• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KEABSAHAN PERALIHAN TANAH YANG DIDASARKAN

A. Keabsahan Surat Kuasa Sebagai Dasar Peralihan Tanah

Dalam jual beli, sejatinya orang yang berhak menjual tanah adalah pemilik tanah, namun pemilik dapat bertindak sendiri atau mewakilkan dirinya dengan memberi kuasa kepada orang lain. Pembuatan kuasa untuk menjual itu sendiri dilatar belakangi oleh berbagai hal, diantaranya pemegang hak atas tanah/pemberi kuasa tidak bisa hadir dihadapan pejabat yang berwenang karena dalam keadaan sakit, pemegang hak atas tanah/pemberi kuasa tidak bisa hadir dihadapan pejabat yang berwenang karena tidak berada ditempat sementara waktu.108

Pasal 101 ayat 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa dalam pembuatan akta PPAT, termasuk pembuatan Akta Jual Beli Hak atas Tanah, wajib dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum tersebut, atau dapat juga hadir diwakili oleh kuasanya, dimana kuasa

108Bambang Eko Mulyono, “Pelaksanaan Peralihan Hak Atas Tanah Berdasarkan Perjnajina Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Untuk Menjual Yang Dibuat Oleh Notaris”, Jurnal Indpendent ,Vol. 2, 2014, hal. 66.

diberikan secara tertulis. Kuasa untuk menghadiri pembuatan akta PPAT, khususnya pembuatan Akta Jual Beli inilah yang disebut dengan kuasa menjual.

Pada ketentuan pasal 101 ayat (1) di atas telah jelas menyebutkan bahwa apabila para pihak tidak dapat hadir, kuasa wajib diberikan secara tertulis. Hal ini berati bahwa kuasa lisan tidak diperbolehkan, dan kuasa dapat diberikan baik dengan akta dibawah tangan maupun notariil. Dalam praktek, kedua bentuk kuasa tersebut dapat digunakan. Namun, untuk akta dibawah tangan, sebaiknya surat kuasa minimal dilegalisasi (oleh Camat atau Notaris/Panitera Pengadilan Negeri/Perwakilan Negara di luar negeri) dan surat kuasa yang dibuat oleh notaris lebih baik.109

Namun demikian perlu diingat kembali bahwa berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata menyebutkan suatu akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuatnya. Dengan demikian surat yang dilegalisasi bukanlah akta otentik karena tidak dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang berwenang. Adapun legalisasi berdasarkan Pasal 15 ayat (2) UUJN hanya berupa pengesahan tanda tangan dan kepastian tanggalnya. Keabsahan tanda tangan tidak dapat dipungkiri oleh para pihak jika penandatanganan akte tersebut dilakukan dihadapan notaris. Jika tidak demikian maka legalisasi hanya memastikan tanggal dibuatnya akta tersebut.110

109Effendi Perangin (I), op.cit., hal.6.

110Pendapat Hukum Perihal Permohonan Pendapat Ahli Bidang Perdata melalui Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia No. 055/AS-Ss/V/08 tertanggal 13 Mei 2008 Berdasarkan Penunjukan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana, hal. 5.

Dalam kaitannya dengan pemberian kuasa, perlu diperhatikan pula Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Surat Kuasa Mutlak untuk pengalihan hak-hak atas tanah. Berdasarkan peraturan tersebut melarang Camat atau Kepala Desa atau pejabat setingkat untuk memberikan akta otentik terkait dengan pemberian surat kuasa mutlak, peraturan tersebut juga melarang Kantor Pendaftaran Tanah untuk memberikan pelayanan terkait dengan pendaftaran tanah yang menggunakan surat kuasa mutlak.

Berdasarkan peraturan tersebut yang dimaksud dengan surat kuasa mutlak adalah surat kuasa yang tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa dan memberikan kuasa kepada penerima kuasa untuk melaksanakan hak-hak seperti seorang pemilik. Larangan penggunaan surat kuasa mutlak dalam kaitannya dengan pemindahan hak atas tanah juga diatur dalam Pasal 39 huruf d PP No. 24 Tahun 1997, dimana PPAT dilarang untuk membuat akta pemindahan hak yang didasarkan adanya surat kuasa mutlak.

Pelarangan ini dilatarbelakangi adanya penyalahgunaan penggunaan kuasa mutlak dalam bidang agraria banyak terjadi penghindaran hukum (law evasion) dengan melakukan perbuatan terselubung antara lain dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:111

1. Untuk menghindari larangan pemilikan tanah melewati maksimum tertentu, maka orang yang telah memiliki tanah dalam batas maksimal masih menambah luas tanahnya dengan penggunaan kuasa mutlak. Akta yang dibuat bukanlah akta jual beli tanah, melainkan dengan akta kuasa mutlak yang mana segala

111Komar Andasasmitta, Notaris II. Contoh Akta Otentik dan Penyelesaiannya, Ikatan Notaris Indonesia, Daerah Jawa Barat, 1991, hal. 470.

wewenang yang ada pada pemilik diserahkan kepada penerima kuasa. Secara formil orang tersebut hanya penerima kuasa, tetapi secara materil ia adalah pemilik tanah. Atas nama siapa tanah tersebut terdadtar bukanlah menjadi soal, yang penting adalah wewenang atau kekuasaan ada pada penerima kuasa.

2. Orang atau badan yang berdasarkan peraturan yang berlaku tidak diperbolehkan mempunyai hak milik atas tanah dengan meminjam nama orang lain yang tidak terkena larangan tersebut. Biaya pembelian tanah disediakan oleh orang tersebut. Akta jual beli dan sertipikat tanah hak milik terdaftar atas nama orang yang dimintai tolong tersebut, kemudian orang yang dimintai tolong tersebut barulah membuat surat kuasa mutlak dengan akta notaris untuk pemilik sebenarnya ini agar ia dapat melakukan segala hak dan kewajiban yang umumnya hanya ada pada pemilik tanah.

Perlu diketahui bahwa pemberian kuasa mutlak tidak diatur dalam KUHPerdata, namun diakui didalam lalu lintas bisnis dimasyarakat yang oleh beberapa putusan hakim dipandang sebagai penemuan hukum. Pemberian kuasa mutlak merupakan suatu perikatan yang muncul dari perjanjian, yang diatur dalam pasal 1338 KUHPerdata yang mengakui adanya kebebasan berkontrak dengan pembatasan bahwa perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan harus dilandasi dengan itikad baik.112

Adapun surat kuasa untuk menjual tanah dengan klausula tidak dapat dicabut kembali, yang tidak dilarang oleh ketentuan hukum adalah surat kuasa untuk menjual tanah yang diberikan kepada penerima kuasa selaku penjual untuk

112Haripin A. Tumpa, “Surat Kuasa Mutlak”, Varia Peradilan 142, Juli, 1997, hal.

132.

menjual kepada penerima kuasa sendiri selaku pembeli, dimana kuasa untuk menjual tersebut merupakan accessoir dari perjanjian pokok yaitu perjanjian pengikatan jual beli yang harganya telah dibayar lunas. Kuasa untuk menjual tanah yang diberikan sebagai bagian dari perjanjian pengikatan jual beli tersebut, dibuat untuk kepentingan penerima kuasa, supaya penerima kuasa dapat melaksanakan haknya selaku pembeli, dan tidak ada lagi kepentingan pemberi kuasa.113

Adapun pada tanggal 31 Maret 1982 keluar Surat Direktur Jendral Agraria Nomor 594/1492/AGR yang memuat ketentuan sebagai berikut:

“Penggunaan kuasa yang tidak termasuk sebagai kuasa mutlak yang dilarang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tersebut adalah:

1. Penggunaan kuasa penuh yang dimaksud dalam Pasal 3 blanko akta jual beli yang bentuk aktanya ditetapkan oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 1961.

2. Penggunaan kuasa penuh sebagaimana dicantumkan dalam perjanjian Ikatan Jual Beli yang aktanya dibuat oleh seorang Notaris.

3. Penggunaan kuasa untuk memasang hipotek yang aktanya dibuat oleh seorang Notaris.”

Surat Direktur Jenderal Agraria Nomor 594/1492/AGR dikeluarkan karena terdapat kemacetan dalam pengurusan surat-surat tanah sejak dikeluarkannya Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982, sehingga kemudian dikeluarkan kembali Surat Direktur Jenderal Agraria Nomor 594/1492/AGR untuk melancarkan hal tersebut.

Untuk kuasa menjual tanah yang tidak berkaitan dengan adanya perjanjian pokok sebagai dasar pemberiannya, maka terhadap pemberian kuasa tersebut

113Pieter Latumeten, Dasar-Dasar Pembuatan Akta Kuasa Otentik, Berikut Contoh Aktanya, FH UI, Jakarta, 2018, hal. 7.

berlaku ketentuan mengenai berakhirnya kuasa yang diatur dalam Pasal 1813, 1814 dan Pasal 1816 KUHPerdata yang berbunyi:

Pasal 1813:

“Pemberian kuasa berakhir dengan ditariknya kembali kuasanya si kuasa;

dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh si kuasa; dengan

meninggalnya, pengampuannya, atau pailitnya si pemberi kuasa maupun si kuasa; dengan perkawinannya si perempuan yang memberikan atau

menerima kuasa.”

“Pengangkatan seorang kuasa baru, untuk menjalankan suatu urusan yang sama, menyebabkan ditariknya kembali kuasa yang pertama, terhitung mulai hari diberitahukannya kepada orang yang belakangan ini tentang pengangkatan tersebut.”

Oleh karena kuasa untuk menjual tidak boleh diberikan dalam bentuk kuasa mutlak maka untuk kuasa yang tidak berkaitan dengan adanya perjanjian pokok yang menjadi dasar pemberiannya, berlaku baginya ketentuan mengenai berakhirnya kuasa dan tidak dilepaskan dari isi Pasal 1813 KUHPerdata. Artinya bahwa apabila unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1813 KUHPerdata tersebut terpenuhi maka perjanjian pemberian kuasa yang dibuat berakibat tidak berkekuatan hukum lagi.114

Kuasa yang timbul dalam jual beli tanah adalah sebagai berikut:

1. Kuasa yang dilarang.

Kuasa mutlak ini merupakan jenis kuasa yang tidak diperbolehkan lagi untuk dibuat. Pelarangan kuasa mutlak ini khususnya dalam hubungannya dengan tanah (benda tidak bergerak) yaitu berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri

114Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 20.

tanggal 6 Maret 1982 Nomor 14 Tahun 1982 jo. Jurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 14 April 1988 nomor 2584 K/Pdt/1986 yang menegaskan bahwa kuasa mutlak, mengenai jual beli tanah, tidak dapat dibenarkan karena dalam praktik sering disalahgunakan untuk penyelundupan jual beli tanah. Dengan kata lain kuasa mutlak ini merupakan jual beli tanah secara terselubung, dimana didalam klausul kuasa mutlak tersebut selalu dicantumkan “kuasa yang tidak dapat dicabut kembali” dan si penerima kuasa dapat melakukan perbuatan apapun juga baik itu tindakan pengurusan maupun tindakan kepemilikan atas tanah yang dimaksud.

Sedangkan kuasa mutlak dalam transaksi selain jual beli tanah masih dimungkinkan mengingat Hukum Perjanjian itu sifatnya mengatur dan terjadi karena adanya kesepakatan antara para pihak.115

2. Kuasa yang diperbolehkan

Dalam hal penjual atau pembeli bertindak melalui kuasa, maka kuasa khusus untuk menjual harus ada. Kuasa umum, yang biasanya hanya untuk tindakan pengurusan tidak berlaku untuk menjual. Kuasa itu harus tegas untuk menjual tanah yang dijual itu. Bentuk kuasa harus tertulis, kuasa lisan sama sekali tidak dapat dijadikan dasar bagi jual-beli tanah. Kuasa tertulis itu pun minimal dilegalisasi (oleh Notaris/Panitera Pengadilan Negeri/Perwakilan Negara di luar negeri).116 Walaupun pada prinsipnya penggunaan kuasa mutlak dilarang untuk digunakan dalam pembuatan akta-akta pemindahan hak (akta jual beli dll), namun ada juga kuasa mutlak yang diperbolehkan dalam arti tidak termasuk dalam

115Indroharto, Yurisprudensi Indonesia 3, 1990, Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, hal.

95.

116Frans Satriyo Wicaksono dan Agung Sugiarto, Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kuasa, 2009, Jakarta, hal. 84.

larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 PP No. 24 tahun 1997 maupun Instruksi Mendagri No. 14 tahun 1982. Yang tidak termasuk dalam larangan tersebut adalah kuasa-kuasa yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan atau merupakan satu kesatuan dari suatu perjanjian (integrerend deel) yang mempunyai alas hukum yang sah atau kuasa yang diberikan untuk kepentingan penerima kuasa agar penerima kuasa tanpa bantuan pemberi kuasa dapat menjalankan hak-haknya untuk kepentingan dirinya sendiri.117

Dalam hal kuasa mutlak yang tidak dilarang itu harus ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:

1. Tidak bertentangan dengan peraturan hukum, ketertiban masyarakat dan kesusilaan;

2. Harus mempunyai kausa yang sah;

3. Harus terkandung di dalamnya kepentingan yang diberi kuasa.118 B. Pembeli Beritikad Baik Dalam Peralihan Tanah

Jual beli hak atas tanah yang dilakukan secara dibawah tangan telah menjadikan dan menyatakan bahwa memang telah terjadi suatu perbuatan hukum antara kedua belah pihak, yaitu antara penjual dan pembeli, dan meskipun hanya sebatas dibawah tangan, hal tersebut juga merupakan suatu alat pembuktian yang diatur dalam KUHPerdata, khususnya pada pasal 1866 KUHPerdata, dimana salah satu alat bukti adalah bukti tertulis (tulisan), hal tersebut diperkuat lagi pada pasal 1874 KUH Perdata yang menyatakan bahwa salah satu bukti tulisan juga

117Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Cet.

Kedua, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, hal.6.

118Chairani Bustami, Aspek-Aspek Hukum Yang Terkait Dalam Akta Perikatan Jual Beli Yang Dibuat Notaris Dalam Kota Medan, Tesis Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2002, hal. 83.

mencakup surat dibawah tangan yang telah ditandatangani atau telah dibubuhi cap jempol oleh para pihak yang berkepentingan dalam perjanjian tersebut.

Jual beli yang dilakukan secara di bawah tangan dapat dijadikan sebagai alat bukti, akan tetapi bukan merupakan alat bukti yang kuat untuk dijadikan sebagai bukti pemindahan hak atas tanah yang bersangkutan, karena menurut Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997, peralihan hak atas tanah hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT. Dengan demikian, maka peralihan hak atas tanah yang dilakukan secara di bawah tangan tidak dapat didaftarkan ke Kantor Pertanahan. Apabila suatu saat terjadi sengketa yang mempermasalahkan tentang jual-beli tersebut, maka perjanjian jual beli di bawah tangan tersebut dapat dijadikan suatu alat bukti, meski kekuatan pembuktiannya adalah lemah.

Meskipun dibuat secara dibawah tangan, maka perjanjian jual beli tersebut sudah memenuhi syarat-syarat perjanjian dan asas perjanjian yang diatur dalam hukum perdata, dimana suatu perjanjian tersebut akan mengikat dan menjadi undang-undang bagi para pihak yang telah membuat perjanjian tersebut (asas pacta sun servanda), sehingga perjanjian tersebut dapat menjadi sebuah alat bukti,

meskipun mempunyai kekuatan pembuktian kuat atau belum sempurna. Maka dalam hal ini perjanjian dibawah tangan tadi sudah dapat dijadikan suatu perlindungan hukum tentang keabsahan dalam perbuatan hukum jual-beli hak atas tanah tersebut.

Perlindungan hukum bagi pembeli terhadap jual beli hak atas tanah yang dilakukan secara dibawah tangan adalah bukti perjanjian tersebut, meskipun

dilakukan secara dibawah tangan, tetapi hal tersebut dapat dijadikan suatu bentuk perlindungan hukum karena dapat menjadi suatu alat bukti dengan kekuatan pembuktian yang lemah. Hal tersebut dapat ditemukan dalam pasal 1866 KUH Perdata, dan dipertegas dalam pasal 1874 KUH Perdata yang menyebutkan tentang suatu alat bukti dapat merupakan suatu tulisan yang dibuat secara dibawah tangan.

Pada dasarnya itikad baik bermakna bahwa satu pihak harus memperhatikan kepentingan pihak lainnya di dalam kontrak. Di sisi lain, itikad baik dapat dikatakan sebagai pintu masuk hukum melalui nilai moral (moral values). Dengan keadaan yang demikian itu menjadikan itikad baik sebagai norma terbuka (open norm), yakni suatu norma yang isinya tidak dapat ditetapkan secara abstak, tetapi

ditetapkan melalui kongktretisasi kasus demi kasus dengan memperhatikan kondisi yang ada.119

Jika kemudian ditemukan adanya itikad baik dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, baik dalam pembuatan maupun dalam pelaksanaan perjnajian maka pihak yang beritikad baik akan mendapat perlindungan hukum. Dalam hal pembeli beritikad baik maka dalam perlindungannya 1491 KUHPerdata memberikan perlindungan berupa penanggungan pasal tersebut menyebutkan:

“Penanggungan yang menjadi kewajiban penjual terhadap pembeli, adalah untuk menjamin dua hal yaitu: pertama penguasaan barang yang dijual itu secara aman dan tenteram; kedua, terhadap adanya cacat-cacat barang yang tersembunyi atau yang sedemikian rupa hingga menerbitkan alasan untuk pembatalan pembeliannya.”

119Ridwan Khairandy, 2004, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana, Jakarta, hal.34-35.

Dalam adanya penanggungan ini meskipun tidak diperjanjikan namun tetap berlaku mengikat penjual sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1492 KUHPerdata, yaitu:

“Meskipun pada waktu penjualan dilakukan tiada dibuat janji penanggungan, namun penjual adalah demi hukum diwajibkan menanggung pembeli terhadap suatu penghukuman untuk menyerahkan seluruh atau sebagian benda yang dijual kepada seorang pihak ketiga atau terhadap beban-beban yang menurut keterangan seorang pihak ketiga memilikinya tersebut dan tidak diberitahukan sewaktu pembelia dilakukan.”

Kemudian terhadap pembeli yang beritikad baik atau karena salah satu pihak tidak memenuhi prestasi dalam perjanjian jual beli maka bisa mendapatkan ganti kerugian sesuai ketentuan Pasal 1267 KUHPerdata:

“Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, ataukah ia akan menuntut pembatalan persetujuan, disertai penggantian biaya, kerugian dan bunga.”

Setelah menelusuri ketentuan KUHPerdata, maka dapat dikatakan bahwa pengertian itikad baik dalam hal ini berarti ketidaktahuan pembeli atas cacat cela peralihan hak atas tanah yang diperolehnya dan ketidaktahuan ini bukan merupakan kesalahan atau ketidakcermatan pembeli itu. Dengan demikian, hal ketentuan tersebut memberikan perlindungan yang relatif kuat kepada pembeli beritikad baik.

Adapun Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 5/2014 juga telah menegaskan bahwa kriteria pembeli yang beritikad baik adalah:

a. Melakukan jual beli atas objek tanah tersebut dengan tata cara/prosedur dan dokumen yang sah sebagaimana telah ditentukan peraturan perundang- undangan, yaitu:

- Pembelian tanah melalui pelelangan umum, atau;

- Pembelian tanah di hadapan PPAT (sesuai ketentuan PP Nomor 27 tahun 1997) atau;

- Pembelian terhadap tanah milik adat/yang belum terdaftar yang dilaksanakan menurut ketentuan hukum adat, yaitu dilakukan secara tunai dan terang (di hadapan/diketahui Kepala Desa setempat).

b. Melakukan kehati-hatian dengan meneliti hal-hal berkaitan dengan objek tanah yang diperjanjikan, antara lain:

- Penjual adalah orang yang berhak/memiliki hak atas tanah yang menjadi objek jual beli, sesuai dengan bukti kepemilikannya, atau;

- Tanah/objek yang diperjualbelikan tersebut tidak dalam status disita, atau;

- Tanah/objek yang diperjualbelikan tidak dalam status jaminan/Hak Tanggungan, atau;

- Terhadap tanah yang bersertifikat, telah memperoleh keterangan dari BPN.

Berdasarkan literatur, putusan-putusan hakim, serta beberapa peraturan terkait permasalahan ini, memang benar bahwa hakim semestinya mempertimbangkan pula upaya nyata pembeli untuk mencari tahu dan mencermati secara patut data fisik dan data yuridis sebelum dan saat jual beli pemilik tanah sebelumnya kepada pembeli sebagai pemilik tanah yang baru.

Pelaksanaan proses balik nama ini dilakukan di Kantor Pertanahan setempat dimana tanah tersebut berada. Apabila proses tersebut selesai maka pada Sertipikat tanah yang dimaksud akan tertera nama pemilik baru dari tanah tersebut yaitu nama pembeli, sedangkan nama pemilik lama dicoret. Dengan demikian proses balik nama telah selesai dilakukan sehingga pembeli telah sah sebagai

120Widodo Dwi Putro, et.al., Penjelasan Hukum Pembeli Beritikad Baik Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Yang Beritikad Baik Dalam Sengketa Perdata Berobyek Tanah, http://leip.or.id/wp-content/uploads/2016/05/Penjelasan-Hukum-Pembeli-Beritikad-Baik-Hukum-Perdata.pdf, diakses pada tanggal 18 Juni, hal. 13.

pemilik tanah yang baru.121 Berdasarkan hal ini maka telah terjadi pengalihan atau pemindahan hak milik secara formil.

Proses penyelesaian jual beli atas tanah sebagaimana diketahui dalam KUHPerdata dan berdasarkan berbagai literatur yang menyebutkan bahwasanya terkait benda tetap (tanah) pada peralihanya (lavering) tidak hanya dilakukan secara nyata saja melainkan harus diteruskan atau diikuti dengan balik nama (penyerahan secara yuridis). Namun perlu untuk diketahui bahwasanya fase dalam melakukan balik nama harus diikuti sebelumnya dengan membuat akta jual beli yang dilakukan oleh para pihak di hadapan pejabat yang berwenang yakni PPAT.122 Penyerahan yuridis (balik nama) ini bertujuan untuk mengukuhkan hak-hak si pembeli sebagai pemilik tanah yang baru.

Dalam hal balik nama, tanpa disadari menimbulkan permasalahan yang pelik, terutama yang menyangkut pemindahan hak atas tanah dengan kuasa, meskipun balik nama adalah suatu syarat yang tidak boleh tidak ada, untuk pemindahan hak dengan penyerahan (tanpa balik nama tidak ada pemindahan hak), tetapi balik nama sama sekali tidak menimbulkan garansi bahwa dia atas nama siapa balik nama itu dilakukan adalah juga benar-benar pemiliknya. Satu-satunya yang dengan pasti dapat kita katakan setelah melihat catatan pada register

121Sudarmono, Balik Nama Sertipikat Hak Milik Berdasarkan Akta Jual Beli Yang Menggunakan Kuasa Mutlak Di Kota PekanbaruI, Tesis Magister Kenotariatan Andalas, Padang, 2017, hal. 17.

122Aldi Sanjaya Putra, Kekuatan Akta Kuasa Menjual Dalam Proses Balik Nama, Tesis Magister Kenotariatan, Universita Islam Indonesia, Yogyakarta, 2017.

ialah bahwa dia yang tidak melakukan balik nama tidak akan memperoleh hak yang didapat dengan jalan penyerahan.123

Pelanggaran atas pelarangan berdasarkan hukum tersebut di atas mengakibatkan tindakan pengalihan atau pembebanan yang dilakukan antara pihak Tergugat dengan pihak ketiga menjadi batal demi hukum. Akan tetapi sebaliknya, jika barang/tanah yang disita belum didaftarkan (diumumkan) di kantor pencatatan, maka sita jaminan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dengan kata lain tidak membawa akibat hukum apapun bagi para pihak yang berperkara dan terutama bagi pihak ketiga. Dengan demikian maka batal demi hukum tidak hanya jual beli/pengalihan haknya saja, tetapi juga termasuk tindak lanjut yang mengikuti pelanggaran pengalihan atau pembebanan.

Sebagai contoh adalah apabila seseorang menjual tanah yang telah disita, maka jual beli tersebut, termasuk Akta PPAT dan Sertipikat yang telah balik nama atas nama pembeli, menjadi batal demi hukum. Sehingga secara yuridis, sertipikat yang timbul dari pelanggaran pengalihan tersebut menjadi tidak berkekuatan hukum atau no legal force.

Adapun dalam penerima kuasa telah menjalankan suatu kuasa tidak sesuai dengan materi surat kuasa, dalam hal ini telah melampaui wewenangnya, dapat dikaitkan dengan asas nemo plus yuris menyatakan bahwa orang tidak dapat

Adapun dalam penerima kuasa telah menjalankan suatu kuasa tidak sesuai dengan materi surat kuasa, dalam hal ini telah melampaui wewenangnya, dapat dikaitkan dengan asas nemo plus yuris menyatakan bahwa orang tidak dapat