• Tidak ada hasil yang ditemukan

Harta Bersama Berdasarkan Adat ( ‘Urf )

BAB II DASAR HUKUM DALAM MENETAPKAN HARTA

A. Harta Bersama Dalam Pandangan Hukum Islam

2. Harta Bersama Berdasarkan Adat ( ‘Urf )

Istilah harta bersama dalam perkawinan terdapat dalam berbagai bahasa daerah di Indonesia. Menurut adat Jawa harta bersama disebut harta gono gini, harta syarikat di Tanjung Pura (Sumatera Timur), Hareuta Shareukat di Aceh, barang berpantangan di Kalimantan, harta Suarang di Minangkabau dan cakkara di Sunda, Sapikul Sagendong di Jawa dan Sasuhun Sarembat di Bali.46

Iman Sudiyat menjelaskan masalah kedudukan janda tehadap harta bersama dalam perkawinan menurut adat sebagai berikut:47

45T. Jafizham, Op. Cit., hlm. 169.

46Abdullah Syah, Op. Cit., hlm. 166.

47Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 165-166.

“Mengenai posisi janda di dalam harta peninggalan, hukum adat bertitik tolak dari asas bahwa wanita sebagai orang asing tidak mewarisi, namun selaku istri turut memiliki harta yang diperoleh selama perkawinan (harta bersama). Di samping itu di semua wilayah ia berhak atas nafkah seumur hidup dari harta peninggalan suaminya, kecuali di wilayah yang tidak memerlukan aturan demikian itu, berhubung dengan tata susunan sanak yang matrilinial. Di Bali janda juga berhak mengurus harta tersebut, selama anak laki-laki belum disahkan sebagai pengganti di depan jenazah almarhum ayahandanya, menurut kenyataannya si janda di tempat-tempat lain sering juga mempunyai hak serupa.”

Adapun alasan lain yang menyebutkan bahwa janda tidak berhak atas harta bersama adalah janda tidak ikut secara fisik dan membantu suami dalam mencari harta benda, maka hukum adat lama menganggap tidak pernah terbentuk harta bersama dalam perkawinan. Jika ditinjau historis harta bersama di Indonesia, telah terjadi perkembangan hukum adat. Pendapat bahwa janda tidak berhak atas harta bersama tersebut mendapat kritik keras dari berbagai kalangan ahli hukum sejalan dengan perkembangannya pandangan emansipasi wanita dan arus globalisasi segala bidang.48

Terjadi pergeseran konsepsi nilai-nilai hukum baru yang menentukan terbentuknya harta bersama dalam perkawinan dapat dilihat berdasarkan yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 7 November 1956 Nomor 5/K/Sip/1956 yang mengatakan bahwa segala harta yang diperoleh selama perkawinan akan menjadi harta bersama suami-istri.49 Dapat dilihat dari pertimbangan Hakim yang berbunyi: “menurut hukum adat semua harta yang

48Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hlm. 108.

49Ibid.

diperoleh selama berlangsungnya perkawinan, termasuk gono-gini meskipun mungkin hasil kegiatan suami sendiri.”50

Dalam Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 19 Februari 1976 Nomor 985/K/Sip/1973 juga dirumuskan kaidah hukum yang menyatakan bahwa menurut hukum adat semua harta kekayaan yang diperoleh suami istri selama dalam perkawinan dianggap harta pendapatan bersama sekalipun harta itu semata-mata hasil pencarian suami istri.51

Kedudukan janda di dalam hukum adat telah mengalami pergeseran dalam hukum waris adat. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 100K/Sip/1967 telah melahirkan satu penemuan hukum yang menyimpang dari ketentuan hukum waris adat yang tidak mengenal adanya harta bersama dalam perkawinan dan janda bukan merupakan ahli waris dari mendiang suaminya.52

Dari ketiga contoh putusan di atas dapat disimpulkan bahwa ketentuan adanya harta bersama dalam perkawinan telah ada sebelum lahirnya Undang-Unadng Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang terdapat dalam Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan nilai-nilai tersebut dipertegas lagi dalam Bab XII Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa harta bersama

50Tesis Yusriana, Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama (Penelitian Di Pengadilan Agama Lubuk Pakam), Sekolah Pasca Sarjana USU, Medan, 2006, hlm. 23.

51Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, hlm. 79.

