BAB I PENDAHULUAN
G. Metode Penelitian
5. Analisis Data
Menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dan mengelolah secara sistematis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tersebut dengan mengunakan analisis kualitatif. Analisis secara kualitatif dimaksudkan dengan menganalisis data berdasarkan pandangan teori dan bahan hukum yang ada maka dapat ditarik kesimpulan sehingga dapat dikemukakan yang perlu dalam penelitan ini.
A. Peraturan Perundang-Undangan
1. Pengertian Peraturan Perundang-undangan
Istilah ”Peraturan perundang-undangan” merupakan terjemahan dari kata ”wetgeving”, sebagaimana dikutip oleh I Gde Pantja dan Suprin Na’a dari kamus Hukum Fockema Andreae ”wetgeving” diartikan51 :
a. Perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan negara, baik tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah.;
b. Perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan–peraturan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Proses Pembentukan peraturan-peraturan negara dan hakikat Peraturan negara yang telah dihasilkan melalui proses Pembentukan Perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun daerah merupakan pembahasan dalam Perundang-undangan.
Pengertian Peraturan Perundang-undangan juga dapat ditemukan pada buku Peranan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Pembinaan Hukum Nasional yaitu sebagai setiap putusan tertulis yang dibuat, ditetapkan, dan
51 I Gde Pantja dan Suprin Na’a, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-Undangan di Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 2008), hlm. 14.
dikeluarkan oleh lembaga dan atau pejabat negara yang mempunyai dan/atau menjelmakan fungsi legislatif sesuai dengan tata cara yang berlakux.52
Pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa:
“Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.”
2. Karakteristik Peraturan Perundang-undangan
Dari sisi teoretis, peraturan perundang-undangan mempunyai sifat-sifat khusus, yaitu53:
a. Norma hukum (rechtsnormen);
b. Berlaku keluar (naar buiten werken);
c. Bersifat umum dalam arti luas;
d. Bersifat futuristik;
e. Berlaku terus menerus (dauerhaftig);
f. Bersifat hierarkis (stufenbau des rechts).
Satjipto Rahardjo menyebutkan pandangannya bahwa suatu peraturan perundang-undangan menghasilkan peraturan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut54:
a. Bersifat umum dan komprehensif, sehingga merupakan kebalikan dari sifat-sifat khusus yang terbatas;
b. Bersifat universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk konkretnya. Oleh karena itu, ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja;
dan
52 Bagir Manan dan Kunta Magnar, Peranan Peraturan Perundang-Undangan dalam Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Armico, 1987), hlm. 16.
53 I Gde Pantja dan Suprin Na’a, Op.Cit., hlm. 18.
54 Satjipto Rahadjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 83-84.
c. Memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri.
Dalam setiap peraturan, lazimnya mencantumkan klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali.
Ditinjau dari aspek materi muatannya, peraturan perundang-undangan bersifat mengatur (regeling) secara umum dan abstrak, tidak konkrit dan individual seperti keputusan penetapan. Sifat umum dan abstrak yang dilekatkan sebagai ciri peraturan perundang-undangan dimaksudkan untuk membedakan dengan keputusan tertulis pejabat atau lingkungan yang berwenang yang bersifat individual dan konkret, yakni ketetapan (beschikking).
Kaidah umum selalu bersifat abstrak karena ditujukan kepada semua subjek yang terkait tanpa menunjukkan atau mengaitkannya dengan subjek konkret, pihak atau individu tertentu. Sementara kaidah hukum individual selalu bersifat konkret karena ditujukan kepada orang tertentu, pihak atau subjek-subjek hukum tertentu atau peristiwa dan keadaan-keadaan tertentu.55
Di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pada Bab II Asas Peraturan Perundang-undangan pada Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7, ditentukan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, antara lain:56
a. Kejelasan tujuan; adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai
55 Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., hlm. 4.
56 Ibid., hlm. 139.
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memerhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundangundangannya
d. Dapat dilaksanakan; adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang betul-betul dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
f. Kejelasan rumusan; adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya
g. Keterbukaan; adalah bahwa dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk seluasluasnya memberikan masukan dalam proses pembuatan atau pembentukan peraturan perundang-undangan
3. Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan
Hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Hirarki peraturan perundang-undangan sebelum diatur dalam bentuk Undang-Undang, mengacu pada dua Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPR/MPRS), yaitu sebagai berikut :
a. Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR Mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundangundangan RI:
1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3) Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4) Peraturan Pemerintah;
5) Keputusan Presiden; dan
6) Peraturan-peraturan Pelaksana lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lainnya.
b. Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan:
1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
3) Undang-undang;
4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
5) Peraturan Pemerintah;
6) Keputusan Presiden; dan 7) Peraturan Daerah.
c. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2) Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3) Peraturan Pemerintah;
4) Keputusan Presiden; dan 5) Peraturan Daerah:
a) Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama dengan Gubernur;
b) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya.
d. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3) Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang;
Peraturan Pemerintah;
4) Peraturan Presiden;
5) Peraturan Daerah Provinsi; dan 6) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Sejak tahun 1966 sampai dengan tahun 2011 telah terjadi empat kali perubahan terhadap hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia yang mengindikasikan dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan Republik Indonesia, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan merupakan suatu hal yang mendasar.
B. Peraturan Kebijakan
1. Pengertian Peraturan Kebijakan
Konsep peraturan kebijakan dalam sistem hukum di Indonesia berkaitan dengan kekuasaan bebas (freies Ermessen atau diskresi57) yang dimiliki oleh pemerintah. Tugas-tugas pemerintahan dalam memenuhi kesejahteraan rakyat (Welfare State) dapat diselenggarakan jika pemerintah diberi kebebasan untuk mengambil kebijakan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Kebijakan-kebijakan pejabat administrasi negara itu kemudian dituangkan dalam bentuk peraturan kebijakan. Dengan demikian maka Eksistensi peraturan kebijakan tersebut merupakan konsekuensi atas negara hukum kesejahteraan.
57 Diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. (Lihat, Pasal 1 angka 9 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan)
Peraturan kebijakan (beleidsregel) pengertiannya tidak dapat dirujuk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, karena tidak memberikan pengertian yang komprehensif tentang peraturan kebijakan.
Mengacu pada pendapat ahli hukum Laica Marzuki yaitu Peraturan kebijakan dengan mengacu pada tiga komponen peraturan kebijakan. Pertama, peraturan kebijakan dibuat oleh badan atau pejabat tata usaha negara sebagai perwujudan penggunaan diskresi dalam bentuk tertulis yang diumumkan keluar lalu mengikat para warga. Kedua, isi peraturan kebijakan memuat aturan umum tersendiri yang melampaui cakupan kaidah peraturan perundang-undangan yang dibuatkan pengaturan operasional. Ketiga, badan atau pejabat tata usaha negara yang membuat peraturan kebijakan tidak memiliki kewenangan perundang-undangan.58
Bagir Manan memberikan pandangan bahwa salah satu ciri utama peraturan kebijakan adalah tidak adanya wewenang pemerintah membuat peraturan tersebut. Tidak adanya wewenang dalam hal ini perlu diinterpretasikan sebagai tidak adanya peraturan perundang-undangan yang secara tegas memberikan kewenangan pada pemerintah untuk mengeluarkan peraturan kebijakan tersebut. Walaupun tidak ada kewenangan yang diberikan namun seringkali permasalahan yang ada membuat pemerintah tidak dapat
58 Laica Marzuki, Peraturan Kebijakan (Beleidsregel): Hakikat serta Fungsinya Selaku Sarana Hukum Pemerintahan, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2010), hlm. 58.
menyelesaikannya jika hanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada. Dalam sudut pandangan keadaan yang mendesak inilah peraturan kebijakan menjadi relevan untuk dibuat oleh pemerintah.
Menurut pendapat Darumurti peraturan kebijakan merupakan produk dari tindakan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan publik yang harus diberikan pemerintah. Pemerintah dalam menjalankan fungsinya pada pelayanan publik harus berperan aktif dalam bidang kehidupan sosial ekonomi masyarakat sehingga Pemerintah tidak boleh menolak untuk bertindak dengan dalih terjadi kekosongan pengaturan hukum.59
Sedangkan menurut Philipus Hadjon bahwa suatu peraturan kebijakan pada hakikatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara yang bertujuan menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis tanpa didasarkan pada kewenangan pembuatan peraturan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang menciptakan peraturan kebijakan tersebut.60 Philipus Hadjon, seperti halnya Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan menggolongkan peraturan kebijakan bukan sebagai peraturan perundang-undangan.
59 Krishna D. Darumurti, Kekuasaan Diskresi Pemerintah, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012), hlm. 57-58.
60 Victor Imanuel, Konsep Uji Materil, (Malang: Setara Press, 2013), hlm. 35.
2. Karakteristik Peraturan Kebijakan
Peraturan Perundang-undangan dan peraturan kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan berjalan berdampingan. sebagaimana yang dikatakan oleh Abdul Hamid S. Attamimi bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, terdapat dua jenis peraturan yang dapat berlaku secara berdampingan, yaitu peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan.61
Bentuk formal peraturan kebijakan sering tidak berbeda atau tidak dapat dibedakan dari format peraturan perundang-undangan yang sering membuat masyarajat secara umum tidak mudah membedakannya. Hotma P.
Sibuea mengutip Van Kreveld mengemukakan unsur yang membedakan peraturan kebijakan dari peraturan perundang-undangan secara lebih luas.
Secara singkat, Van Kreveld mengemukakan bahwa peraturan kebijakan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:62
a. Peraturan itu, langsung ataupun tidak langsung, tidak berdasar pada ketentuan formele wet (undang-undang) ataupun Grondwet (Undang-undang Dasar) yang membrikan kewenangan mengatur, dengan perkataan lain tidak mempunyai dasar hukum yang tegas dalam wet.
b. Peraturan itu dapat :
1) Tidak tertulis, kemudian terjadi serangkaian keputusan instansi pemerintah yang berdiri sendiri dalam rangka menyelenggarakan kewenangan pemerintah yang tidak terikat;
2) Ditetapkan dengan tegas secara tertulis oleh suatu instansi pemerintah.
c. Peraturan itu pada umumnya menunjukkan bagaimana suatu instansi pemerintah akan bertindak, dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintah yang tidak terikat, terhadap setiaporang dalam situasi sebagaimana dimaksud dalam peraturan itu.
61 Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), hlm. 102.
62 Ibid., hlm. 105
Menurut Laica Marzuki karakteristik peraturan kebijakan ialah:63 a. Freis ermessen;
b. Tertulis;
c. Bukan bagian dari perundang-undangan;
d. Tidak dapat diajukan ke pengadilan
Adapun tiga komponen utama dari peraturan kebijakan menurut Laica Marzuki, yakni:64
a. Komponen subjektum
Peraturan kebijakan (beleidsregel) dibuat badan atau pejabat tata usaha negara sebagai perwujudan penggunaan freis ermessen (discretionary power) dalam bentuk tertulis yang diumumkan keluar lalu mengikat keluar
b. Komponen materi
Isi Peraturan kebijakan (beleidsregel) memuat aturan umum (algemene regel) tersendiri yang melampaui cakupan kaidah (materalsphara) peraturan perundang-undangan yang dibuatkan pengaturan operasional.
c. Komponen kewenangan (bavoegheid)
Badan atau pejabat tata usaha negara yang membuat peraturan kebijakan tidak memiliki kewenangan perundang-undangan namun secara tidak langsung mengikat warga negara sebagaimana halnya dengan kaidah-kaidah “juridische regels”.
Tanda pengenal utama beleidsregel adalah pengaturannya tidak secara tegas diperintahkan Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang. Dengan kata lain, tidak ada atribusi kewenangan reglementer dari Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang kepada pejabat atau badan administrasi negara untuk mengeluarkan dan menetapkan beleidsregel.
63 Abdul Razak, “Disertasi: Kedudukan dan Fungsi Peraturan Kebijakan tentang Perizinan dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintahan”, Program Pascasarjana Fakultas Hukum UNHAS, 2005, hlm. 34.
64 Ibid., hlm. 33
3. Bentuk-bentuk Peraturan Kebijakan
Peraturan kebijakan dapat dibentuk dalam berbagai bentuk dokumen tertulis yang bersifat membimbing, menuntun, memberi arahan kebijakan, dan mengatur suatu pelaksanaan tugas dan pekerjaan.65 Menurut Jimly Asshiddiqie peraturan kebijakan dapat dibuat dalam bentuk-bentuk sebagai berikut : 66
a. Surat edaran
b. Surat perintah atau instruksi, contoh: instruksi presiden;
c. Pedoman kerja atau manual;
d. Petunjuk pelaksanaan (Juklak);
e. Petunjuk Teknis (Juknis);
f. Buku panduan atau ‘guide’ (guidance);
g. Kerangka acuan atau Term Of Reference (TOR);
h. Desain kerja atau desain proyek (Project Design);
Penggolongan peraturan kebijakan oleh Bagir Manan sedikit berbeda dengan yang dipaparkan oleh Jimly Asshiddiqie. Menurutnya paling tidak terdapat lima bentuk peraturan kebijakan. Bentuk kebijakan tersebut antara lain;67
a. Peraturan kebijakan yang berbentuk peraturan.
Sebagai contoh bentuk peraturan kebijakan yang berbentuk peraturan adalah Permendagri Nomor 4 Tahun 1976 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyerahan Urusan-Urusan Dari Daerah Tingkat I Kepada Daerah Tingkat II.
b. Peraturan kebijakan yang berbentuk keputusan
Peraturan kebijakan yang berbentuk keputusan bukanlah KTUN. Sifat substansinya berbeda dengan KTUN yang bersifat konkret, individual, dan final. Contoh peraturan kebijakan yang berbetuk keputusan adalah Keppres Nomor 29 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
65 Victor Imanuel, Op.Cit., hlm. 75
66 Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., hlm. 274
67 Bagir Manan dan Kunta Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alumni, 1997), hlm. 171
c. Surat Edaran
Administrasi negara sebagai pelaksana suatu kebijakan tidak dapat begitu saja menyampingkan surat edaran. Walaupun surat edaran bukan merupakan suatu ketentuan hukum tetapi merupakan manifestasi dari kebebasan bertindak yang melekat pada administrasi negara. Dalam administrasi negara juga berlaku asas mematuhi keputusan sendiri dan menjalankan dengan sungguh-sungguh kebijakan yang ditetapkan secara hierarkis dalam lingkungan administrasi negara yang bersangkutan.
d. Instruksi
Instruksi merupakan suatu bentuk keputusan yang bersifat hierarkis, berlaku bagi jajaran administrasi negara di bawah pembuat instruksi.
Berdasarkan isinya, terdapat instruksi yang merupakan peraturan kebijkan. Instruksi tentang kebijakan konkret tertentu (khusus) tidak dapat dimasukkan sebagai peraturan kebijakan. Instruksi untuk melaksanakan tugas tertentu bukanlah peraturan kebijakan jika disertai dengan ketentuan yang bersifat umum.
e. Pengumuman tertulis
Sekitar tahun 1945-1949 cukup banyak dijumpai berbagai macam pengumuman atau maklumat. Namun maklumat yang ditetapkan pada waktu itu tidak selalu bersifat peraturan kebijakan. Pengumuman sebagai peraturan kebijakan juga harus berbentuk tertulis dan bersifat umum.
C. Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018
Suatu norma adalah bukan pernyataan tentang realitas sehingga tidak dapat dikatakan benar atau salah dengan ukuran realitas. Validitas norma tidak karena keberlakuannya. Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannnya dengan sesamanya atau dengan lingkungannya. Istilah norma berasal dari bahasa latin, atau kaidah dalam bahasa arab, dan sering juga disebut pedoman, patokan, atau aturan dalam bahasa Indonesia.68
Norma hukum itu dapat dibentuk secara tertulis ataupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga yang berwenang yang membentuknya, sedangkan norma moral.
68 Maria Farida Indrati, Op.Cit., hlm. 6.
adat, agama, dan lainnya terjadi secara tidak tertulis, tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat.69
Kedudukan Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, Surat Edaran, dan Instruksi Presiden dalam Sistem Hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia baik sebelum berlakunya maupun sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang telah diganti menjadi Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak dikategorikan sebagai peraturan Perundang-undangan, karena Surat Edaran kedudukannya bukan sebagai peraturan Perundangan-undangan, dengan demikian keberadaannya sama sekali tidak terikat dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011.
Dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Nomor 80 Tahun 2012 bahwa Pengertian Surat Edaran adalah Naskah Dinas yang memuat pemberitahuan tentang hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak. Selanjutnya di Permendagri Nomor 55 tahun 2010 tentang tata naskah dinas di lingkungan kementerian dalam negeri, dalam pasal 1 butir 43 dijelaskan bahwa: Surat Edaran adalah naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan dan/atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak. Mengingat isi Surat Edaran hanya berupa pemberitahun, maka dengan sendirinya materi muatannya tidak merupakan norma hukum sebagaimana norma dari suatu peraturan perundangan-undangan. Oleh karena itu Surat Edaran tidak dapat
69 Ibid.,
dijadikan dasar hukum untuk menganulir peraturan Menteri, apalagi Perpres atau PP tetapi semata-mata hanya untuk memperjelas makna dari peraturan yang ingin diberitahukan. Surat Edaran mempunyai derajat lebih tinggi dari surat biasa, karena surat edaran memuat petunjuk atau penjelasan tentang hal-hal yang harus dilakukan berdasarkan peraturan yang ada. Surat Edaran bersifat pemberitahuan, tidak ada sanksi karena bukan norma.70
Surat Edaran merupakan suatu perintah pejabat tertentu kapada bawahannya/orang di bawah binaannya. Surat Edaran tidak mempunyai kekuatan mengikat keluar karena pejabat yang menerbitkannya tidak memiliki dasar hukum menerbitkan surat edaran. Pejabat penerbit Surat Edaran tidak memerlukan dasar hukum karena Surat Edaran merupakan suatu peraturan kebijakan yang diterbitkan semata-mata berdasarkan kewenangan bebas namun perlu perhatikan beberapa faktor sebagai dasar pertimbangan penerbitannya, yaitu :71
1. Hanya diterbitkan karena keadaan mendesak;
2. Terdapat peraturan terkait yang tidak jelas yang butuh ditafsirkan;
3. Substansi tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan;
4. Dapat dipertanggungjawabkan secara moril dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik;
70 Firman Yuliansyah, “Kajian Hukum terhadap terbitnya Surat Edaran Kapolri Nomor 06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech), Jurnal Universitas Muhammadiyah Jember
71 M. Choirul Anam, “Surat Edaran Kapolri Tentang Ujaran Kebencian dalam Kerangka Hak Asasi Manusia”, Jurnal Keamanan Nasional Vol. I , No.3 Tahun 2015, hlm. 35.
Begitu juga apabila ditinjau dari peraturan yang berlaku di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, kedudukan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana merupakan kewenangan yang dimiliki oleh Kapolri, hal ini berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 15 tahun 2007 tentang naskah dinas di lingkungan kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam Peraturan Kapolri Nomor 15 tahun 2007 memberikan definisi dan kedudukan Surat Edaran, Surat Edaran adalah surat yang berbentuk naskah dinas yang dikeluarkan oleh Kapolri memuat pemeberitahuan tentang tata cara yang berlaku ataupun ketentuan yang harus diperhatikan berdasarkan kebijaksanaan pelaksanaan.
Apabila ditinjau dari kewenangan menurut Philipus M. hadjon yang membagi cara memperoleh wewenang atas dua cara, yaitu:72
1. atribusi; dan
2. delegasi dan mandat.
Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada Undang-Undang dalam arti materiil. Atribusi juga dikatakan sebagai suatu cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan.
Sehingga tampak jelas bahwa kewenangan yang didapat melalui atribusi oleh organ pemerintah adalah kewenangan asli, karena kewenangan itu diperoleh langsung dari peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, atribusi berarti timbulnya
72 Philipus M. Hadjon, “Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuur bevoegdheid)”, Jurnal Pro Justitia, Tahun XVI Nomor 1, Januari 1998.
kewenangan baru yang sebelumnya kewenangan itu tidak dimiliki oleh organ pemerintah yang bersangkutan. Sehingga kewenangan Kapolri berasal dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kapolri dapat dikategorikan sebagai Pejabat Tata Usaha Negara Republik Indonesia.
Kemudian Delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang untuk membuat besluit oleh pejabat pemerintahan (pejabat Tata Usaha Negara) kepada pihak lain tersebut.
Dengan kata penyerahan, ini berarti adanya perpindahan tanggung jawab dan yang memberi delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi (delegetaris).
Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018 Tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana merupakan produk dari Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yaitu Kapolri yang berupa suatu peraturan kebijakan (beleidsregel) atau delegasi memberikan instruksi (petunjuk) dari Kapolri sebagai pejabat TUN yang berwenang dan memimpin institusi Polri berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia kepada anggota Polri sebagai pedoman bagi penyelidik dan penyidik Polri dalam penerapan keadilan secara musyawarah mufakat (Restorative justice) dalam penyelesaian perkara pidana.
Teori Hans kelsen tentang hierarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie) yang kemudian dikembangkan oleh Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah:
Teori Hans kelsen tentang hierarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie) yang kemudian dikembangkan oleh Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah: