• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TESIS Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara."

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

HAK AHLI WARIS TERHADAP WARISAN YANG DIWASIATKAN SECARA LISAN PADA

MASYARAKAT BATAK TOBA (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 428

PK/PDT/2009)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

SUNDARI NASUTION 167011032/M.Kn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)
(3)

Telah Diuji Pada

Tanggal : 28 Desember 2020

TIM PENGUJI TESIS

1. KETUA : Dr. Yefrizawati, S.H, M.Hum

2. ANGGOTA : 1. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, S.H, M.Hum 2. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H, C.N, M.Hum 3. Prof. Dr. Rosnidar Sembiring, S.H, M.Hum 4. Dr. Edy Ikhsan, S.H, M.A

(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Hukum adat Batak Toba mengatur tentang proses penerusan hak dan kewajiban dari pewaris kepada ahli waris atau yang disebut dengan hukum waris adat Batak Toba. Masyarakat adat Batak Toba menganut sistem kekerabatan patrilineal, sehingga hukum waris adat Batak Toba hanya mengakui anak laki-laki sebagai ahli waris. Hal ini dikarenakan anak laki-laki sebagai penerus marga dan memiliki beban tanggung jawab lebih besar dari pada anak perempuan, yaitu anak laki-laki bertanggung jawab pada adik-adiknya hingga mereka menikah dan bertanggung jawab untuk merawat orang tuanya sampai orang tua meninggal dunia. Oleh karena itu rumah peninggalan orang tua hanya diberikan pada anak laki-laki yang merawat orang tuanya. Apabila tidak memiliki anak laki-laki maka warisan akan jatuh pada keluarga ayah, anak perempuan bukanlah ahli waris meskipun ia anak kandung dan tidak memiliki saudara laki-laki, karena anak perempuan setelah menikah maka ia akan mengikuti marga suaminya. Menurut hukum adat Batak Toba, warisan dapat diberikan pada saat pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia. Warisan yang diberikan pada saat pewaris masih hidup disebut dengan wasiat. Wasiat dapat dilakukan secara lisan atau tertulis, sepanjang dilakukan secara adat Batak Toba yaitu dilakukan secara terang dan tunai dengan disaksikan oleh Dalihan Na Tolu maka wasiat lisan atau tertulis memiliki kekuatan yang sama menurut hukum adat Batak Toba. Permasalahan yang dibahas adalah Bagaimana kekuatan hukum wasiat secara lisan menurut hukum adat Batak Toba, Bagaimana hak dan kedudukan ahli waris terhadap warisan yang diwasiatkan secara lisan menurut hukum adat Batak Toba, dan Bagaimana pertimbangan hukum hakim pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 428 PK/ Pdt / 2009.

Metode penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, yaitu penelitian hukum kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, kekuatan hukum wasiat secara lisan menurut hukum adat Batak Toba adalah sah sepanjang diutarakan dan disaksikan di hadapan Dalihan Na Tolu. Hak dan kedudukan ahli waris terhadap warisan yang diwasiatkan secara lisan pada hukum adat Batak Toba adalah anak laki-laki sebagai ahli waris berhak atas harta peninggalan orang tuanya dan wasiat lisan yang diberikan pewaris kepada ahli waris dapat berlaku apabila dilakukan sesuai dengan hukum adat Batak Toba dan tidak ada pihak yang membantahnya. Apabila ada yang mampu membantah wasiat lisan tersebut dengan bukti otentik, maka secara hukum wasiat lisan tersebut akan gugur karena tidak memiliki bukti otentik. Pertimbangan hukum hakim pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 428 PK/ Pdt / 2009 adalah hakim berpatokan pada hukum perdata murni dengan melihat bukti otentik sebagai alat bukti yang sah dan menganggap bahwa pernyataan dari tetua adat bukan merupakan alat bukti.

Kata Kunci : Ahli Waris, Harta Warisan, Wasiat Secara Lisan, Batak Toba.

(7)
(8)
(9)

KATA PENGANTAR

Dengan segenap hati, penulis panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah menghantarkan penulis sampai batas ini.

Adapun judul tesis ini adalah HAK AHLI WARIS TERHADAP

WARISAN YANG DIWASIATKAN SECARA LISAN PADA

MASYARAKAT BATAK TOBA (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 428 PK/PDT/2009). Dalam proses penyusunan tesis ini, penulis telah banyak menerima bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, maka dalam kesempatan ini penulis dengan hormat mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Mulyanto Amin, S.Sos, M.Si., Selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum., Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H, C.N, M.Hum., Selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara dan juga selaku dosen pembimbing ketiga yang telah banyak meluangkan waktu dan pikiran serta sabar dalam mengarahkan peneliti dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

4. Bapak Dr. Edy Ikhsan, S.H, M.A., Selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara dan juga selaku dosen penguji yang telah banyak meluangkan waktu dan pikiran serta

(10)

sabar dalam mengarahkan peneliti dalam menyelesaikan penelitian tesis ini.

5. Ibu Dr. Yefrizawati, S.H, M.Hum., Selaku dosen pembimbing pertama yang telah sabar dan meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan, saran, dan motivasi hingga selesai penelitia tesis ini.

6. Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, S.H, M.Hum., Selaku dosen pembimbing kedua yang telah sabar dan meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan, saran, dan motivasi hingga selesai penelitia tesis ini.

7. Ibu Prof. Dr. Rosnidar Sembiring, S.H, M.Hum., Selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktu dan memberi bimbingan, saran dan kritik yang membangun hingga selesai penelitian tesis ini.

8. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Magiater Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu pengetahuan, bimbingan serta arahan yang sangat bermanfaat selama peneliti mengikuti proses kegiatan perkuliahan.

9. Seluruh Staf/ Pegawai Administrasi Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu dalam proses administrasi sejak awal peneliti mulai perkuliahan hingga peneliti menyelesaikan tesis ini.

10. Kepada suami saya Richad Chandra Lubis, S.Pd dan anak-anak saya Mecca Arumi Lubis dan Hanan El Rumi Lubis, mereka yang selalu

(11)

memberikan semangat, motivasi dan doa yang tulus sehingga peneliti dapat menyelesaikan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar tesis ini bisa lebih baik lagi dikesempatan yang akan datang.

Penulis berharap semoga tesis yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca dan pihak lain yang memerlukannya.

Medan, 20 Januari 2021 Penulis,

SUNDARI NASUTION NIM. 167011032

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

LEMBAR PENGUJI ... ii

PERNYATAAN ORIGINALITAS ... iii

PERSETUJUAN PUBLIKASI TESIS ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR ISTILAH ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penulisan ... 14

D. Manfaat Penulisan ... 14

E. Keaslian Penelitian ... 15

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 16

1. Kerangka Teori ... 16

2. Konsepsi ... 22

G. Metode Penelitian ... 23

1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 24

2. Sumber Data ... 25

3. Tehnik Pengumpulan Data ... 26

4. Alat Pengumpulan Data ... 26

5. Analisis Data ... 27

BAB II KEKUATAN HUKUM WASIAT SECARA LISAN MENURUT HUKUM ADAT BATAK TOBA ... 28

A. Ketentuan Waris Menurut Hukum Adat Batak Toba ... 28

(13)

1. Pengertian Waris Menurut Hukum Adat Batak Toba .... 28 2. Sistem Kewarisan Menurut Hukum Adat Batak Toba .. 32 3. Ahli Waris Menurut Hukum Adat Batak Toba ... 33 4. Harta Warisan Menurut Hukum Adat Batak Toba ... 40 5. Pelaksanaan Pembagian Waris Menurut Hukum Adat

Batak Toba ... 43 B. Wasiat Menurut Hukum Adat Batak Toba... 48 1. Pengertian Wasiat Menurut Hukum Adat Batak Toba ... 48 2. Syarat Wasiat Menurut Hukum Adat Batak Toba ... 49 3. Pelaksanaan Wasiat Menurut Hukum Adat Batak Toba . 51 C. Kekuatan Hukum Dari Wasiat Lisan ... 53

1. Kekuatan Hukum Wasiat Lisan Menurut

Hukum Adat Batak Toba ... 53 2. Kekuatan Hukum Wasiat Lisan Menurut Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata ... 56 BAB III HAK DAN KEDUDUKAN AHLI WARIS TERHADAP

WARISAN YANG DIWASIATKAN SECARA LISAN PADA HUKUM ADAT BATAK TOBA ... 59 A. Hak Dan Kedudukan Ahli Waris Yang Menerima Wasiat

Secara Lisan Pada Hukum Adat Batak Toba ... 59 B. Sengketa Waris Terkait Wasiat Secara Lisan Pada Hukum

Adat Batak Toba ... 66 C. Upaya Hukum Untuk Menyelesaikan Permasalahan Yang

Timbul Dari Wasiat Secara Lisan Pada Hukum Adat Batak Toba ... 69 BAB IV PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERKAIT PADA

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK

INDONESIA NOMOR: 428 PK/ Pdt/ 2009 ... 77 A. Posisi Kasus ... 77 B. Analisis Terhadap Pertimbangan Hakum Hakim ... 85

(14)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 97

A. Kesimpulan ... 97

B. Saran ... . 98

DAFTAR PUSTAKA ... 101

(15)

DAFTAR ISTILAH

Batu ni assimun : Hewan piaraan dan emas yang diberikan oleh seorang ayah kepada anak perempuannya yang sudah memiliki anak.

Dalihan Natolu : Tiga kaki tungku yang menjadi filsafat utama orang batak.

De-sakralisasi : Penghilangan kesakralan, proses menghilangnya sifat sakral (suci), tidak ada yang sakral selain Tuhan Yang Maha Esa, sehingga lebih merupakan sekularisasi.

Dondon tua : Pemberian berupa sawah oleh ayah kepada anak perempuan kemudian dapat diberikan kepada cucunya apabila dia telah meninggal dunia.

Feminism : Suatu gerakan dan ideology yang memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan dalam politik, ekonomi, budaya, ruang pribadi dan ruang publik.

Gender : Suatu konsep tentang perempuan dan laki-laki yang dikontruksikan (dibentuk) budaya sehingga tidak bersifat universal.

Indahan : Pemberian sebidang sawah oleh seoang ayah kepada anak perempuannya yang sudah melangsungkan

(16)

perkawinan yang dilakukaan apabila telah lahir anak dari perkawinan tersebut.

Legimatie Portie : Bagian mutlak.

Levirat : Adat yang membuktikan bahwa perempua diwarisi oleh saudara dari suaminya yang meninggal.

Magis Religius : Hubungan antara kekuatan gaib yang dikaitkan dalam suatu sistem kepercayaan yang dianut, hukum adat selalu berkaitan dengan persoalan magis dan spritualisme yaitu kepercayaan atas roh-roh nenek moyang dan sebagainya.

Manjae : Berpencar, misah, metas.

Marga : Suatu bentuk kelompok yang turun temurun mulai dari satu kakek yang terikat dengan pertalian darah.

Marsipanganon : Penyerahan dilakukan secara adat kekeluargaan.

Matrilineal : Menarik garis keturunan dari pihak perempuan (ibu) dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria dalam pewarisan.

Naatingrecht : Harta warisan yang dapat dibagi, meskipun sudah terbag-bagi pada setiap ahli warisnya namun jika ingin dialihkan kepada orang lain, tetap harus meminta pendapat para anggota kerbarat agar tidak melanggar hak ketetanggaan dalam kerukunan kekerabatan.

(17)

Pambaenan : Penyerahan tanpa melepaskan hak milik.

Panatua-panatua : Orang yang dihormati atau orang yang mengerti tentang adat.

Panjaehan : Pada saat laki-laki berpisah rumah dengan orang tuanya maka biasanya orangtua memberi modal pertama agar mereka dapat berdiri sendiri, karena pada permulaaan rumah tangga baru itu biasanya belum mempunyai peralatan-peralatan rumah tangga.

Parental : Garis keturunan pada masyarakat ini dapat ditarik dari pihak kerabat bapak mauput kerabat ibu, dimana kedudukan pria maupun kedudukan wanita tidak boleh dibedakan di dalam pewarisan.

Paripe : Satu keluarga.

Partuturan : Adat istiadat, yaitu dimanapun orang batak berada adat istiadat tidak akan pernah hilang.

Patrilineal : Menarik garis keturunan dari pihak laki-laki (ayah) dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita dalam pewarisan.

Pauseang : Wanita yang mau kawin membawa barang dari keluarganya, berupa barang-barang keperluan rumah tangga, barang-barang perhiasan emas, kadang- kadang sawah.

(18)

Perkawinanan Jujur : Perkawinan dimana anak perempuan dilepaskan dari marga ayahnya dan dimasukkan kedalam marga suaminya dengan membayar uang jujur.

Punsutali : Pemberian kepada seorang cucu yang paling besar dari anak perempuannya, pemberian ini merupakan pemberian terakhir dan baru dapat diterima oleh anak perempuan tersebut apabila ayahnya meninggal dunia.

Saompu : Satu kakek moyang.

Siapudan : Anak bungsu laki-laki pada Batak Toba.

Yurisprudensi : Suatu putusan hakim yang diikuti hakim lain dalam perkara yang serupa kemudian putusan hakim itu menjadi sumber hukum.

(19)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Hukum adat Batak Toba mengatur tentang proses penerusan hak dan kewajiban pewaris kepada ahli waris.1 Proses penerusan hak dan kewajiban tersebut bisa dilakukan pada saat pewaris masih hidup atau setelah pewaris wafat, yang disebut dengan hukum waris adat Batak Toba. Pada saat pewaris masih hidup, pewarisan berarti penerusan/ penunjukkan/ wasiat, kemudian setelah pewaris wafat pewarisan berarti pembagian harta warisan.2

Masyarakat adat Batak Toba dalam hal pembagian warisan masih sangat membedakan gender, hal ini terbukti dari sistem kekerabatan patrilineal yang dianut oleh masyarakat adat Batak Toba. Sistem kekerabatan patrilineal menarik garis keturunan dari pihak laki-laki (ayah), di mana kedudukan laki-laki lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan perempuan dalam hal pewarisan. 3 Masyarakat adat Batak Toba menganggap bahwa anak laki-laki lebih berharga atau lebih tinggi kedudukannya dari pada anak perempuan, karena anak laki-laki dianggap sebagai pembawa keturunan ataupun penerus yang membawa marga dari orang tuanya.4

Menurut hukum adat Batak Toba, orang-orang yang berasal dari satu ayah disebut satu keluarga (paripe), kesatuan kerabat itu berpangkal dari seorang kakek

1Runtung Sitepu, Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Mayarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan-Kabupaten Samosir), repository.usu.ac.id, 16 Juli 2018.

2Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 13.

3Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Haji Masagung, Jakarta, 1987, hal. 129-130.

4Ibid.

(20)

yang disebut saompu. Kelompok keluarga saompu membentuk kesatuan kerabat yang dikenal dengan nama marga. 5 Marga inilah yang sangat dijaga kelesatariannya oleh orang Batak Toba untuk mengetahui asal-usulnya di manapun mereka berada. Menurut hukum adat Batak Toba untuk berinteraksi dengan orang sesama Batak Toba, masyarakat adat Batak Toba menempatkan dirinya dalam susunan Dalihan Na Tolu, sehingga selalu dapat mencari kemungkinan adanya hubungan kekerabatan di antara sesamanya atau dalam bahasa Batak Toba dikenal dengan istilah martutur/martarombo.6 Inilah alasan betapa pentingnya marga menurut masyarakat adat Batak Toba, sehingga anak laki-laki sebagai penerus marga juga sangat berharga bagi orang Batak Toba.

Anak laki-laki sebagai penerus marga memiliki beban tanggung jawab lebih besar dari pada anak perempuan, yaitu anak laki-laki bertanggung jawab pada adik-adiknya hingga mereka menikah dan bertanggung jawab pada orang tuanya sampai orang tua meninggal dunia. Oleh karena itu yang berhak sebagai pewaris dalam adat Batak Toba adalah anak laki-laki. Apabila tidak memiliki anak laki-laki maka warisan akan jatuh pada keluarga ayah, anak perempuan bukanlah ahli waris meskipun ia tidak memiliki saudara laki-laki. Jadi yang dapat dianggap sebagai ahli waris dan yang berhak atas harta warisan berdasarkan urutan-urutan penerima warisan adalah:7

1.Anak laki-laki dari pewaris 2.Bapak dari pewaris

5Elpina, Kedudukan Perempuan Dalam Hukum Waris Adat Batak Toba, www.usi.ac.id, 16 Juli 2018.

6JP. Sitanggang, Batak Namarserak, Maradat Adat Naniadathon, Jala Permata Aksara, Jakarta, 2009, hal. 118.

7Rehngena Purba, Perkembangan Hukum Waris Adat Karo Ditinjau Dari Hukum Nasional, Universitas Sumatera Utara, Medan, 1990, hal. 7.

(21)

3.Saudara laki-laki dari pewaris

4.Anak dari saudara laki-laki dari pewaris 5.Saudara laki-laki ayah dari pewaris

6.Anak dari saudara laki-laki bapak dari pewaris 7.Bapak dari bapak pewaris

8. Saudara laki-laki bapak dari bapak pewaris

9. Seseorang yang satu nenek dengan pewaris/satu marga 10. Kasta/kesain

Berdasarkan hukum adat Batak Toba, walaupun laki-laki dan perempuan adalah anak kandung, namun ada perbedaan di antara mereka yaitu anak perempuan bukan sebagai ahli waris, melainkan anak laki-laki yang berhak sebagai ahli waris dari segala harta peninggalan ayahnya. Hal ini terjadi karena menurut masyarakat adat Batak Toba warisan adalah simbol dari eksistensi suatu marga, oleh karena itu warisan harus diberikan kepada anak laki-laki sebagai penerus marga. Apabila perempuan mendapat bagian akan sangat tergantung pada kebaikan hati dari saudara laki-laki.8 Hal ini didasarkan pada anggapan kuno yang memandang rendah kedudukan wanita dalam masyarakat Batak Toba dengan alasan-alasan yaitu:9

1. Emas kawin, yang membuktikan bahwa perempuan dijual 2. Adat levirat, yaitu perempuan diwarisi oleh keluarga suaminya 3. Perempuan tidak mendapat warisan dari ayahnya.

Menurut hukum adat Batak Toba, anak perempuan setelah menikah maka ia akan mengikuti marga suaminya, karena pada saat menikah perempuan telah dibeli secara ada Batak Toba oleh keluarga suaminya. Hal ini dikarenakan sebab perkawinan menurut adat Batak Toba bukanlah urusan pribadi namun lebih dari

8Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum, Yayasan Obor, Indonesia, 2007, hal. 122.

9Djaja S Meliala dan Aswin Perangin-Angin, Hukum Perdata Adat Karo Dalam Pembentukan Hukum Nasional, Tarsito, Bandung, 1978, hal. 65.

(22)

itu yaitu urusan keluarga, kerabat (clan), dan persekutuan. Menurut Soerjono Soekanto bahwa perkawinan sebagai urusan keluarga dan kerabat menpunyai fungsi untuk memungkinkan pertumbuhan secara tertib suatu masyarakat adat melalui angkatan/generasi baru, yaitu perempuan dalam adat Batak Toba yang sudah menikah akan melahirkan anak-anak yang akan mewarisi marga dari suaminya guna untuk meneruskan clan ataupun suku dari suaminya.10 Oleh sebab inilah anak perempuan tidak mendapatkan warisan dari ayahnya karena setelah menikah ia mengikuti clan suaminya.

Seiring dengan perkembangan zaman, aturan-aturan baku hukum adat yang mengesampingkan perempuan dalam hal pembagian warisan, tidak dibiarkan terus-menerus bertahan oleh kaum perempuan yang menganut sistem kekerabatan patrilineal. Adanya stratifikasi gender telah mendorong lahirnya gerakan sosial di kalangan kaum perempuan, yang bertujuan membela dan memperluas hak-hak kaum perempuan, gerakan ini disebut feminism.11 Upaya perempuan untuk memperoleh haknya, melahirkan berbagai yurisprudensi 12 yang mengatur tentang hak waris perempuan dalam masyarakat dengan sistem kekerabatan patrilineal seperti pada masyarakat adat Batak Toba.

Perubahan hukum waris pada masyarakat adat Batak diawali dengan tuntutan kaum perempuan Batak Karo yang menginginkan persamaan hak dengan

10Soerjono Soekanto, Masalah Kedudukan Dan Peranan Hukum Adat, Akdemika, Jakarta, 1979, hal. 19.

11 Sunarto Kamanto, Pengantar Sosioligi, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 114, Feminism adalah sebuah gerakan dan ideologi yang memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan dalam politik, ekonomi, budaya, ruang pribadi dan ruang publik.

12Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal. 24, Yurisprudensi adalah putusan hakim yang diikuti hakim lain dalam perkara yang serupa (asas similis similibus) kemudian putusan hakim itu menjadi sumber hukum.

(23)

kaum laki-laki. Perselisihan dan keributan antar saudara terjadi akibat pembagian harta warisan yang tidak adil. Ketidak adilan tersebut membawa para pihak bersengketa untuk menyelesaikannya dengan cara kesepakatan atau dengan cara menempuh jalur hukum. Perselisihan dan keributan dalam pembagian harta warisan pada masyarakat adat Batak Karo telah melahirkan satu Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 179/K/SIP/1961 tanggal 23 Oktober 1961, yang menyatakan persamaan hak anak laki-laki dan anak perempuan dalam mewaris.13 Yurisprudensi ini telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat adat Batak Karo, terlebih lagi dari kaum laki-laki yang merasa haknya dikebiri.14

Dampak dari Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:

179/K/SIP/1961 terhadap hukum adat Batak Karo ialah telah terjadi perkembangan dalam hukum waris adat Batak Karo khususnya terhadap anak perempuan sebagai ahli waris, yaitu dengan adanya pembagian yang khusus dan kewajiban untuk memberikan pemberian kepada anak perempuan walaupun tidak sebanyak bagian anak laki-laki.15De-sakralisasi16 hukum adat juga terjadi dengan adanya penyerahan tanpa melepaskan hak milik (pambaenan).

13 Agung Basuki Prasetyo, Sri Wahyu Ananingsih, Sonia Catrisia, Efektifitas Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 179/K/SIP/1961, ejournal.undip.ac.id, 16 Juli 2018.

14M. Sembiring, Sikap Masyarakat Batak Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Repuplik Indonesia Nomor: 179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hak Waris, repository.usu.ac.id/handle/123456789/5166, 16 Juli 2018.

15 Agung Basuki Prasetyo, Sri Wahyu Ananingsih, Sonia Catrisia, Efektifitas Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 179/K/SIP/1961, ejournal.undip.ac.id, 16 Juli 2018.

16W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hal. 197. De-sakralisasi yaitu penghilangan kesakralan; Proses menghilangnya sifat sakral (suci);

Tidak ada yang sakral selain Allah, sehingga lebih merupakan sekularisasi.

(24)

Hukum adat pada sistem kekerabatan patrilineal, khususnya pada hukum waris adat Batak Toba memang telah mengalami perkembangan. Perkembangan tersebut lebih memperhatikan hak wanita di dalam clan nya, namun hak dan kewajiban laki-laki dalam hukum adat Batak Toba tetap tidak berkurang. Kaum laki-laki tetap menjadi penerus marga dan bertanggung jawab kepada keluarganya, oleh karena itu anak laki-laki pada masyarakat adat Batak Toba tetap mendapat warisan yang lebih besar dari anak perempuan.17 Hal ini yang mendasari meskipun dengan perkembangan zaman dapat memperlunak hukum adat Batak Toba yaitu dengan pemberian-pemberian orang tua kepada anak perempuan meskipun dengan izin anak laki-laki, namun rumah peninggalan orang tua atau disebut rumah bolon, tetap diberikan pada anak laki-laki.

Pada masyarakat adat Batak Toba biasanya orang tua memberikan rumah peninggalannya atau rumah bolon untuk anak laki-laki bungsu (siapudan), karena sudah menjadi kebiasaan pada masyarakat adat Batak Toba kalau siapudan adalah anak yang tinggal terlama dengan orangtaunya karena ia menjaga dan merawat orangtuanya hingga meninggal dunia. Meskipun pada kenyataannya tidak selalu demikian. Seperti halnya kasus yang terjadi berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Sidikalang Nomor: 10/Pdt.G/2006/PN-Sdk tanggal 02 Agustus 2006, yaitu isteri dan anak sulung dari siapudan menuntut rumah peninggalan orang tua siapudan, meskipun bukan siapudan tersebut yang merawat orang tuanya hingga meninggal dunia.

17 Agung Basuki Prasetyo, Sri Wahyu Ananingsih, Sonia Catrisia, Efektifitas Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 179/K/SIP/1961, ejournal.undip.ac.id, 16 Juli 2018.

(25)

Putusan Pengadilan Negeri Sidikalang Nomor: 10/Pdt.G/2006/PN-Sdk tanggal 02 Agustus 2006, mengadili sebuah perkara dimana ada sebuah rumah yang berdiri diatas sebidang tanah seluas lebih kurang 375 m2 (tiga ratus tujuh puluh lima meter persegi) yang terletak di Simpang Salak Kelurahan Batang Beruh Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara.18 Rumah tersebut milik dari C. Siburian (almarhum) dan isterinya R. Br Sianturi (almarhumah). C. Siburian dan R. Br Sianturi memiliki sepuluh orang anak yang juga merupakan ahli waris mereka yaitu:19

1. Sm. Siburian

2. A. Siburian (Almarhum) 3. H. Siburian (Almarhum) 4. B. Siburian (Almarhum) 5. O. Siburian (Tergugat I) 6. J. Siburian (Almarhum) 7. B. Siburian (Almarhum) 8. P. Siburian (Almarhum) 9. T. Siburian (Almarhum)

10. S. Siburian (Almarhum, Siapudan, Suami dari Penggugat I dan ayah dari Penggugat II)

Almarhum S. Siburian menikah dengan S. Br Situmorang (Penggugat I) dan memperoleh lima orang anak yaitu:20

18Putusan Pengadilan Negeri Sidikalang Nomor: 10/Pdt.G/2006/PN-Sdk tanggal 02 Agustus 2006, hal. 2.

19Ibid.

20Ibid.

(26)

1. A. Siburian (Penggugat II) 2. N. Br Siburian

3. R.Siburian 4. C. Br Siburian

5. E. Siburian (dibawah umur)

Almarhum C. Siburian semasa hidupnya, telah mendaftarkan sertifikat sebahagian tanah yang menjadi objek sengketa seluas 135 m2 (seratus tiga puluh lima meter persegi) yang terdaftar dalam Sertipikat Hak Milik No. 20/Batang Beruh atas nama C. Siburian. Pada tanggal 13 Agustus 1980 rumah tersebut habis terbakar dan dibangun kembali dari hasil swadaya dan sumbangan masyarakat dengan bentuk bangunan semi permanen. Setelah rumah tersebut selesai dibangun kembali, dilakukan acara syukuran dengan mengumpulkan keluarga dan kerabat.

Menurut pernyataan dari para Penggugat, pada saat itu di hadapan keluarga dan kerabat, almarhum C. Siburian menyatakan ia menyerahkan rumah yang baru selesai dibangun kembali tersebut menjadi hak milik dari S. Siburian sebagai anak laki-laki bungsu (siapudan).21

Menurut keterangan O. Siburian (Tergugat I), pada tanggal 13 Agustus 1980 pukul 23.30 WIB rumah musnah terbakar, selanjutnya pada tanggal 14 Agustus 1980 sampai dengan 16 Agustus 1980 rumah dibangun kembali dengan atap seng, lantai semen dan dinding papan. Pembiayaan pembangunan rumah tersebut sebagian bersumber dari sumbangan yang diberikan oleh teman-teman Tergugat I. Pada tanggal 28 Agustus 1980, kedua orang tua Tergugat I

21Ibid, hal. 3.

(27)

menyerahkan tanah pertapakan beserta rumah tersebut kepada Tergugat I di hadapan pengetua-pengetua adat dan tokoh masyarakat setempat. Penyerahan mana dilakukan secara adat kekeluargaan (Marsipanganon) dengan perjanjian bahwa kedua orang tua menjadi tanggung jawab dari Tergugat I sampai akhir hayatnya. Pernyataan tersebut dituangkan dalam Surat Penyerahan Tanah tertanggal 28 Agustus 1980 yang turut diserahkan oleh saudara-saudara kandung Tergugat I dengan membubuhkan tanda tangan di dalam surat penyerahan tersebut.22

Surat Penyerahan Tanah tertanggal 28 Agustus 1980 tersebut, dijadikan dasar hukum oleh Tergugat I untuk mengurus administrasi surat-surat yang diperlukan untuk proses peralihan hak objek sengketa tersebut, salah satunya ialah Surat Keterangan Ahli Waris tertanggal 08 April 1991. Pada tanggal 30 Mei 1991, Kantor Pertanahan Kabupaten Dairi membuat pencatatan peralihan hak dari C.

Siburian (pewaris) kepada O. Siburian (ahli waris / Tergugat I) atas Sertipikat Hak Milik No. 20/Batang Beruh.23

Para Penggugat menyatakan bahwa Tergugat I, mengalih namakan pemegang hak atas sertipikat No. 20/Batang Beruh atas nama C. Siburian menjadi atas nama Tergugat I dengan cara melawan hak dan melawan hukum. Para Penggugat berpendapat bahwa Tergugat I atau melalui orang yang disuruhnya membuat Surat Keterangan Ahli Waris tertanggal 08 April 1991 yang turut disaksikan dan dibenarkan oleh Kepala Kelurahan Batang Beruh dan dikuatkan oleh Camat. Isi dari Surat Keterangan Ahli Waris tersebut ialah menyatakan

22Ibid, hal. 8.

23Ibid, hal. 9.

(28)

bahwa Tergugat I adalah satu-satunya anak kandung dari almarhum C. Siburian dan almarhummah R. Br. Sianturi. Padahal almarhum C. Siburian dan almarhummah R. Br. Sianturi memiliki sepuluh orang anak, dengan demikian isi dari Surat Keterangan Ahli Waris tersebut adalah palsu. Berdasarkan Surat Keterangan Ahli Waris tersebut, Tergugat I mendaftarkan peralihan hak atas Sertipikat Hak Milik No. 20/Batang Beruh kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Dairi. Peralihan hak dalam sertipikat berdasarkan dari Surat Keterangan Ahli Waris tersebut, dengan demikian Kantor Pertanahan Kabupaten Dairi harus turut dilibatkan yaitu sebagai Tergugat II karena telah melakukan pencatatan peralihan hak secara melawan hukum dan melawan hak sehingga menjadi cacat hukum dan harus dibatalkan.24

Kantor Pertanahan Kabupaten Dairi atau Tergugat II menyatakan bahwa peralihan hak milik atas nama C. Siburian menjadi atas nama O. Siburian (Tergugat I) sudah terdaftar dalam buku tanah dan prosesnya sudah benar dan tidak menyalahi prosedur. Oleh karena peralihan hak tersebut dibuat oleh pejabat yang berwenang maka secara hukum harus dianggap benar kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.25

Berdasarkan keterangan dan bukti-bukti dari para Penggugat dan para Tergugat, maka hakim Pengadilan Negeri Sidikalang memutuskan untuk menolak gugatan para Penggugat untuk seluruhnya.26 Merasa tidak puas dengan putusan hakim Pengadilan Negeri Sidikalang, para Penggugat melakukan upaya hukum banding pada Pengadilan Tinggi Sumatera Utara. Majelis Hakim pada Pengadilan

24Ibid, hal. 4.

25Ibid,hal. 23.

26Ibid, hal. 24.

(29)

Tinggi berpendapat bahwa alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan hukum Hakim Pertama dalam putusannya sudah tepat dan benar, sehingga Pengadilan Tinggi mengambil alih pertimbangan-pertimabangan hukum Pengadilan Negeri sebagai pertimbangan Pengadilan Tinggi.27 Putusan dari Pengadilan Tinggi tersebut ialah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Sidikalang tanggal 02 Agustus 2006 Nomor: 10/Pdt.G/2006/PN-Sdk.28

Setelah putusan terakhir dibacakan kepada para Penggugat/para Pembanding pada tanggal 15 Pebruari 2007, kemudian para Penggugat/para Pembanding dengan perantara kuasa khusus berdasarkan Surat Kuasa Insedentiltanggal 20 April 2006, diajukan permohonan Kasasi secara lisan pada tanggal 16 Pebruari 2007, permohonan tersebut diikuti oleh memori Kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sidikalang pada tanggal 27 Pebruari 2007. Pada tanggal 8 Maret 2007, para Tergugat/para Terbanding telah dibacakan tentang memori kasasi dari para Penggugat/para Pembanding. Pada tanggal 20 Maret 2007 para Penggugat/para Pembanding mengajukan jawaban memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sidikalang.29

Menurut pertimbangan Mahkamah Agung bahwa alasan-alasan dalam memori kasasi tidak dapat dibenarkan, sebab alasan mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan tidak dapat dipertimbangkan pada tingkat Kasasi. Pemerikasaan dalam tingkat Kasasi hanya

27Ibid, hal. 4.

28Ibid, hal. 5.

29Putusan Mahkamah Agung Republik indonesia Nomor: 1089 K/PDT/2007 tanggal 26 Pebruari 2008, hal. 7.

(30)

berkenaan dengan adanya kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian untuk memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan undang-undang, atau bila pengadilan melampaui batas wewenangnya.

Berdasarkan hal tersebut maka Mahkamah Agung Republik Indonesia menimbang bahwa putusan judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, oleh sebab itu Mahkamah Agung Republik Indonesia menolak permohonan Kasasi dari para Pemohon Kasasi.30

Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut, in casu Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 1089 K/Pdt/2007 tanggal 26 Pebruari 2008 diberitahukan kepada para Pemohon Kasasi/ para Penggugat pada tanggal 10 Nopember 2008, kemudian pada tanggal 27 Januari 2009 para Pemohon Kasasi/ para Penggugat mengajukan permohonan Peninjauan Kembali secara lisan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sidikalang. Permohonan tersebut disertai dengan alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sidikalang. Permohonan Peninjauan Kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama pada tanggal 10 Maret 2009, yang kemudian pihak lawan telah mengajukan jawabannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sidikalang pada tanggal 14 April 2009.31

Hasil dari upaya hukum luar biasa tersbut yaitu Peninjauan Kembali menurut pertimbangan Mahkamah Agung bahwa keberatan-keberatan yang diajukan oleh para Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, karena bukti baru yang diajukan sudah pernah diajukan sebagai bukti dalam pemeriksaan

30Ibid, hal. 9-10.

31Putusan Mahkamah Agung Republik indonesia Nomor: 428 PK/Pdt/2009 tanggal 01 April 2011, hal. 9.

(31)

judex facti. Menurut Mahkamah Agung alasan-alasan Pemohon Peninjauan Kembali hanya berupa pendapat pribadi para Pemohon Peninjauan Kembali, yang merupakan perbedaan pendapat antara para Pemohon Peninjauan Kembali dengan judex juristentang siapakah yang paling berhak atas objek sengketa. Berdasarkan hal-hal yang menjadi pertimbangan Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung menyatakan menolak permohonan Peninjauan Kembali dari para Pemohon Peninjauan Kembali.32

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka penelitian mengenai

“Hak Ahli Waris Terhadap Harta Warisan Yang Diwasiatkan Secara LisanPada Masyarakat Batak Toba (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 428 PK/Pdt/2009)” menarik untuk diangkat menjadi judul tesis ini.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana kekuatan hukum wasiat secara lisan menurut hukum adat Batak Toba?

2. Bagaimana hak dan kedudukan ahli waris terhadap warisan yang diwasiatkan secara lisan pada masyarakat Batak Toba?

3. Bagaimana pertimbangan hukum hakim pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 428 PK/ Pdt / 2009?

32Ibid,17-18.

(32)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:.

1. Mengetahui dan menganalisa kekuatan hukum wasiat secara lisan menurut hukum adat Batak Toba.

2. Mengetahui dan menganalisa hak dan kedudukan ahli waris terhadap warisan yang diwasiatkan secara lisan pada masyarakat Batak Toba.

3. Mengetahui dan menganalisa yang menjadi pertimbangan hukum hakim pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 428 PK/ Pdt / 2009.

D. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian hendaklah memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan (segi teoretis) dan berfaedah bagi kepentingan negara/ masyarakat/

pembangunan (segi praktis).33

1. Manfaat yang bersifat teoretis adalah diharapkan hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran dibidang hukum yang akan mengembangkan disiplin ilmu hukum waris adat Batak Toba dan diharapkan memberikan jalan keluar yang akurat terhadap permasalahan yang diteliti.

2. Manfaat yang bersifat praktis ditujukan kepada:

a. Diharapkan hasil penelitian ini memberikan masukan positif bagi Pemerintah sebagai pembuat undang-undang agar lebih memberi keleluasaan bagi masyarakat adat untuk menggunakan hukum adat

33Maria S.W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Sebuah Panduan Dasar, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hal. 18

(33)

daerahnya yang mereka anggap lebih adil dan praktis dalam hal wasiat dan warisan.

b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran pada penegak hukum yang dalam hal ini hakim, agar lebih melindungi dan mempertimbangkan hal-hal yang dianggap layak dan pantas oleh masyarakat adat sehingga masyarakat adat tetap dapat melestarikan adatnya.

c. Diharapkan hasil penelitian ini mampu menyadarkan masyarakat adat sebagai subyek hukum agar memperkuat hukum adat yang mereka yakini dengan bukti-bukti seperti yang telah diatur oleh undang-undang sehingga hukum adat dan undang-undang dapat berjalan selaras.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang berjudul Hak Ahli Waris Terhadap Harta Warisan Yang Diwasiatkan Secara Lisan Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 428 PK / Pdt / 2009) adalah hasil pemikiran sendiri. Penelitian ini belum pernah ada yang membuat, kalaupun ada seperti penelitian yang diuraikan di bawah ini dapat diyakinkan bahwa substansi pembahasannya berbeda. Oleh karena itu, keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan ilmiah. Pengajuan tentang kesamaan dan keaslian judul yang diangkat dari perpustakaan juga telah dilakukan dan dilewati, namun ada penelitian tesis yang memiliki kemiripan dengan judul yang diangkat, yaitu:

(34)

1. Mika Lestari, Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Pelaksanaan Hukum Waris Islam Pada Masyarakat Batak Toba (Studi di Kota Medan)”. Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut adalah :

a.Bagaimana pelaksanaan hukum waris Islam pada masyarakat Batak Toba di Kota Medan?

b.Bagaimana penyelesaian sengketa yang terjadi dalam pembagian warisan di kalangan masyarakat Batak Toba yang beragama Islam di Kota Medan?

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat yang digunakan untuk menjawab permasalahan atau sebagai pegangan baik setuju ataupun tidak setuju terhadap permasalahan yang diteliti tersebut.34 Kerangka teori sangat diperlukan dalam penulisan ilmiah. Pada dunia ilmu, teori berada pada kedudukan yang paling penting karena memberikan sarana kepada penulis untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang dibicarakan menjadi lebih baik.35

Menurut Soerjono Soekanto, bahwa keberlanjutan perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi aktivitas penelitian dan imajinasi

34M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.

35Jimly Asshiddiqie dan M.Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, 2012, hal. 56

(35)

sosial sangat ditentukan oleh teori.36 Teori bukanlah pengetahuan yang sudah pasti, tetapi harus dianggap sebagai petunjuk, analisis dari hasil penelitian yang dilakukan. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.37

Teori diartikan sebagai sistem yang berisikan proposal-proposal yang telah diuji kebenarannya dengan berpedoman kepada teori, akan tetapi menjelaskan aneka macam gejala sosial yang dihadapi, walau hal ini tidak selalu berarti adanya pemecahan terhadap masalah yang dihadapi, suatu teori juga mungkin memberikan pengarahan pada efektifitas penelitian yang dijelaskan dan memberikan pemahaman.38 Teori juga merupakan tolak ukur dalam menganalisis permasalahan yang akan diteliti karena suatu teori atau kerangka teori harus mempunyai kegunaan paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut:39

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diteliti atau diuji kebenarannya

b. Teori sangat berguna dalam mengembangkan konsep-konsep

c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang telah diteliti d. Teori memberikan kemungkinan prediksi fakta mendatang, oleh karena telah

diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang

36Sorjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1991, hal. 6

37J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I asas-asas, FE.UI, Jakarta, 1996, hal. 16

38Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal. 10.

39J.Satrio, Hukum Waris, Alumni, Bandung, hal. 254.

(36)

e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan pada pengetahuan penelitian

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan menjelaskan kejadian yang diamati, yaitu menggali mengenai kekuatan hukum atas hak ahli waris yang mendapat wasiat secara lisan menurut adat Batak Toba. Untuk menjawab rumusan masalah pada tesis ini digunakan kerangka teori sebagai pisau analisis untuk membedah permasalahan yang diteliti yakni dengan menggunakan Teori Kepastian Hukum dan Teori Keadilan.

Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim, yaitu antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan.40 Menurut Utrecht, teori kepastian hukum adalah aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan untuk menjamin keamanan hukum bagi individu.41 Maka dari itu setiap individu yang ingin memberikan wasiat pada ahli warisnya, wasiat tersebut sebaiknya dibuat secara tertulis. Meskipun proses pemberian wasiat tersebut dilakukan secara hukum adat Batak Toba, tetapi akan lebih baik jika wasiat tersebut dituangkan dalam bentuk tertulis jangan hanya diutarakan secara lisan, hal ini untuk menjamin kepastian hukum si penerima wasiat atau pewaris dikemudian hari.

40 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana Pranada Media Group, 2008), halaman 158

41Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 23.

(37)

Teori Kepastian Hukum digunakan untuk menjawab rumusan masalah pertama pada tesis ini, yaitu untuk menemukan kepastian hukum terhadap wasiat lisan yang masih sering dilakukan masyarakat adat Batak Toba, karena beranggapan bahwa apabila terjadi sengketa maka keterangan dari tetua-tetua adat dan Dalihan Na Tolu yang menyaksikan dan menyetujui wasiat lisan tersebut memiliki kekuatan hukum yang sama baik secara hukum adat maupun hukum perdata. Namun pada kenyataannya pernyataan saksi tersebut akan kalah apabila ada pihak lain yang memberikan bukti otentik yang dalam hal ini berupa Srtipikat Hak Milik No. 20/ Batang Beruh yang terdaftar atas nama O. Siburian (Tergugat I). Dengan demikian tidak adanya kepastian hukum atas wasiat yang dilakukan secara lisan.

Teori Keadilan merupakan salah satu tujuan utama dari hukum. Kata adil dalam Bahasa Indonesia artinya sesuatu yang baik, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan.

Suatu keadaan dikatakan adil jika sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku atau didasari pada perjanjian yang disepakati.42 Artinya, seseorang yang berbuat berdasarkan perjanjian yang disepakatinya bisa dikatakan adil.43 Dengan demikian suatu keadilan tercipta apabila tercapainya kesepakatan antara dua belah pihak yang membuat suatu kesepakatan.

Menurut John Rawls, teori keadilan adalah:44

a. Sederet prinsip-prinsip umum keadilan yang mendasari dan menerangkan

42http://kbbi.web.id/adil. Mengacu pada KBBI Edisi III Hak Cipta Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud, 31 Desember 2020

43Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal 21.

44Will Kymlicka, Pengantar Fisafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus atas Teori- Teori Keadilan, terjemahan Agus Wahyudi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001, hal. 70.

(38)

berbagai keputusan moral yang sungguh-sungguh dipertimbangkan dalam keadaan-keadaan khusus

b. Sesuatu dikatakan adil untuk memaksimalisasi keuntungan dan kegunaan.

Teori keadilan digunakan untuk menjawab rumusan masalah kedua dan ketiga pada tesis ini. Untuk menjawab rumusan masalah kedua yaitu tentang hak dan kedudukan ahli waris yang menerima wasiat secara lisan menurut hukum adat Batak Toba, dalam hal ini berkaitan dengan teori keadilan menurut John Rawls point a, yaitu pewaris memiliki alasan dan keadaan khusus sehingga mengambil suatu tindakan dengan memberikan wasiat secara lisan kepada ahli waris yang dipilihnya. Menurut keterangan dari tetua adat Batak Toba di Sidikalang yaitu J.

Nainggolan, bahwa biasanya keadaan khusus yang mendasari pewaris memberikan wasiat secara lisan ialah:45

1) pemberi wasiat atau pewaris kurang memahami hukum

2) pemberi wasiat merasa cukup nyaman dan percaya dengan wasiat lisan yang diutarakannya sesuai dengan hukum adat Batak Toba, dengan harapan si penerima wasiat atau pewaris akan menjalankan amanah wasiat lisan tersebut. Padahal pada kenyataannya wasiat lisan sering menimbulkan konflik diantara para ahli waris pasca kematian pewaris 3) orang tua pada masyarakat adat Batak Toba merasa tabu menuliskan wasiat

ketika ia masih hidup, seperti halnya di daerah Sidikalang. Maka dari itu orang tua atau pewaris lebih nyaman memberikan wasiat secara lisan, karena kalau dibuat wasiat tertulis, orang tua pada masyarakat adat Batak

45Hasil wawancara dengan J. Nainggolan, Tetua Adat Batak Toba Sidikalang, Jum’at, 08 Oktober 2018

(39)

Toba seperti didaerah Sidikalng, ada pemikiran bahwa ia sudah bagi-bagi warisan padahal ia masih hidup, namun kembali lagi yaitu kelemahan wasiat lisan ini hanya sebatas ucapan dan sulit dibuktikan dipersidangan.

Oleh sebab itu ahli waris yang menerima wasiat secara lisan tidak memiliki kekuatan hukum tetap, dan apabila pihak lawan atau tergugat memilliki bukti otentik dari objek yang diwasiatkan maka hak ahli waris yang mendapatkan wasiat lisan menjadi gugur. Dengan demikian keadaan-keadaan khusus yang dijelaskan di atas menghilangkan hak ahli waris dan menyebabkan ketidak adilan untuk ahli waris.

Untuk menjawab rumusan masalah ketiga yaitu tentang pertimbangan hukum hakim pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 428 PK/ Pdt / 2009, dalam hal ini berkaitan dengan teori keadilan menurut John Rawls point b, yaitu untuk memaksimalisasi keuntungan dan kegunaan maka hakim berpatokan pada bukti otentik, yang dikuatkan dengan pernyataan dari Tergugat II yaitu Kantor Pertanahan Kabupaten Dairi bahwa peralihan Sertipikat Hak Milik No. 20/ Batang Beruh atas nama C. Siburian menjadi atas nama O. Siburian (Tergugat I) sudah terdaftar dalam buku tanah dan prosesnya sudah benar dan tidak menyalahi prosedur. Oleh karena peralihan tersebut dibuat oleh pejabat yang berwenang maka secara hukum harus dianggap benar kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Dengan demikian bahwa bukti otentik tersebut memiliki keuntungan dan kegunaan bagi pemiliknya agar tercipta keadilan.

(40)

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dengan observasi, antara abstraksi dengan kenyataan. Konsepsi diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasi dari hal-hal khusus yang sebut definisi operasional.46 Maka dalam penelitian ini disusun beberapa definisi operasional dari konsep- konsep yang akan digunakan agar tidak terjadi perbedaan pengertian, antara lain yaitu:

c. Hak adalah kekuasaan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu atau kekuasaan untuk memiliki sesuatu yang diperboleh melalui ketentuan baik secara hukum positif menurut aturan lainnya.47

d. Hukum waris adat adalah proses penerusan dan peralihan kekayaan materiil dan immateriil dari keturunan ke keturunan.48

c. Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup.49

d. Ahli waris adalah orang yang berhak mewaris harta peninggalan pewaris.50 e. Harta warisan adalah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang

meninggal dunia kepada ahli warisnya.51

46Samadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal. 3.

47Rocky Marbun, Kamus Hukum Lengkap, Visimedia, Jakarta, 2012, hal. 113.

48Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga Harta-Harta Benda Dalam Perkawinan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016, hal. 204.

49Ibid., hal. 205.

50Ibid., hal. 206.

51Ibid.

(41)

f. Wasiat adalah suatu keterangan yang dinyatakan dalam suatu akta yang dibuat dengan adanya suatu campur tangan seorang pejabat resmi yang dituangkan dalam akta notaris.52

g. Wasiat lisan adalah suatu pernyataan yang keluar dari satu pihak atau pewaris, yang menyatakan apa yang diinginkannya terjadi kepada keluarga dan harta warisannya setelah ia meninggal dunia. Wasiat lisan menurut adat Batak Toba sebaiknya diutarakan pewaris di hadapan Dalihan Na Tolu.53 h. Masyarakat Batak Toba adalah masyarakat dengan sistem kekerabatan

patrilineal.54

G. Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistemetika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari suatu gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya.55 Metode diartikan secara harfiah sebagai suatu jalan yang harus ditempuh untuk melakukan penelitian sesuai dengan perencanaan.56

Menurut Sunaryati Hartono, metode penelitian adalah cara atau jalan proses pemeriksaan atau penyelidikan yang menggunakan cara penalaran dan teori-teori yang logis-analitis (logika) yang berdasarkan dalil-dalil, rumus-rumus

52Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 1999.

53Hasil wawancara dengan J. Nainggolan, Ketua Adat, Sidikalang, hari Jum’at, tanggal 05 Oktober 2018.

54Togar Nainggolan, Batak Toba di Jakarta, Bina Media Perintis, Medan, 2006, hal. 208.

55 Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hal. 14.

56Tampil Anshari Siregar, Metode Penelitian Hukum Penulisan Skripsi, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2005, hal.15.

(42)

dan teori-teori suatu ilmu atau beberapa cabang ilmu tertentu untuk menguji kebenaran suatu hipotesis tentang gejala-gejala atau peristiwa hukum tertentu.57

Untuk dapat merampungkan penyajian tesis ini agar dapat memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah, diperlukan data yang relevan dengan tesis ini.

Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan, maka perlu diterapkan metode penelitian sebagai berikut:

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Deskriptif adalah suatu metode yang berfungsi untuk memberikan gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data atau sampel yang telah terkumpul tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum. Dengan demikian, deskriptif analitis ialah mengambil masalah atau memusatkan perhatian kepada masalah- masalah dari hasil penelitian atau putusan pengadilan yang kemudian diolah dan dianalisis untuk diambil kesimpulannya.58

Penelitian deskriptif bertujuan untuk mengumpulkan informasi tentang apa yang terjadi yang merupakan kondisi nyata mengenai keterlaksanaan rencana yang memerlukan evaluasi. Dengan kata lain, penelitian ini dapat dilakukan dengan pendekatan evaluatif dalam pengelolaan data yakni data-data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran tentang dasar yuridis Hak Ahli Waris Terhadap Harta Warisan Yang Diwasiatkan Secara Lisan (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 428 PK/ Pdt / 2009).

57Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Alumni, Bandung, 1994, hal. 10.

58Ibid., hal. 64.

(43)

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis normatif, yang merupakan penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan ilmu yang diteliti dari sisi normatifnya. Penelitian ini disebut juga sebagai penelitian doktrinal, yaitu merupakan suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku, undang-undang maupun hukum yang diperoleh berdasarkan putusan peradilan. Sehingga disebut juga penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang membandingkan peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang ada dengan bahan hukum yang lainnya.59

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini menggunakan sumber data sekunder yang berasal dari bahan hukum, yaitu:

a. Bahan hukum primer merupakan semua aturan tertulis yang ditegakkan oleh negara, sebagaimana yang termaktub dalam putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, undang-undang yang ditetapkan oleh parlemen, keputusan dan peraturan eksekutif.60 Pada tesis ini bahan hukum primer yang digunakan yaitu Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 428 PK/Pdt/2009.

b. Bahan hukum sekunder memiliki arti yang luas yaitu bahan hukum yang tidak tergolong bahan hukum primer.61 Pada tesis ini bahan hukum sekunder yang digunakan yaitu buku-buku hukum, artikel-artikel tentang

59Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 118.

60I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2017, hal. 142.

61Ibid.,hal. 145.

(44)

ulasan hukum, karya ilmiah hukum, narasi tentang arti istilah berupa kamus hukum dan ensiklopedi hukum.62

c. Bahan hukum lainnya yaitu situs internet yang memiliki peran penting dalam upaya mencari bahan-bahan hukum. Pada situs internet terdapat bahan hukum primer dan hukum sekunder, hal tersebut dikarenakan situs internet bisa diakses dengan segera dibanding pencarian diperpustakaan.63 3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Studi kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan data-data yang berasal dari buku-buku, putusan peradilan, jurnal ilmiah, kamus hukum, maupun website yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Kerangka teori akan digunakan sebagai acuan untuk menganalisis data yang diperoleh.

4. Alat Pengumpulan Data

Adapun alat pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:

a. Studi dokumen yaitu terdiri dari bahan hukum yang berkaitan dengan hukum adat.

b. Pedoman wawancara yaitu dengan melakukan tanya jawab secara langsung dengan membuat daftar pertanyaan yang sudah direncanakan dengan narasumber 1 (satu) orang hakim Pengadilan Negeri Sidikalang, 1

62Ibid.

63Ibid., hal. 147.

(45)

(satu) orang panitera muda Pengadilan Negeri Sidikalang, dan 4 (empat) orang Pengetua Adat Batak Toba.

5. Analisa Data

Analisa data merupakan langkah terakhir dalam suatu kegiatan penulisan.

Pengertian analisa adalah sebagai suatu penjelasan dan penginterpretasian secara logis dan sistematis yang menunjukkan cara berfikir deduktif dan mengikuti tata tertib dalam penulisan laporan penelitian ilmiah.64

Setelah pengumpulan data dilakukan, maka data tersebut dianalisa secara kualitatif, yaitu dengan mengadakan pengamatan data-data yang diperoleh dan menghubungkan tiap-tiap data yang diperoleh tersebut dengan ketentuan- ketentuan maupun asas-asas hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Kemudian ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan deduktif, yakni cara berfikir yang dimulai dari hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus sebagai kesimpulan.

64Syamsul Arifin, Falsafah Hukum, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1992, hal. 50.

(46)

BAB II

KEKUATAN HUKUM WASIAT SECARA LISAN MENURUT HUKUM ADAT BATAK TOBA

A. Ketentuan Waris Menurut Hukum Adat Batak Toba 1. Pengertian Waris Menurut Hukum Adat Batak Toba

Seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum perkawinan yaitu hukum kewarisan yang merupakan bagian dari hukum kekeluargaan yang memegang peranan sangat penting, bahkan menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini disebabkan hukum kewarisan sangat erat kaitannya dengan lingkup kehidupan manusia. Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa penting dalam hidupnya yang merupakan peristiwa hukum dan lazim yaitu kelahiran dan kematian.

Kelahiran seseorang menimbulkan akibat hukum tentang hubungan anak dengan orang tua yang mengakibatkan anak tersebut menjadi ahli waris dari orang tuanya.

Meninggalnya seseorang juga menimbulkan akibat hukum tentang bagaimana cara kelanjutan pengurusan hak-hak dan kewajiban orang tersebut.

Hukum kewarisan sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, karena setiap manusia pasti akan meninggal dunia.65 Apabila ada peristiwa hukum, yaitu meninggalnya seseorang akan muncul akibat hukum, yaitu tentang bagaimana caranya kelanjutan pengurusan hak-hak kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia tersebut. Penyelesaian dan pengurusan hak-hak dan

65 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Jakarta, Sinar Grafika, 1994, hal. 2.

(47)

kewajiban seseorang sebagai akibat adanya peristiwa hukum karena meninggalnya seseorang diatur dalam hukum kewarisan.

a. Kewarisan Menurut Hukum Adat Batak Toba

Hukum waris adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang berlaku pada masyarakat adat yang bersangkutan. 66 Adat merupakan pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa yang merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa67Kusumadi Pudjosewojo menjelaskan bahwa adat ialah tingkah laku yang dalam suatu masyarakat (sudah,sedang,akan) diadatkan, dan adat itu ada yang tebal, ada yang tipis dan senantiasa menebal dan menipis.68 Hukum adat pada umumnya tidak tertulis atau belum tertulis, oleh karena itu tiap suku memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda-berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan adat tersebut merupakan unsur yang terpenting yang memberikan identitas kepada setiap sukunya.

Hukum waris adat meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun yang immateriil, yaitu manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses peralihannya.69 Hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan-ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan kepemilikannya dari pewaris kepada

66Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015, hal. 259.

67Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, PT.Toko Gunung Agung,Jakarta,1983,hal. 13.

68Ibid., hal. 20.

69Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, hal. 161.

(48)

ahli waris.70 Sedangkan Menurut Ter Haar, hukum waris adat itu meliputi aturan- aturan hukum yang bertalian dengan proses dari abad ke abad yang menarik perhatian, ialah proses penerusan dan peralihan kekayaan materiil dan immateriil dari turunan ke turunan.71

Proses penerusan waris dianggap sakral menurut hukum adat Batak Toba.

Karena warisan menurut hukum adat Batak Toba bukan hanya berupa harta saja, tetapi merupakan proses penerusan marga yang dilanjutkan oleh anak laki-laki yang nantinya akan terus melestarikan adat Batak Toba. Selain marga yang dianggap sakral oleh masyarakat adat Batak Toba, ada juga harta benda pusaka yang tidak boleh sembarangan diberikan pada setiap ahli waris, salah satunya ialah rumah peninggalan orang tua. Menurut hhukum adat Batak Toba, rumah peninggalan orang tua biasanya diberikan kepada anak laki-laki bungsu (siapudan), dengan alasan bahwa siapudan masih sedikit mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya tidak seperti saudara-saudaranya yang lain dan siapudan pula diharapkan untuk merawat orang tuanya hingga akhir hayat, meskipun pada kenyataannya tidak selalu demikian72. Hal ini menunjukkan bahwa hukum adat bersifat dinamis yaitu senantiasa menebal dan menipis.

b. Kewarisan Menurut Hukum Perdata

Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para

70Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditya Bakti, 1999, hal. 7.

71Mr. B. Ter Haar Bzn., Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto, Pradnya Paramita,hal. 231.

72Hasil wawancara dengan Aben Nainggolan, Pengetua Adat, Sidikalang, Sabtu, tanggal 06 Oktober 2018.

Referensi

Dokumen terkait

lain yang telah diberikan kepada pihak lain untuk invensi yang sama maka dapat dimintakan penghapusannya kepada Pengadilan Niaga, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 132

Oleh karena itu tesis ini akan membahas tentang mengapa Notaris dilarang melakukan rangkap jabatan sebagai pemimpin badan usaha swasta menurut UUJN, bagaimana upaya MPN

Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) adalah Kredit yang diberikan oleh bank kepada debitur untuk digunakan membeli atau membayar sebuah bangunan rumah tinggal

Dari hasil penelitian ini juga diketahui bahwa undang-undang telah mengatur umur para pihak yang hendak melakukan perbuatan hukum, termasuk dalam hal yang

Kendala yang dialami PPAT dalam melaksanakan perannya turut mengawasi pemungutan BPHTB atas transaksi jual beli hak atas tanah dan bangunan di Kabupaten Samosir antara

atas 3 (tiga) objek tanah dan bangunan tersebut sekaligus melakukan peralihan hak atau balik nama ke atas nama Penggugat. Pertimbangan hukum oleh majelis hakim

Dalam hal status kekuatan alat bukti akta Notaris, suatu akta tersebut dapat mengalami penurunan mutu atau kemunduran atau kemerosotan status apabila dalam

Selain pengajuan gugatan derivatif sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap pemegang saham, apabila direksi lalai dalam pelaksanaan tugas dalam hal ini