• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERALIHAN OBJEK BERUPA TANAH BERDASARKAN

B. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

3. Asas-Asas Hukum Perjanjian

Asas konsensualisme pada dasarnya adalah perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan.

Dengan kata lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas. 88 Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang mensyaratkan adanya kesepakatan sebagai syarat sahnya suatu perjanjian. Meskipun demikian, terhadap asas konsensualisme ini terdapat pengecualian yaitu dalam perjanjian riil dan perjanjian formil yang mensyaratkan adanya penyerahan atau memenuhi bentuk tertentu yang disyaratkan oleh undang-undang.89

2. Asas Kebebasan Berkontrak

87Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1992, hal.

94.

88Subekti(III), Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 2001, hal. 15.

89Komariah, Hukum Perdata, Universitas Muhammadiyah, Malang, 2002, hal. 173.

Asas kebebasan berkontrak dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:90

a. Membuat atau tidak membuat perjanjian;

b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;

c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan;

d. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

Mengenai asas kebebasan berkontrak yang kita temukan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, Subekti menafsirkan bahwa pasal ini seolah-olah membuat suatu pernyataan bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang. Namun demikian apabila pelaksanaan perjanjian tersebut akan menimbulkan ketidakadilan, maka hakim mempunyai wewenang untuk menyimpang dari isi perjanjian tersebut.

Dengan demikian jika pelaksanaan suatu perjanjian menimbulkan ketidakseimbangan atau melanggar rasa keadilan, maka hakim dapat mengadakan penyesuaian terhadap hak dan kewajiban yang tercantum dalam perjanjian tersebut.91

90Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cet. 8, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hal. 158.

91Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisis Kasus, Kencana, Jakarta, 2009, hal. 4.

Pembatasan asas kebebasan berkontrak sebagaimana dijelaskan terlihat dari isi Pasal 1337 KUHPerdata yang melarang dibuatnya suatu kontrak yang secara substarnsi bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.

3. Asas Kekuatan Mengikat (Pacta Sun Servanda)

Masing-masing pihak yang terikat dalam suatu perjanjian harus menghormati dan melaksanakan yang telah mereka perjanjikan dan tidak boleh melakukan perbuatan yang menyimpang atau bertentangan dari isi perjanjian tersebut.92 Asas ini tersimpul pada Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata, yang berbunyi:

“Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.”

Apabila disandingkan dengan asas kebebasan berkontrak, maka dapat terlihat bahwa asas pacta sunt servanda merupakan manifestasi dari asas kebebasan berkontrak. Setiap orang bebas untuk membuat perjanjian, namun segala sesuatu yang diperjanjikan tersebut memiliki kekuatan yang mengikat layaknya undang-undang bagi para pihak yang membuat perjnajian tersebut.

Perjanjian adalah mengikat karena merupakan janji antara pihak.93 4. Asas Itikad Baik

Asas itikad baik terdapat didalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

Subekti menyebutkan bahwa tiga sumber norma yang mengikuti suatu perjanjian, yaitu: Undang-undang, kebiasaan, dan kepatutan. Itikad baik mengandung makna

92Komaria, op.cit., hal. 174.

93Mariam Darus Badrulzaman et.al., Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 82.

bahwa pelaksanaan dari suatu perjanjian harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.94

Itikad baik tidak hanya diwajibkan pada tahap pelaksanaan perjanjian, namun harus telah ada sejak tahap pra-perjanjian. Itikad baik hendaknya telah dimiliki oleh para pihak sebelum menyepakati suatu perjanjian. Dengan dilandasi dengan itikad baik, perundingan-perundingan yang dilakukan oleh para sebelum terjadinya kesepakatan akan dilakukan dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lainnya.95

Itikad baik dapat dijumpai pula dalam hukum benda, yang dikenal dengan istilah “pembeli yang beritikad baik”. Makna itikad baik disini diartikan sebagai seorang pembeli yang jujur yang membeli suatu barang dengan mempercayai bahwa penjual barang tersebut adalah benar pemilik dari barang yang dijualnya tersebut, dan ia juga tidak mengetahui akan adanya cacad-cacad yang melekat pada barang yang dibelinya tersebut. Pemaknaan itikad baik tersebut menurut Subekti adalah suatu anasir subjektif, sedangkan menurutnya, itikad baik yang dimaksud di dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata tidaklah sama dengan itikad baik dalam hukum benda. Itikad baik dalam suatu perjanjian berarti bahwa pelaksanaan perjanjian tersebut harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan, sehingga pemaknaanya bersifat objektif.96

5. Asas Kepribadian

94Subekti (III), op.cit., hal. 41.

95Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 5.

96Subekti(III), loc.cit.,

Asas kepribadian atau dapat disebut juga sebagai asas personalia dalam suatu perjanjian memiliki arti bahwa suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai subjek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.97 Asas personalia termuat dalam Pasal 1315 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri. Hal ini dipertegas oleh Pasal 1340 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.

Asas kepribadian ini memiliki pengecualian, yakni untuk perjanjian yang termasuk dalam Pasal 1317 KUHPerdata yang menyatakan bahwa diperbolehkan untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan pihak ketiga. 98 Hal ini merupakan pengecualian asas kepribadian karena hak yang diperjanjikan disini bukanlah hak pihak yang mengikatkan diri, melainkan hak pihak ketiga.