• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TESIS Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara."

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

KEABSAHAN SUATU PERALIHAN TANAH KAPLINGAN DIDASARKAN KEPADA SUATU KUASA YANG TIDAK SESUAI DENGAN MATERI KUASA (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI

STABAT NO. 03 /PDT.G/2015/PN.STB)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MONIKA SELVIA BR TARIGAN 167011188 / M.Kn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)

i

(3)

ii TIM PENGUJI TESIS

KETUA : Prof. Dr. M. Yamin, S.H., M.S., CN

ANGGOTA : 1. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum : 2. Notaris Dr. Suprayitno, S.H., SpN., M.Kn

3. Dr. T. Keizerina Devi A, S.H., CN, M.Hum 4. Dr. Hamdan, S.H, M.Hum

(4)

iii

(5)

iv

(6)

v ABSTRAK

Dalam realisasi peralihan hak atas tanah, adakalanya seseorang yang memiliki hak dan kekuasaan penuh tidak dapat menyelesaikan perbuatan hukum itu, sehingga dibuatlah suatu surat kuasa. Pada kenyataannya pembuatan surat kuasa walaupun sudah mendapat persetujuan antara kedua belah pihak tetapi terkadang masih menimbulkan permasalahan hukum dimana salah satu pihak menyalahgunakan pemberian kuasa dalam hal ini penerima kuasa melampaui kuasa yang telah diberikan sebagaimana diatur dalam Pasal 1797 KUHPerdata.

Penelitian ini membahas mengenai peralihan objek berupa tanah berdasarkan surat kuasa, keabsahan peralihan tanah yang didasarkan kepada suatu kuasa yang dijalankan tidak sesuai dengan materi surat kuasa serta menganalisis perkara dalam putusan PN Stabat No.03/Pdt.G/2015/PN.Stb berkaitan dengan peralihan tanah kapling berdasarkan kuasa.

Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis. Data yang dipergunakan adalah data sekunder dengan metode pengumpulan data yang diperoleh dari berbagai literatur dan peraturan perundang- undangan. Metode analisis yang digunakan adalah analisis data kualitatif dengan menarik kesimpulan menggunakan metode deduktif.

Hasil penelitian ini adalah peralihan objek berupa tanah yang didasarkan pada surat kuasa mempunyai kekuatan hukum, sepanjang syarat formil dan materil dari perbuatan hukum tersebut terpenuhi. Keabsahan peralihan tanah yang didasarkan kepada suatu kuasa yang dijalankan tidak sesuai dengan materi dalam surat kuasa, dalam hal ini penerima kuasa melampaui kuasa yang diterimanya, maka peralihan tanah menjadi tidak sah atau batal demi hukum. Pada putusan PN Stabat No.03/Pdt.G/2015/PN.Stb, Majelis Hakim menilai bahwa para Tergugat tidak dapat membuktikan kepemilikan tanah yang sebenarnya dalam arti, alas hak perolehan tanah tidak jelas sehingga alas hak menjadi tidak sah dan cacat hukum.

Sementara itu, apabila ditelaah mengenai gugatan yang diajukan oleh Penggugat selaku pemberi kuasa, maka Majelis Hakim perlu mempertimbangkan mengenai eksistensi surat kuasa terhadap peralihan hak atas tanah yang mana dalam kasus ini Tergugat I selaku penerima kuasa telah menyalahgunakan pemberian kuasa tersebut dengan melakukan tindakan yang melampaui kuasa. Sehingga tindakan pengalihan hak atas tanah tersebut menjadi batal demi hukum.

Kata Kunci: Kuasa, Peralihan Hak Atas Tanah, Tanah Kapling

(7)

vi ABSTRACT

In the practice of land title transfer, someone with full ownership amd authority may not be able to accomplish a legal action; thus, he uses power of attorney. However, despite both parties’ approval in a power of attorney, it still may cause a problem, for an example, when one of the parties abuses the power granted, in this case the power grantee surpasses the power granted to him as stipulated in Article 1797 of the Civil Code. This research studies the title transfer of a piece of land grounded on a power of attorney, its validity because its ground is not in line with the materials stated in the power of attorney, and the analysis of the case in the District Court Ruling No. 03/Pdt.G/2015/PN.Stb which is related to the transfer of land plots grounded on a power of attorney.

This is a normative juridical research with descriptive analysis. It uses secondary data collected from various references, laws and regulations. The analysis is made using qualitative method and the conclusion is drawn using deductive reasoning method.

The results of the research demonstrate that the land title transfer grounded on a power of attorney has legal forces, as long as it has met all formal and material requirements. However, since the transfer made is not in line with the materials of the power of attorney, in this case the power grantee surpasses the power granted to him, the transfer is valid, null and void before the law. The District Court Ruling No. 03/Pdt.G/2015/PN.Stb is pronounced because the Panel of Judges considers that the Defendant fails to prove his ownership rights over the land, in this case the pedestal rights over the land is not clear so that it becomes invalid and has legal defect. Furthermore, if the lawsuit filed by the Plaintiff as the power grantor is analyzed, it is advised that the Panel of Judges take into consideration the existance of the power of attorney used in the land title transfer by Defendant I. The Defendant I, as the power grantee, has abused the power of attorney by taking a legal action which surpasses the power granted to him.

Therefore, the land title transfer becomes null and void before the law.

Keywords: Power, Land Title Transfer, Land Plots

(8)

vii

memberikan kesempatan pada penulis dalam penyusunan tesis yang

berjudul “Keabsahan Suatu Peralihan Tanah Kaplingan Didasarkan Kepada Suatu Kuasa Yang Tidak Sesuai Dengan Materi Kuasa (Studi Putusan Pengadilan Negeri Stabat No.03/Pdt.G/2015/PN.Stb)”.

Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak terlepas dari kekurangan sehingga penulis berharap agar semua pihak dapat memberikan masukan berupa kritik dan saran yang membangun guna menyempurnakan penulisan sebuah karya ilmiah.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, yaitu:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, S.H.,CN., M.Hum, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Edy Ikhsan, S.H., M.A, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Prof. Dr. M. Yamin, S.H., MS., CN selaku ketua komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu dan memberi motivasi, bimbingan, dorongan, perhatian, dan saran yang terbaik hingga selesainya penulisan tesis ini.

(9)

viii

7. Bapak Notaris Dr. Suprayitno, S.H, SpN., M.Kn, selaku pembimbing ketiga yang telah meluangkan waktu dan memberi motivasi, bimbingan, perhatian, dan saran yang terbaik hingga selesainya penulisan tesis ini.

8. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, S.H.,CN., M.Hum, selaku penguji yang telah meluangkan waktu dan memberi bimbingan, dorongan, dan saran yang terbaik hingga selesai penulisan tesis ini.

9. Bapak Dr. Hamdan, S.H., M.Hum selaku penguji yang telah meluangkan waktu dan memberi bimbingan, dorongan, dan saran yang terbaik.

10. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu pengetahuan, bimbingan serta arahan yang sangat bermanfaat selama penulis mengikuti proses kegiatan perkuliahan.

11. Seluruh Pegawai Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama ini dalam menjalankan pendidikan.

12. Orang tua, suami, dan keluarga saya yang telah memberikan dukungan dan doa kepada penulis hingga selesainya penulisan tesis ini.

13. Rekan mahasiswa dan mahasiswi di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk kebersamaan, semangat dan dukungan selama menjalani masa perkuliahan.

(10)

ix

Penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas kebaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan tesis ini.

Semoga tesis ini dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang Ilmu Hukum Kenotariatan.

Medan, 30 Agustus 2019 Penulis,

MONIKA SELVIA BR. TARIGAN

(11)

x

Nama : Monika Selvia Br. Tarigan

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 13 April 1992

Alamat : Jl. Mongonsidi Baru I No. 35 Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 27 Tahun

Kewarganegaraan : Indonesia

Nama Ayah : Alm. Andreas Tarigan Nama Ibu : Maria Br. Barus

II. PENDIDIKAN

Taman Kanak-Kanak : Fajar (1997-1998)

Sekolah Dasar : Santo Antonius (1998-2004) Sekolah Menengah Pertama : Putri Cahaya (2004-2007) Sekolah Menengah Atas : Santo Thomas (2007-2010)

Pendidikan Strata-I : Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2010-2014)

Pendidikan Strata-II : Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2016- 2019)

(12)

xi

PERSETUJUAN PUBLIKASI TESIS ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... x

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Keaslian Penelitian ... 13

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 15

1. Kerangka Teori ... 15

2. Konsepsi ... 21

G. Metode Penelitian ... 22

1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 22

2. Sumber Data ... 24

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ... 26

4. Analisis Data ... 26

BAB II PERALIHAN OBJEK BERUPA TANAH BERDASARKAN SURAT KUASA ... 28

A. Peralihan Hak Atas Tanah ... 28

1. Jual Beli Menurut Hukum Perdata ... 29

2. Jual Beli Menurut Hukum Tanah Nasional ... 32

B. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian ... 40

1. Pengertian Perjanjian dan Perikatan ... 40

2. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian ... 42

3. Asas-Asas Hukum Perjanjian ... 48

C. Surat Kuasa Dalam Peralihan Hak Atas Tanah ... 52

1. Pengertian Surat Kuasa Dan Pemberian Kuasa ... 53

2. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Pemberian Kuasa ... 55

3. Berakhirnya Pemberian Kuasa ... 59

4. Akibat Hukum Jika Penerima Kuasa Menjalankan Kuasa Melebihi Apa Yang Dikuasakan ... 62

BAB III KEABSAHAN PERALIHAN TANAH YANG DIDASARKAN KEPADA KUASA YANG TIDAK SESUAI DENGAN MATERI DALAM SURAT KUASA ... 67

A. Keabsahan Surat Kuasa Sebagai Dasar Peralihan Tanah Menurut Hukum Agraria ... 67

B. Pembeli Beritikad Baik Dalam Peralihan Tanah ... 74

(13)

xii

BERDASARKAN KUASA ... 82

A. Kasus Posisi ... 82

1. Para Pihak Yang Berpekara ... 82

2. Kronologis Kasus ... 83

B. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim... 87

C. Akibat Hukum Dari Putusan Terhadap Peralihan Tanah Berdasarkan Kuasa ... 98

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 105

A. Kesimpulan ... 105

B. Saran ... 107

DAFTAR PUSTAKA ... 109

(14)

1

Tanah mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia.

Semakin maju masyarakat dan padat penduduknya, maka akan menambah pentingnya kedudukan hak-hak atas tanah itu. Jumlah luas tanah yang dapat dikuasai oleh manusia terbatas sekali, sedangkan jumlah manusia yang ingin menguasai selalu bertambah. Dengan demikian, semakin lama seolah-olah tanah menjadi sempit dan sedikit, sedangkan permintaan selalu bertambah, maka tidak heran kalau nilai tanah menjadi meningkat tinggi. Ketidakseimbangan antara persediaan tanah dengan kebutuhan akan tanah itu akhirnya menimbulkan berbagai segi permasalahan.1

Sengketa tanah dapat berupa permasalahan mengenai status tanahnya, masalah kepemilikannya, bukti-bukti perolehannya yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya. Sengketa tanah banyak terjadi karena adanya benturan kepentingan para pihak yang bersengketa. Kesadaran akan pentingnya tanah untuk kebutuhan primer atau kebutuhan lainnya menyebabkan tanah yang tidak jelas kepemilikannya menjadi suatu sengketa bahkan yang telah jelas kepemilikannya dengan diterbitkannya sertipikat.2

1K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Cet. 6, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1977, hal. 31.

2Maria S.W. Sumardjono, et. al, Mediasi Sengketa Tanah, Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) di Bidang Pertanahan, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2008, hal. 3.

(15)

Bagi seseorang yang memiliki tanah yang sudah lama atau yang dikuasai sebelum 24 September 1960 diperlukan bukti kepemilikan atau penguasaan tanah yang dapat digunakan seperti surat keterangan riwayat pemilikan/penguasaan tanah, sedangkan tanah yang dikuasai dengan ganti kerugian tanda buktinya adalah Surat Keterangan Ganti Rugi (untuk selanjutnya disebut sebagai SKGR), surat pernyataan tidak bersengketa dan semua surat seperti tanda letak batas (sepadan) dan peta/gambar (sceets kart) situasi merupakan suatu kesatuan, yang mana dapat dipergunakan sebagai bukti kepemilikan.3

Sebagaimana tercantum dalam penjelasan dari Pasal 24 PP No. 24 Tahun 1997, terdapat alat bukti tertulis untuk dapat membuktikan kepemilikan atas tanah yang dapat digunakan bagi pendaftaran hak-hak lama dan merupakan dokumen yang lengkap untuk kepentingan pendaftaran tanah lain antara lain: grosse akta hak eigendom, surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan peraturan swapraja yang bersangkutan, sertifikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1959, surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat yang berwenang baik sebelum atau sejak berlakunya UUPA, petuk Pajak Bumi sebelum berlakunya PP No. 10 Tahun 1961, akta pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan yang dibubuhi kesaksian oleh Kepala Adat atau Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dengan disertai alas hak yang dialihkan, akta pemindahan hak yang dibuat oleh PPAT, akta ikrar wakaf, risalah lelah yang

3Hana Wastuti Poetri, “Kekuatan Pembuktian Surat Pengakuan Hak Atas Tanah Yang Diketahui Oleh Lurah dan Camat”, Repertorium Jurnal Ilmiah Hukum Kenotariatan, Vol. 4, Mei 2015, hal. 86.

(16)

dibuat oleh Pejabat Lelang, surat penunjukan atau pembelian kavling tanah yang diambil pemerintah, surat keterangan riwayat tanah yang dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan disertai alas hak yang dialihkan.

Salah satu hal yang dapat menimbulkan masalah tanah yaitu mengenai tata cara peralihan hak atas tanah yang kerap tidak memperhatikan aturan yang berlaku, sehingga berpotensi menyebabkan sengketa pertanahan. Peralihan hak atas tanah adalah beralihnya atau berpindahnya hak kepemilikan sebidang tanah atau beberapa bidang tanah dari pemilik semula kepada pemilik yang baru karena sesuatu atau perbuatan hukum tertentu. Perbuatan hukum pemindahan hak bertujuan untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain untuk selama- lamanya (dalam hal ini subjek hukumnya memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah).4

Dalam kaitannya dengan ketentuan yang mengatur tentang pemindahan hak, jual beli tanah dan penyerahannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (untuk selanjutnya disebut sebagai PP No. 24 Tahun 1997), yang menyatakan:5

“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

4Irene Eka Sihombing, Segi-Segi Hukum Tanah Nasional dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, Universitas Trisakti, Jakarta, 2005, hal. 56.

5Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 37.

(17)

Terhadap peralihan hak atas tanah dengan mekanisme jual beli apabila merujuk kedalam Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut sebagai KUHPerdata) adalah sebagai berikut:

“Jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana penjual mengikatkan dirinya atau berjanji untuk menyerahkan hak atas benda tersebut kepada pembeli yang mengikatkan dirinya untuk membayar kepada penjual harga yang telah disepakatinya.”

Namun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (untuk selanjutnya disebut sebagai UUPA) dan peraturan pelaksana dibawahnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (untuk selanjutnya disebut sebagai PP No. 24 Tahun 1997) maka ketentuan dalam KUHPerdata terhadap jual beli atau peralihan hak atas tanah dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.

Berdasarkan Pasal 5 UUPA terdapat pernyataan bahwa hukum tanah nasional adalah hukum adat, yang berarti menggunakan konsepsi-konsepsi, asas- asas, lembaga hukum dan sistem hukum adat. Hukum adat yang dimaksud tentunya hukum adat yang telah di saneer atau yang dihilangkan cacat- cacatnya/disempurnakan. Jadi, pengertian jual beli tanah menurut hukum tanah nasional kita adalah pengertian jual beli menurut hukum adat.6

Menurut hukum adat, jual beli tanah adalah suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti perbuatan pemindahan hak tersebut harus dilakukan dihadapan kepala adat yang berperan

6Boedi Harsono(I), Simposium Undang-Undang Pokok Agraria dan Kedudukan Tanah-Tanah Adat Dewasa Ini, Bina Cipta, Bandung, 1997.

(18)

sebahai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan pemindahan hak tersebut diketahui oleh umum.

Tunai maksudnya bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak. Oleh karena itu, maka tunai mungkin berarti harga tanah dibayar secara kontan, atau dibayar sebagian dan dianggap tunai.7

Terhadap tanah yang belum bersertifikat yang akan diperjualbelikan atau dilakukan peralihan hak kerap dilakukan dengan tidak berpedoman secara legal, sehingga keabsahannya secara hukum diragukan dan sering menimbulkan sengketa. Dalam melakukan transaksi di bidang pertanahan masih ada sebagian masyarakat di pedesaan yang menuangkan dalam akta yang ditandatangani oleh para pihak dengan diketahui Kepala Desa. Bahkan ada pula transaksi tanah yang hanya dituangkan dalam bentuk kwitansi pembayaran tanpa dibuat akta perjanjian. Model transaksi tanah seperti itu masih terjadi di sebagian masyarakat di pedesaan, karena transaksi mereka buat dirasa cukup hanya dibuktikan dengan akta yang dibuat sendiri atau sekedar catatan adanya bukti pembayaran.8

Adapun penguasaan atas tanah yang belum bersertipikat dapat dibuktikan dengan SKGR. SKGR adalah surat keterangan tentang pemberian ganti rugi atas tanah yang dibuat oleh kepala desa atau lurah disebabkan adanya peralihan hak kepemilikan atas tanah dan bukti keterangan peralihan tanah dari penggarap

7Soerjono Soekanti, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1983, hal. 211.

8Christiana Sri Murni, “Peralihan Hak Atas Tanah Tanpa Sertifikat”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol.4, No.2, 2018, hal. 689.

(19)

kepada pembeli.9 SKGR dapat dibuat dibawah tangan atau diterbitkan oleh Camat (PPAT Sementara) dan juga dapat dibuat dengan akta notaris.

Sehubungan dengan pelaksanaan peralihan hak atas tanah tersebut, ada kalanya seseorang yang memiliki hak dan kekuasaan penuh tidak dapat melakukan perbuatan hukum tersebut. Hal tersebut dapat disebabkan oleh karena adanya benturan kepentingan pada waktu yang sama atau karena urusan lain.

Untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut, diperlukan jasa orang lain untuk membantu menyelesaikan suatu kepentingan atas nama dari orang yang meminta bantuannya. Dengan memberikan jasa kepada orang lain dalam menyelesaikan kepentingannya, maka ia harus memberikan kuasa kepada orang lain tersebut.

Dengan demikian, orang ini diberinya kekuasaan atau wewenang untuk menyelesaikan urusan tersebut. Penyelenggaran urusan dalam hal ini dimaksudkan dalam melakukan perbuatan hukum yaitu suatu perbuatan yang mempunyai suatu akibat hukum yang disebut dengan pemberian kuasa.10

Kuasa adalah kewenangan yang diberikan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa untuk melakukan tindakan hukum atas nama pemberi kuasa.

Kuasa adalah suatu hak yang melahirkan suatu kewenangan untuk mewakili.

Karena kuasa merupakan suatu hak, maka kuasa termasuk dalam harta kekayaan pemberi kuasa.11 Adapun pemberian kuasa diatur dalam KUHPerdata Pasal 1792 sampai dengan Pasal 1819 KUHPerdata dalam buku III.

9N.M Wahyu Kuncoro, Resiko Transaksi Jual Beli Properti, Raih Ara Sukses, Jakarta, 2015, hal. 42.

10R. Subekti(I), Aneka Perjanjian, Cet. X, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1995, hal. 140.

11Rachmat Setiawan, Hukum Perwakilan dan Kuasa: Suatu Perbandingan Hukum Indonesia dan Hukum Belanda Saat Ini, Cet. 1, Tatanusa, Jakarta, 2005, hal. 1.

(20)

Pengertian pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.12 Dengan demikian, berdasarkan pada ketentuan Pasal 1792 KUHPerdata maka sifat dari pemberian kuasa adalah

“mewakilkan” atau “perwakilan”. “Mewakilkan” disini maksudnya pemberi kuasa mewakilkan kepada si penerima kuasa untuk mengurus dan melaksanakan kepentingan si pemberi kuasa. Adapun arti kata “atas nama” yang dimaksud pasal ini adalah si penerima kuasa berbuat atau bertindak mewakili si pemberi kuasa.13 Dalam setiap pemberian kuasa, pada umumnya sekaligus sebagai penyerahan perwakilan kepada penerima kuasa, sehingga dalam hal ini si penerima kuasa langsung berkedudukan sebagai wakil dari pemberi kuasa.14

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat dua pihak yang mana satu bertindak sebagai pemberi kuasa yang memberikan kuasanya kepada orang lain untuk melaksanakan urusannya, dan pihak lain yang bertindak sebagai penerima kuasa yang mana melaksanakan suatu urusan atas amanat dari orang lain dengan cuma-cuma atau dengan suatu imbalan tertentu.15 Dengan mengetahui bahwa pemberian kuasa adalah salah satu bentuk perjanjian, maka perlu diperhatikan pula syarat sahnya suatu perjanjian, sebagaimana yang disebutkan di dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c. Mengenai suatu hal tertentu;

d. Tentang suatu sebab yang halal.

12Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1792.

13M, Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 306.

14Ibid.

15R. Subekti(I), op.cit., hal. 141.

(21)

Lebih lanjut dalam Pasal 1793 KUHPerdata dijelaskan bahwa kuasa dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum, dengan surat di bawah tangan bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan itu oleh yang diberi kuasa.16 Jadi sebenarnya tidak dibutuhkan suatu formalitas tertentu dalam pemberian kuasa dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa. Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa pemberian kuasa adalah suatu perjanjian konsensual yang mana dengan adanya persetujuan maka perjanjian tersebut sudah mengikat (sah) pada detik tercapainya sepakat antara si pemberi dan penerima kuasa.17

Oleh karena pemberian kuasa merupakan perjanjian, maka pemberian kuasa dapat diberikan untuk apapun juga, baik yang sudah ada aturannya dalam undang- undang maupun yang belum ada peraturannya sama sekali selama tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Dengan demikian, dalam hal ini pemberian kuasa juga dapat digunakan dalam pelaksanaan peralihan hak atas tanah. Adapun peralihan hak atas tanah dapat dilakukan berdasarkan kuasa untuk menjual. Kuasa untuk menjual memang tidak dilarang untuk digunakan dalam hal peralihan hak atas tanah asalkan kuasa untuk menjual tersebut tidak termasuk dalam kuasa mutlak, sebagaimana yang dimaksud dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri nomor 14 Tahun 1982.

Untuk menjamin agar pelaksanaan kuasa tersebut berjalan dengan aman dan mempunyai kepastian hukum maka akta otentik yang dibuat oleh Notaris adalah suatu pilihan yang tepat yaitu dengan membuat akta kuasa. Berdasarkan Pasal 15

16Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, op.cit., Pasal 1792.

17M. Yahya Harahap, op.cit., hal. 307.

(22)

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (untuk selanjutnya disebut sebagai UUJN) dapat disimpulkan akta Notaris sebagai akta Otentik yang mempunyai kebutuhan kekuatan pembuktian yang sempurna, yang artinya bahwa akta itu sendiri mempunyai kemampuan untuk membuktikan dirinya sendiri sebagai akta otentik, sampai dapat dibuktikan bahwa akta itu tidak otentik.18

Sementara itu, kuasa menjual masuk ke dalam kategori kuasa yang digunakan untuk memindahtangankan benda yang sejatinya hanya dapat dilakukan oleh pemiliknya saja, sehingga kuasa menjual tidak boleh menggunakan kuasa umum namun berbentuk akta tersendiri yang secara tegas menyatakan untuk menjual tanah. Sedangkan kuasa untuk menjual yang dimaksud dalam Pasal 1796 KUHPerdata merupakan perbuatan hukum yang masuk kedalam kategori kuasa yang digunakan untuk memindahtangankan benda yang sejatinya hanya dapat dilakukan oleh pemiliknya saja, sehingga kuasa menjual memerlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas di dalam aktanya. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka kuasa dalam peralihan hak atas tanah tidak diperkenankan pemberian kuasa dengan surat kuasa umum melainkan harus dengan surat kuasa khusus.

Berkaitan dengan pemberian kuasa tersebut, pada praktiknya terdapat pula penerima kuasa yang tidak menjalankan kuasa sebagaimana disebut dalam surat kuasa sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi si pemberi kuasa. Seperti halnya dalam perkara perdata nomor 03/Pdt.G/2015/PN.STB, yang terkait dengan

18G.H.S, Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Nasional, Erlangga, Jakarta, 1983, hal.

55.

(23)

kasus kepemilikan tanah berdasarkan kuasa untuk menjual. Dalam perkara ini, melibatkan Penggugat selaku Pemberi Kuasa melawan Tergugat I selaku Penerima Kuasa, Tergugat II sampai dengan Tergugat VI selaku pihak yang menguasai tanah kaplingan yang menjadi objek perkara dan Tergugat VII selaku Lurah Kelurahan Pelawi Utara serta Tergugat VIII selaku Camat Kecamatan Babalan.

Pada awalnya Penggugat memberikan kuasa kepada Tergugat I untuk mengelola sebidang tanah milik Penggugat, mengkapling tanah sebanyak 10 kapling dan menjual kepada masyarakat dengan memberikan Tergugat I imbalan sebesar 5% dari hasil penjualan. Tetapi dalam kenyataannya, Tergugat I mengkapling tanah sebanyak 14 kapling dan menjual kepada 14 pembeli tanpa pernah menyelesaikan pembayaran pengalihan tanah kaplingan tersebut kepada Penggugat. Perbuatan hukum yang dilakukan Tergugat I tersebut tentunya tidak menjalankan kuasa yang diberikan oleh Penggugat dengan benar sehingga menimbulkan kerugian bagi si Penggugat. Atau dengan kata lain Tergugat I melaksanakan kuasa tidak sesuai dengan wewenang yang dilimpahkan yaitu dengan melampaui kuasa yang diterimanya dari si Penggugat.

Selain itu, Penggugat juga mengajukan gugatan terhadap Tergugat VII dan Tergugat VIII atas tindakannya yang telah menerbitkan surat peralihan atau Surat Pelepasan Hak dengan Ganti Rugi19 terhadap tanah kaplingan. Adapun ke-14

19Berdasarkan kenyataanya banyak akta peralihan hak dan ganti rugi atas tanah yang belum memiliki alas hak dan belum bersertifikat masih merupakan tanah Negara yang dialihkan atau digantirugikan oleh dan dihadapan Camat yang secara umum disebut surat pernyataan pelepasan hak dengan ganti rugi. Dikutip Helena, Eksistensi dan Kekuatan Alat Bukti Alas Hak Berupa Akta Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi yang Dibuat Dihadapan Notaris atau Camat Studi di Kabupaten Deli Serdang, Tesis Universitas Sumatera Utara, 2007, hal. 118.

(24)

pihak yang pada mulanya adalah pembeli tanah kaplingan yaitu tanah kapling diperoleh melalui Surat Pelepasan Hak dengan Ganti Rugi tersebut telah mengalihkannya atau menjual kepada pihak lain, yaitu Tergugat II, Tergugat III, Tergugat IV, Tergugat V, dan Tergugat VI.

