrahman al-Jaziri, Kitabul Fiqhi ‘Ala Mazahibil Arba’ah, Juz III, Darul Fikri, Beirut, hlm. 315.

Abdullah Syah juga menambahkan bahwa:41

1. Tidak ada suatu nash pun yang menunjukkan bahwa perkongsian semacam itu tidak dibolehkan dalam Islam. Satu-satunya alasan yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i ialah adanya penipuan. Tetapi alasan ini dapat ditolak dengan alasan di atas.

2. Ketentuan Hukum Islam yang berbunyi Al-‘Adatu muhakkamah dapat berlaku di sini. Mengingat adat kebiasaan dalam menyelesaikan dan pengurusan harta syarikat sudah merupakan adat kebiasaan yang diterima dengan baik oleh masyarakat. Kebiasaan ini tidak bertentangan dengan salah satu nash yang pasti.

3. Syariat Islam datang untuk menciptakan kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

4. Perubahan hukum karena perubahan-perubahan suasana telah terjadi pada masa Nabi dan pada masa sahabat.

5. Sighat ijab dan qabul dalam perkongsian suami istri dalam harta syarikat dapat diartikan suatu lafaz atau pernyataan izin kepada kongsinya untuk bertindak atas namanya. Kalau ada izin seperti itu, meskipun tidak ada lafaz perkongsian, juga dianggap cukup. Kebiasaan yang berlaku di Indonesia, dengan terjadinya perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita, maka masing-masing pihak sudah memberi izin kepada pihak lainnya untuk

41Abdullah Syah, Op. Cit., hlm. 172.

bertindak atas namanya dalam menempuh hidup berumah tangga, maka dalam hal ini berlaku lagi kaidah Al-‘Adatu Muhakkamah.

6. Sekalipun Mazhab Syafi’i tidak membolehkan perkongsian tenaga (‘abdan) dan perkongsian tidak terbatas (mufawadah) karena adanya unsur kesukaran dalam mengukur unsur tenaga dalam perkongsian (dapat menimbulkan penipuan), Mazhab Safi’i menerima adat kebiasaan sebagai dasar hukum, demikian juga ‘urf yang baik yang telah berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak diingkari oleh masing-masing pihak (suami atau istri) dengan membuat perjanjian lain.

Menurut H.M. Arsyad Thalib Lubis harta dapat dimiliki seseorang dengan dua cara, yaitu:42

1. Sebab yang dapat menimbulkan milik.

2. Sebab yang dapat memindahkan milik.

Adapun yang dimaksud dengan menimbulkan milik adalah menjadikan harta yang sah dan belum menjadi milik orang sama sekali, maka harta tersebut dapat menjadi milik seseorang dengan jalan mengambil dan menguasai dengan sengaja atau menguasai sesuatu harta yang sah menurut hukum Islam atau hukum yang mengatur hal itu, misalnya: air sungai, batu emas, pohon dan lain sebagainya menjadi milik bagi orang yang mula-mula mengambil dan menguasai harta itu dengan sengaja.

Demikian juga harta yang telah menjadi milik seseorang dapat berpindah menjadi milik orang lain dengan 2 cara, yaitu:

42H.M Arsyad Thalib Lubis, , Ilmu Fiqih, Firma Islamiyah, Cet. III, Medan, hlm. 198.

a. Pindah dengan akad

Yaitu memindahkannya dengan melakukan akad jual beli, hibah, sedekah, wasiat dan sebagainya.

b. Pindah dengan dipusakai

Yaitu bila seseorang mati meninggalkan harta milik maka harta itu pindah menjadi milik warisnya dengan jalan dipusakai.43

Dengan demikian cara pemilikan harta itu dapat dilakukan dengan cara memiliki harta yang belum dimiliki orang sama sekali atau dengan memindahkan hak milik itu menjadi milik orang lain dengan jalan akad atau dipusakakan.

Di dalam ajaran Islam dibolehkan membuat perjanjian yang berguna untuk mengantisipasi efek yang timbul setelah adanya jalinan hubungan suami istri termasuk akibat dari harta kekayaan mereka, hal ini dapat dihubungkan dengn firman Allah SWT yang berbunyi:44

“Hai orang-orang yang beriman, sempurnakanlah segala janji-janjimu.”

Selain menunjukkan bolehnya membuat janji juga diwajibkan memenuhi janji yang telah dibuat antara satu dengan lainnya. Selain itu dengan adanya perjanjian yang dibuat oleh suami istri di saat berlangsungnya perkawinan dengan sendirinya suami atau istri secara pasti telah mempunyai tanggung jawab menjaga dan memelihara harta kekayaan mereka secara timbal balik di samping kewajiban yang lain.

43Ibid.

44QS.Al-Maaidah ayat 1.

Harta bersama merupakan harta benda kekayaan yang diperoleh suami istri dari saat berlangsungnya perkawinan karena itu bukan berarti bahwa harta benda suami istri yang diperoleh sebelum perkawinan seperti harta pemberian, warisan, hibah, semua itu tidak termasuk harta syarikat.

Harta tersebut dapat menjadi harta bersama bila disaat berlangsungnya perkawinan diadakan perjanjian yang menetapkan bahwa harta tersebut digabung menjadi milik bersama atau sama sekali tidak ada perjanjian yang mengatur tentang harta mereka.

T. Jafizham mengatakan bahwa mereka yang akan menjadi suami istri boleh membuat perjanjian, bahwa harta benda yang dibawa ke dalam perkawinan dan harta benda yang diperoleh sendiri dalam perkawinan menjadi harta bersama.45

2. Harta Bersama Berdasarkan Adat (‘Urf)

Istilah harta bersama dalam perkawinan terdapat dalam berbagai bahasa daerah di Indonesia. Menurut adat Jawa harta bersama disebut harta gono gini, harta syarikat di Tanjung Pura (Sumatera Timur), Hareuta Shareukat di Aceh, barang berpantangan di Kalimantan, harta Suarang di Minangkabau dan cakkara di Sunda, Sapikul Sagendong di Jawa dan Sasuhun Sarembat di Bali.46

Iman Sudiyat menjelaskan masalah kedudukan janda tehadap harta bersama dalam perkawinan menurut adat sebagai berikut:47

45T. Jafizham, Op. Cit., hlm. 169.

46Abdullah Syah, Op. Cit., hlm. 166.

47Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 165-166.

“Mengenai posisi janda di dalam harta peninggalan, hukum adat bertitik tolak dari asas bahwa wanita sebagai orang asing tidak mewarisi, namun selaku istri turut memiliki harta yang diperoleh selama perkawinan (harta bersama). Di samping itu di semua wilayah ia berhak atas nafkah seumur hidup dari harta peninggalan suaminya, kecuali di wilayah yang tidak memerlukan aturan demikian itu, berhubung dengan tata susunan sanak yang matrilinial. Di Bali janda juga berhak mengurus harta tersebut, selama anak laki-laki belum disahkan sebagai pengganti di depan jenazah almarhum ayahandanya, menurut kenyataannya si janda di tempat-tempat lain sering juga mempunyai hak serupa.”

Adapun alasan lain yang menyebutkan bahwa janda tidak berhak atas harta bersama adalah janda tidak ikut secara fisik dan membantu suami dalam mencari harta benda, maka hukum adat lama menganggap tidak pernah terbentuk harta bersama dalam perkawinan. Jika ditinjau historis harta bersama di Indonesia, telah terjadi perkembangan hukum adat. Pendapat bahwa janda tidak berhak atas harta bersama tersebut mendapat kritik keras dari berbagai kalangan ahli hukum sejalan dengan perkembangannya pandangan emansipasi wanita dan arus globalisasi segala bidang.48

Terjadi pergeseran konsepsi nilai-nilai hukum baru yang menentukan terbentuknya harta bersama dalam perkawinan dapat dilihat berdasarkan yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 7 November 1956 Nomor 5/K/Sip/1956 yang mengatakan bahwa segala harta yang diperoleh selama perkawinan akan menjadi harta bersama suami-istri.49 Dapat dilihat dari pertimbangan Hakim yang berbunyi: “menurut hukum adat semua harta yang

48Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hlm. 108.

49Ibid.

diperoleh selama berlangsungnya perkawinan, termasuk gono-gini meskipun mungkin hasil kegiatan suami sendiri.”50

Dalam Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 19 Februari 1976 Nomor 985/K/Sip/1973 juga dirumuskan kaidah hukum yang menyatakan bahwa menurut hukum adat semua harta kekayaan yang diperoleh suami istri selama dalam perkawinan dianggap harta pendapatan bersama sekalipun harta itu semata-mata hasil pencarian suami istri.51

Kedudukan janda di dalam hukum adat telah mengalami pergeseran dalam hukum waris adat. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 100K/Sip/1967 telah melahirkan satu penemuan hukum yang menyimpang dari ketentuan hukum waris adat yang tidak mengenal adanya harta bersama dalam perkawinan dan janda bukan merupakan ahli waris dari mendiang suaminya.52

Dari ketiga contoh putusan di atas dapat disimpulkan bahwa ketentuan adanya harta bersama dalam perkawinan telah ada sebelum lahirnya Undang-Unadng Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang terdapat dalam Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan nilai-nilai tersebut dipertegas lagi dalam Bab XII Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa harta bersama

50Tesis Yusriana, Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama (Penelitian Di Pengadilan Agama Lubuk Pakam), Sekolah Pasca Sarjana USU, Medan, 2006, hlm. 23.

51Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, hlm. 79.

52Runtung, Makalah, Menuju Unifikasi Hukum Harta Perkawinan di Indonesia, hlm. 74.

suami istri itu adalah harta yang diperoleh selama ikatan perkwainan berlangsung dan perolehan itu tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama suami atau istri.53

Dasar penetapan harta bersama dalam suatu perkawinan dapat dihubungkan dengan adat kebiasaan dalam penyelesaian dan pengurusan harta bersama yang sudah merupakan adat kebiasaan yang diterima baik oleh masyarakat. Hal ini sesuai dengan bunyi kaidah fikih yang mengatakan bahwa adat kebiasaan itu dapat menjadi hukum.54

Adat kebiasaan dapat menjadi dasar hukum selama tidak bertentangan dengan nash-nash yang kuat karena kebiasaan penyelesaian harta bersama dalam suatu perkawinan telah diterima baik oleh masyarakat. Adapun yang menjadi ruang lingkup dalam harta bersama menurut adat adalah:

a. Harta yang diperoleh suami atau istri selama perkawinan, terkecuali yang diperoleh masing-masing karena pewarisan atau hadiah yang ditujukan secara pribadi kepada masing-masing suami atau istri.

b. Harta yang diperoleh suami atau istri dari hasil harta bawaannya masing-masing.

c. Harta bawaan masing-masing suami atau istri yang dinyatakan secara tegas menjadi harta bersama dalam perjanjian perkawinan suami istri tersebut.

Pertumbuhan masyarakat yang menuju kearah persamaan kedudukan antara pria dan wanita dapat dilihat dari yurisprudensi di atas. Janda berhak mendapat

53Ibid.

54H.M. Hasballah Thaib, Op. Cit., hlm. 28.

separuh dari harta peninggalan suaminya dan separuh dari harta pencarian yang merupakan bagian suaminya dibagi sama antara janda dan anak-anak sedangkan terhadap harta bawaan hanya diwarisi oleh anak-anak saja.

Masalah hubungan hukum adat dengan hukum Islam ini dapat dilihat dari sudut al-ahkam al-khamsah (norma atau kaidah Hukum Islam), yaitu:55

1. Haram (larangan) adalah suatu ketentuan larangan dari agama yang tidak boleh dikerjakan. Kalau orang melanggarnya, berdosalah orang itu.

2. Fardhu (kewajiban) adalah suatu ketentuan agama yang harus dikerjakan kalau tidak berdosa. Atau suatu ketentuan jika ditinggalkan berdosa.

3. Makruh (celaan) adalah suatu ketentuan larangan yang lebih baik tidak dikerjakan dari pada dilakukan. Atau meninggalkannya lebih baik dari pada melakukannya.

4. Sunnah (anjuran) adalah suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa.

5. Jaiz atau mubah (boleh)adalah dibolehkan atau sering kali juga disebut halal.

Satu perbuatan yang tidak ada ganjaran atau siksaan bagi orang yang mengerjakannya atau tidak mengerjakannya atau segala sesuatu yang diizinkan oleh Allah untuk mengerjakannya atau meninggalkannya tanpa dikenakan siksa bagi pelakunya.

55Forum Silaturahmi Persatuan Islam Pakistan, Mengenal macam-Macam Hukum Di Syari’at Hukum Islam, http://fospi.wordpress.com/2008/07/22/mengenal-macam-macam-hukum-di syariat-islam/html., terakhir di akses 10 Juli 2012.

Ke dalam kategori kelima inilah (jaiz atau mubah) adat dan bagian-bagian hukum adat dapat dimasukkan baik yang telah ada sebelum Islam datang ke tanah air maupun yang tumbuh kemudian, asal tidak bertentangan dengan aqidah (keyakinan) Islam.

Menurut T.M Hasbi Ash-Shiddieqy di dalam kitab-kitab fikih Islam banyak sekali garis-garis hukum yang dibina atas dasar ‘urf atau adat karena para ahli hukum telah menjadikan ‘urf atau adat sebagai salah satu alat atau metode pembentukan Hukum Islam.56 Pernyataan Hasbi ini adalah sejalan dengan salah satu patokan pembentukan garis hukum dalam Islam, yaitu al ‘adatu muhakkamat yang berarti bahwa adat dapat dijadikan Hukum Islam.57 Yang dimaksud dengan adat dalam hubungan ini adalah kebiasaan dalam pergaulan hidup sehari-hari yang tercakup dalam istilah muamalah (hal-hal yg termasuk urusan kemasyarakatan) bukan mengenai ibadah.

Sebab mengenai ibadah orang tidak boleh menambah atau mengurangi apa yang telah ditetapkan oleh Allah seperti yang tertulis di dalam Al-Qur’an dan yang telah diatur oleh Sunnah Rasul-Nya seperti yang termuat dalam kitab-kitab Hadis yang sahih.

Agar dapat dijadikan Hukum Islam, beberapa syarat harus dipenuhi. Menurut Sobhi Mahmassani, syarat-syarat tersebut adalah:58

56 Mohammad Daud Ali, Op. Cit., hlm. 229.

57Ibid.

58Ibid, hlm. 230.

1. Adat itu dapat diterima oleh perasaan dan akal sehat serta diakui oleh pendapat umum.

2. Sudah berulangkali terjadi dan telah pula berlaku umum dalam masyarakat yang bersangkutan.

3. Telah ada persetujuan atau pilihan lain antara kedua belah pihak.

4. Tidak bertentangan dengan nash (kata atau sebutan yang jelas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad) atau dengan kata lain tidak bertentangan dengan syariat Islam.

B. Harta Bersama Dalam Kompilasi Hukum Islam

Kompilasi Hukum Islam merupakan hukum materil yang pada garis besarnya meliputi bidang-bidang hukum perkawinan, hukum kewarisan dan hukum perwakafan yang dapat dijadikan pedoman bagi Hakim di lingkungan Badan Peradilan Agama sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya.

Dengan tersusunnya Kompilasi Hukum Islam menurut Wasit Aulawi dapat diharapkan:59

a. Memenuhi asas manfaat dan keadilan berimbang yang terdapat dalam Hukum Islam.

b. Mengatasi berbagai masalah khilafiyah (perbedaan pendapat) untuk menjamin kepastian hukum

59Wasit Aulia, H.A., Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Pidato Pengukuhan, IAIN, Jakarta, 1989, hlm. 12.

c. Mampu menjadi bahan baku dan berperan aktif dalam pembinaan hukum nasional.

Sebelum membahas ketentuan mengenai harta bersama dalam Kompilasi Hukum Islam, sebaiknya memahami makna dari harta bersama terlebih dahulu. Harta bersama dalam Kompilasi Hukum Islam disebut juga dengan syirkah yaitu harta kekayaan yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama dalam

Sebelum membahas ketentuan mengenai harta bersama dalam Kompilasi Hukum Islam, sebaiknya memahami makna dari harta bersama terlebih dahulu. Harta bersama dalam Kompilasi Hukum Islam disebut juga dengan syirkah yaitu harta kekayaan yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama dalam