• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Terhadap Putusan Dan Pertimbangan Hakim Dalam

BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN

B. Analisis Terhadap Putusan Dan Pertimbangan Hakim Dalam

Setelah membaca duduk perkara dalam kasus ini dapat analisis bahwa masalah yang disengketakan antara Para Penggugat dan Para Tergugat adalah tentang pembagian harta bersama dan harta warisan yang menjadi hak janda dan para ahli waris yang harus dibagi. Munculnya masalah harta bersama dan harta warisan

terhadap harta peninggalan pewaris didalam keluarga timbul ketika para ahli waris merasa adanya ketidakadilan dalam pembagian harta peninggalan.

Untuk mencari keadilan yang diinginkan maka para pihak yang merasa tidak menerima keadilan tersebut membuat suatu gugatan waris mal waris pada Pengadilan Agama yang disertai pula dengan gugatan terhadap harta bersama dalam perkawinan.

Adapun yang menjadi dasar hukum atas kewenangan untuk mengadili perkara bagi orang-orang yang beragama Islam pada Pengadilan Agama terdapat pada Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989. Dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.95

Kekuasaan Pengadilan dalam lingkup Peradilan Agama mengenai pengaturan penyelesaian harta bersama terdapat pada penjelasan ayat 2 Bab III Pasal 49 UU Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 yang menjelaskan bahwa penyelesaian harta bersama kini menjadi wewenang Peradilan Agama dan diselesaikan di Pengadilan Agama saja, penting artinya bagi bekas istri dan bekas suami bersangkutan. Ini perubahan penting dan mendasar dalam sistem peradilan Indonesia. Di waktu yang lalu, soal harta bersama baru dapat dimajukan kemudian dan diselesaikan oleh pengadilan negeri, bukan oleh pengadilan agama.

Mengenai kewenangan Peradilan Agama di dalam Pasal 49 ayat 1 UU Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 diperluas dalam UU Nomor 3 tahun 2006

95Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Peradilan Agama. Tidak hanya sebatas mengadili masalah perkawinan, waris, wasiat, hibah, sedekah, wakaf orang Islam, tetapi juga bidang usaha ekonomi syari’ah.

Di dalam Pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disebutkan bahwa “…Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: ..b. waris...”

Penjelasan lebih detail mengenai permasalahan waris apa saja yang diatur dapat kita lihat pada penjelasan Pasal 49 huruf b UU Peradilan Agama yang berbunyi

“…Yang dimaksud dengan waris adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris…”

Berdasarkan penjelasan di atas jelas bahwa yang berhak untuk menyelesaikan hal-hal yang berhubungan dengan harta bersama dan harta warisan (faraid) adalah Pengadilan Agama.

Setelah pemeriksaan perkara yang meliputi proses mengajukan gugatan penggugat, jawaban tergugat, replik penggugat, duplik tergugat, pembuktian dan kesimpulan yang diajukan baik oleh penggugat maupun oleh tergugat selesai dan pihak-pihak yang berperkara sudah tidak ada lagi yang ingin dikemukakan, maka hakim akan menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara tersebut.

Putusan pengadilan merupakan suatu yang sangat diinginkan atau dinanti-nanti oleh pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan sebaik-baiknya. Sebab dengan putusan pengadilan tersebut pihak-pihak yang bersengketa mengharapkan adanya kepastian hukum-hukum keadilan dalam perkara yang mereka hadapi.

Untuk memberikan putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian dan mencerminkan keadilan hakim sebagai aparatur negara dan sebagai wakil Tuhan yang melaksanakan peradilan harus mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang akan ditetapkan baik peraturan hukum tertulis dalam perundang-undangan maupun peraturan hukum tidak tertulis atau hukum adat.

Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antar para pihak. Putusan merupakan salah satu produk Pengadilan Agama yang merupakan tujuan bagi pencari keadilan untuk mencari haknya yang dikuasai oleh orang lain agar dikembalikan melalui proses persidangan atau untuk memperoleh putusan hakim yang berkekuatan hukum yang tetap (In racht van gewijsde), artinya suatu putusan hakim yang tidak dapat di ubah lagi.96

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 produk pengadilan agama ada 2 (dua), yaitu:

1. Putusan (vonis)

96R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, 1980, hlm. 124.

2. Penetapan (beschikking)

Putusan disebut juaga al-qadla’u (Arab), yaitu produk Pengadilan Agama karena ada dua pihak yang berlawanan dalam perkara antara Penggugat dan Tergugat.

Produk Pengadilan Agama ini biasa diistilahkan dengan produk keadilan yang sesungguhnya atau jurisdicto cententiosa.97 Putusan adalah salah satu produk Pengadilan Agama yang merupakan tujuan bagi pencari keadilan untuk mencari haknya yang dikuasai oleh orang lain agar dikembalikan melalui proses persidangan atau untuk memperoleh putusan hakim yang berkekuatan hukum yang tetap (In racht van gewijsde), artinya suatu putusan hakim yang tidak dapat di ubah lagi.98

Putusan dilakukan karena adanya gugatan. Dalam hal gugatan yang diajukan, karena terdapat sengketa terhadap objek waris. Hal ini bisa disebabkan karena adanya ahli waris yang tidak mau membagi warisan sehingga terjadi konflik antara ahli waris. Proses akhir dari gugatan ini akan melahirkan produk hukum berupa putusan.

Sedangkan Penetapan disebut juga al-itsbat (Arab), yaitu suatu penetapan diambil berhubungan dengan suatu permohonan. Permohonan yang diajukan para ahli waris dalam hal tidak terdapat sengketa. Terhadap permohonan tersebut pengadilan akan mengeluarkan produk hukum berupa penetapan.

Untuk menganalisis putusan dan pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Agama Nomor 646/Pdt.G/2010/PA.Mdn ini, dapat dilakukan ke dalam beberapa aspek hukum, yaitu:

97Rasyid, A., Raihan, Hukum Acara Peradilan Agama, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 203.

98R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, 1980, hlm. 124.

Dalam Eksepsi

Majelis Hakim berpendapat eksepsi Para Tergugat tidak tepat dan patut untuk di tolak. Para Tergugat telah menyampaikan eksepsi yang mendalilkan gugatan Para Penggugat telah salah karena Penggugat I sudah uzur, telah dibantah Para Penggugat dan dapat dibuktikan bahwa Penggugat masih dapat menerakan tandatangannya pada surat gugatan dan surat kuasa ditambah bukti surat Para Penggugat (Fotocopy penjelasan tertulis tentang kondisi Penggugat I yang dibuat dan ditandatangani seorang Dokter dan Fotocopy Laporan Rangkuman Hasil Pemeriksaan Laboratorium Klinik), dengan demikian dalil eksepsi Para Tergugat ini tidak terbukti.

Mengenai Para Tergugat mendalilkan gugatan yang diajukan oleh orang yang tidak berhak karena Penggugat V bukanlah anak kandung almarhum tetapi anak angkat, namun anak angkat V merupakan persona standi in judicio (sama sama berhak mengajukan gugatan bersama Penggugat lainnya) yang patut mengajukan gugatan walaupun bukan sebagai ahli waris.99 Pengadilan Agama menetapkan penggugat V sebagai anak angkat yang berhak mendapat bagian dari tirkah atau harta peninggalan Almarhum.

Adapun pertimbangan hakim dalam menetapkan hal tersebut adalah pengangkatan telah dilakukan secara hukum dengan bukti fotokopi kutipan akta kelahiran atas nama penggugat V yang dikeluarkan Kepala Kantor Catatan Sipil

99Wawancara, Hidayat Nassery, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Agama Kelas I A Medan dalam Putusan Perkara PA no.646/Pdt.G/2010/PA.Mdn. pada tanggal 2 Mei 2012.

Medan, dengan demikian kedudukan penggugat V sah sebagai anak angkat Almarhum. Karena penggugat V bukan anak kandung maka penggugat V tidak termasuk ahli waris tetapi masih bisa mendapatkan harta warisan peninggalan Almarhum berdasarkan wasiat wajibah sesuai Pasal 209 ayat 2 KHI (yang menyatakan terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan orang tua angkatnya) dengan bagiannya sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan orang tua angkatnya, yang dalam perkara ini Majelis Hakim berpendapat untuk memenuhi rasa keadilan maka bagian anak angkat disamakan dengan bagian seorang anak perempuan.

Menurut Hukum Islam, mengangkat seorang anak adalah perbuatan yang dibenarkan.100 Anak angkat menurut Hukum Islam tidak memiliki status yang sama dengan anak kandung. Pengangkatan anak tidak boleh berakibat putusnya hubungan darah dengan orangtua kandung jadi harus untuk tujuan membantu kesejahteraan anak itu saja, tanpa ada maksud lain. Hak waris anak angkat tetap dengan orang tua kandungnya sedangkan dengan orangtua angkat tidak ada hak mewaris. Walaupun demikian orang tua angkat dapat memberikan sebagian hartanya kepada anak angkat melalui hibah atau melalui wasiat. Besarnya harta yang boleh dhibahkan atau diwasiatkan tidak boleh lebih dari sepertiga.

Apabila tidak ada hibah atau wasiat yang diterima oleh anak angkat maka dia berhak menerima wasiat wajibah yang batasannya sama dengan pemberian wasiat yaitu maksimum sepertiga bagian. Batasan maksimum sepertiga ini secara rasional

100Bimbingan, Hasballah Thaib, tanggal 4 Juli 2012.

lebih menjamin pembagian waris yang adil karena tidak mungkin memberikan bagian yang lebih besar dari yang diperoleh anak kandung.

Di dalam eksepsi Para Tergugat disebutkan bahwa gugatan tentang pembagian warisan almarhum jelas salah dan tidak lengkap atau dengan sengaja menggelapkan, karena tidak semua harta bersama didaftarkan/terdaftar sebagai warisan (budel waris). Hakim menyatakan bahwa eksepsi tersebut tidak tepat. Adapun yang menjadi pertimbangan Hakim adalah alasan Para Tergugat tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk menolak atau tidak menerima gugatan Para Penggugat, karena dalam mengajukan gugatan waris mal waris tidak harus seluruh harta peninggalan dijadikan objek gugatan.

Berdasarkan wawancara dengan Hidayat Nassery selaku Ketua Majelis Hakim yang memutus perkara ini, mengenai objek harta bersama yang tidak ikut dibagi dan merupakan eksepsi Para Tergugat, Para Penggugat dalam rekonpensi tidak meminta objek tersebut dibagi sehingga eksepsi tersebut menjadi tidak tepat, oleh karenanya patut ditolak.101

M. Yahya Harahap menyebutkan bahwa bila Penggugat dianggap tidak berhasil membuktikan dalil gugatannya, akibat hukum yang harus ditanggungnya atas kegagalan membuktikan dalil gugatannya adalah gugatannya mesti ditolak seluruhnya. Jadi, bila suatu gugatan tidak dapat dibuktikan dalil gugatannya bahwa

101Ibid.

tergugat patut dihukum karena melanggar hal-hal yang disampaikan dalam gugatan, maka gugatan akan ditolak.102

Pertimbangan hukum merupakan jiwa dan intisari putusan. Pertimbangan berisi analisis, argumentasi, pendapat atau kesimpulan hukum dari hakim yang memeriksa pekara. Dalam pertimbangan dikemukakan analisis yang jelas berdasarkan Undang-Undang pembuktian.

1. apakah alat bukti yang di ajukan penggugat dan tergugat memenuhi syarat formil dan materil.

2. alat bukti pihak mana yang mencapai batas minimal pembuktian.

3. dalil gugat apa saja dan dalil bantahan apa saja yag terbukti.

4. sejauh mana nilai kekuatan pembuktian yang dimiliki para pihak.

Selanjutnya diikuti analisis hukum apa yang diterapkan untuk menyelesaikan perkara tersebut. Bertitik tolak dari analisis itu dilakukan pertimbangan terhadap argumentasi yang objektif dan rasional, pihak mana yang mampu membuktikan dalil gugat atau dalil bantahan sesuai dengan ketentuan hukum yang diterapkan. Dari hasil argumentasi itulah hakim menjelaskan pendapatnya, apa saja yang terbukti dan tidak dirumuskan menjadi kesimpulan hukum sebagai dasar landasan penyelesaian perkara yang akan dituangkan dalam diktum putusan.

Menurut Abdul Halim Ibrahim, terhadap objek gugatan yang tidak dijadikan sebagai budel waris dalam perkara ini, dapat juga diajukan dalam gugatan yang

102M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, hlm. 812.

baru.103 Eksepsi mengenai objek gugatan yang tidak dimasukkan dalam budel waris tidak dapat dibuktikan oleh Para Tergugat, hal ini dapat di lihat dari tidak adanya bukti-bukti surat yang diajukan Para Tergugat kepada Majelis Hakim, sehingga eksepsi tersebut di tolak.

Dalam Privisi

Terhadap provisi Para Tergugat yang meminta agar Majelis Hakim memerintahkan Para Tergugat untuk menghentikan semua tindakan memindah tangankan, mengalihkan, menjual, menyewa dan mengagunkan objek sengketa, Majelis Hakim menyatakan tidak dapat diterima, karena dalam pertimbangannya Majelis Hakim telah meletakkan sita jaminan (conservatoir beslag) dengan penetapan tanggal 22 Desember 2010 Nomor 646/Pdt.G/2010/PA.Mdn., dengan demikian permohonan Para Tergugat telah terpenuhi.

Sita Jaminan (Conversatoir Beslag) berasal dari perkataan conserveren (menyimpan). Makna conversatoir beslag ialah menyimpan hak-hak seorang untuk menjaga agar Penggugat tidak dirugikan oleh perbuatan Tergugat. Syarat-syarat utama sita jaminan adalah:104

1. Harus ada sangka yang beralasan, bahwa Tergugat sebelum putusan dijatuhkan atau dilaksanakan akan menggelapkan atau menghilangkan barang-barangnya, untuk menjamin gugatan agar tidak hampa (illusoir).

103Wawancara, Abd. Halim Ibrahim, Hakim AnggotaPengadilan Agama Kelas I A Medan dalam Putusan Perkara PA No.646/Pdt.G/2010/PA.Mdn. pada tanggal 2 Mei 2012.

104Drs. H. Ghufron Sulaiman (Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama Makassar),

Macam-Macam Sita Dalam Hukum Perdata,

http://ptamakassarkota.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=356&Itemid=180/html., terakhir diakses 10 Juli 2012.

2. Barang yang di sita itu berupa kepunyaan yang terkena sita, artinya bukan milik Penggugat.

3. Permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan yang memeriksa perkara tersebut.

4. Dapat dilakukan atau diletakkan baik tehadap barang bergerak atau yang tidak bergerak.

Sekiranya sudah diletakkan sita jaminan, tidak diperlukan lagi sita eksekusi karena sita jaminan menurut asasnya otomatis beralih menjadi sita eksekusi pada saat perkara yang bersangkutan mempunyai putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Permohonan Para Penggugat agar Para Tergugat secara tanggung renteng untuk membayar uang paksa (dwangsom) Rp. 1000.000,- (satu juta rupiah) perhari terhitung sejak tanggal putusan perkara sampai dengan saat dapat dilaksanakan putusan perkara bila Para Tergugat ingkar/lalai melaksanakan putusan perkara, Majelis Hakim berpendapat kurang tepat untuk dimintakan pada provisi, karena dwangsom hanya dapat dikenakan kepada pihak yang dikalahkan manakala putusan tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, dengan demikian pengajuan dwangsom pada gugatan provisi dipandang premature sehingga dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvangkelijk verklaard).

Putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad) dan provisionil dapat dilihat dalam Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 2000 yang salah satu

pengecualiannya adalah terhadap pokok gugatan mengenai tuntutan harta gono-gini dan putusannya yang belum inkracht.105

Tentang Konpensi

Majelis Hakim menyatakan seperdua dari harta tersebut diatas menjadi harta bersama dan seperdua selebihnya menjadi tirkah atau harta peningalan Almarhum yang dibagikan kepada para ahli waris dan anak angkat yang tersebut diatas. Dalam menyelesaikan kasus harta bersama dan harta warisan, para hakim di Pengadilan Agama merujuk kepada nash (teks) Al-Qur’an, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum terapan dan hukum positif di Pengadilan Agama.106

Sebelum terbentuknya Kompilasi Hukum Islam, harta bersama dalam masyarakat Islam di Indonesia hanya berpedoman pada adat yang berlaku dan mengacu pada Hadis Qudsi berdasarkan firman Allah SWT yang menyatakan bahwa Allah bersama-sama orang yang bersyarikat selama salah seorang dari yang berkongsi itu tidak mengkhianati kawannya. Harta syarikat (harta bersama) dalam perkawinan dalam Hukum Islam disebut syirkah ‘abdan (perkongsian tenaga) dan mufawadah (perkongsian tidak terbatas). Perkongsian antara suami istri merupakan perikatan yang dimulai dengan ijab kabul pada akad nikah, suami atau istri bermaksud agar perkawinan mereka kekal abadi dan tidak akan cerai sampai mereka meninggal dunia.

105Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta Dan Provisionil.

106Wawancara, Hidayat Nassery, Op. Cit.

Abdul Halim Ibrahim juga mengatakan bahwa terhadap gugatan harta bersama di Pengadilan Agama Medan selalu memutuskan harta bersama dibagi dua yaitu setengah bagian istri dan setengahnya lagi merupakan bagian suami. Kompilasi Hukum Islam merupakan hukum terapan pada Peradilan Agama. Kalau ada putusan yang bertentangan dengan Kompilasi Hukum Islam maka putusan tersebut adalah putusan kontra legem yaitu melawan ketentuan undang-undang yang dianggap tidak adil dalam kondisi tertentu dengan disertai alasan yang akurat.107

Menurut keterangan Para Penggugat harta yang menjadi objek sengketa tersebut adalah harta bersama Almarhum dengan Penggugat I yang mana ternyata tidak dibantah oleh Para Tergugat dan telah didukung dengan bukti surat Para Penggugat yaitu: fotokopi Sertifikat Hak Milik nomor 272 atas nama Almarhum yang dikeluarkan Kantor Agraria Kotamadya Medan, fotokopi Sertifikat Hak Milik nomor 18 atas nama Almarhum yang dikeluarkan Kantor Direktorat Kotamadya Medan, fotokopi Sertifikat Hak Milik nomor 34 atas nama Almarhum yang dikeluarkan pendaftaran dan pengawasan pendaftaran tanah Medan, fotokopi Sertifikat Hak Milik nomor 1 atas nama Almarhum yang dikeluarkan Kantor Agraria Kabupaten Deli Serdang.

Dengan demikian dalil Para Penggugat tentang Para Tergugat dalam hal ini menjadi telah terbukti. Karena antara Almarhum dengan jandanya (Penggugat I) ternyata tidak ada perjanjian tertentu mengenai harta bersama maka dengan telah meninggalnya Almarhum penyelesaian harta bersama diselesaikan berdasarkan Pasal

107Wawancara, Abdul Halim Ibrahim, Op. Cit.

96 ayat 1 KHI, dimana seperdua harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama (Penggugat I), dan seperdua selebihnya menjadi tirkah (harta warisan) yang menjadi hak ahli waris.

Adapun gugatan Para Penggugat terhadap uang sewa rumah toko yang harus dibayar Tergugat I dan Tergugat II kepada Para Penggugat yang terletak di Jalan Brigjend. Katamso Medan, Hakim menilai gugatan tersebut aquo obscuur (kabur), karena tidak adanya perjanjian yang dibuat oleh Para Penggugat dengan Tergugat I dan Tergugat II.108

Pengadilan Agama Medan menetapkan ahli waris yang berhak atas tirkah/harta peninggalan Almarhum adalah Penggugat I, II, III, IV,VI dan Tergugat I, II, III, IV dengan pertimbangan bahwa Penggugat I adalah janda dari Almarhum sedangkan penggugat dan tergugat tersebut diatas adalah anak kandung Almarhum, yang semuanya beragama Islam, dan telah diakui oleh Para Tergugat.

Dengan demikian mereka merupakan ahli waris yang berhak atas harta peninggalan Almarhum sesuai Pasal 174 ayat 1 huruf a dan b KHI, yang menyatakan hak kewarisan berlaku atas dasar hubungan kekerabatan karena ada hubungan alamiah (seorang anak yang dilahirkan oleh seorang ibu mempunyai hubungan kerabat dengan ibu yang melahirkannya) diantara keduanya dan atas dasar hubungan perkawinan disebabkan adanya hubungan hukum antara suami istri.

Hubungan kekerabatan berlaku antara seorang anak dengan seorang laki-laki sebagai ayahnya, bila anak tersebut lahir dari hasil atau akibat perkawinan yang

108Ibid.

berlaku antara si laki-laki dengan ibu yang melahirkannya. Hal ini sesuai dengan Hadis Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat Al-Bukhori dan Muslim yang bunyinya “seseorang anak yang sah disebabkan oleh akad nikah”.

Berlakunya hubungan kewarisan antara suami dengan istri didasarkan pada akad nikah yang sah. Tentang akad nikah yang sah ditetapkan dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 2 ayat 1 yang mengatakan bahwa perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Ketentuan di atas berarti bahwa perkawinan orang-orang yang beragama Islam adalah sah bila menurut Hukum Islam perkawinan tersebut adalah sah.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Dasar hukum menetapkan harta bersama dalam perkawinan menurut Hukum Islam adalah Hadis Qudsi dari Abu Hurairah r.a.. Ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:

Allah SWT berfirman: “Aku adalah ketiga dari dua orang yang bersekutu, selama yang seorang tidak mengkhianati kawannya, tapi apabila ia khianat aku keluar dari mereka”. Adat kebiasaan masyarakat muslim yang baik dan sudah lama berlangsung dan tidak ada sanggahan dari Para Ulama Islam juga menjadi dasar hukum untuk menetapkan harta bersama dalam perkawinan yang dirumuskan dalam Kompilasi Hukum Islam.

2. Kedudukan janda terhadap harta bersama ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam adalah disamping janda mendapat setengah bagian dari harta bersama, juga mendapat hak waris ¼ (seperempat) bagian bila suami yang diwarisinya tidak meninggalkan keturunan dan 1/8 (seperdelapan) bagian bila suaminya ada meninggalkan keturunan. Para Ulama setuju bahwa harta bersama yang dirumuskan pada Pasal 85 sampai dengan Pasal 97 KHI mengambil syarikat abdan (perkongsian tenaga) sebagai landasan merumuskan kaidah-kaidah harta bersama suami istri dalam kompilasi.

3. Dalam menyelesaikan sengketa harta bersama pada perkara Pengadilan Agama Nomor 646/Pdt.G/2010/PA.Mdn yang dijadikan sebagai objek dalam penelitian

ini, Hakim menetapkan bahwa harta bersama di bagi dua antara janda dengan almarhum suaminya. Adapun yang menjadi pertimbangan Hakim dalam memutus adalah sesuai dengan Pasal 96 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam yang telah menjadi hukum terapan yang berlaku bagi peradilan agama di Indonesia. Pertimbangan Hakim juga didasarkan pada sahnya perkawinan menurut agama Islam dan tanpa membuat perjanjian perkawinan sehingga harta yang diperoleh dalam perkawinan dinyatakan sebagai harta bersama.

Saran

1. Diharapkan kepada instansi yang terkait agar Kompilasi Hukum Islam dapat ditingkatkan kedudukannya menjadi undang-undang, mengingat Kompilasi Hukum Islam telah dijadikan hukum terapan pada peradilan agama.

2. Terhadap pembagian harta bersama dalam perkawinan sebaiknya Para Perumus Kompilasi Hukum Islam dapat melenturkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 96 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam, mengingat realita dalam kehidupan keluarga dibeberapa daerah di Indonesia ada pihak suami yang tidak berpartisipasi dalam membangun ekonomi rumah tangga.

Sedangkan terhadap ketentuan pembagian harta warisan bagi muslim yang

Sedangkan terhadap ketentuan pembagian harta warisan bagi muslim yang