Pengadilan Negeri Stabat kemudian mengabulkan gugatan Penggugat secara sebagian, antara lain Penggugat memperoleh kembali hak-hak atas tanah yang telah dialihkan kepada para pembeli tersebut. Dengan keadaan demikian, maka Tergugat II, Tergugat III, Tergugat IV, Tergugat V, dan Tergugat VI yang semula telah melakukan pembayaran ganti rugi atas tanah kaplingan (dalam hal ini telah memperoleh hak atas pengalihan tanah kaplingan) harus mengembalikan tanah tersebut kepada Penggugat. Oleh karena itu, pengaturan hukum yang secara tegas mengenai penggunaan kuasa menjual (mengalihkan hak atas tanah) penting untuk diterapkan sehingga memberikan jaminan kepastian hukum, ketertiban hukum, dan memberikan perlindungan hukum atas para pihak apabila terjadi permasalahan atau menimbulkan kerugian atas perbuatan hukum tersebut.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, mendorong penulis untuk mengangkat permasalahan peralihan hak atas tanah yang dalam transaksinya menggunakan kuasa dan memiliki implikasi-impilikasi hukum yang layak untuk dibahas lebih jauh. Oleh karena itu, Penulis tertarik untuk melakukan kajian dalam menulis tesis dengan judul:

(25)

“Keabsahan Suatu Peralihan Tanah Kaplingan Didasarkan Kepada Suatu Kuasa Yang Tidak Sesuai Dengan Materi Kuasa (Studi Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor 03/Pdt.G/2015/PN.STB).”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang yang telah dikemukakan tersebut, maka beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana peralihan objek berupa tanah yang didasarkan kepada surat kuasa?

2. Bagaimana keabsahan peralihan tanah yang didasarkan kepada suatu kuasa yang dijalankan tidak sesuai dengan materi dalam surat kuasa, dalam hal ini Penerima Kuasa melampaui kuasa yang diterimanya?

3. Bagaimana analisis atas perkara Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor 03/Pdt.G/2015/PN.STB berkaitan dengan peralihan tanah kapling berdasarkan kuasa?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada topik penelitian dan permasalahan yang diajukan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis peralihan objek berupa tanah yang didasarkan kepada surat kuasa.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis keabsahan peralihan tanah yang didasarkan kepada suatu kuasa yang dijalankan tidak sesuai dengan materi dalam surat kuasa.

(26)

3. Untuk mengetahui dan menganalisis perkara Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor 03/Pdt.G/2015/PN.STB berkaitan dengan peralihan tanah kapling berdasarkan kuasa.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi kegunaan baik secara teoritis maupun praktis, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan serta tambahan ilmu pengetahuan, dan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk memberikan andil bagi perkembangan ilmu hukum khususnya bidang Hukum Agraria dan Hukum Perjanjian.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, bahwa penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada para pihak yang melakukan kegiatan pengalihan hak atas tanah kapling yaitu pihak penjual dan pembeli, Camat dan Lurah atau Kepala Desa yang memiliki peran dalam mengesahkan suatu perbuatan pengalihan, Notaris atau PPAT maupun bagi penulis sendiri dalam menambah wawasan pengetahuan tentang pemahaman mengenai peralihan hak atas tanah berdasarkan suatu kuasa.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran pada kepustakaan, khususnya di lingkungan Perpustakaan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul “Keabsahan Suatu Peralihan Tanah Kaplingan Didasarkan Kepada Suatu Kuasa Yang Tidak Sesuai

(27)

Dengan Materi Kuasa (Studi Putusan Pengadilan Negeri Stabat No.

03/Pdt.G/2015/PN.STB)” belum pernah dilakukan oleh penelitian sebelumnya.

Akan tetapi, ditemukan beberapa judul tesis dan skripsi yang berhubungan dengan topik dalam tesis ini antara lain:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Herry Santoso, Mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Efektivitas dan Penerapan Kuasa Dalam Akta Perikatan/Perjanjian Jual Beli Atas Tanah Serta Keterkaitannya Dengan Akta Kuasa Jual”, dan permasalahan yang diteliti adalah:

a. Sejauh manakah efektivitas pemberian kuasa yang terdapat dalam akta Perikatan/Perjanjian Jual Beli?

b. Bagaimanakah keterkaitan antara pemberian kuasa yang terdapat dalam akta Perikatan/Perjanjian Jual Beli dengan akta Kuasa Jual?

c. Apakah kuasa yang diberikan/dibuat untuk melakukan perbuatan hukum kepada penerima kuasa selalu demi kepentingan pemberi kuasa?

2. Penelitian yang dilakukan oleh Nelly Sriwahyuni Siregar, Mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Tinjauan Yuridis Kedudukan Kuasa Mutlak Dalam Peralihan Hak Atas Tanah Oleh Notaris/PPAT” dan permasalahan yang diteliti adalah:

a. Mengapa kuasa mutlak sebagai tindak lanjut dari perjanjian pendahuluan dalam peralihan hak atas tanah masih dapat diberlakukan?

(28)

b. Bagaimana secara yuridis kedudukan kuasa mutlak dalam peralihan hak atas tanah yang dibuat dihadapan Notaris/PPAT?

c. Bagaimana perlindungan hukum terhadap para pihak yang telah melakukan peralihan hak atas tanah dengan memakai kuasa mutlak?

3. Penelitian yang dilakukan oleh Yulida Hafni Ramadana, Mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera, dengan judul penelitian “Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah Yang Dapat Menimbulkan Konflik”, dan permasalahan yang diteliti adalah:

a. Perjanjian peralihan hak atas tanah yang bagaimana yang dapat menimbulkan konflik di masyarakat?

b. Apakah yang dapat menyebabkan terjadinya konflik dalam proses perjanjian jual beli tanah?

c. Bagaimana tindakan Notaris/PPAT dalam menangani perjanjian peralihan hak atas tanah yang dapat menimbulkan konflik?

Dilihat dari titik permasalahan dari masing-masing penelitian di atas terdapat perbedaan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan

(29)

atau pegangan teoritis dalam penelitian.20 Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis. Menurut Mukti Fajar, teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga merupakan simpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.21 Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.22

Untuk memperjelas didalam memberikan suatu gambaran mengenai pembahasan permasalahan diatas, maka dalam penulisan tesis ini digunakan teori sebagai berikut:

a. Teori Pacta Sunt Servanda

Pengkuan akan keterikatan pada sebuah kontrak atau apa yang dalam dunia

hukum lebih dikenal dengan ungkapan pacta sunt servanda adalah salah satu substansi terpenting dari nilai tersebut, jika kita telusuri makna kontrak dalam pandangan yang luas. Teori pacta sunt servanda (yang arti harafiahnya adalah kontrak itu mengikat) adalah suatu teori yang berasal dan berkembang dalam tradisi hukum Eropa Kontinental, yang mengajarkan bahwa terhadap suatu kontrak yang dibuat secara sah dan sesuai hukum yang berlaku, serta sesuai pula dengan kebiasaan dan kelayakan, sehingga diasumsi sebagai kontrak yang dibuat

20M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Cet. I, Bandung, Mandar Maju, 1994, hal. 80.

21Mukti Fajar et al., Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, PT. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal. 134.

22Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi, dan Tesis, Andi, Yogyakarta, 2006, hal. 6.

(30)

dengan itikad baik, maka klausula-klausula dalam kontrak seperti yaitu mengikat para pihak yang membuatnya, dimana kekuatan mengikatnya setara dengan kekuatan mengikatnya sebuah undang-undang, dan karenanya pula pelaksanaan kontrak seperti itu tidak boleh merugikan pihak lawan dalam kontrak maupun pihak ketiga di luar para pihak dalam kontrak tersebut.23

Apabila kontrak seperti itu tidak dipenuhi ketentuannya oleh salah satu pihak tanpa alasan yang dapat dibenarkan oleh hukum, maka pihak tersebut telah melakukan wanprestasi sehingga harus mengganti kerugian terhadap pihak lain sesuai hukum yang berlaku, hal mana dapat dipaksakan berlakunya melalui campur tangan pengadilan atau campur tangan pihak yang berkompeten lainnya.

Mengenai ganti rugi memiliki kedudukan yang penting karena sebenarnya merupakan arus balik yang harus diterima oleh mereka yang membuat kontrak, karena sesuai dengan asas pacta sunt servanda, orang yang membuat kontrak berarti sudah siap menunaikannya dan menanggung apapun risiko yang mungkin timbul, termasuk membayar ganti rugi bila memang ada orang yang dirugikan dengan perbuatan itu. Oleh karena itu, manusia-manusia yang membuat kontrak harus selalu dalam keadaan sadar dan waspada karena vigilantibus jus seriptum est, hukum ditulis hanya untuk orang-orang yang sadar.24

Sering pula disebutkan bahwa penerapan teori pacta sunt servanda bukan hanya untuk mendapatkan ketertiban hukum, melainkan juga untuk menjamin adanya ketertiban sosial, serta ketertiban ekonomi, dan perdagangan. Dapat dibayangkan betapa kacau keadaan sosial, ekonomi, dan hukum di dunia ini

23Munir Fuady (I), Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana, Jakarta, 2013, hal 210-211.

24Ibid., hal. 216.

(31)

seandainya orang-orang bebas untuk mematuhi atau tidak mematuhi kontrak- kontrak yang sudah dibuatnya. Akan tetapi berdasarkan teori pacta sunt servanda, betapa megah dan mulianya ungkapan bahwa kontrak itu mengikat, dimana mengikatnya kontrak tersebut setaraf dengan keterikatan kepada undang-undang seperti yang ditegaskan Pasal 1338 KUHPerdata.25

Hal itu merupakan konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata yang menyatakan bahwa setiap perikatan dapat lahir dari undang- undang maupun karena perjanjian. Jadi perjanjian adalah sumber dari perikatan.

Sebagai perikatan yang dibuat dengan sengaja, atas disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagimana telah dikehendaki oleh mereka. Dalam hal salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakannya, maka pihak lain dalam perjanjian berhak untuk memaksakan pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur hukum yang berlaku.26

b. Teori Kepastian Hukum

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.27

25Ibid., hal. 218.

26Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja (I), Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 59.

27Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Imu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

1999, hal. 23.

(32)

Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum.

Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum, sehingga membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.28

Hubungannya dalam bidang pertanahan bahwa setiap penguasaan dan pemanfaatan tanah termasuk dalam penanganan masalah pertanahan harus di dasarkan pada hukum dan diselesaikan secara hukum serta tetap berpijak pada landasan konstitusi yakni pada Pasal 33 ayat (3) UUD RI 1945 yang mengamanatkan kepada Pemerintah untuk melakukan pengaturan dan pemanfaatan tanah dalam konsep sebesar-besarnya kemakmuran rakyat termasuk melaksanakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah di Indonesia dalam rangka memberikan suatu kepastian hukum.29

Berdasarkan uraian tentang istilah dan pengertian konsep kepastian hukum tampak bahwa hukum harus memberikan jaminan kepastian tidak adanya kesewenang-wenangan dalam masyarakat. Dengan demikian penelitian ini diharapkan mampu memberikan jaminan kepastian hukum terhadap penggunaan

28Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Gunung Agung, Jakarta, 2002, hal. 82-83.

29Muhammad Yamin dan Abdul Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung, 2008, hal. 4.

(33)

kuasa menjualkan dalam hal bukti peralihan hak milik atas tanah khususnya tanah kapling. Sehingga memberikan rasa aman bagi para pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut.

c. Teori Perlindungan Hukum

Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Dengan demikian negara menjamin hak-hak hukum warga negaranya dengan memberikan perlindungan hukum yang merupakan hak bagi setiap warga negara.30 Salah satu sifat dan sekaligus merupakan tujuan dari hukum adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat, oleh karena itu perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam bentuk adanya kepastian hukum. Perlindungan hukum merupakan suatu konsep yang universal dari Negara hukum. Perlindungan hukum diberikan apabila terjadi suatu pelanggaran maupun tindakan yang bertentangan dengan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, baik perbuatan yang melanggar undang-undang maupun peraturan formal yang berlaku telah melanggar ketentuan kepentingan dalam kehidupan masyarakat yang harus diperhatikan.

Perlindungan hukum dapat ditemui dalam penjelasan Pasal 18 UUPA menjelaskan tentang meskipun hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, tidak berarti kepentingan pemegang hak atas tanah diabaikan begitu saja. Dalam rangka memberikan penghormatan dan perlindungan hukum, hak atas tanah tidak dapat begitu saja diambil oleh pihak lain meskipun itu untuk kepentingan umum.

Kepada pemegang hak atas tanah diberikan ganti rugi yang layak, artinya

30Satjipto Raharjo, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, Jakarta, Kompas, 2003, hal. 121.

(34)

kehidupan pemegang hak atas tanah harus lebih baik setelah hak atas tanah diambil oleh pihak lain.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah suatu bagian penting dari teori. Peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi antara abstraksi dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatu abtraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut dengan definisi operasional.31

Berikut ini diuraikan beberapa konsep atau pengertian yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu:

a. Peralihan hak atas tanah adalah perbuatan hukum pemindahan hak ats tanah yang dilakukan dengan sengaja supaya hak tersebut terlepas dari pemegangnya semula dan menjadi hak pihak lain.32

b. Kuasa adalah kewenangan yang diberikan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa untuk melakukan tindakan hukum atas nama pemberi kuasa.33 c. Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan

kuasa kepada orang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.34

31Sumadi Surya Brata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal. 3.

32Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 71.

33Pasal 3:60 lid (1) NBW, Pieter E Latumeten, “Reposisi Pemberiam Kuasa Dalam Konsep Volmacht dan Lastgeving Berdasarkan Cita Hukum Pancasila”, Junal Hukum dan Pembangunan 47, No. 1, 2017, hal. 4.

34Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, op.cit., Pasal 1792.

(35)

d. Tanah kapling menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bagian tanah yang sudah dipetak-petak dengan ukuran tertentu untuk bangunan atau tempat tinggal. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman, disebutkan bahwa kavling tanah matang adalah:

“Sebidang tanah yang telah dipersiapkan untuk rumah sesuai dengan persyaratan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah dan rencana rinci tata ruang serta rencana tata bangunan dan lingkungan”.

Pengertian tanah kapling sebagai salah satu unsur dari jual-beli tanah didalam praktek dimaksudkan adalah sebagai sebidang tanah dalam bentuk yang telah ditentukan bentuk dan luasnya oleh pihak pertama sebagai koordinator kavling, sehingga tanah tersebut diperuntukan siap bangun bagi pihak kedua (pembeli) dalam suatu kawasan dan areal lingkungan tertentu.35

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian.36 Kegunaan metode penelitian normatif adalah untuk melakukan penelitian dasar (basic research) di bidang hukum, khususnya bila peneliti mencari asas hukum, teori hukum, dan sistem hukum, terutama dalam hal penemuan hukum dan pembentukan asas-asas hukum baru, pendekatan hukum baru dan sistem hukum nasional.37

35I Nyoman, Yuliarta Bayu Pramana, Pelaksanaan Jual Beli Tanah Kavling Di Kota Denpasar, Tesis Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro, Semarang, 2005, hal. 27.

36Peter Muhammad Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hal. 105.

37Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung, 1994, hal. 141.

(36)

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau yuridis normatif. Penelitian hukum normatif ini merupakan suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.38 Kegunaan metode penelitian normatif adalah untuk melakukan penelitian dasar (basic research) di bidang hukum, khususnya bila peneliti mencari asas hukum, teori hukum, dan sistem hukum, terutama dalam hal penemuan hukum dan pembentukan asas-asas hukum baru, pendekatan hukum baru dan sistem hukum nasional.39

Penelitian hukum memiliki beberapa pendekatan, dengan pendekatan tersebut peneliti akan mendapat informasi dari bebagai aspek mengenai isu yang akan dicari jawabannya. Pendekatan40 yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan Peraturan Perundang-undangan (statute approach)41 dan pendekatan kasus (case approach) dengan melihat dari segi peraturan-peraturan yang berlaku

38Johnny Ibrahim, Teori & Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2005, hal. 47.

39Sunaryati Hartono, op.cit., hal. 141.

40Pendekatan-Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah:

1.Pendekatan Undang-Undang (statute approach), 2.Pendekatan kasus (case approach), 3.Pendekatan historis (historical approach), 4.Pendekatan komparatif (comparative approach), 5.Pendekatan konseptual (conceptual approach). Lihat Peter Mahmud Marzuki, op.cit., hal.133.

41Pendekatan Undang-Undang (statute approach) dilakukan dengan menelah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi peneliti untuk kegiatan praktsi, pendekatan undang-undang ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dengan Undang-Undang Dasar atau regulasi dengan undang-undang. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi. Bagi penelitian untuk kegiatan akademis, penelitian mencari ratio legis dan dasar ontologis lahirnya undang-undang tersebut agar peneliti dapat menangkap kandungan filosofis yang ada di belakang undang-undang tersebut. Dengan memahami kandungan filosofis yang ada dibelakang undang-undang tersebut peneliti akan dapat menyimpulkan mengenai ada atau tidaknya benturan filosofis antara undang-undang dengan isu yang dihadapi.

Penelitian tentu harus menggunakan pendekatan undang-undang karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian atau menggunakan undang-undang sebagai dasar awal menganalisa. Penelitian dalam dogmatik hukum atau untuk kepentingan praktik hukum tidak dapat melepaskan diri dari pendekatan perundang- undangan. Lihat Johnny Ibrahim, op.cit, hal.302.

(37)

dihubungkan dengan praktik, khususnya mengenai pemberian kuasa dan/atau kuasa jual atas peralihan hak atas tanah dalam analisa terhadap kasus (case study) pada Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor 03/Pdt.G/2015/PN.STB.

2. Sumber Data

Pengumpulan data adalah bagian penting dalam suatu penelitian karena dengan pengumpulan data akan diperoleh data yang diperlukan untuk selanjutnya dianalisis sesuai kehendak yang diterapkan. Dalam penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data kepusatakaan.42 Penelitian kepusatakaan dilakukan dengan cara menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.43

Adapun data sekunder yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari:

a) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan yang mengikat sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini, diantaranya adalah:

 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria;

 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;

 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

42Bambang Sugono, Metode Penelitian Hukum Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 10.

43Soerjono Soekanto dan Sri Mulyadji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo, Jakarta, 1995, hal. 38.

(38)

 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;

 Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 Tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah;

 Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor 03/Pdt.G/2015/PN.STB;

 Peraturan Perundang-undangan lainnya yang ada kaitannya dengan materi

penelitian.

b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat pula membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, seperti hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya ilmiah dari kalangan hukum dan literatur-literatur.44

c) Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier yang digunakan seperti kamus, ensiklopedia dan sebagainya.45

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research) studi ini dilakukan dengan jalan meneliti dokumen-dokumen yang ada, yaitu dengan mengumpulkan bahan hukum dan informasi, baik yang berupa buku, karangan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bahan tertulis lainnya mencatat serta menginterprestasian hal-hal yang berkaitan dengan objek penelitian.

44Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hal. 53.

45Soerjono Soekanto dan Sri Mulyadji, op.cit., hal. 13.

(39)

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisa bahan hukum primer yakni peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian.

4. Analisis Data

Data sekunder yang diperoleh dari penelitian dianalisis dengan cara kualitatif, sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, berupa kata-kata berbentuk tertulis maupun lisan dari orang-orang yang terkait dalam penelitian ini. Metode penelitian kualitatif adalah penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan- putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat.46 Data peraturan perundang-undangan di bidang perikatan dan perjanjian serta pertanahan khususnya mengenai pemberian kuasa dan/atau kuasa menjual dalam peralihan hak atas tanah, disusun secara sistematis.

Sebelum tahap analisis akhir, dilakukan terlebih dahulu pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang ada untuk mengetahui validitasnya. Sesuai dengan sifat penelitiannya, maka analisis data dilakukan dengan cara analisis kualitatif yaitu analisis yang mempergunakan aspek-aspek normatif (yuridis) melalui metode yang bersifat deskriptif analisis yang menguraikan gambaran dari bahan hukum yang diperoleh dan menghubungkan satu sama lain untuk mendapat suatu kesimpulan umum. Dari hasil analisis tersebut akan ditarik kesimpulan deduktif dengan metode deduksi yaitu cara berpikir yang mengambil kesimpulan

46Ibid., hal. 24.

(40)

berdasarkan atasa fakta-fakta yang bersifat umum kemudian ke khusus. Dengan demikian diharapkan dapat menjawab semua permasalahan-permasalahan hukum dalam penelitian ini.

(41)

28 BAB II

PERALIHAN OBJEK BERUPA TANAH BERDASARKAN SURAT KUASA

A. Peralihan Hak Atas Tanah

Peralihan hak atas tanah adalah suatu perbuatan hukum memindahkan suatu hak atas tanah yang dimilikinya kepada orang lain. Menurut John Salindeho, pengertian peralihan hak atas tanah dengan pemindahan hak atas tanah adalah sama, ia berpendapat bahwa peralihan hak atas tanah atau pemindahan hak atas tanah adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan atau mengalihkan hak atas tanah dari yang mengalihkan kepada yang menerima pengalihan.47

Sedangkan menurut Haryanto dalam Pasal 20 ayat (2) disebutkan bahwa hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Yang dimaksud dalam pasal ini adalah hak milik dapat dijual, ditukarkan dengan benda lain, dihibahkan dan diberikan dengan wasiat. Pengertian dialihkan menunjukkan bahwa hak milik dapat berpindah kepada pihak lain karena adanya perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar pihak lain memperoleh hak itu.48

Lain halnya dengan Effendi Perangin-Angin yang berpendapat bahwa pemindahan hak atas tanah menyebabkan hak atas tanah beralih dari seseorang kepada orang lain. Jadi pemindahan adalah suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar hak atas tanah berpindah dari yang mengalihkan

47John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Grafika, Jakarta, 1993, hal.

37.

48Haryanto, Cara Mendapatkan Sertifikat Hak Atas Tanah, Usaha Nasional, Surabaya, 1981, hal. 3.

(42)

kepada yang menerima pengalihan. Perbuatan hukum itu mungkin jual beli, tukar menukar, hibah atau dengan pemberian dengan wasiat.49

Dalam hal peralihan hak atas tanah dengan jual beli, ada 2 hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu:50

1. Subjek adalah pihak penjual dan pihak pembeli;

2. Objek adalah hak atas tanah yang akan dijual.

1. Jual Beli Menurut Hukum Perdata

Pengertian jual beli menurut Pasal 1457 KUHPerdata adalah suatu peretujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Dengan kata lain jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual, dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual.51

Dengan demikian perkataan jual beli ini menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan dari pihak lain dinamakan membeli, jadi dalam hal ini terdapat dua pihak yaitu penjual dan pembeli yang bertimbal balik.52 Jual beli tersebut dianggap telah terjadi apabila antara kedua belah pihak telah terjadi kesepakatan mengenai benda tersebut dan harganya, walaupun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar.

49Effendi Perangin-Angin (I), Hukum Agraria Idoenesia Suatu Telaah Dari Pandangan Praktisi Hukum, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 1986, hal. 1.

50Effendi Perangin-Angin (II), Praktek Jual Beli Tanah, C.V Rajawali, Jakarta, 1987, hal.1.

51Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi (II), Jual Beli, Raja Grafindo, Jakarta, 2003, hal. 7.

52R. Subekti(I), op.cit., hal. 1.

(43)

Untuk pemindahan hak itu masih diperlukan suatu perbuatan hukum lain, berupa penyerahan yang caranya ditetapkan dengan suatu peraturan lain lagi.

Penyerahan hak itu dalam istilah hukumnya biasa disebut Juridische Levering (penyerahan menurut hukum), yang harus dilakukan dengan akta dimuka

dan oleh Pejabat Balik Nama berdasarkan ordonansi Balik Nama STBLD No. 27 Tahun 1834.53 Untuk terjadinya perjanjian jual beli ini, cukup jika kedua belah pihak sudah mencapai persetujuan tentang barang dan harga. Si penjual mempunyai dua kewajiban pokok, yaitu:

a. Pertama menyerahkan barangnya serta menjamin si pembeli dapat memiliki barang itu dengan tentram.

b. Kedua bertanggung jawab terhadap cacat-cacat yang tersembunyi.

Kewajiban si pembeli membayar harga dan di tempat yang telah ditentukan.

Barang harus diserahkan pada waktu perjanjian jual beli ditutup dan di tempat barang itu berada.

Menurut Undang-Undang sejalan saat ditutupnya perjanjian, risiko mengenai barangnya sudah beralih kepada si pembeli, artinya jika barang itu rusak sehingga tidak dapat diserahkan kepada pembeli, maka orang ini harus tetap membayar harganya. Sampai pada waktu penyerahannya itu si penjual harus merawatnya dengan baik. Jika si penjual melalaikan kewajibannya, misalnya pada waktu yang telah ditentukan belum menyerahkan barangnya, maka mulai saat itu ia memikul risiko terhadap barang itu dan dapat dituntut untuk memberikan pembayaran kerugian atau pembeli dapat menuntut pembatalan perjanjian.

53K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1977, hal. 31.

(44)

Sebaliknya, jika si pembeli tidak membayar harga barang pada waktu yang ditentukan, si penjual dapat menuntut pembayaran itu yang jika ada alasan dapat disertai dengan tuntutan kerugian ataupun ia dapat menuntut pembatalan perjanjian dengan pemberian kerugian juga barang yang belum dibayar itu dapat diminta kembali.

Jual beli yang diatur KUHPerdata ini bersifat obligatoir, yang artinya bahwa perjanjian jual beli baru meletakkan hak dan kewajiban timbal balik antara kedua belah pihak penjual dan pembeli, yaitu meletakkan kepada penjual kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijualnya, sekaligus memberikan kepadanya hak untuk mendapat pembayaran harga yang telah disetujui dan disisi lain meletakkan kewajiban kepada pembeli untuk membayar harga barang, sesuai imbalan haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya. Atau dengan perkataan lain, bahwa jual beli yang dianut Hukum Perdata jual beli belum memindahkan hak milik.54

Dengan demikian, perjanjian jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban, yaitu: kewajiban pihak penjual untuk menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli dan kewajiban pihak pembeli untuk membayar harga barang yang dibeli kepada penjual.

Kewajiban lain yang dimiliki oleh penjual adalah menjamin kenikmatan tenteram yang merupakan konsekuensi dari jaminan yang oleh penjual diberikan kepada pembeli bahwa barang yang dijual dan diserahkan itu adalah sungguh- sungguh miliknya sendiri yang bebas dari sesuatu beban atau tuntutan dari suatu

54Soedaryo Soimin, Status Tanah dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hal. 94-95.

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu tesis ini akan membahas tentang mengapa Notaris dilarang melakukan rangkap jabatan sebagai pemimpin badan usaha swasta menurut UUJN, bagaimana upaya MPN

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan menjelaskan kejadian yang diamati, yaitu menggali mengenai kekuatan hukum atas

Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) adalah Kredit yang diberikan oleh bank kepada debitur untuk digunakan membeli atau membayar sebuah bangunan rumah tinggal

Dari hasil penelitian ini juga diketahui bahwa undang-undang telah mengatur umur para pihak yang hendak melakukan perbuatan hukum, termasuk dalam hal yang

Kendala yang dialami PPAT dalam melaksanakan perannya turut mengawasi pemungutan BPHTB atas transaksi jual beli hak atas tanah dan bangunan di Kabupaten Samosir antara

atas 3 (tiga) objek tanah dan bangunan tersebut sekaligus melakukan peralihan hak atau balik nama ke atas nama Penggugat. Pertimbangan hukum oleh majelis hakim

Dalam hal status kekuatan alat bukti akta Notaris, suatu akta tersebut dapat mengalami penurunan mutu atau kemunduran atau kemerosotan status apabila dalam

Selain pengajuan gugatan derivatif sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap pemegang saham, apabila direksi lalai dalam pelaksanaan tugas dalam hal ini