52Runtung, Makalah, Menuju Unifikasi Hukum Harta Perkawinan di Indonesia, hlm. 74.

suami istri itu adalah harta yang diperoleh selama ikatan perkwainan berlangsung dan perolehan itu tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama suami atau istri.53

Dasar penetapan harta bersama dalam suatu perkawinan dapat dihubungkan dengan adat kebiasaan dalam penyelesaian dan pengurusan harta bersama yang sudah merupakan adat kebiasaan yang diterima baik oleh masyarakat. Hal ini sesuai dengan bunyi kaidah fikih yang mengatakan bahwa adat kebiasaan itu dapat menjadi hukum.54

Adat kebiasaan dapat menjadi dasar hukum selama tidak bertentangan dengan nash-nash yang kuat karena kebiasaan penyelesaian harta bersama dalam suatu perkawinan telah diterima baik oleh masyarakat. Adapun yang menjadi ruang lingkup dalam harta bersama menurut adat adalah:

a. Harta yang diperoleh suami atau istri selama perkawinan, terkecuali yang diperoleh masing-masing karena pewarisan atau hadiah yang ditujukan secara pribadi kepada masing-masing suami atau istri.

b. Harta yang diperoleh suami atau istri dari hasil harta bawaannya masing-masing.

c. Harta bawaan masing-masing suami atau istri yang dinyatakan secara tegas menjadi harta bersama dalam perjanjian perkawinan suami istri tersebut.

Pertumbuhan masyarakat yang menuju kearah persamaan kedudukan antara pria dan wanita dapat dilihat dari yurisprudensi di atas. Janda berhak mendapat

53Ibid.

54H.M. Hasballah Thaib, Op. Cit., hlm. 28.

separuh dari harta peninggalan suaminya dan separuh dari harta pencarian yang merupakan bagian suaminya dibagi sama antara janda dan anak-anak sedangkan terhadap harta bawaan hanya diwarisi oleh anak-anak saja.

Masalah hubungan hukum adat dengan hukum Islam ini dapat dilihat dari sudut al-ahkam al-khamsah (norma atau kaidah Hukum Islam), yaitu:55

1. Haram (larangan) adalah suatu ketentuan larangan dari agama yang tidak boleh dikerjakan. Kalau orang melanggarnya, berdosalah orang itu.

2. Fardhu (kewajiban) adalah suatu ketentuan agama yang harus dikerjakan kalau tidak berdosa. Atau suatu ketentuan jika ditinggalkan berdosa.

3. Makruh (celaan) adalah suatu ketentuan larangan yang lebih baik tidak dikerjakan dari pada dilakukan. Atau meninggalkannya lebih baik dari pada melakukannya.

4. Sunnah (anjuran) adalah suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa.

5. Jaiz atau mubah (boleh)adalah dibolehkan atau sering kali juga disebut halal.

Satu perbuatan yang tidak ada ganjaran atau siksaan bagi orang yang mengerjakannya atau tidak mengerjakannya atau segala sesuatu yang diizinkan oleh Allah untuk mengerjakannya atau meninggalkannya tanpa dikenakan siksa bagi pelakunya.

55Forum Silaturahmi Persatuan Islam Pakistan, Mengenal macam-Macam Hukum Di Syari’at Hukum Islam, http://fospi.wordpress.com/2008/07/22/mengenal-macam-macam-hukum-di syariat-islam/html., terakhir di akses 10 Juli 2012.

Ke dalam kategori kelima inilah (jaiz atau mubah) adat dan bagian-bagian hukum adat dapat dimasukkan baik yang telah ada sebelum Islam datang ke tanah air maupun yang tumbuh kemudian, asal tidak bertentangan dengan aqidah (keyakinan) Islam.

Menurut T.M Hasbi Ash-Shiddieqy di dalam kitab-kitab fikih Islam banyak sekali garis-garis hukum yang dibina atas dasar ‘urf atau adat karena para ahli hukum telah menjadikan ‘urf atau adat sebagai salah satu alat atau metode pembentukan Hukum Islam.56 Pernyataan Hasbi ini adalah sejalan dengan salah satu patokan pembentukan garis hukum dalam Islam, yaitu al ‘adatu muhakkamat yang berarti bahwa adat dapat dijadikan Hukum Islam.57 Yang dimaksud dengan adat dalam hubungan ini adalah kebiasaan dalam pergaulan hidup sehari-hari yang tercakup dalam istilah muamalah (hal-hal yg termasuk urusan kemasyarakatan) bukan mengenai ibadah.

Sebab mengenai ibadah orang tidak boleh menambah atau mengurangi apa yang telah ditetapkan oleh Allah seperti yang tertulis di dalam Al-Qur’an dan yang telah diatur oleh Sunnah Rasul-Nya seperti yang termuat dalam kitab-kitab Hadis yang sahih.

Agar dapat dijadikan Hukum Islam, beberapa syarat harus dipenuhi. Menurut Sobhi Mahmassani, syarat-syarat tersebut adalah:58

56 Mohammad Daud Ali, Op. Cit., hlm. 229.

57Ibid.

58Ibid, hlm. 230.

1. Adat itu dapat diterima oleh perasaan dan akal sehat serta diakui oleh pendapat umum.

2. Sudah berulangkali terjadi dan telah pula berlaku umum dalam masyarakat yang bersangkutan.

3. Telah ada persetujuan atau pilihan lain antara kedua belah pihak.

4. Tidak bertentangan dengan nash (kata atau sebutan yang jelas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad) atau dengan kata lain tidak bertentangan dengan syariat Islam.