• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERALIHAN OBJEK BERUPA TANAH BERDASARKAN

A. Peralihan Hak Atas Tanah

2. Jual Beli Menurut Hukum Tanah Nasional

Hukum Tanah Nasional merupakan hukum tanah Indonesia yang tunggal, tersusun berdasarkan alam pemikiran hukum adat mengenai hubungan hukum antara masyarakat hukum adat tertentu dengan tanah ulayatnya. Alam pemikiran hukum adat tersebut mengandung konsepsi hukum adat, mengenai pertanahan yang tetap diangkat menjadi konsepsi Hukum Tanah Nasional, yang dirumuskan sebagai komunalistik-religius yang memungkinkan penguasaan bagian-bagian tanah bersama karunia Tuhan Yang Maha Esa oleh para warga negara secara

55R. Subekti (I), op.cit., hal.17.

56Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, op.cit., Pasal 612.

57Ibid., Pasal 613.

individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur-unsur kebersamaan.58

Disebut hubungan komunalistik menunjukkan hakikat hubungan hukum bangsa Indonesia dengan semua tanah diseluruh wilayah negara sebagai tanah bersama, sedangkan sifat religius menunjukkan keyakinan dan pengakuan bahwa tanah bersama tersebut adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa.59 Penguasaan tanah secara individual mengandung arti bahwa penguaaan tanah yang bersangkutan dilakukan secara perorangan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang atau orang-orang lain, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA bahwa:

“Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagaimana yang dimaksud Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.”

Berdasarkan hal tersebut diatas, UUPA mengakhiri kebhinekaan perangkat hukum yang mengatur bidang pertanahan dan menciptakan Hukum Tanah Nasional yang tunggal yang didasarkan pada hukum adat. Bahwa Hukum Tanah Nasional disusun berdasarkan hukum adat tentang tanah, dinyatakan dalam konsiderans UUPA. Mengenai hukum adat dalam UUPA ini dijumpai dalam:

a. Penjelasan umum angka III (1) UUPA bahwa dengan sendirinya hukum agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat banyak.

Oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada

58Boedi Harsono (II), Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Universitas Trisakti, Jakarta, 2002, hal. 30.

59Ibid.

ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalis dan masyarakat swaparaja yang feodal.

b. Pasal 5 UUPA bahwa “hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta peraturan-peraturtan yang tercantum dalam UUPA dan dengan peraturan perundang-undangannya lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur bersandar pada hukum agama.”

c. Penjelasan Pasal 5 dan Pasal 16 bahwa “hukum adat dijadikan dasar dasar dari hukum agraria yang baru. Selanjutnya lihat penjelasan umum III angka 1”.

Dalam penjelasan Pasal 16 dinyatakan bhawa “Pasal ini adalah pelaksanaan daripada ketentuan Pasal 4. Sesuai dengan asas yang diletakkan dalam Pasal 5, bahwa hukum pertanahan nasional didasarkan pada hukum adat, maka penentuan hak-hak atas tanah dan air dalam pasal ini didasarkan pula atas sistematika dari hukum adat; dalam pada itu hak guna usaha dan hak guna bangunan diadakan untuk memenuhi keperluan masyarakat modern dewasa ini.

Dalam pada itu hak-hak adat yang sifatnya bertentangan dengan ketentuan-ketentuan UU ini (Pasal 7 dan Pasal 10) tetapi berhubung dnegan keadaan

masyarakat sekarang ini belum dihapuskan, diberi sifat sementara dan akan diatur (ayat 1 huruf H jo Pasal 5).

d. Pasal 56 dan secara tidak langsung juga Pasal 58 bahwa selama undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam Pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah, yang diberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam Pasal 20 UUPA sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan ini (maksudnya UUPA). Pasal 58 tidak menyebut hukum adat secara langsung tetapi apa yang disebut peraturan yang tidak tertulis mencakup juga hukum adat.60

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Hukum Tanah Nasional kita berdasarkan pada hukum adat yang secara tidak langsung mengatur ketentuan-ketentuan mengenai hak atas tanah dan perbuatan pemindahan hak atas tanah.

Perbuatan yang dimaksud termasuk didalamnya jual beli yang merupakan perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah dengan jiwa yang terdapat dalam UUPA yang berarti suatu pemindahan hak atas tanah, yaitu untuk mengalihkan suatu hak atas tanah kepada pihak lain.61

Jual beli menurut Hukum Tanah Nasional adalah perbuatan hukum pemindahan hak yang mempunyai 3 (tiga) sifat, yaitu:

60Boedi Harsono(III), Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksananya), Jilid I, Edisi Revisi, Djambatan, Jakarta, 2005, hal. 176-178.

61Soetomo, Pedoman Jual Beli Tanah Peralihan Hak dan Sertifikat, Universitas Brawijaya, Malang, 1981, hal. 17.

1. Bersifat terang, maksudnya perbuatan hukum tersebut dilakukan dihadapan PPAT sehingga bukan perbuatan hukum yang gelap atau yang

dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

2. Bersifat tunai, maksudnya bahwa dengan dilakukannya perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain yang disertai dengan pembayarannya.

3. Bersifat riil, maksudnya bahwa akta jual beli tersebut telah ditandatangani oleh para pihak yang menunjukka secara nyata atau riil telah dilakukannya perbuatan hukum jual beli. Akta tersebut membuktikan bahwa benar telah dilakukannya perbuatan hukum pemindahan.62

Selain memenuhi sifat tunai, terang, dan riil, dalam pembahasan jual beli tanah juga perlu dibahas mengenai sah tidaknya jual beli. Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat dua syarat:63

1. Syarat Materiil

Yaitu berkaitan dengan sah atau tidaknya jual beli tanah. Syarat materiil yang dimaksud antara lain:64

a. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan;

Yang berhak untuk menjual suatu bidang tanah tentu saja si pemegang yang sah dari hak atas tanah tersebut yang disebut pemilik. Kalau pemilik sebidang tanah tersebut hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri

62Boedi Harsono (III), op.cit., hal. 330.

63Adrian Sutedi (I), Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 78.

64Arie Sukanti Hutagalung, et. al., Asas-Asas Hukum Agraria, Ed. Revisi., Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 75-76.

sebidang tanah tersebut. Akan tetapi, bila pemilik tanah adalah dua orang, maka yang berhak menjual tanah itu ialah kedua orang itu bersama-sama.

Tidak boleh seorang saja yang bertindak sebagai penjual.65 b. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan;

Pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk memiliki tanah yang akan dibelinya. Untuk menentukan berhak atau tidaknya si pembeli memperoleh hak atas tanah tersebut tergantung pada hak apa yang ada pada tanah tersebut, apakah hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai. Menurut UUPA, yang dapat mempunyai hak milik atas tanah hanyalah Warga Negara Indonesia tunggal dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah (Pasal 21 UUPA). Jika pembeli mempunyai kewarganegaraan asing disamping kewarganegaraan Indonesianya atau kepada suatu badan hukum yang tidak dikecualikan oleh pemerintah, maka jual beli tersebut batal karena hukum dan tanah jatuh kepada Negara.66

c. Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan menurut hukum;

d. Tanah hak yang bersangkutan tidak dalam sengketa.

Jika salah satu syarat materiil ini tidak dipenuhi, dalam arti penjual bukan merupakan orang yang berhak atas tanah yang dijualnya atau pembeli tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemilik hak atas tanah, atau tanah yang diperjualbelikan sedang dalam sengketa atau merupakan tanah yang tidak boleh diperjualbelikan, maka jual beli tanah tersebut adalah tidak sah. Jual beli tanah

65Effendi Perangin, Praktik Jual Beli Tanah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hal.2.

66Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, op.cit., Pasal 26 ayat (2).

yang dilakukan oleh orang yang tidak berhak adalah batal demi hukum. Artinya sejak semula hukum menganggap tidak pernah terjadi jual beli.67

2. Syarat Formil

Setelah semua persyaratan materiil dipenuhi, maka PPAT akan membuat akta jual belinya. Akta yang dibuat oleh PPAT tersebut akan dibawa ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk dilakukan pendaftaran terkait pemilik hak atas tanah yang baru.68 Dalam pasal 37 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 ditentukan bahwa peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perseroan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.69

Berdasarkan Pasal 5 UUPA jual beli yang dilakukan tanpa dihadapan PPAT tetap sah karena UUPA berlandaskan pada hukum adat, yaitu bersifat terang dan tunai. Namun demikian, untuk mewujudkan adanya kepastian hukum dalam setiap peralihan hak atas tanah, PP No. 24 Tahun 1997 sebagai peraturan pelaksanaan UUPA telah menentukan bahwa setiap perjanjian yang memindahkan hak atas tanah harus dibuat oleh dan dihadapan PPAT. Sebelum akta jual beli dibuat PPAT maka disyaratkan bagi para pihak untuk menyerahkan surat-surat yang diperlukan PPAT, yaitu:

67Effendi Peranginangin (II), Praktik Jual Beli Tanah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hal. 2.

68Adrian Sutedi (I), op.cit., hal. 79.

69Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 37.

1. Jika tanah sudah bersertifikat: sertifikat tanahnya yang asli dan tanda bukti pembayaran biaya pendaftarannya.

2. Jika tanah belum bersertifikat: surat keterangan bahwa tanah tersebut belum bersertifikat, surat-surat tanah yang ada yang memerlukan penguatan oleh kepala desa dan camat, dilengkapi dengan surat-surat yang membuktikan identitas penjual dan pembelinya yang diperlukan untuk persertipikatan tanahnya setelah selesai dilakukan jual beli.

Terkait sahnya jual beli tanah dengan adanya akta jual beli dihadapan PPAT berakibat hukum dapat didaftarkan peralihan hak atas tanah tersebut ke Badan Pertanahan. Sedangkan apabila jual beli tanah tidak dilakukan dihadapan PPAT, amak Keputusan MA tanggal 1 April 1976 No. 126 K/Sip/1976 menetapkan bahwa untuk sahnya jual beli tanah, tidak mutlak harus dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT, akta pejabat ini hanyalah suatu alat bukti.

Dengan demikian jual beli tanah yang dlakukan tidak dihadapan PPAT tetapi dilakukan dihadapan Camat berdasarkan asas terang dan tunai menurut hukum adat dan dapat dibuktikan di pengadilan, maka jual beli tanah itu sah dan berakibat hukum dapat didaftarkan peralihan haknya atas tanahnya ke Badan Pertanahan.