• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERALIHAN OBJEK BERUPA TANAH BERDASARKAN

B. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian dan Perikatan

Istilah perjanjian sudah lazim dipergunakan dalam lalu lintas hidup bermasyarakat. Hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata. Pasal 1313 KUHPerdata secara khusus mendefinisikan perjanjian sebagai berikut:

“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”

Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Selain itu, di dalam berbagai literatur hukum ada beberapa pendapat yang memberikan pengertian mengenai perjanjian. Berikut pendapat beberapa ahli mengenai definisi dari istilah perjanjian:

1. Subekti memberikan definisi tentang perjanjian sebagai suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.71

2. Herlien Budiono memberikan definisi perjanjian adalah perbuatan hukum yang menimbulkan, berubahnya, hapusnya hak atau menimbulkan suatu hubungan

70Subekti(II), Hukum Perjanjian, Cet. 19, Intermasa, Jakarta, 2002, hal. 1.

71Ibid.

hukum dan dengan cara demikian, perjanjian menimbulkan akibat hukum yang merupakan tujuan para pihak.72

3. Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda dua pihak, dalam manan suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menunutut pelaksanaan janji itu.73

4. Salim HS berpendapat bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara subyek yang satu dengan subyek yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subyek hukum yang satu berhak atas pretasi dan begitu juga subyek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.74

Berdasarkan definisi-definisi diatas, maka dapat diatarik kesimpulan bahwa perjanjian adalah perbuatan hukum antara dua pihak hatau lebih berdasarkan kata sepakat yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak.

Perlu diketahui bahwa istilah perjanjian adalah berbeda dengan istilah perikatan. Prof. Subekti mendefinisikan perikatan sebagai suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, yang mana salah satu pihak berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.75

72Herlien Budiono (I), Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannnya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hal. 3.

73Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, CV. Mandar Maju, Bandung, 2000, hal. 4.

74Salim HS, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 27.

75Subekti(II), op.cit., hal.1.

Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan.

Memang perikatan itu yang paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi ada juga sumber-sumber yang lain yang melahirkan perikatan. Sumber lain ini tercakup dengan nama undang-undang.76 Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1233 KUHPerdata yang berbunyi:

“Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, maupun karena undang-undang.”

Dari definisi yang diberikan oleh Subekti dan Pasal 1233 KUHPerdata, dapat kita simpulkan bahwa perikatan adalah suatu hubungan hukum yang meletakkan kewajiban dan hak bagi para pihak yang terlibat di dalamnya yang lahir baik karena suatu persetujuan atau undang-undang. Jadi perikatan adalah sesuatu yang lebih luas daripada suatu perjanjian karena perjanjian adalah hanya salah satu penyebab timbulnya suatu perikatan selain karena undang-undang.

Perikatan yang lahir dari perjanjian pada dasarnya dikehendaki oleh para pihak yang saling bersepakat dalam membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang terjadi di luar kemauan daripada para pihak.77 2. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian

Syarat sah perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Sebagaimana dinayatakan dalam pasal tersebut, ada 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi sebelum suatu perjanjian dapat dinyatakan mengikat secara hukum, yaitu:

1. Perjanjian harus dibuat beranjak dari kehendak bebas para pihak dan ditandai dengan adanya kata sepakat antara kedua belah pihak;

76Ibid.

77Ibid., hal. 3.

2. Pihak yang membuat perjanjian harus memiliki kecakapan hukum untuk bertindak;

3. Perjanjian harus mengenai hal tertentu;

4. Apa yang diperjanjikan tidak boleh melawan hukum.78

Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subyektif karena menyangkut subyek hukum yang membuat perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat adalah syarat obyektif karena mengenai obyek hukum yang diperjanjikan oleh para pihak. Dalam hal tidak dipenuhinya syarat subyektif menyebabkan pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas dalam perjanjian, mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Tidak diajukannya pembatalan pernjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif berakibat perjanjian tersebut tetap mengikat para pihak. Dalam hal tidak terpenuhinya syarat objektif menyebabkan perjanjian batal demi hukum.

Akibat dari perjanjian yang batal demi hukum adalah perjanjian tersebut sejak semula dianggap tidak pernah dilahirkan dan tidak pernah ada suatu perikatan.

1. Kesepakatan para pihak yang mengikatkan diri

Dengan diperlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti kedua pihak haruslah mempuntai kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut.79 Kesepakatan bersama antara para pihak dan kesepakatan bertimbal balik demikian harus dinyatakan secara lisan atau tertulis. Kesepakatan harus

78Rosa Agustina, et al., Hukum Perikatan (Law of Obligation), Pustaka Larasan, Denpasar, 2012, hal. 81.

79Subekti(II), op.cit., hal. 73.

diberikan atas dasar kehendak bebas tanpa kekeliruan, paksaan atau penipuan. 80 Kebebebasan kehendak di antara pihak merupakan wujud dari asas konsensualisme.

Paksaan adalah suatu perbuatan yang menakutkan seseorang yang berpikiran sehat, yang mana paksaan tersebut menimbulkan ketakutan baik terhadap dirinya sendiri, maupun terhadap kekayaannya dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Ancaman yang menimbulkan paksaan yang dapat membatalkan suatu perjanjian haruslah ancaman yang sifatnya cukup serius dan tidak ada cara lain untuk menghindar dari ancaman tersebut.

Penipuan adalah segala bentuk tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak yang menyebabkan pihak lain dalam perjanjian tersebut telah terpengaruh untuk menandatangani perjanjian bersangkutan, padahal tanpa adanya penipuan tersebut, pihak lain tersebut tidak akan menandatangai perjanjian tersebut. Selain itu, untuk dapat membatalkan perjanjian, suatu penipuan harus memenuhi beberapa unsur sebagai berikut:81

a. Penipuan harus mengenai fakta yang sifatnya penting atau substansial;

b. Pihak yang dirugikan haruslah telah berpegang pada fakta yang ditipu tersebut;

c. Termasuk juga ke dalam penipuan yaitu ketertutupan informasi (nondisclosure). Dalam hal ini, terdapat informasi penting yang sifatnya substansial yang disembunyikan oleh salah satu pihak;

80Rosa Agustina, et. al., op.cit., hal . 91.

81Munir Fuady (II), Konsep Hukum Perdata, Cet.1, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, hal.

193-194.

d. Termasuk juga ke dalam penipuan, yakni adanya kebenaran sebagian (half-truth), yaitu apabila salah satu pihak terlalu menonjolkan sisi bagus dari

suatu barang namun merahasiakan sisi jeleknya, sehingga menyesatkan pihak lawannnya (misleading);

e. Penipuan tidak hanya dengan kata-kata tetapi termasuk juga dalam bentuk tindakan.

Suatu perjanjian yang telah dibuat dengan kekeliruan atau kekhilafan terjadi ketika suatu pihak menyetujui atau menandatangani suatu perjanjian karena dipengaruhi oleh suatu pandangan atau kesan yang tidak benar. Kekhilafan yang dapat menyebabkan batalnya suatu perjanjian adalah khilaf yang terkait dengan objek perjanjian, sedangkan khilaf yang terkait dengan diri orang yang menyetujui atau menandatangani perjanjian dapat menyebabkan batalnya perjanjian apabila diri orang yang menandatangai perjanjian tersebut juga yang menjadi objek perjanjian. Menurut Wirjpno Prodjodikoro, khilaf disini haruslah dapat dimengerti, harus tidak aneh dan dapat dimaafkan, sehingga khilaf tersebut dinilai pantas.82

2. Kecakapan para pihak untuk mengikatkan dirinya

Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, jika ia oleh Undang-Undang tidak dinyatakan tidak cakap”, jadi orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum.

Menurut Pasal 1330 KUHPerdata, tidak cakap untuk membuat persetujuan-persetujuan adalah:

82Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Cet. IX, CV, Mandar Maju, Bandung, 2011, hal. 32.

a. Orang-orang yang belum dewasa;

b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;

c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang,

dan pada umumnya semua orang yang kepada siapa undang-undang telah melarang, membuat perjanjian-perjanjian tersebut.

Usia dewasa menurut KUHPerdata adalah 21 tahun83, namun yang dijadikan patokan saat ini untuk usia dewasa adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yakni 18 tahun84. Seseorang yang belum mencapai usia dewasa juga dapat dinyatakan cakap apabila telah melangsungkan perkawinan.

Seseorang yang telah mencapai usia dewasa namun berada di bawah pengampuan dinyatakan sebagai orang yang tidak cakap untuk melangsungkan perjanjian. Menurut KUHPerdata, seseorang yang ditaruh di bawah pengampuan adalah seseorang yang dungu, orang gila, orang yang bermata gelap, boros, dan orang yang sakit ingatan, meskipun terkadang dirinya waras. Seorang yang diampu dianggap tidak cakap untuk melangsungkan perjanjian karena seseorang yang membuat perjanjian harus memiliki cukup kemampuan untuk bertanggung jawab atas beban yang dipikulnya karena perbuatannya tersebut. Selain itu, apabila dilihat dari sudut keadilan, perlulah bahwa orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang

83Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, op.cit., Pasal 330.

84Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 47 jo. Pasal 50.

dipikulnya dengan perbuatannnya itu. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, karena seorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah orang yang sungguh-sungguh berhak untuk berbuat bebas dengan harta kekayaannya.85

3. Objek perjanjian adalah suatu hal tertentu

Hal tertentu berarti obyek perjanjian harus terang dan jelas, dapat ditentukan jenis maupun jumlahnya sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1333 KUHPerdata. Dalam Pasal 1332 KUHPerdata juga ditentukan bahwa obyek perjanjiannya adalah barang-barang yang dapat diperdagangkan. Maka berdasarkan hal tersebut dapat kita simpulkan bahwa suatu hal tertentu ini adalah suatu hal yang cukup spesifik sehingga jelas hak dan kewajiban dari para pihak dalam perjanjian tersebut.

Dalam perjanjian paling kurang memuat jenis barang yang menjadi objek perjanjian, dan diperbolehkan jumlah barang masih belum diketahui pada saat perjanjian dibuat, namun jumlah tersebut tetap harus dapat ditentukan atau dihitung dikemudian hari. Selain itu, perjanjian boleh memuat objek yang masih akan ada dikemudian hari, namun tidak boleh terhadap harta warisan yang belum terbuka (masih berada dalam boedel warisan).86

4. Suatu sebab yang halal

Di dalam Pasal 1335 KUHPerdata disebutkan bahwa sebab yang halal adalah (1) bukan tanpa sebab; (2) bukan sebab yang palsu; (3) bukan sebab yang terlarang. Suatu sebab dinyatakan terlarang apabila dilarang oleh undang-undang,

85Subekti(II), op.cit., hal. 17-18.

86Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, op.cit., Pasal 1334.

atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum sebagaimana dijelasakan dalam ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata.

Dengan demikian maksud dari sebab atau kausa yang halal sebagaimana ditentukan Pasal 1320 KUHPerdata bukan berarti sebab dalam arti menyebabkan atau yang mendorong seseorang untuk melangsungkan perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri”, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai para pihak, apakah tujuan yang akan dicapai para pihak sebagaimana tercantum dalam perjanjian tersebut bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun ketertiban umum.87

3. Asas-Asas Hukum Perjanjian 1. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme pada dasarnya adalah perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan.

Dengan kata lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas. 88 Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang mensyaratkan adanya kesepakatan sebagai syarat sahnya suatu perjanjian. Meskipun demikian, terhadap asas konsensualisme ini terdapat pengecualian yaitu dalam perjanjian riil dan perjanjian formil yang mensyaratkan adanya penyerahan atau memenuhi bentuk tertentu yang disyaratkan oleh undang-undang.89

2. Asas Kebebasan Berkontrak

87Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1992, hal.

94.

88Subekti(III), Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 2001, hal. 15.

89Komariah, Hukum Perdata, Universitas Muhammadiyah, Malang, 2002, hal. 173.

Asas kebebasan berkontrak dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:90

a. Membuat atau tidak membuat perjanjian;

b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;

c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan;

d. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

Mengenai asas kebebasan berkontrak yang kita temukan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, Subekti menafsirkan bahwa pasal ini seolah-olah membuat suatu pernyataan bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang. Namun demikian apabila pelaksanaan perjanjian tersebut akan menimbulkan ketidakadilan, maka hakim mempunyai wewenang untuk menyimpang dari isi perjanjian tersebut.

Dengan demikian jika pelaksanaan suatu perjanjian menimbulkan ketidakseimbangan atau melanggar rasa keadilan, maka hakim dapat mengadakan penyesuaian terhadap hak dan kewajiban yang tercantum dalam perjanjian tersebut.91

90Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cet. 8, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hal. 158.

91Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisis Kasus, Kencana, Jakarta, 2009, hal. 4.

Pembatasan asas kebebasan berkontrak sebagaimana dijelaskan terlihat dari isi Pasal 1337 KUHPerdata yang melarang dibuatnya suatu kontrak yang secara substarnsi bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.

3. Asas Kekuatan Mengikat (Pacta Sun Servanda)

Masing-masing pihak yang terikat dalam suatu perjanjian harus menghormati dan melaksanakan yang telah mereka perjanjikan dan tidak boleh melakukan perbuatan yang menyimpang atau bertentangan dari isi perjanjian tersebut.92 Asas ini tersimpul pada Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata, yang berbunyi:

“Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.”

Apabila disandingkan dengan asas kebebasan berkontrak, maka dapat terlihat bahwa asas pacta sunt servanda merupakan manifestasi dari asas kebebasan berkontrak. Setiap orang bebas untuk membuat perjanjian, namun segala sesuatu yang diperjanjikan tersebut memiliki kekuatan yang mengikat layaknya undang-undang bagi para pihak yang membuat perjnajian tersebut.

Perjanjian adalah mengikat karena merupakan janji antara pihak.93 4. Asas Itikad Baik

Asas itikad baik terdapat didalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

Subekti menyebutkan bahwa tiga sumber norma yang mengikuti suatu perjanjian, yaitu: Undang-undang, kebiasaan, dan kepatutan. Itikad baik mengandung makna

92Komaria, op.cit., hal. 174.

93Mariam Darus Badrulzaman et.al., Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 82.

bahwa pelaksanaan dari suatu perjanjian harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.94

Itikad baik tidak hanya diwajibkan pada tahap pelaksanaan perjanjian, namun harus telah ada sejak tahap pra-perjanjian. Itikad baik hendaknya telah dimiliki oleh para pihak sebelum menyepakati suatu perjanjian. Dengan dilandasi dengan itikad baik, perundingan-perundingan yang dilakukan oleh para sebelum terjadinya kesepakatan akan dilakukan dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lainnya.95

Itikad baik dapat dijumpai pula dalam hukum benda, yang dikenal dengan istilah “pembeli yang beritikad baik”. Makna itikad baik disini diartikan sebagai seorang pembeli yang jujur yang membeli suatu barang dengan mempercayai bahwa penjual barang tersebut adalah benar pemilik dari barang yang dijualnya tersebut, dan ia juga tidak mengetahui akan adanya cacad-cacad yang melekat pada barang yang dibelinya tersebut. Pemaknaan itikad baik tersebut menurut Subekti adalah suatu anasir subjektif, sedangkan menurutnya, itikad baik yang dimaksud di dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata tidaklah sama dengan itikad baik dalam hukum benda. Itikad baik dalam suatu perjanjian berarti bahwa pelaksanaan perjanjian tersebut harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan, sehingga pemaknaanya bersifat objektif.96

5. Asas Kepribadian

94Subekti (III), op.cit., hal. 41.

95Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 5.

96Subekti(III), loc.cit.,

Asas kepribadian atau dapat disebut juga sebagai asas personalia dalam suatu perjanjian memiliki arti bahwa suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai subjek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.97 Asas personalia termuat dalam Pasal 1315 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri. Hal ini dipertegas oleh Pasal 1340 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.

Asas kepribadian ini memiliki pengecualian, yakni untuk perjanjian yang termasuk dalam Pasal 1317 KUHPerdata yang menyatakan bahwa diperbolehkan untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan pihak ketiga. 98 Hal ini merupakan pengecualian asas kepribadian karena hak yang diperjanjikan disini bukanlah hak pihak yang mengikatkan diri, melainkan hak pihak ketiga.

C. Surat Kuasa Dalam Peralihan Hak Atas Tanah

Dalam praktek pembuatan akta jual beli sering terjadi pihak penjual diwakili oleh pihak lain dengan menggunakan kuasa untuk menjual. Pada prinsipnya sebenarnya kuasa untuk menjual diberikan oleh karena pihak penjual (pemilik tanah) tidak dapat hadir sendiri pada saat pembuatan akta jual beli karena alasan tertentu. Namun dalam praktek alasan pemberian kuasa berkembang sesuai dengan kebutuhan praktek.

