• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

4. Analisis Data

Data sekunder yang diperoleh dari penelitian dianalisis dengan cara kualitatif, sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, berupa kata-kata berbentuk tertulis maupun lisan dari orang-orang yang terkait dalam penelitian ini. Metode penelitian kualitatif adalah penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat.46 Data peraturan perundang-undangan di bidang perikatan dan perjanjian serta pertanahan khususnya mengenai pemberian kuasa dan/atau kuasa menjual dalam peralihan hak atas tanah, disusun secara sistematis.

Sebelum tahap analisis akhir, dilakukan terlebih dahulu pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang ada untuk mengetahui validitasnya. Sesuai dengan sifat penelitiannya, maka analisis data dilakukan dengan cara analisis kualitatif yaitu analisis yang mempergunakan aspek-aspek normatif (yuridis) melalui metode yang bersifat deskriptif analisis yang menguraikan gambaran dari bahan hukum yang diperoleh dan menghubungkan satu sama lain untuk mendapat suatu kesimpulan umum. Dari hasil analisis tersebut akan ditarik kesimpulan deduktif dengan metode deduksi yaitu cara berpikir yang mengambil kesimpulan

46Ibid., hal. 24.

berdasarkan atasa fakta-fakta yang bersifat umum kemudian ke khusus. Dengan demikian diharapkan dapat menjawab semua permasalahan-permasalahan hukum dalam penelitian ini.

28 BAB II

PERALIHAN OBJEK BERUPA TANAH BERDASARKAN SURAT KUASA

A. Peralihan Hak Atas Tanah

Peralihan hak atas tanah adalah suatu perbuatan hukum memindahkan suatu hak atas tanah yang dimilikinya kepada orang lain. Menurut John Salindeho, pengertian peralihan hak atas tanah dengan pemindahan hak atas tanah adalah sama, ia berpendapat bahwa peralihan hak atas tanah atau pemindahan hak atas tanah adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan atau mengalihkan hak atas tanah dari yang mengalihkan kepada yang menerima pengalihan.47

Sedangkan menurut Haryanto dalam Pasal 20 ayat (2) disebutkan bahwa hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Yang dimaksud dalam pasal ini adalah hak milik dapat dijual, ditukarkan dengan benda lain, dihibahkan dan diberikan dengan wasiat. Pengertian dialihkan menunjukkan bahwa hak milik dapat berpindah kepada pihak lain karena adanya perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar pihak lain memperoleh hak itu.48

Lain halnya dengan Effendi Perangin-Angin yang berpendapat bahwa pemindahan hak atas tanah menyebabkan hak atas tanah beralih dari seseorang kepada orang lain. Jadi pemindahan adalah suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar hak atas tanah berpindah dari yang mengalihkan

47John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Grafika, Jakarta, 1993, hal.

37.

48Haryanto, Cara Mendapatkan Sertifikat Hak Atas Tanah, Usaha Nasional, Surabaya, 1981, hal. 3.

kepada yang menerima pengalihan. Perbuatan hukum itu mungkin jual beli, tukar menukar, hibah atau dengan pemberian dengan wasiat.49

Dalam hal peralihan hak atas tanah dengan jual beli, ada 2 hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu:50

1. Subjek adalah pihak penjual dan pihak pembeli;

2. Objek adalah hak atas tanah yang akan dijual.

1. Jual Beli Menurut Hukum Perdata

Pengertian jual beli menurut Pasal 1457 KUHPerdata adalah suatu peretujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Dengan kata lain jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual, dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual.51

Dengan demikian perkataan jual beli ini menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan dari pihak lain dinamakan membeli, jadi dalam hal ini terdapat dua pihak yaitu penjual dan pembeli yang bertimbal balik.52 Jual beli tersebut dianggap telah terjadi apabila antara kedua belah pihak telah terjadi kesepakatan mengenai benda tersebut dan harganya, walaupun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar.

49Effendi Perangin-Angin (I), Hukum Agraria Idoenesia Suatu Telaah Dari Pandangan Praktisi Hukum, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 1986, hal. 1.

50Effendi Perangin-Angin (II), Praktek Jual Beli Tanah, C.V Rajawali, Jakarta, 1987, hal.1.

51Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi (II), Jual Beli, Raja Grafindo, Jakarta, 2003, hal. 7.

52R. Subekti(I), op.cit., hal. 1.

Untuk pemindahan hak itu masih diperlukan suatu perbuatan hukum lain, berupa penyerahan yang caranya ditetapkan dengan suatu peraturan lain lagi.

Penyerahan hak itu dalam istilah hukumnya biasa disebut Juridische Levering (penyerahan menurut hukum), yang harus dilakukan dengan akta dimuka

dan oleh Pejabat Balik Nama berdasarkan ordonansi Balik Nama STBLD No. 27 Tahun 1834.53 Untuk terjadinya perjanjian jual beli ini, cukup jika kedua belah pihak sudah mencapai persetujuan tentang barang dan harga. Si penjual mempunyai dua kewajiban pokok, yaitu:

a. Pertama menyerahkan barangnya serta menjamin si pembeli dapat memiliki barang itu dengan tentram.

b. Kedua bertanggung jawab terhadap cacat-cacat yang tersembunyi.

Kewajiban si pembeli membayar harga dan di tempat yang telah ditentukan.

Barang harus diserahkan pada waktu perjanjian jual beli ditutup dan di tempat barang itu berada.

Menurut Undang-Undang sejalan saat ditutupnya perjanjian, risiko mengenai barangnya sudah beralih kepada si pembeli, artinya jika barang itu rusak sehingga tidak dapat diserahkan kepada pembeli, maka orang ini harus tetap membayar harganya. Sampai pada waktu penyerahannya itu si penjual harus merawatnya dengan baik. Jika si penjual melalaikan kewajibannya, misalnya pada waktu yang telah ditentukan belum menyerahkan barangnya, maka mulai saat itu ia memikul risiko terhadap barang itu dan dapat dituntut untuk memberikan pembayaran kerugian atau pembeli dapat menuntut pembatalan perjanjian.

53K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1977, hal. 31.

Sebaliknya, jika si pembeli tidak membayar harga barang pada waktu yang ditentukan, si penjual dapat menuntut pembayaran itu yang jika ada alasan dapat disertai dengan tuntutan kerugian ataupun ia dapat menuntut pembatalan perjanjian dengan pemberian kerugian juga barang yang belum dibayar itu dapat diminta kembali.

Jual beli yang diatur KUHPerdata ini bersifat obligatoir, yang artinya bahwa perjanjian jual beli baru meletakkan hak dan kewajiban timbal balik antara kedua belah pihak penjual dan pembeli, yaitu meletakkan kepada penjual kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijualnya, sekaligus memberikan kepadanya hak untuk mendapat pembayaran harga yang telah disetujui dan disisi lain meletakkan kewajiban kepada pembeli untuk membayar harga barang, sesuai imbalan haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya. Atau dengan perkataan lain, bahwa jual beli yang dianut Hukum Perdata jual beli belum memindahkan hak milik.54

Dengan demikian, perjanjian jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban, yaitu: kewajiban pihak penjual untuk menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli dan kewajiban pihak pembeli untuk membayar harga barang yang dibeli kepada penjual.

Kewajiban lain yang dimiliki oleh penjual adalah menjamin kenikmatan tenteram yang merupakan konsekuensi dari jaminan yang oleh penjual diberikan kepada pembeli bahwa barang yang dijual dan diserahkan itu adalah sungguh-sungguh miliknya sendiri yang bebas dari sesuatu beban atau tuntutan dari suatu

54Soedaryo Soimin, Status Tanah dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hal. 94-95.

pihak55. Jadi barang yang dijual tidak mempunyai sangkutan apapun, baik berupa tuntutan maupun beban. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa perjanjian jual beli belum memindahkan hak milik yang ada di tangan penjual. Pemindahan hak milik baru terjadi pada saat dilakukannya suatu perbuatan hukum yang dinamakan “penyerahan” (levering) secara yuridis. Jenis-jenis penyerahan berbeda-beda menurut macamnya benda yang akan diserahkan.

Menurut KUHPerdata ada tiga macam penyerahan yuridis, yaitu:

1. Penyerahan barang bergerak. Penyerahan barang bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata atau menyerahkan kekuasaan atas barangnya.56

2. Penyerahan barang tak bergerak. Penyerahan barang tak bergerak terjadi dengan pembuatan akta jual belinya.

3. Penyerahan piutang atas nama penyerahan piutang atas nama dilakukan dengan pembuatan sebuah akta yang diberitahukan kepada si berutang yaitu akta cessie57.

2. Jual Beli Menurut Hukum Tanah Nasional

Hukum Tanah Nasional merupakan hukum tanah Indonesia yang tunggal, tersusun berdasarkan alam pemikiran hukum adat mengenai hubungan hukum antara masyarakat hukum adat tertentu dengan tanah ulayatnya. Alam pemikiran hukum adat tersebut mengandung konsepsi hukum adat, mengenai pertanahan yang tetap diangkat menjadi konsepsi Hukum Tanah Nasional, yang dirumuskan sebagai komunalistik-religius yang memungkinkan penguasaan bagian-bagian tanah bersama karunia Tuhan Yang Maha Esa oleh para warga negara secara

55R. Subekti (I), op.cit., hal.17.

56Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, op.cit., Pasal 612.

57Ibid., Pasal 613.

individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur-unsur kebersamaan.58

Disebut hubungan komunalistik menunjukkan hakikat hubungan hukum bangsa Indonesia dengan semua tanah diseluruh wilayah negara sebagai tanah bersama, sedangkan sifat religius menunjukkan keyakinan dan pengakuan bahwa tanah bersama tersebut adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa.59 Penguasaan tanah secara individual mengandung arti bahwa penguaaan tanah yang bersangkutan dilakukan secara perorangan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang atau orang-orang lain, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA bahwa:

“Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagaimana yang dimaksud Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.”

Berdasarkan hal tersebut diatas, UUPA mengakhiri kebhinekaan perangkat hukum yang mengatur bidang pertanahan dan menciptakan Hukum Tanah Nasional yang tunggal yang didasarkan pada hukum adat. Bahwa Hukum Tanah Nasional disusun berdasarkan hukum adat tentang tanah, dinyatakan dalam konsiderans UUPA. Mengenai hukum adat dalam UUPA ini dijumpai dalam:

a. Penjelasan umum angka III (1) UUPA bahwa dengan sendirinya hukum agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat banyak.

Oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada

58Boedi Harsono (II), Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Universitas Trisakti, Jakarta, 2002, hal. 30.

59Ibid.

ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalis dan masyarakat swaparaja yang feodal.

b. Pasal 5 UUPA bahwa “hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta peraturan-peraturtan yang tercantum dalam UUPA dan dengan peraturan perundang-undangannya lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur bersandar pada hukum agama.”

c. Penjelasan Pasal 5 dan Pasal 16 bahwa “hukum adat dijadikan dasar dasar dari hukum agraria yang baru. Selanjutnya lihat penjelasan umum III angka 1”.

Dalam penjelasan Pasal 16 dinyatakan bhawa “Pasal ini adalah pelaksanaan daripada ketentuan Pasal 4. Sesuai dengan asas yang diletakkan dalam Pasal 5, bahwa hukum pertanahan nasional didasarkan pada hukum adat, maka penentuan hak-hak atas tanah dan air dalam pasal ini didasarkan pula atas sistematika dari hukum adat; dalam pada itu hak guna usaha dan hak guna bangunan diadakan untuk memenuhi keperluan masyarakat modern dewasa ini.

Dalam pada itu hak-hak adat yang sifatnya bertentangan dengan ketentuan-ketentuan UU ini (Pasal 7 dan Pasal 10) tetapi berhubung dnegan keadaan

masyarakat sekarang ini belum dihapuskan, diberi sifat sementara dan akan diatur (ayat 1 huruf H jo Pasal 5).

d. Pasal 56 dan secara tidak langsung juga Pasal 58 bahwa selama undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam Pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah, yang diberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam Pasal 20 UUPA sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan ini (maksudnya UUPA). Pasal 58 tidak menyebut hukum adat secara langsung tetapi apa yang disebut peraturan yang tidak tertulis mencakup juga hukum adat.60

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Hukum Tanah Nasional kita berdasarkan pada hukum adat yang secara tidak langsung mengatur ketentuan-ketentuan mengenai hak atas tanah dan perbuatan pemindahan hak atas tanah.

Perbuatan yang dimaksud termasuk didalamnya jual beli yang merupakan perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah dengan jiwa yang terdapat dalam UUPA yang berarti suatu pemindahan hak atas tanah, yaitu untuk mengalihkan suatu hak atas tanah kepada pihak lain.61

Jual beli menurut Hukum Tanah Nasional adalah perbuatan hukum pemindahan hak yang mempunyai 3 (tiga) sifat, yaitu:

60Boedi Harsono(III), Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksananya), Jilid I, Edisi Revisi, Djambatan, Jakarta, 2005, hal. 176-178.

61Soetomo, Pedoman Jual Beli Tanah Peralihan Hak dan Sertifikat, Universitas Brawijaya, Malang, 1981, hal. 17.

1. Bersifat terang, maksudnya perbuatan hukum tersebut dilakukan dihadapan PPAT sehingga bukan perbuatan hukum yang gelap atau yang

dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

2. Bersifat tunai, maksudnya bahwa dengan dilakukannya perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain yang disertai dengan pembayarannya.

3. Bersifat riil, maksudnya bahwa akta jual beli tersebut telah ditandatangani oleh para pihak yang menunjukka secara nyata atau riil telah dilakukannya perbuatan hukum jual beli. Akta tersebut membuktikan bahwa benar telah dilakukannya perbuatan hukum pemindahan.62

Selain memenuhi sifat tunai, terang, dan riil, dalam pembahasan jual beli tanah juga perlu dibahas mengenai sah tidaknya jual beli. Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat dua syarat:63

1. Syarat Materiil

Yaitu berkaitan dengan sah atau tidaknya jual beli tanah. Syarat materiil yang dimaksud antara lain:64

a. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan;

Yang berhak untuk menjual suatu bidang tanah tentu saja si pemegang yang sah dari hak atas tanah tersebut yang disebut pemilik. Kalau pemilik sebidang tanah tersebut hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri

62Boedi Harsono (III), op.cit., hal. 330.

63Adrian Sutedi (I), Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 78.

64Arie Sukanti Hutagalung, et. al., Asas-Asas Hukum Agraria, Ed. Revisi., Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 75-76.

sebidang tanah tersebut. Akan tetapi, bila pemilik tanah adalah dua orang, maka yang berhak menjual tanah itu ialah kedua orang itu bersama-sama.

Tidak boleh seorang saja yang bertindak sebagai penjual.65 b. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan;

Pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk memiliki tanah yang akan dibelinya. Untuk menentukan berhak atau tidaknya si pembeli memperoleh hak atas tanah tersebut tergantung pada hak apa yang ada pada tanah tersebut, apakah hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai. Menurut UUPA, yang dapat mempunyai hak milik atas tanah hanyalah Warga Negara Indonesia tunggal dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah (Pasal 21 UUPA). Jika pembeli mempunyai kewarganegaraan asing disamping kewarganegaraan Indonesianya atau kepada suatu badan hukum yang tidak dikecualikan oleh pemerintah, maka jual beli tersebut batal karena hukum dan tanah jatuh kepada Negara.66

c. Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan menurut hukum;

d. Tanah hak yang bersangkutan tidak dalam sengketa.

Jika salah satu syarat materiil ini tidak dipenuhi, dalam arti penjual bukan merupakan orang yang berhak atas tanah yang dijualnya atau pembeli tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemilik hak atas tanah, atau tanah yang diperjualbelikan sedang dalam sengketa atau merupakan tanah yang tidak boleh diperjualbelikan, maka jual beli tanah tersebut adalah tidak sah. Jual beli tanah

65Effendi Perangin, Praktik Jual Beli Tanah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hal.2.

66Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, op.cit., Pasal 26 ayat (2).

yang dilakukan oleh orang yang tidak berhak adalah batal demi hukum. Artinya sejak semula hukum menganggap tidak pernah terjadi jual beli.67

2. Syarat Formil

Setelah semua persyaratan materiil dipenuhi, maka PPAT akan membuat akta jual belinya. Akta yang dibuat oleh PPAT tersebut akan dibawa ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk dilakukan pendaftaran terkait pemilik hak atas tanah yang baru.68 Dalam pasal 37 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 ditentukan bahwa peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perseroan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.69

Berdasarkan Pasal 5 UUPA jual beli yang dilakukan tanpa dihadapan PPAT tetap sah karena UUPA berlandaskan pada hukum adat, yaitu bersifat terang dan tunai. Namun demikian, untuk mewujudkan adanya kepastian hukum dalam setiap peralihan hak atas tanah, PP No. 24 Tahun 1997 sebagai peraturan pelaksanaan UUPA telah menentukan bahwa setiap perjanjian yang memindahkan hak atas tanah harus dibuat oleh dan dihadapan PPAT. Sebelum akta jual beli dibuat PPAT maka disyaratkan bagi para pihak untuk menyerahkan surat-surat yang diperlukan PPAT, yaitu:

67Effendi Peranginangin (II), Praktik Jual Beli Tanah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hal. 2.

68Adrian Sutedi (I), op.cit., hal. 79.

69Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 37.

1. Jika tanah sudah bersertifikat: sertifikat tanahnya yang asli dan tanda bukti pembayaran biaya pendaftarannya.

2. Jika tanah belum bersertifikat: surat keterangan bahwa tanah tersebut belum bersertifikat, surat-surat tanah yang ada yang memerlukan penguatan oleh kepala desa dan camat, dilengkapi dengan surat-surat yang membuktikan identitas penjual dan pembelinya yang diperlukan untuk persertipikatan tanahnya setelah selesai dilakukan jual beli.

Terkait sahnya jual beli tanah dengan adanya akta jual beli dihadapan PPAT berakibat hukum dapat didaftarkan peralihan hak atas tanah tersebut ke Badan Pertanahan. Sedangkan apabila jual beli tanah tidak dilakukan dihadapan PPAT, amak Keputusan MA tanggal 1 April 1976 No. 126 K/Sip/1976 menetapkan bahwa untuk sahnya jual beli tanah, tidak mutlak harus dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT, akta pejabat ini hanyalah suatu alat bukti.

Dengan demikian jual beli tanah yang dlakukan tidak dihadapan PPAT tetapi dilakukan dihadapan Camat berdasarkan asas terang dan tunai menurut hukum adat dan dapat dibuktikan di pengadilan, maka jual beli tanah itu sah dan berakibat hukum dapat didaftarkan peralihan haknya atas tanahnya ke Badan Pertanahan.

B. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

Dalam buku ke III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur perihal mengenai perikatan dan perjanjian. Perikatan dan perjanjian menunjuk pada dua hal yang berbeda. Adapun sumber-sumber perikatan yakni perikatan dapat lahir

dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari undang-undang. Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang saja dan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang.70

1. Pengertian Perjanjian dan Perikatan

Istilah perjanjian sudah lazim dipergunakan dalam lalu lintas hidup bermasyarakat. Hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata. Pasal 1313 KUHPerdata secara khusus mendefinisikan perjanjian sebagai berikut:

“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”

Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Selain itu, di dalam berbagai literatur hukum ada beberapa pendapat yang memberikan pengertian mengenai perjanjian. Berikut pendapat beberapa ahli mengenai definisi dari istilah perjanjian:

1. Subekti memberikan definisi tentang perjanjian sebagai suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.71

2. Herlien Budiono memberikan definisi perjanjian adalah perbuatan hukum yang menimbulkan, berubahnya, hapusnya hak atau menimbulkan suatu hubungan

70Subekti(II), Hukum Perjanjian, Cet. 19, Intermasa, Jakarta, 2002, hal. 1.

71Ibid.

hukum dan dengan cara demikian, perjanjian menimbulkan akibat hukum yang merupakan tujuan para pihak.72

3. Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda dua pihak, dalam manan suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menunutut pelaksanaan janji itu.73

4. Salim HS berpendapat bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara subyek yang satu dengan subyek yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subyek hukum yang satu berhak atas pretasi dan begitu juga subyek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan

4. Salim HS berpendapat bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara subyek yang satu dengan subyek yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subyek hukum yang satu berhak atas pretasi dan begitu juga subyek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan