• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TESIS Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara."

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS

(STUDI PUTUSAN MPP NOMOR: 06/B/MPPN/2018)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

ARTHA ULLY TAMBUNAN 177011173/ M.Kn

MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)
(3)

TIM PENGUJI TESIS

KETUA: Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum.

ANGGOTA: 1. Notaris Dr. Suprayitno., S.H., M.Kn.

2. Notaris Dr. Henry Sinaga., S.H., Sp.N., M.Kn.

3. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum.

4. Dr. Afnila, SH, MHum.

(4)
(5)
(6)

Larangan rangkap jabatan Notaris sebagai pemimpin badan usaha swasta diatur dalam Pasal 17 huruf (f), namun demikian dengan adanya Putusan MPP Nomor 06/MPPN/B/X/2018 membuktikan bahwa dalam praktiknya masih ditemukan pertentangan antara aturan dengan kenyataan di lapangan terlebih lagi Notaris yang melakukan pelanggaran merupakan Wakil Ketua Majelis Kehormatan Wilayah Provinsi Lampung. Oleh karena itu tesis ini akan membahas tentang mengapa Notaris dilarang melakukan rangkap jabatan sebagai pemimpin badan usaha swasta menurut UUJN, bagaimana upaya MPN dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap pelanggaran rangkap jabatan yang dilakukan oleh Notaris dan bagaimana analisis hukum Putusan Majelis Pengawas Pusat Nomor 06/B/MPPN/2018. Tesis ini menggunakan teori kepastian hukum, teori tanggungjawab dan teori kewenangan.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriftif analitis. Data yang digunakan untuk menjawab penelitian ini adalah data primer dan data sekunder yang diperoleh dari penelitian di Kantor Kementrian Hak Asasi Manusia dan dari penelitian kepustakaan serta wawancara informan.

Hasil penelitian ditemukan bahwa terhadap Putusan Majelis Pengawas Pusat Nomor 06/B/MPPN/2018 dalam tingkatan pemeriksaannya ada perbedaan putusan yang sangat timpang dari MPD, MPW dan MPP dikarenakan perbedaan pertimbangan-pertimbangannya dalam memutus. Perbedaan pertimbangan ini dilatarbelakangi dengan tidak detailnya pemeriksaan yang dilakukan Majelis Pengawas Notaris.

Hasil penelitian ini memberi kesimpulan bahwa apabila Notaris merangkap sebagai Pemimpin Badan Usaha Swasta maka akan terjadi benturan kepentingan, bahwa upaya MPN juga mengirimkan formulir cuti dan formulir pemeriksaan 1 (satu) kali dalam setahun sekali dan bahwa adanya Putusan ini mengakibatkan penjatuhan sanksi pemberhentian sementara selama 6 bulan oleh MPP terhadap Notaris. Saran dari hasil penelitian ini Notaris dalam menjalankan jabtannya harus berpegang teguh pada sumpah jabatanya, perlu penguatan struktur dan fungsi Majelis Pengawas Notaris dan perlu adanya sanksi yang lebih tegas dalam kasus rangkap jabatan.

Kata kunci: Rangkap, Jabatan, Notaris

(7)

ABSTRACT

Prohibition of two positions by a Notary as the head of a private company is regulated in Article 17, letter (f), but by the Decree of MPP (Central Supervisory Council) No. 06/B/MPPN/X/2018, it is found that, in practice, there is still a contradiction between rules and reality in the field, especially the violation is done by a Notary who is the Vice Head of the Regional Honorary Ciuncil of Lampung Province. The research problems were as follows: why a Notary is prohibition to have two positions as the head of private company according to UUJN, how about the efforts of MPN to do supervision on Notary’s two positions, and how about juridicial analysis on the Decree of MPP No. 06/B/MPPN/X/2018.

The research used the theory of legal certainty, the theory of liability, and the theoy of authority.

The research used juridicial normative method with descriptive analytic approach, the data consisted of primary data and secondary data which were obtained from the Office of the Ministry of Law and Human Rights, library research, and interviews with some informants.

The result of the research shows that concerning the Decree of MPP No.

06/B/MPPN/X/2018in the level of its supervision there is a significant difference in the decrees of MPD, MPW, and MPP on their considerations to make decisions; they constitute the background of inaccurate examination done by the MPN (Notary Supervisory Council).

The conclusion is that when a Notary has two positions as the Head of a provate company there will be conflict of interest. MPN will give the form of leave and the form of examination once a year and this decision will cause the imposition of sanction of 6 month by MPP. It is recommended that a Notary hold firm on his oath of office. The structure and function of MPN should be strengthened, and firm sanction should be imposed on a Notary with two positions.

Keywords: Double, Position, Notary

(8)
(9)

berjudul Analisis Yuridis Rangkap Jabatan Yang Dilakukan Oleh Notaris Sebagai Pemimpin Badan Usaha Swasta Yang Dilarang Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris (Studi Putusan MPP Nomor.

06/B/MPPN/X/2018)”, ini dapat diselesaikan dengan baik.

Peneliti menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih banyak terdapat kekurangan karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan. Oleh sebab itu, Peneliti sangat mengharapkan adanya penelitian lanjutan guna kesempurnaan penelitian ini. Pada kesempatan ini peneliti mengucapakan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister Kenotariatan:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku pembimbing utama yang telah meluangkan waktu dan memberi bimbingan dalam penulisan tesis ini.

3. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S,H, C.N, M.Hum, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku dosen peguji saya.

4. Bapak Dr. Edy Ikhsan, S.H, M.A, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Suprayitno, S.H., M.Kn, selaku pembimbing kedua yang telah meluangkan waktu dan memberi motivasi, bimbingan, dorongan, saran dan perhatian hingga selesai penulisan tesis ini.

6. Bapak Dr. Henry Sinaga S,H, M.Kn, selaku pembimbing ketiga yang telah meluangkan waktu dan memberi motivasi, bimbingan, dorongan, saran dan perhatian hingga selesai penulisan tesis ini.

(10)
(11)

memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN atau berdasarkan Undang-Undang lainnya.

Larangan: suatu perintah dari seorang atau sekelompok orang untuk mencegah seseorang melakukan suatu tindakan tertentu.

Rangkap Jabatan: dua atau lebih jabatan yang dipegang oleh seseorang dalam pemerintahan atau organisasi, seperti sekretaris jenderal, kepala biro.

Pemimpin Badan Usaha Swasta: seseorang yang menjadi perlengkapan badan usaha dalam melakukan kegiatan dan menjalankan kepengurusan perusahaan sebaik-baiknya dengan tujuan untuk mensukseskan perusahaan.

Akta Autentik: akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN.

(12)

MPP: Majelis Pengawas Pusat MPW: Majelis Pengawas Wilayah MPD: Majelis Pengawas Daerah

UUJN: Undang-Undang Jabatan Notaris

KUHPERDATA: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata SPPN VII: Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara VII

(13)

Tabel 1 Perbandingan Putusan MPD, MPW dan MPP ... 90 Tabel 2 Alur Rangkap Jabatan Yang Dilakukan Terlapor ... 96

(14)

PERSETUJUAN PUBLIKASI TESIS ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISTILAH ... x

DAFTAR SINGKATAN ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 13

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 14

1.Kerangka Teori... 14

2.Konsepsi ... 24

G. Metode Penelitian... 26

1.Jenis Penelitian dan Sifat Penelitian ... 26

2.Sumber Data ... 27

3.Teknik dan Pengumpulan Data ... 28

4.Lokasi Penelitian ... 28

5.Analisis Data ... 28

BAB II NOTARIS DILARANG MELAKUKAN RANGKAP JABATAN SEBAGAI PEMIMPIN BADAN USAHA SWASTA MENURUT UUJN ... 30

A. Tinjauan Umum Tentang Notaris... 30

1.Pengertian Notaris ... 30

2.Notaris Sebagai Pejabat Umum ... 33

B. Tugas Dan Kewenangan Notaris ... 35

C. Cuti Notaris ... 44

D. Asas-Asas Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris Yang Baik ... 47

E. Tinjauan Umum Tentang Badan Usaha Swasta ... 50

1.Pengertian Badan Usaha Swasta ... 50

2.Pemimpin Badan Usaha Swasta atau Direksi ... 51

F. Larangan Rangkap Jabatan Notaris ... 52

G. Notaris Dilarang Melakukan Rangkap Jabatan Sebagai Pemimpin Badan Usaha Swasta Menurut UUJN ... 54

(15)

2.Majelis Pengawas Wilayah ... 65

3.Majelis Pengawas Pusat ... 65

B. Majelis Pengawas Notaris Sebagai Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara ... 67

C. Prosedur Pengawasan, Pemeriksaan dan Penjatuhan Sanksi oleh MPN Terhadap Pelanggaran Rangkap Jabatan Notaris ... 69

1.Pengawasan Notaris ... 69

2.Pemeriksaan Notaris... 71

3.Penjatuhan Sanksi ... 72

D. Hambatan Yang Dialami Dalam Pengawasan Terhadap Notaris Yang Melakukan Rangkap Jabatan Notaris ... 76

E. Upaya MPN Dalam Menjalankan Fungsi Pengawasan Terhadap Pelanggaran Rangkap Jabatan Yang Dilakukan Oleh Notaris ... 78

BAB IV ANALISIS HUKUM PUTUSAN MAJELIS PEMERIKSA PUSAT NOTARIS NOMOR: 06/B/MPPN/X/2018 ... 83

A. Duduk Perkara ... 83

1.Kasus Posisi ... 83

2.Pertimbangan Majelis Pengawas Notaris ... 85

a. Pertimbangan MPD Kota Bandar Lampung ... 85

b.Pertimbangan MPW Provinsi Kota Lampung... 86

c. Pertimbangan MPP Notaris ... 87

3.Putusan Majelis Pengawas Notaris ... 89

a. Rekomendasi Putusan Majelis Pengawas Notaris... 89

b.Putusan Majelis Pengawas Wilayah... 89

c. Putusan Majelis Pengawas Pusat ... 89

B. Analisis terhadap Putusan Majelis Pengawas Pusat Notaris Nomor: 06/B/MPPN/X/2018 ... 91

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 104

A. Kesimpulan ... 104

B. Saran ... 105

DAFTAR PUSTAKA ... 107

(16)

Keberadaan Notaris merupakan pelaksanaan dari hukum pembuktian melalui akta yang dibuatnya Notaris harus dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat pengguna jasa Notaris.1 Sehingga dalam melaksanakan jabatannya Notaris harus berada dalam posisi netral agar dalam menjalankan jabatannya tidak ada keberpihakan oleh Notaris.

Notaris dilarang melakukan rangkap jabatan merupakan salah satu aturan larangan bagi Notaris baik yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN). Sebagaimana tercantum dalam pasal 3 huruf (g) UUJN “ tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan Jabatan Notaris”. Dan Pasal 17 Notaris dilarang:

a. menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;

b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut- turut tanpa alasan yang sah;

c. merangkap sebagai pegawai negeri;

d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara;

e. merangkap jabatan sebagai advokat;

f. merangkap jabatan sebagai Pemimpin atau pegawai Badan Usaha Milik Negara, Badan usaha Milik Daerah atau Badan usaha Swasta;

g. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah diluar wilayah jabatan Notaris;

h. menjadi Notaris Pengganti;

1Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan Buku Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013, h. 220.

(17)

i.

Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris;

Namun demikian, meski telah diatur dalam UUJN dalam praktiknya berbeda karena masih saja ada Notaris yang melakukan rangkap jabatan, hal ini tentu bertentangan dengan yang di atur dalam UUJN. UUJN dengan tegas mengatur larangan melakukan rangkap jabatan, pengawasan terhadap Notaris menjadi sangat penting agar Notaris dapat menjalankan jabatannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kenyataannya dalam praktik, seiring waktu dengan kian bertambahnya jumlah orang yang menjalani profesi Notaris dari waktu kewaktu, ditambah dengan perkembangan teknologi dan adanya kesempatan bagi sebagian Notaris untuk mendapatkan klien sebanyak mungkin, namun ada pula Notaris yang susah dalam mendapatan klien. Hal ini membuat sebagian oknum Notaris sampai melakukan rangkap jabatan.

Terdapat berbagai kasus Notaris yang melakukan pelanggaran, salah satu kasus pelanggaran rangkap jabatan dalam wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris Wilayah Sumatera Utara sendiri terdapat satu kasus Notaris yang melakukan rangkap jabatan yang pada saat penulis melakukan penelitian tidak dapat dianalisis karena belum sampai tahap keputusan mengenai sanksi yang akan diberikan, oleh karena itu tidak dapat diteliti mendalam.

Profesi sebagai Notaris harus dilatar belakangi dengan bidang keilmuaan hukum. Profesi Notaris merupakan suatu profesi mulia, karena profesi Notaris

(18)

sangat erat hubungannya dengan kemanusiaan. Pada hakekatnya keberadaan lembaga notariat sebagai salah satu profesi hukum disebabkan karena adanya kebutuhan masyarakat akan alat bukti tertulis yang autentik.

Jabatan yang diemban Notaris adalah suatu jabatan kepercayaan yang dimanatkan oleh undang-undang dan masyarakat, untuk itulah seorang Notaris bertanggung jawab untuk melaksanakan kepercayaan yang diberikan kepadanya dengan selalu menjunjung tinggi etika hukum dan martabat serta keluhuran jabatannya, sebab apabila hal tersebut diabaikan oleh seorang Notaris maka akan berbahaya bagi masyarakat umum yang dilayaninya.2

Keberadaan Notaris sebagai Pejabat Umum yang ditunjuk oleh Undang- Undang di tengah masyarakat saat ini sangatlah dibutuhkan. Masyarakat memerlukan seorang Notaris yang keterangannya dapat dipercaya, yang tanda tangan dan stempelnya memberi jaminan dan bukti yang kuat, seorang ahli yang tidak memihak dan penasihat yang tidak ada cacatnya, segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkannya adalah benar. Demikian kebutuhan masyarakat akan Notaris, maka diperlukan seorang Notaris yang dapat menjalankan tugas jabatannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu sesuai dengan UUJN.

Dimana Syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UUJN adalah :

a. warga negara Indonesia;

b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun; d. sehat jasmani dan rohani;

d. berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;

2 Freddy Haris dan Leny Helena, Notaris Indonesia, PT. Lintas Cetak Djaja, Jakarta, 2017, h.

52.

(19)

e. telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; dan

f. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris.

Keberadaan Notaris diangkat oleh penguasa yang berwenang berdasarkan undang-undang, bukan sekedar untuk kepentingan pribadi dari orang yang diangkat sebagai Notaris, tetapi untuk kepentingan masyarakat yang harus dilayani olehnya, dan juga demi kepentingan negara.3 Notaris diangkat oleh penguasa negara dan kepadanya diberikan kepercayaan dan pengakuan dalam memberikan jasa bagi kepentingan masyarakat.

Sebelum menjalankan jabatannya seorang Notaris wajib mengangkat sumpah.

Sumpah ini dimaksud agar Notaris tersebut dengan sebaik-baiknya mengemban tugas. Sumpah itu ada hubungannya dengan Tuhan, janji pribadi yang diucapkan akan dijalankan. Sehingga seharusnya tanpa adanya pengawas ataupun masalah ketahuan atau tidak ketahuannya suatu pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris adalah tanggung jawab tersebut pada Tuhannya.

Menurut Pasal 1 ayat (1) UUJN, Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tersebut. Jabatan Notaris juga merupakan jabatan seorang pejabat negara atau pejabat umum, berdasarkan ketentuan-ketentuan

3 Sjaifurrachman, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, CV Mandar Maju, Bandung, 2011, h. 10.

(20)

dalam UUJN pejabat umum adalah orang yang menjalankan sebagian fungsi publik dari negara, khususnya di bidang hukum perdata.4

Dalam Pasal 1 ayat (7) UUJN ditegaskan bahwa, “Akta Notaris adalah akta autentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini”. Hanya orang-orang yang sudah dikenal kejujurannya serta mempunyai pengetahuan dan kemampuan dibidang hukum sajalah yang diizinkan untuk memangku jabatan Notaris. Oleh karena itulah pemegang jabatan Notaris harus menjaga keluhuran martabat jabatannya dengan menghindari pelanggaran aturan dan tidak melakukan kesalahan profesi yang dapat menimbulkan kerugian kepada orang lain.

Akta yang dibuat oleh Notaris dapat menjadi alas hukum atas status harta benda, hak dan kewajiban seseorang. Kekeliruan atas akta yang dibuat Notaris dapat menyebabkan tercabutnya hak seseorang atau terbebaninya seseorang atas suatu kewajiban, oleh karena itu Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus mematuhi berbagai ketentuan dalam UUJN. Suatu akta dapat dikatakan akta autentik sepanjang tidak ada orang atau pihak lain yang mempermasalahkan keautentikannya dan seorang itu tidak dapat membuktikan bahwa akta itu cacat, maka akta tersebut dianggap berasal dari pejabat yang berwenang dan sah demi hukum.5

4 Yudha Pandu (ed.), Himpunan Peraturan Perundang-undangan Jabatan Notaris dan PPAT, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2009, h. 2.

5 Syafrida Yanti, Akibat Hukum Terhadap Pembuatan Akta Otentik yang Tidak Memenuhi Kewajiban Notaris Sebagaiman Mestinya Diamanatkan Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Analisis Putusan No. 9/Pdt.G/2010/PN-MBo), Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan, 2014, h. 15.

(21)

Disamping diperlukannya akta autentik untuk keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum tertentu, akta Notaris merupakan realisasi dari asas kebebasan berkontrak dan mengikat, berintikan kebenaran dan kepastian hukum yang merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak yang berkepentingan dengan akta Notaris tersebut. Dengan adanya kepastian hukum, akan tercapai pula ketertiban dan perlindungan hukum kepada masyarakat yang sekaligus dapat memberikan keadilan bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat mereka yang membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi.

Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) yang mengatur tentang syarat sahnya suatu perjanjian, ada syarat subjektif yang berkaitan dengan subjek yang mengadakan atau membuat perjanjian, yang terdiri dari kata sepakat dan cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, dan syarat objektif yaitu syarat yang berkaitan dengan objek yang dijadikan perbuatan hukum oleh para pihak, yang terdiri dari suatu hal tertentu dan sebab yang tidak dilarang.6

Akta autentik yang dibuat di hadapan Notaris, bukan hanya karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh para pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, namun juga melihat syarat sahnya perjanjian seperti suatu sebab yang halal dimana objek yang diperjanjikan tidak dilarang oleh peraturan

6 Herlien Budiono, Notaris dan Kode Etiknya, Upgrading & Refreshing Course, Nasional Ikatan Notaris Indonesia, Medan, 30 Maret 2007, h. 3

(22)

perundang-undangan, kepentingan umum dan kesusilaan yang mana jika situasi ini tidak terpenuhi maka akta menjadi batal demi hukum.7

Akta sendiri secara harafiah bukan berarti surat. Akta berasal dari kata “acte”

yang dalam Bahasa Prancis berarti “perbuatan”. Walaupun dalam perkembangan selanjutnya akta dikenal sebagai surat yang mempunyai kekuatan pembuktian.

Sedangkan Sudikno Mertokusumo mendefenisikan akta sebagai surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.8

Notaris mempunyai karakter ganda, di satu sisi Notaris merupakan pemangku jabatan negara tetapi di sisi yang lain ia seorang pelaksana profesi. Notaris selaku pejabat umum yang berfungsi menjamin otentisitas pada tulisan-tulisannya (akta).

Setiap orang yang memangku jabatan sebagai Notaris akan terikat dan harus tunduk oleh sebuah perangkat peraturan yang mengatur tentang jabatan Notaris yaitu UUJN.9 Notaris selaku pejabat umum dalam setiap pelaksanaan tugasnya, tidak boleh keluar dari “rambu-rambu” yang telah diatur oleh perangkat hukum yang berlaku.

Notaris selaku pejabat umum menjalankan tugasnya selain harus memiliki pengetahuan secara teoritis dan pengalaman secara teknis, tetapi juga harus ditambah dengan memiliki tanggungjawab etika hukum yang tinggi berupa nilai-

7 Rudy Haposan Siahaan, Hukum Perikatan Indonesia (Teori dan Perkembangan), Intelegensia Media, Malang, h. 78

8 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1992, h.

116.

9 Felly Faradina, Persaingan Tidak Sehat Antar Rekan Notaris Sebagai Dampak dari Penetapan Tarif Jasa Notaris Dibawah Standar Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris, Tesis, Universitas Indonesia, 2011, h. 1.

(23)

nilai atau ukuran-ukuran etika, penghayatan terhadap keluhuran dan tugas jabatannya serta integritas dan moral yang baik.10 Notaris dituntut untuk senantiasa menjalankan tugas dan jabatannya, sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku. Notaris wajib menjunjung tinggi martabat jabatannya, baik saat menjalankan tugas jabatannya maupun di luar tugas jabatannya. Ini berarti, bahwa Notaris harus selalu menjaga agar perilakunya tidak merendahkan jabatannya, martabatnya, dan kewibawaannya sebagai Notaris.

Kode Etik Notaris merupakan seluruh kaedah moral yang menjadi pedoman dalam menjalankan Jabatan Notaris. Ruang lingkup Kode Etik Notaris berdasarkan Pasal 2 Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I), berlaku bagi seluruh anggota Perkumpulan maupun orang lain yang memangku dan menjalankan Jabatan Notaris, baik dalam pelaksanaan jabatan maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I) memuat kewajiban, larangan dan pengecualian bagi Notaris dalam Pelaksanaan Jabatannya. Notaris dapat dikenakan sanksi apabila terbukti telah melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam Kode Etik Notaris. Penerapan sanksi atas pelanggaran Kode Etik perlu mendapadtkan kajian lebih lanjut mengingat, sanksi tersebut dijatuhkan oleh Organisasi Profesi Notaris dan tentu berbeda dengan sanksi yang diberikan oleh Majelis Pengawas Notaris (selanjutnya disingkat MPN) yang telah diatur dalam UUJN.

10 Atang Hermawan Usman, “Kesadaran Hukum Masyarakat Dan Pemerintah Sebagai Faktor Tegaknya Negara Hukum di Indonesia, Wawasan Hukum, Volume 30, Nomor 1, februari- 2014, h. 11.

(24)

Pengawasan yang dilakukan oleh MPN berdasarkan UUJN, dapat dikatakan bersifat preventif dan represif, karena telah memiliki aturan yang jelas, yang juga bertujuan untuk menjaga agar para Notaris dalam menjalankan profesinya tidak mengabaikan keluhuran martabat atau tugas jabatannya, tidak melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku, tidak melanggar sumpah jabatan, dan tidak melanggar Norma Kode Etik Profesinya. Kegiatan pengawasan tidak hanya bersifat preventif, tetapi juga bersifat represif, dengan memberikan penindakan atas pelanggaran pelanggaran yang telah dilakukan oleh Notaris.

Meskipun pekerjaan Notaris diawasi oleh MPN, namun pada hakekatnya pekerjaan Notaris adalah pekerjaan yang bersifat mandiri, pekerjaan individual, tanpa atasan, pekerjaan kepercayaan dan memerlukan moral yang kuat karena sangat minim peraturan perundang-undangan, sehingga pada pelaksanaannya sangat rentan dengan berbagai macam pelanggaran. Kewajiban Notaris tidak hanya memiliki moral yang baik namun juga wajib memiliki akhlak serta kepribadian yang baik.

Akhlak yang baik melahirkan perbuatan-perbuatan yang baik, akhlak bukan saja tata aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan antara sesame manusia tetapi juga mengatur hubungan dengan Tuhan bahkan alam semesta sekalipun.11 Apabila perbuatan itu bebas terlepas dari setiap bentuk hukum positif disebut moral instrisinkal dan jika perbuatan itu sebagai sesuatu yang

11 Basri Effendi, Kode Etik Ditinjau Dari Perspektif Islam (Kajian Analisis Surat Al Baqarah Ayat 282), Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan, 2014, h. 23.

(25)

diperintahkan atau dilarang seseorang yang berkuasa atau oleh hukum positif baik dari manusia maupun dari Tuhan disebut moral ekstrinsik12

Larangan melakukan rangkap jabatan ini didasari pada pekerjaan Notaris adalah pekerjaan yang bersifat mandiri, pekerjaan individual, tanpa atasan, pekerjaan kepercayaan dan memerlukan moral yang kuat karena sangat minim macam peraturan perundang-undangan, pada pelaksanaannya sangat rentan dengan berbagai macam pelanggaran.

Kasus mengenai rangkap jabatan Notaris yang melatar belakangi penelitian ini yakni yang dilakukan oleh Notaris Chairil Anom., SH yang merupakan Notaris Kota Bandar Lampung. Kasus ini bermula dengan adanya laporan yang dilakukan oleh Pengurus Pusat Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara VII (selanjutnya disebut SPPN VII) kepada Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Bandar Lampung.

Dalam laporannya SPPN VII yang diwakili oleh kuasanya menyampaikan hal-hal yang dilanggar bagi seorang Notaris. Salah satunya merupakan larangan rangkap jabatan yang diduga dilakukan oleh Notaris Chairul Anom., SH. SPPN VII melalui kuasanya menduga adanya rangkap jabatan yang dilakukan oleh Notaris yang berakibat merugikan pihak SPPN VII.

Ketentuan mengenai larangan rangkap jabatan ini menjadi dasar bagi Notaris dilarang melakukan rangkap jabatan. Namun pada prakteknya seringkali ditemui banyak Notaris yang melakukan rangkap jabatan. Hal ini tentu saja telah menyalahi ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan pada latar

12 Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Alumni, Bandung, 2014, h. 43.

(26)

belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “ANALISIS YURIDIS RANGKAP JABATAN YANG DILAKUKAN OLEH NOTARIS SEBAGAI PEMIMPIN BADAN USAHA SWASTA YANG DILARANG BERDASARKAN UNDANG-UNDANG

JABATAN NOTARIS (STUDI PUTUSAN MPP NOMOR.

06/B/MPPN/X/2018)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Mengapa Notaris dilarang melakukan rangkap jabatan sebagai pemimpin badan usaha swasta menurut UUJN ?

2. Bagaimana upaya MPN dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap pelanggaran rangkap jabatan yang dilakukan oleh Notaris?

3. Bagaimana analisis hukum Putusan Majelis Pengawas Pusat Nomor 06/B/MPPN/2018?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang tersebut diatas, maka tujuan yang hedak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis alasan mengapa Notaris dilarang melakukan rangkap jabatan sebagai Pemimpin Badan Usaha Swasta menurut UUJN.

(27)

2. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya MPN dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap pelanggaran rangkap jabatan yang dilakukan oleh Notaris.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis Putusan Majelis Pengawas Pusat Nomor 06/B/MPPN/2018.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis dibidang peraturan dalam jabatan Notaris khususnya mengenai larangan rangkap jabatan yang dilakukan oleh Notaris dalam kaitannya dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagai Notaris, dengan demikian dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat berupa saran dan masukan dalam khasanah ilmu pengetahuan hukum di bidang kenotariatan pada umumnya dan dalam larangan rangkap jabatan oleh Notaris khususnya. Penelitian ini juga diharapkan memberi masukan terhadap akademisi di bidang kenotariatan menyangkut larangan rangkap jabatan oleh Notaris.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

a. Bagi Pemerintahan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan bagi pemerintahan yang dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris untuk mengawasi

(28)

Notaris dalam menajalankan jabatan dan tugasnya sehingga sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.

b. Bagi Notaris

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan yang bermanfaat bagi Notaris untuk mengkoreksi diri atas berbagai kekurangan yang dilakukan selama ini sehingga dalam menjalankan tugas dan jabatannya lebih berhati-hati, cermat dan teliti serta jujur dan bertanggungjawab.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan sepanjang penelusuran kepustakaan yang ada di Lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan, belum ada penelitian sebelumnya yang berjudul tesis “Analisis Yuridis Rangkap Jabatan Yang Dilakukan Oleh Notaris Sebagai Pemimpin Badan Usaha Swasta Yang Dilarang Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris”. Akan tetapi ada beberapa penelitian yang berhubungan dengan penelitian ini yang dilakukan oleh :

1. Daud Widya Pranata Septiadi (NIM: 137011156), Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian

“Keabsahan Akta Notaris Disaat Terjadi Ketidaksesuaian Jabatan Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dengan Wilayah Yang Berbeda”, dengan permasalahan yang dibahas:

a. Bagaimana keabsahan akta yang dibuat apabila Notaris disaat bersamaan merangkap jabatan pejabat oembuat akta tanah (PPAT) nya di wilayah yang berbeda?

(29)

b. Bagaimana tindakan hukum yang diambil apabila seorang Notaris tetap menjalankan jabatan PPAT nya di wilayah yang berbeda disaat bersamaan?

2. Mohandas Sherivdya (NIM: 067011056), Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Pengawasan Terhadap Notaris dan Tugas Jabatannya Guna Menjamin Perlindungan Hukum Bagi Kepentingan Umum”, dengan permasalahan yang dibahas:

a. Sejauh mana kewenangan Notaris sebagai pejabat umum pembuat akta?

b. Bagaimana kedudukan Majelis Pengawas Notaris dalam melakukan pengawasan terhadap Notaris dibandingkan dengan tugas Dewan Kehormatan Notaris?

c. Apakah pengawasan terhadap Notaris dan tugas jabatannya telah menjamin perlindungan hukum bagi kepentingan umum?

Dari judul penelitian tersebut tidak ada kesamaan dengan penelitian yang penulis lakukan. Dengan demikian judul ini belum ada yang membahasnya sehingga penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, teori dapat diartikan sebagai system yang berisi proposisi-proposisi yang telah diuji kebenarannya, sehingga dapat memberikan suatu pemahaman tertentu.dalam arti lain teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

(30)

atau proses tertentu terjadi.13 Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.14

Setiap aturan hukum yang dirumuskan oleh pembuat undang-undang di derivasi dari asas-asas hukum sebagai latar belakangnya, sehingga tujuan ideal dibentuknya aturan hukum tersebut dapat dijelaskan mengacu kepada asas-asas hukum yang melatarbelakanginya.15 Kerangka teori merupakan landasan teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari kebenaran yang dianalisis. Kerangka teori yang dimaksud adalah kerangka pemikiran atau pendapat-pendapat, teori tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.16 Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.17

Teori hukum dapat digunakan untuk menganalisis dan menerangkan pengertian hukum dan konsep yuridis, yang relevan untuk menjawab permasalahan yang muncul dalam penelitian hukum.18 Kerangka teori atau disebut juga dengan istilah landasan teori adalah seperangkat defenisi, konsep serta proporsi yang telah disusun rapi serta sistematis tentang variabel-variabel dalam sebuah penelitian. Landasan teori ini akan menjadi dasar yang kuat dalam sebuah penelitian yang akan dilakukan. Pembuatan landasan teori yang baik dan

13 J.J.J. Wuisman, penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, FE UI, Jakarta, 2006, h. 75.

14 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian Hukum, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, h. 80.

15 Dedi Harianto, “Asas Kebebasan Berkontrak: Problematika Penerapannya Dalam Kontrak Baku Antara Konsumen Dengan Pelaku Usah, Jurnal Hukum :Samudera Keadilan, Volume II, Nomor 2, Juli-Desember, 2016, h. 148.

16 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Cintra Aditya Bakti, Bandung, 2012, h. 269.

17 J.J.J. Wuisman, penyunting M. Hisyam, op.cit , h. 203.

18 Salim, HS, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, h. 54.

(31)

benar dalam sebuah penelitian menjadi hal yang penting karena landasan teori ini menjadi sebuah pondasi serta landasan dalam penelitian tersebut.

Fungsi teori dalam penelitian adalah untuk mensistematiskan penemuan- penemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan obyek yang dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.19

Kerangka teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis, artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka teoritis relevan yang mampu menerangkan masalah tersebut. Upaya tersebut ditujukan untuk menjawab atau menerangkan masalah yang telah dirumuskan.20 Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu sektor tertentu dari sebuah disiplimn keilmuan.21 Kemudian mengenai disetujui atau tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.22

Bagi seorang peneliti, suatu teori atau kerangka teori mempunyai berbagai kegunaan, dimana kegunaan tersebut paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut:

a. Teori tersebut berguna untuk mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.

b. Teori sangat berguna dalam menggembangkan system klasifikasi fakta membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan defenisi.

19 M. Solly Lubis, loc.cit.

20 I Made Wirartha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, Andi, Yogyakarta, 2006, h. 23.

21 Ibid, h. 30.

22 Ibid, h. 80.

(32)

c. Teori biasanya merupakan ikhtisar dari hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang hendak diteliti.

d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan muncul lagi pada masa-masa mendatang.

e. Teori memberi petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan penelitian.23

Teori ilmu hukum dapat diartikan sebagai ilmu atau disiplin hukum yang dalam perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisa berbagai aspek gejala hukum, dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dari kegitan yuridis dalam kenyataan masyarakat. Objek telaahnya adalah gejala umum dalam hukum dan kritik ideological terhadap hukum.24 Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Teori Kepastian Hukum

Kepastian hukum merupakan asas terpenting dalam perbuatan hukum dan dalam penegakan umum bahwa peraturan perundang-undangan dapat memberikan kepastian hukum yang lebih kuat dibandingkan dengan hukum kebiasaan, hukum adat atau hukum yurisprudensi. Maka perlu diketahui bahwa kepastian hukum peraturan perundang-undangan tidak semata-mata diletakkan dalam bentuk yang tertulis . Bagir Manan menyatakan bahwa “untuk benar-benar menjamin kepastian hukum suatu perundang-undangan selain memenuhi syarat formal, harus pula memenuhi syarat-syarat lain yaitu jelas dalamn perumusannya, konsisten dalam

23 Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Ind Hill Co, Jakarta, 1990, h. 67.

24 Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Madju, Bandung, 2009, h. 122.

(33)

perumusannya baik secara intern maupun ekstern, penggunaan bahasa yang tepat dan mudah dimengerti oleh orang yang membacanya”.25

Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu yang pertama harus adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak dilakukan, dan yang kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu, individu itu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim yang satu dengan yang lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.26

Sebagaimana diketahui bahwa tujuan hukum adalah untuk mengayomi masyarakat, hukum harus diterapkan secara efesien dan setiap masyarakat harus mematuhi hukum yang diterapkan dalam peristiwa konkrit. Pada dasarnya tidak boleh menyimpang sesuai istilah fiat justitia et perear mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus tetap ditegakkan). Itulah yang diinginkan dari kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum yang hakiki, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat

25 Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 2000, h. 225.

26 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, 2008, h. 158.

(34)

akan menjadi tertib, karena hukum bertugas menciptakan kepastian hukum bertujuan ketertiban masyarakat.27

Sudikno Mertokusumo menyatakan “masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum, masyarakat akan lebih tertib”. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat, tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya sehingga akhirnya timbul keresahan, tetapi jika menitik beratkan pada kepastian hukum dan ketat dalam menaati peraturan hukum maka akibatnya akan kaku serta akan menimbulkan rasa tidak adil.28

Gustav Radburch menyatakan “kepastian hukum merupakan bagian dari tujuan hukum”29 Hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum (rechszekerheid) dalam pergaulan manusia, dimana dalam tugas itu dapat disimpulkan bahwa harus menjamin keadilan serta hukum tetap berguna, dan dapat disimpulkan pula yaitu hukum dapat menjaga agar dalam lingkungan masyarakat tidak terjadi main hakim sendiri (eigenrichting).

b. Teori Tanggung Jawab

Menurut Hans Kelsen dalam teorinya tentang tanggung jawab hukum menyatakan bahwa: “seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subyek berarti dia bertanggungjawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang

27 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993, h. 36.

28 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Libert, Yogyakarta, 2003, h.

136.

29 Muhamad Erwin, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, h. 123.

(35)

bertentangan”.30 Lebih lanjut Hans Kelsen menyatakan bahwa : “Kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum disebut kekhilafan (negligence); dan kekhilafan biasanya dipandang sebagai satu jenis lain dari kesalahan (culpa), walaupun tidak sekeras kesalahan yang terpenuhi karena mengantisipasi dan menghendaki, dengan atau tanpa maksud jahat, akibat yang membahayakan”.31

Hans Kelsen selanjutnya membagi mengenai tanggungjawab terdiri dari:

1) Pertanggungjawaban individu yaitu seorang individu bertanggung jawab terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri;

2) Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang individu bertanggungjawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain;

3) Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang individu bertanggungjawab pelanggaran yang dilakukannya karena sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian;

4) Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja dan tidak diperkirakan.32

Tanggung jawab secara etimologi adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya atau fungsi menerima pembebanan sebagai akibat tindakan sendiri atau pihak lain. Sedangkan pengertian tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (jika terjadi sesuatu dapat dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya).

Menurut kamus hukum ada 2 (dua) istilah pertanggungjawaban yaitu liability (the state of being liable) dan responsibility (the state or fact being responsible).

30 Hans Kelsen (a), sebagaimana diterjemahkan oleh Somardi, General Theory Of law and State , Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, BEE Media Indonesia, Jakarta, 2007, h. 81.

31 Ibid, Hans Kelsen, h. 8.

32 Hans Kelsen, sebagaimana diterjemahkan oleh Raisul Mutaqin, Teori Hukum Murni, Nuasa dan Nusa Media, Bandung, 2006, h. 140.

(36)

Liability merupakan istilah hukum yang luas, dimana liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung jawab gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subjek hukum, sedagkan istilah responsibility menunjuk pada pertanggung jawaban politik.33

Liability menunjuk pada makna yang paling komprehensif, meliputi hampir setiap karakter risiko atau tanggung jawab yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin. Liability didefenisikan untuk menunjuk semua karakter hak dan kewajiban. Liability juga merupakan kondisi tunduk kepada kewajiban secara aktual atau potensial, kondisi bertanggung jawab terhadap hal-hal yang aktual atau mungkin seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau beban, kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan Undang-Undang dengan segera atau pada masa yang akan datang.

Sedangkan responsibility berarti hal yang dapat di pertanggung jawabkan atau suatu kewajiban dan termasuk putusan, keterampilan, kemampuan, dan kecakapan. Responsibility juga berarti kewajiban bertanggung jawab atas Undang- Undang yang dilaksanakan, dan memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan apapun yang telah ditimbulkannya. Prinsip tanggung jawab hukum dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu :

1) Liability based on fault, beban pembuktian yang memberatkan penderita.

Ia baru memperoleh ganti kerugian apabila ia berhasil membuktikan adanya unsur kesalahan pada pihak tergugat, kesalahan merupakan unsur yang menentukan pertanggung jawaban, yang berarti bila tidak terbukti

33 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, h. 337.

(37)

adanya kesalahan, tidak ada kewajiban memberi ganti kerugian. Pasal 1865 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas nama mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-peristiwa itu, sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna membantah hak orang lain, diwajibkan membuktikan peristiwa-peristiwa itu”.

2) Strict liability (tanggung jawab mutlak) yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian.34 Dalam penyelenggaraan suatu Negara dan pemerintahan, pertanggungjawaban itu melekat pada jabatan yang juga telah dilekati dengan kewenangan, dalam perspektif hukum publik, adanya kewenangan inilah yang memunculkan adanya pertanggungjawaban, sejalan dengan prinsip umum; “geen bevegdedheid zonder verantwoordelijkheid; there is no authority without responsibility; la sulthota bila mas-uliyat” (tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban).35

Fungsi teori pada penelitian tesis ini adalah memberikan arah atau petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati, oleh karena itu, penelitian diarahkan kepada ilmu hukum positif yang berlaku, yaitu larangan bagi Notaris untuk melakukan rangkap jabatan. Setiap teori, sebagai produk ilmu, tujuannya adalah memecahkan masalah dan membentuk sistem.36

34 Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1988, hl. 334.

35 Ridwan HR, Op, Cit,. h. 352.

36 Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Jakarta, 2012, h. 5.

(38)

c. Teori Kewenangan

Menurut H.D. Stout sebagimana dikutip oleh Ridwan HR, pengertian wewenang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subyek hukum publik berdasarkan hukum publik (bevegdheid is een begrip uit het besturlijke organisatorirecht, wat kan warden omscreven als het geheet van regels dat betreking heef op de verkrijging en uitoefening van besturechtelijke rechtsverker)”.37

Sedangkan Soekanto menguraikan beda antara kekuasaan dan wewenang bahwa: “Setiap kemampuan untuk memengaruhi pihak lain dapat dinamakan kekuasaan, sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai dukungan atau mendapat pangkuan dari masyarakat”.38

Kewenangan atau wewenang adalah suatu istilah yang biasa digunakan dalam lapangan hukum publik; namun sesungguhnya terdapat perbedaan diantara keduanya. Kewenangan adalah apa yang disebut “ kekuasaan formal ”, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh Undang-undang atau legislatif dari kekuasaan eksekutif atau administrtif. Karenanya, merupakan kekuasaan dari segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan atau urusan pemerintahan tertentu yang bulat. Sedangkan wewenang hanya

37 Ridwan H.R, Op, Cit., h. 101.

38 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, h. 91-92.

(39)

mengenai suatu bagian tertentu dari kewenangan. Wewenang (authority) adalah hak untuk memberi perintah, dan kekuasaan untuk meminta dipatuhi.39

Dalam pengertian hukum, Indroharto menyatakan bahwa wewenang merupakan kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat hukum,40dan dimaknai secara luas dan bersifat umum yang disebut sebagai wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Namun demikian konsep wewenang ini selalu dalam kaitannya dengan konsep negara hukum, oleh karena itu penggunaan wewenang tersebut dibatasi atau selalu tunduk pada hukum yang tertulis maupun yang tidak tertulis.41

2. Konsepsi

Konsepsi adalah pemahaman yang terbangun dalam akal dan pikiran penelitian untuk menggunakan teori dan observasi antara abstrak dan kenyataan.

Konsepsi dapat diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi oprasional.42 Kerangka konseptual merupakan suatu pengarahan dan pedoman yang lebih konkrit kepada kerangka teoritis yang seringkali bersifat abstrak. Meskipun demikian suatu kerangka konseptual belaka, kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak sehingga diperlukan defenisi-defenisi oprasional. Defenisi merupakan

39 Ibid

40 Indroharto, Usaha Memahami Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002, h. 68.

41 Ibid., h. 69.

42 Suryadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, h. 15.

(40)

keterangan mengenai maksud untuk memakai sebuah lambing secara khusus yaitu menyatakan apa arti sebuah kata.43

Agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini, maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai, yaitu:

a. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN atau berdasarkan Undang-Undang lainnya.

b. Larangan adalah suatu perintah dari seorang atau sekelompok orang untuk mencegah seseorang melakukan suatu tindakan tertentu.

c. Rangkap Jabatan adalah dua atau lebih jabatan yang dipegang oleh seseorang dalam pemerintahan atau organisasi, seperti sekretaris jenderal, kepala biro.

d. Pemimpin Badan Usaha Swasta adalah seseorang yang menjadi perlengkapan badan usaha dalam melakukan kegiatan dan menjalankan kepengurusan perusahaan sebaik-baiknya dengan tujuan untuk mensukseskan perusahaan.

e. Akta Autentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN.

f. Akibat Hukum adalah akibat yang ditimbulkan dari larangan merangkap jabatan yang dilarang dalam UUJN.

43 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986, h. 132.

(41)

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian dan Sifat Penelitian

Penelitian dalam pelaksanaannya diperlukan dan ditentukan alat-alatnya, jangka waktu, cara-cara yang dapat ditempuh apabila mendapat kesulitan dalam proses penelitian. Penelitian harus dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan konsisten. Metodelogis yang dimaksud berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan pada suatu sistem, dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu.44

Berdasarkan perumusan masalah dalam menyusun penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian yuridis normatif atau doktriner.

Penelitian hukum normatif atau doktriner yaitu metode penelitian hukum yang mempergunakan sumber data sekunder atau dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.45 Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum objektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban).

Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis. Penelitian deskriftif analitis yakni suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Penelitian deskriptif analitis merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau

44 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Grafindo Persada, Jakarta, 2001, h. 42.

45Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, h. 13.

(42)

hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang kecendrungan yang tengah berlangsung kemudian dianalisis dan dilakukan pengambilan kesimpulan atas permasalahan yang di teliti.46

2. Sumber Data

Sumber data yang terdapat dalam penelitian ini diambil dari data-data sekunder, dan adapun data-data sekunder yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, yang artinya mempunyai otoritas yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang.47 Dalam penelitian ini diantaranya UUJN serta peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan objek penelitian.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder berupa pendapat hukum, doktrin dan teori yang diperoleh dari literatur hukum, hasil penelitian, artikel ilmiah, maupun website yang terkait dengan penelitian Tesis ini. Bahan hukum sekunder digunakan untuk memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer.

Bahan hukum sekunder ini bertujuan agar penelitian ini akan terbantu untuk memahami atau menganalisis bahan hukum primer.

c. Bahan hukum tersier

46 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2010, h. 35.

47 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2010, h.142.

(43)

Pada bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan dan petunjuk terhadap konsep-konsep dan keterangan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensklopedia dan sebagainya.

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Teknik dan alat pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) yang memiliki tujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan informasi-informasi serta pemikiran konseptual, baik itu peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.48 Pada studi kepustakaan ini dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, mengindentifikasi bahan-bahan studi kepustakaan dan ditambah dengan wawancara sebagai data pelengkap.

4. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Cq. Majelis Pengawas Pusat Notaris.

5. Analisis Data

Analisis data merupakan merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menggunakan data dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data.49 Didalam penelitian yuridis normatif pada hakikatnya

48 Jhonny Ibrahim, Teori dan Metedeologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2007, h.192.

49 Ibid, h. 28.

(44)

berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis untuk memudahkan pekerjaan analisis dan kontruksi.50

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum lalu kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori- kategori atas dasar pengertian-pengertian dari sistem hukum tersebut. Data yang telah dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis dengan analisis data kualitatif, yaitu sebagai berikut: 51

a. Mengumpulkan bahan hukum, berupa inventarisasi peraturan perundang- undangan yang terkait dengan pertanggungjawaban yang dilakukan seseorang dalam perbuatan melawan hukum.

b. Memilih bahan hukum yang sudah dikumpulkan dan selanjutnya melakukan sistematisasi bahan hukum sesuai dengan permasalahan yang dikaji di dalam penelitian yang terkait dengan pertanggungjawaban yang dilakukan seseorang dalam perbuatan melawan hukum.

c. Menganalisis bahan hukum dengan membaca dan menafsirkannya untuk menemukan kaiedah, asas dan konsep yang terkandung di dalam bahan hukum tersebut khususnya yang terkait dengan pertanggungjawaban yang dilakukan seseorang dalm perbuatan melawan hukum.

d. Menemukan hubungan konsep, asas dan kaidah tersebut dengan menggunakan teori sebagai pisau analisis.

e. Penarikan kesimpulan untuk menjawab permasalahan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan hubungan-hubungan konsep, asas, kaidah yang terkait sehingga memperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penulisan yang dirumuskan.

50 Sahyono Makmun, Metode Penelitian Hukum, Intitama Sejahtera, Jakarta, 2006, h. 24.

51Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Rosda Karya, Jakarta, 2008, h. 48.

(45)

A. Tinjauan Tentang Notaris 1. Pengertian Notaris

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Notaris mempunyai arti orang yang mendapat kuasa dari pemerintah berdasarkan penunjukan (dalam hal ini adalah Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia) untuk mengesahkan dan menyaksikan berbagai surat perjanjian, surat wasiat, akta, dan sebagainya”52. Notaris berasal dari kata "nota literaria" yaitu tanda tulisan atau karakter yang dipergunakan untuk menuliskan atau menggambarkan ungkapan kalimat yang disampaikan narasumber. Tanda atau karakter yang dimaksud merupakan tanda yang dipakai dalam penulisan cepat (stenografie).

Pengertian Notaris menurut Pasal 1 angka 1 UUJN menentukan “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”. Sementara dalam penjelasan atas UUJN menyatakan bahwa : “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik sejauh pembuatan akta autentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya”.

52 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ke-3, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, h. 618.

(46)

Pengertian yang diberikan oleh UUJN tersebut merujuk pada tugas dan wewenang yang dijalankan Notaris. Artinya Notaris memiliki tugas sebagai pejabat umum dan memiliki wewenang untuk membuat akta autentik serta kewenangan lainnya yang diatur oleh UUJN.53 Seorang Notaris menurut pendapat Tan Thong Kie yaitu: “Notaris adalah seorang fungsionaris dalam masyarakat, hingga sekarang jabatan seorang Notaris masih disegani.

Seorang Notaris biasanya dianggap sebagai seorang pejabat tempat seseorang dapat memperoleh nasihat yang boleh diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkan (konstatir) adalah benar, ia adalah pembuatan dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.54 Lebih lanjut mengenai seorang Notaris, Tan Thong Kie menjalankan sebagai berikut:

“Setiap masyarakat membutuhkan seseorang (figur) yang keterangan- keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercayai, yang tanda tangannya serta segelnya (capnya) memberi jaminan dan bukti kuat, seorang ahli yang tidak memihak dan penasihat yang tidak ada cacatnya, yang tutup mulut, dan membuat suatu perjanjian yang dapat melindunginya di hari- hari yang akan dating. Kalau seorang Advokat membelah hak-hak seseorang ketika timbul suatu kesulitan, maka seorang Notaris harus berusaha mencegah terjadinya kesulitan itu.”55

Di dalam tugasnya sehari-hari Notaris menetapkan hukum dalam aktanya sebagai akta autentik yang merupakan alat bukti yang kuat sehingga memberikan pembuktian lengkap kepada para pihak yang membuatnya. Sebagai salah satu pejabat umum, Notaris mempunyai peranan penting dalam

53 Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika, UII Press, Jakarta, 2009, h. 14.

54 Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba‐Serbi Praktek Notaris, Buku I, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000, h. 157.

55 Ibid, h.162.

(47)

menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum melalui akta autentik yang dibuat oleh atau dihadapannya, mengingat akta autentik sebagai alat bukti terkuat dan memiliki nilai yuridis yang esensial dalam setiap hubungan hukum bila terjadi sengketa dalam kehidupan masyarakat.

Menurut G.H.S Lumban Tobing:

“Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta autentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain”.56

Mendasarkan pada nilai moral dan nilai etika Notaris, maka pengembanan jabatan Notaris adalah pelayanan kepada masyarakat (klien) secara mandiri dan tidak memihak dalam bidang kenotariatan yang pengembanannya dihayati sebagai panggilan hidup bersumber pada semangat pengabdian terhadap sesama manusia demi kepentingan umum serta berakar dalam penghormatan terhadap martabat manusia pada umumnya dan martabat Notaris pada khususnya.57

Awalnya jabatan Notaris hakikatnya ialah sebagai pejabat umum (private notary) yang ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk melayani kebutuhan masyarakat akan alat bukti autentik yang memberikan kepastian hubungan Hukum Perdata, jadi sepanjang alat bukti autentik tetap diperlukan oleh sistem hukum negara maka jabatan Notaris akan tetap diperlukan eksistensinya di tengah

56 G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Cetakan Ketiga, Erlangga, Jakarta, 1992, h. 31

57 Herlien Budiono, Notaris dan Kode Etiknya, Upgrading dan Refreshing Course Nasional Ikatan Notaris Indonesia, Medan, 2007, h. 3.

Gambar

Tabel 1. Perbandingan putusan MPD, MPW dan MPP
Tabel 2. Alur rangkap jabatan yang dilakukan terlapor

Referensi

Dokumen terkait

Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) adalah Kredit yang diberikan oleh bank kepada debitur untuk digunakan membeli atau membayar sebuah bangunan rumah tinggal

37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU merupakan prosedur dan tata cara dalam melakukan renvoi terhadap perbedaan atau selisih dari jumlah hutang debitor pailit yang

Dari hasil penelitian ini juga diketahui bahwa undang-undang telah mengatur umur para pihak yang hendak melakukan perbuatan hukum, termasuk dalam hal yang

Kendala yang dialami PPAT dalam melaksanakan perannya turut mengawasi pemungutan BPHTB atas transaksi jual beli hak atas tanah dan bangunan di Kabupaten Samosir antara

atas 3 (tiga) objek tanah dan bangunan tersebut sekaligus melakukan peralihan hak atau balik nama ke atas nama Penggugat. Pertimbangan hukum oleh majelis hakim

Dalam hal status kekuatan alat bukti akta Notaris, suatu akta tersebut dapat mengalami penurunan mutu atau kemunduran atau kemerosotan status apabila dalam

Selain pengajuan gugatan derivatif sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap pemegang saham, apabila direksi lalai dalam pelaksanaan tugas dalam hal ini

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan menjelaskan kejadian yang diamati, yaitu menggali mengenai kekuatan hukum atas