1. Pengertian Surat Kuasa Dan Pemberian Kuasa

97Gunawan Widjaja, Memahami Prinsip Keterbukaan dalam Hukum Perdata, Ed.1, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 250.

98Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, op.cit., Pasal 1317.

Surat kuasa adalah suatu dokumen yang menunjukkan dan memberi wewenang kepada pihak lain untuk melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama pemberi kuasa. Faktor yang paling utama dalam pemberian kuasa ini adalah kepercayaan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa.99

Macam-macam surat kuasa dari segi luas cakupan kewenangannya surat kuasa dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu:

a. Surat kuasa khusus adalah surat kuasa yang menerangkan bahwa pemberian kuasa hanya berlaku khusus untuk hal-hal tertentu saja.

b. Surat kuasa umum adalah jenis surat kuasa yang menerangkan menerima kuasa atau yang dikuasakan diberikan kewenangan yang cukup luas untuk melakukan berbagai tindakan demi kepentingan pemberi kuasa karena itu yang disebut atau diatur dalam surat kuasa yang bersifat umum adalah hal-hal yang bersifat umum dan luas.100

Bentuk pemberian kuasa diatur dalam Pasal 1793 KUHPerdata, kuasa dapat diberikan dengan akta notaris, akta di bawah tangan, bahkan dengan surat biasa ataupun secara lisan yang diterima oleh kuasa (penerima kuasa)101. Penerima kuasa dapat dilakukan juga secara diam-diam, dan dapat ditarik kesimpulan dari pelaksanaan tugas oleh penerima kuasa.

Pemberian kuasa tertulis dapat dilakukan dengan akta otentik ataupun akta di bawah tangan. Definisi akta otentik diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata, yaitu suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh

99Libertus Jehani, Pedoman Praktis Menyusun Surat Perjanjian, Cet. 3, Vismedia, Jakarta, 2007, hal. 159.

100Ibid.

101R.M.Suryodiningrat, Perikatan-perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung, 1991, hal. 99.

atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya102. Pegawai umum yang dimaksudkan dalam membuat akta jual beli secara otentik adalah notaris. Hal ini diatur dalam ketentuan umum Pasal 1 sub 1 UUJN, yaitu notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik103. Sebagai pegawai umum, segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkannya (konstatir) adalah benar, ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam proses hukum104.

Akta dalam bentuk otentik dipandang sebagai alat bukti tertulis dengan kekuatan pembuktian sempurna, karena dijamin oleh notaris. Sedangkan definisi perjanjian di bawah tangan diatur dalam Pasal 1874 ayat (1), yaitu akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat- surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum.105

Dalam Pasal 1792 KUHPerdata memberikan pengertian pemberian kuasa yang berbunyi:

“Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kuasa kepada orang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya

103H. Djuhad Mahja, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Durat Bahagia, Jakarta, 2005, hal. 60.

104Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 2007, hal. 444.

105Kitab Undang-undang Hukum Perdata, op.cit., Pasal 1874.

106I.G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, Megapoin, Jakarta, 2003, hal. 85.

2. Memberikan kuasa kepada penerima kuasa;

3. Atas nama pemberi kuasa menyelenggarakan suatu urusan.

Aspek yang perlu diperhatikan dari batasan tersebut di atas adalah bahwa pemberian kuasa harus berupa “menyelenggarakan suatu urusan”, dalam arti melakukan suatu perbuatan hukum tertentu yang akan melahirkan akibat hukum tertentu karena perbuatan hukum itulah yang bisa dikuasakan kepada orang lain.

Dalam pemberian kuasa, orang yang telah diberikan kuasa untuk melakukan suatu perbuatan hukum maka apa yang dilakukannya dalam pengurusan tersebut adalah atas nama orang yang memberikan kuasa. Dengan kata lain bahwa apa yang

Dalam pemberian kuasa, orang yang telah diberikan kuasa untuk melakukan suatu perbuatan hukum maka apa yang dilakukannya dalam pengurusan tersebut adalah atas nama orang yang memberikan kuasa. Dengan kata lain bahwa apa yang