• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS. Oleh : NELSON SYAH HABIBI S / HK PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TESIS. Oleh : NELSON SYAH HABIBI S / HK PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)ANALISIS HUKUM TERHADAP KEADILAN SECARA MUSYAWARAH MUFAKAT DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT KEPOLISIAN (Studi Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/8/VII/2018). TESIS. Oleh :. NELSON SYAH HABIBI S. 177005084 / HK. PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019. Universitas Sumatera Utara.

(2) ANALISIS HUKUM TERHADAP KEADILAN SECARA MUSYAWARAH MUFAKAT DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT KEPOLISIAN (Studi Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/8/VII/2018). TESIS. Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Oleh :. NELSON SYAH HABIBI S. 177005084 / HK. PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019. Universitas Sumatera Utara.

(3) Universitas Sumatera Utara.

(4) Telah diuji Pada tanggal : 25 Juli 2019. PANITIA PENGUJI TESIS Ketua. : Prof. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S.. Anggota. : 1. Dr. M. Hamdan, S.H., M.H 2. Dr. Marlina, S.H., M.Hum 3. Dr. Edi Yunara, S.H., M.Hum 4. Dr. Sutiarnoto, S.H., M.Hum. Universitas Sumatera Utara.

(5) Universitas Sumatera Utara.

(6) ABSTRAK Sistem dan metode penegakan hukum di Indonesia menunjukkan adanya perkembangan pada keadilan masyarakat secara musyawarah mufakat (restorative justice) yang merefleksikan keadilan sebagai keseimbangan hidup manusia, sehingga perilaku menyimpang dari pelaku kejahatan dinilai sebagai perilaku yang menghilangkan keseimbangan, dengan demikian model penyelesaian perkara yang dilakukan adalah upaya mengembalikan keseimbangan tersebut, menjawab perkembangan kebutuhan hukum masyarakat serta memenuhi rasa keadilan semua pihak, Kapolri sebagai pimpinan instisusi yang diberikan kewenangan selaku penyelidik dan penyidik tindak pidana kemudian menerbitkan Surat Edaran Nomor : 8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana, dengan harapan mengakomodir nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Permasalahan yang dikemukakan, Pertama, kedudukan Surat Edaran Nomor : 8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana dalam hirarki perundang-undangan di Indonesia, Kedua, Proses penyelesaian perkara pidana dengan penerapan keadilan secara musyawarah mufakat (Restorative Justice) di tingkat Kepolisian, Ketiga, Kedudukan perkara pidana yang diselesaikan dengan keadilan secara musyawarah mufakat (Restorative Justice) di Kepolisian. Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridus normatif. Kedudukan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018 merupakan peraturan kebijakan (beleidsregel) atau instruksi (petunjuk) dari Kapolri sebagai pejabat TUN yang berwenang kepada anggota Polri berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bukanlah suatu bagian dari konteks Perundang-undangan, tidak bersifat pengaturan yang bisa mengikat masyarakat, melainkan petunjuk teknis atau pedoman yang mengikat ke dalam, namun merupakan manifestasi upaya Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana dan diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan ditengah masyarakat dengan diperolehnya hasil kesepakatan yang memuaskan sesuai dengan keinginan pihak-pihak yang berperkara (win-win solution). Proses pelaksanaannya di tingkat Kepolisian dengan dicapainya suatu kesepakatan perdamaian antara pihak pelapor (korban) dan terlapor (tersangka), diakhiri dengan penerbitan surat perintah Penghentian Penyelidikan/Penyidikan dan Surat Ketetapan Penghentian Penyelidikan/Penyidikan dengan alasan Restorative justice yang ditandatangani oleh atasan penyidik (Kabareskrim/Kapolda/Kapolres). Kedudukan perkara pidana yang diselesaikan perkara yang diselesaikan melalui diversi berdasarkan UU SPPA atau perkara yang merupakan delik aduan akan selesai dan memiliki kepastian hukum, namun Perkara dengan delik umum masih terdapat peluang untuk dilanjutkan perkaranya apabila dikemudian hari pihak korban merasa tidak puas atau keberatan atas perdamaian yang dicapai sebelumnya. Hasil perdamaian akan menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan putusannya. Kata Kunci : Musyawarah Mufakat, Restorative Justice, Penyelesaian Perkara Pidana i Universitas Sumatera Utara.

(7) ABSTRACT Law enforcement systems and methods in Indonesia show that there is a development in community justice by consensus (Restorative Justice) that reflects justice as a balance of human life, so that deviant behavior from criminals is considered as a behavior that eliminates balance, so the model of case settlement is an effort to restore that balance. answer the development of the legal needs of the community and fulfill the sense of justice of all parties, the Kapolri as the head of the institution given the authority as investigator and criminal investigator then issues Circular Number: 8/VII/2018 concerning Restorative Justice in the Settlement of Criminal Cases, with hope to accommodate the values of justice in society The problems raised, First, the position of Circular Number: 8/VII/2018 concerning the Implementation of Restorative Justice in the Settlement of Criminal Cases in the hierarchy of legislation in Indonesia, Secondly, the process of resolving criminal cases with the application of justice by consensus (Restorative Justice) at the Police level, Third, the position of criminal cases resolved with justice by means of Restorative Justice at the Police. This type of research is normative juridus research. The position of Circular of Kapolri Number SE/8/VII/2018 is a policy regulation (beleidsregel) or instructions (instructions) from the National Police Chief as TUN officials authorized to members of the National Police based on Law Number 2 of 2002 concerning the Indonesian National Police are not part from the Legislative context, it is not regulative that can bind the community, but technical instructions or guidelines that are binding inward, but are manifestations of the Police's efforts in overcoming criminal acts and are expected to fulfill a sense of justice among the community by obtaining satisfactory agreement according to their wishes win-win solutions. The implementation process is at the Police level with the achievement of a peace agreement between the reporting party(victim) and the reported party (suspect), ending with the issuance of an order to terminate the Investigation / Investigation Letter with the reason that Restorative justice is signed by the supervisor's investigator (Kabareskrim / Kapolda / Kapolres). The criminal case that is settled in a case resolved through diversion based on the SPPA Law or case which is a complaint offense will be completed and has legal certainty, but the case with a general offense still has the opportunity to continue if the victim feels dissatisfied or objects to the peace achieved before. The results of peace will be a consideration of the judge in giving his decision. Keywords : Consensus, Restorative Justice, Criminals Case Settlement. ii Universitas Sumatera Utara.

(8) KATA PENGANTAR. Dengan mengucap puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas karunia Nya yang begitu besar kepada kita semua. Terlebih kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul “Analisis Hukum Terhadap Keadilan Secara Musyawarah Mufakat Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Di Tingkat Kepolisian (Studi Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/8/VII/2018)". Tesis ini diajukan sebagai satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Hukum dalam bidang Ilmu Hukum. Dengan kerendahan hati yang tulus dan ikhlas, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum dan para Wakil Rektor, para Kepala Biro dan Lembaga atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister (S.2);. 2.. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum;. 3.. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum, Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum;. 4.. Prof. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S., selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan banyak bimbingan dan arahannya dalam menyelesaikan tesis ini;. 5.. Dr. M. Hamdan, S.H., M.H, selaku Dosen Pembimbing II yang memberikan banyak bimbingan serta nasehat kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini; iii Universitas Sumatera Utara.

(9) 6.. Dr. Marlina, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing III yang telah memberikan banyak masukan dan arahan yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini;. 7.. Dr. Edi Yunara, S.H., M.Hum., selaku Dosen penguji, yang telah memberikan banyak masukan dan pendapat guna perbaikan penulisan tesis ini;. 8.. Dr. Sutiarnoto, S.H., M.Hum., selaku Dosen penguji, yang telah memberikan banyak masukan dan pendapat guna perbaikan penulisan tesis ini;. 9.. Seluruh Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan dan mencurahkan ilmu pengetahuan hukum kepada penulis, serta seluruh Staf/Pegawai Adminstrasi Universitas Sumatera Utara yang telah membantu melancarkan segala urusan berkenaan dengan administrasi dan informasi selama studi berlangsung;. 10.. Orang tua tercinta Ayahanda H. Saksi Sembiring dan Ibunda Hj. Yerita Br. Tarigan yang selalu memberikan motivasi dan do’a agar penulis mencapai citacita yang setinggi-tingginya dan selalu memberikan semangat serta dukungan untuk menyelesaikan studi ini;. 11.. Ayah mertua Dharma Sinulingga, S.H., dan Ibu Mertua Rostina Br. Sembiring, S.H., yang turut memberikan semangat serta dukungan dalam menjalani studi ini;.. 12.. Yang tercinta Istriku dr. Vivianna Sari Sinulingga, dan putra kami Habib Aditya Karim Sembiring serta putri kami Hanin Assyfa Sembiring, dengan iv Universitas Sumatera Utara.

(10) merekalah penulis termotivasi dalam setiap langkah, baik dalam pekerjaan maupun dalam pendidikan; 13.. Abang dan Kakak yang telah banyak memberikan dukungan untuk menyelesaikan studi ini.. 14.. Yang terhormat, Bapak Kapolres Pelabuhan Belawan AKBP Ikhwan, S.H., M.H., Wakapolres Pelabuhan Belawan Kompol Taryono Raharja, S.H., S.I.K., dan Kasat Intelkam Iptu Sutarjo B.I. Manullang yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat melaksanakan studi ini.. 15.. Rekan Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara angkatan tahun 2017, serta teman-teman sekantor yang tidak dapat disebutkan satu persatu; Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang banyak. memberikan bimbingan dan pandangan kepada Penulis. Kiranya mendapatkan imbalan kebaikan dari Allah SWT. Akhirnya harapan Penulis semoga tesis ini dapat bermanfaat.. Medan,. Juli 2019. Penulis,. Nelson Syah Habibi S.. v Universitas Sumatera Utara.

(11) DAFTAR RIWAYAT HIDUP I.. II.. Identitas Pribadi Nama. :. Nelson Syah Habibi S.. Tempat & Tgl Lahir. :. Medan, 27 Maret 1989. Jenis Kelamin. :. Laki-laki. Agama. :. Islam. Pekerjaan. :. Polri. Alamat. :. Jalan M. Syuhada Gg. Singalorlau No. 22 Kel. Beringin Kec. Medan Selayang Kota Medan. Status. :. Menikah. Email. :. nelsonsyahhabibi@gmail.com. Pendidikan SD Negeri 2 Subulussalam, Aceh, (1995-2000) Sekolah Dasar (SD) Negeri 060891, Medan, (2000-2001) SMP Swasta Supriyadi, Medan, (2001-2004) SMA Negeri 4 Medan, Medan, (2004-2007) SPN Sampali Polda Sumut, Medan, (2007) Fakultas Hukum Universitas Amir Hamzah, Medan, (2008-2012) Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, (2017-2019). vi Universitas Sumatera Utara.

(12) DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK........................................................................................................ ABSTRACT....................................................................................................... KATA PENGANTAR ...................................................................................... DAFTAR RIWAYAT HIDUP ......................................................................... DAFTAR ISI .................................................................................................... DAFTAR SKEMA ........................................................................................... BAB I. BAB II. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ............................................................................ B. Perumusan masalah ..................................................................... C. Tujuan Penelitian ........................................................................ D. Manfaat Penelitian ...................................................................... E. Keaslian Penelitian ...................................................................... F. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual .................................. 1. Kerangka Teori ....................................................................... 2. Kerangka Konseptual.............................................................. G. Metode Penelitian ....................................................................... 1. Jenis dan Sifat Penelitian ........................................................ 2. Pendekatan Penelitian ............................................................. 3. Data Penelitian (Bahan Hukum).............................................. 4. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ........................................ 5. Analisis Data ........................................................................... i ii iii vi vii ix. 1 12 13 13 14 17 17 24 27 27 28 29 31 32. KEDUDUKAN SURAT EDARAN KAPOLRI NOMOR SE/8/VII/2018 DALAM HIERARKI PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Peraturan Perundang-Undangan .................................................. 33 1. Pengertian Peraturan Perundang-undangan ............................. 33 2. Karakteristik Peraturan Perundang-undangan.......................... 34 3. Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan .................. 36 B. Peraturan Kebijakan .................................................................... 38 1. Pengertian Peraturan Kebijakan .............................................. 38 2. Karakteristik Peraturan Kebijakan .......................................... 41 3. Bentuk-bentuk Peraturan Kebijakan ........................................ 43 C. Surat Edaran Kapolri ................................................................... 44. vii Universitas Sumatera Utara.

(13) BAB III. PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN KEADILAN SECARA MUSYAWARAH MUFAKAT (RESTORATIVE JUSTICE) DI TINGKAT KEPOLISIAN A. Perkembangan Penerapan Keadilan Secara Musyawarah Mufakat (Restorative Justice) pada Polri ................................................... 54 B. Rujukan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018 ................. 61 C. Kewenangan Polri dalam Proses Penanganan Perkara Pidana ...... 63 D. Penerapan Restorative Justice oleh Polri ..................................... 68 1. Restorative Justice demi kepentingan umum dan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat berdasarkan diskresi Kepolisian .............................................................................. 71 2. Restorative Justice pada Proses Penanganan Perkara Pidana ... 80 E. Persyaratan penyelesaian perkara dengan keadilan secara musyawarah mufakat (Restorative Justice) pada Polri sesuai Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018 ................................................................. 87 1. Syarat Formil .......................................................................... 87 2. Syarat Materiil ........................................................................ 88 F. Mekanisme penyelesaian perkara dengan keadilan secara musyawarah mufakat (Restorative Justice) pada Polri sesuai Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018 ................................................................. 90. BAB IV. KEDUDUKAN PERKARA YANG DISELESAIKAN DENGAN KEADILAN SECARA MUSYAWARAH MUFAKAT (RESTORATIVE JUSTICE) DI KEPOLISIAN A. Kedudukan Perdamaian dalam Sistem Pemidanaan yang dianut oleh Hukum di Indonesia .................................................................... 94 B. Perdamaian sebagai Alasan hilangnya sifat melawan hukum dalam pertimbangan Hakim ................................................................... 100 C. Perkara yang diselesaikan dengan Perdamaian sebagai Penerapan Keadilan Secara Musyawarah Mufakat (Restorative Justice) di Kepolisian ................................................................................... 106. BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ................................................................................. 109 B. Saran ........................................................................................... 111. DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 113. viii Universitas Sumatera Utara.

(14) DAFTAR SKEMA. Skema 1 : Mekanisme Pelaksanaan Penyelesaian Kasus secara Restorative justice tanpa bersentuhan dengan Sistem Peradilan Pidana ....................... 68 Skema 2 : Mekanisme Pelaksanaan Penyelesaian Kasus secara Restorative justice dengan bersentuhan dengan Sistem Peradilan Pidana ..................... 69 Skema 3 : Implementasi keadilan musyawarah mufakat (Restorative justice) pada proses penanganan perkara pidana ................................................. 82 Skema 4 : Sistematika penyidikan dengan menerapkan Restorative justice ..... 84. ix Universitas Sumatera Utara.

(15) BAB I PENDAHULUAN. A.. Latar Belakang Negara. Kesatuan. Republik. Indonesia. merupakan. negara. hukum. (Rechsstaat), tidak berdasarkan kepada kekuasaan belaka (Machsstaat), sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut Daniel S. Lev, penegasan yuridis-konstitusional oleh para founding fathers sebagaimana di atas sangatlah tepat, karena memang secara sosiologis berbagai golongan masyarakat Indonesia juga menopang/setuju negara hukum dengan berbagai alasan.1 Hal ini mempunyai makna bahwa semua subsistem dari penyelenggaraan negara Indonesia dan sistem ketatanegaraannya, sistem tertib sosialnya harus diatur oleh hukum, dan juga semua elemen alat kekuasaan negara serta warga negara harus patuh pada hukum yang diciptakan untuk negara hukum Indonesia tersebut. Inilah juga disebut paham konstitusionalisme yang dianut dalam negara hukum. Oleh karena hukum menjadi sandaran pengaturan dan penjamin terjaganya ketertiban, maka segala strategi penyusunan hukum, penggunaan hukum, perlembagaan hukum, dan penegakan hukum menjadi suatu hal yang sangat penting guna mewujudkan cita negara hukum.. 1. Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia: Keseimbangan dan Perubahan, Cetakan I, (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 386.. 1 Universitas Sumatera Utara.

(16) 2. Cita negara hukum dapat diwujudkan dengan melakukan pembangunan berbagai bidang, diantaranya pembangunan di bidang hukum. Pada dasarnya pembangunan hukum merupakan tindakan atau kegiatan yang dimaksud untuk membentuk kehidupan hukum ke arah yang lebih baik dan kondusif. Pembangunan hukum bukan merupakan entitas yang berdiri sendiri, melainkan terintegrasi dengan pembangunan bidang lain, sehingga hal itu merupakan proses yang berkelanjutan dan bersinergi dengan bidang-bidang pembangunan lainnya. Tentunya di sini, pembangunan hukum tidak hanya dimaksudkan untuk pembangunan hukum positif, yaitu peraturan perundang-undangan, tetapi juga dalam arti luas yang menunjuk pada sebuah sistem, yang tidak hanya meliputi pembangunan materi hukum, tetapi juga kelembagaan dan penegakan hukum, pelayanan hukum, dan peningkatan kesadaran hukum masyarakat dan aparatur hukum itu sendiri. 2 Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. konsep ini merupakan adanya kompromi antara hukum yang tertulis dengan masyarakat hukum yang tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum, demi adanya kepastian hukum dan living law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan dan orientasi hukum. 3 Pembentukan hukum yang didasarkan pada kaedah hukum haruslah memperhatikan akibat hukum dari penerapan suatu ketentuan hukum positif yang mengarah pada 2. Chairul Huda, Politik Hukum Pembangunan Sistem Hukum Nasional Dalam Konteks Pancasila, UUD NKRI Tahun 1945, dan Global, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Tanggal 22 November 2014 3 Mahmud Mulyadi dan Andi Sujendral, Community Policing : Diskresi Dalam Pemolisian Yang Demokratis, Cetakan I, (Jakarta : PT. Sofmedia, 2011), hlm. 1.. Universitas Sumatera Utara.

(17) 3. suatu pencapaian kepastian hukum, oleh karenanya pembentukan hukum dalam kerangka pembangunan hukum di Indonesia (law making) haruslah menyelaraskan dan memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat.4 Ediwarman menyatakan bahwa hukum adalah sistem, dan sistem merupakan sesuatu kesatuan yang bersifat kompleks yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain. 5 sistem merupakan sekelompok bagian-bagian (alat) yang bekerja bersama-sama untuk melakukan sesuatu maksud atau group of things or part working together in reguler relation. 6 Berdasarkan hal tersebut jelas bahwa hukum sebagai suatu sistem memiliki bagian-bagian membentuk satu tatanan yang utuh. Sistem hukum itu merupakan tatanan yang lengkap sehingga semua konflik atau kontradiksi dapat diselesaikan dalam sistem itu sendiri bukan dengan mencari sistem yang lain, misalnya sistem politik, apabila dirasakan ada kekurangan karena proses. 4. Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung : Angkasa, 1984), hlm. 83. Ediwarman, Monograf : Hukum Pidana Internasional, (Medan : 2018) hlm. 2-3. Hukum sebagai sistem tersebut Ediwarman mengutip dari Sunaryati Hartono, terdiri dari : a. Asas-asas hukum b. Peraturan atau norma hukum, yang terdiri dari : 1) Undang-Undang, 2) Peraturan Pelaksana Undang-Undang, 3) Yurispridensi Tetap (Case Law), 4) Hukum Kebiasaan, 5) Konvensi-konvensi Internasional, 6) Asas-Asas Hukum Internasional. c. Sumber daya manusia yang profesional, bertanggung jawab dan sadar hukum d. Pranata-pranata hukum. e. Lembaga-lembaga hukum (Lembaga Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif) termasuk : 1) Struktur organisasinya, 2) Kewenangannya, 3) Proses dan prosedur, Mekanisme kerja f. Sarana dan Prasarana Hukum, seperti : 1) Furnitur dan lain-lainnya alat perkantoran, termasuk komputer dan sistem manajemen perkantoran, 2) Senjata dan lain-lain peralatan (terutama untuk polisi), 3) Kendaraan, 4) Gaji, 5) Kesejahteraan pegawai/karyawan, 6 ) Anggaran pembangunan dan lain-lain. g. Budaya hukum yang tercermin oleh perilaku pejabat (eksekutif, leigslatif maupun yudikatif), tetapi juga perilaku masyarakat (termasuk pers) yang di Indonesia cenderung menghakimi sendiri sebelum benar-benar dibuktikan seorang tersangka atau tergugat benar-benar bersalah melakukan suatu kejahatan atau perbuatan tercela. 6 Ediwarman, Penegakan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kriminologi, Cetakan II (Edisi Revisi), (Yogyakarta: Genta Publishing, 2017), hlm. 15. 5. Universitas Sumatera Utara.

(18) 4. perkembangan masyarakat sistem itu melengkapi dirinya dengan penemuan hukum baru dengan melalui berbagai cara seperti dengan penafsiran-penafsiran. Selanjutnya terdapat 3 unsur bekerjanya hukum sebagai suatu sistem menurut Lawrence M. Friedman sebagaimana dikutip ediwarman, antara lain : 1. Struktural, 2. Substantif, dan 3. Budaya Hukum, ketiganya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. 7 Menurut Untung S. Rajab dalam sistem hukum/penegakan hukum meliputi : 8 1. Struktur dan Institusi Hukum Dalam hal ini, dengan melihat bahwa mata rantai penegakan hukum itu yang meliputi kekuasan penyidikan, penuntutan, kekuasaan kehakiman dan bantuan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan dan Advokat/Pengacara. 2. Substansi/Materi Hukum Haruslah memuat unsur-unsur norma yang dapat mendukung berfungsi dan bekerjanya sistem hukum. Dalam hal ini diperlukan dengan memakai standarstandar yang berlaku secara universal/internasional. 3. Budaya Hukum itu harus bisa merefleksikan perilaku-perilaku yang hidup dan berkembang dalam masyarakat yang demokratis, transparan, partisipatif, dan dapat dapat dipertanggungjawabkan yang mendkung dimensi keadilan dalam penegakan hukum. Het Herziene Regement (Stbl. 1941 Nomor 44) sebagai landasan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, landasan bagi proses penyelesaian perkara pidana di Indonesia telah dicabut setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), komponen Sistem Peradilan Pidana yang lazim diakui, baik dalam pengetahuan mengenai. 7. Ibid., hlm. 16. Untung S. Rajab, Kedudukan dan Fungsi Polisi Republik Indonesia dalam Sistem Ketatanegaraan (berdasarkan UUD 1945), (Bandung : Utomo, 2003), hlm. 210. 8. Universitas Sumatera Utara.

(19) 5. kebijakan kriminal (criminal policy) maupun dalam praktik penegakan hukum, terdiri atas unsur Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan. 9 Institusi hukum atau lembaga negara Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan 10 merupakan unsur penting dan berkaitan satu sama lain, yang merupakan bagian dari sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan. Sistem peradilan pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan suatu open system. Open system merupakan suatu sistem yang di dalam gerakan mencapai tujuan baik tujuan jangka pendek (resosialisasi), jangka menengah (pencegahan kejahatan) maupun jangka panjang (kesejahteraan sosial) sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan bidang – bidang kehidupan manusia, maka sistem peradilan pidana dalam geraknya akan selalu mengalami hubungan saling bergantung (inderdepensi) dengan lingkungannya dalam peringkat – peringkat, masyarakat, ekonomi, politik, pendidikan dan teknologi, serta subsistem – subsistem dari sistem peradilan pidana itu sendiri (subsystem of criminal justice system). Adapun tujuan sistem peradilan pidana menurut Mardjono Reksodiputro adalah11 : 1. Mencegah masyarakat menjadi objek/korban.. 9. Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif Eksistensialisme, dan Abosilionalisme, (Jakarta: Bina Cipta, 1996), hlm. 24 10 Ibid., hlm. 15 11 Ibid.,. Universitas Sumatera Utara.

(20) 6. 2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakan dan yang bersalah dipidana. 3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. Kepolisian sebagai salah satu komponen sistem peradilan pidana cukup menentukan keberhasilan dan kerja keseluruhan sistem dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, hal ini dikarenakan kepolisian merupakan lembaga pertama yang secara langsung berhadapan dengan masyarakat, baik masyarakat sebagai korban, saksi maupun tersangka. Kepolisian Negara Republik Indonesia selanjutnya disebut Polri bertugas memberikan perlindungan kepada masyarakat yang telah diatur dalam UUD 1945 dalam BAB XII Tentang Pertahanan dan Keamanan Negara. Di Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 dinyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat serta menegakkan hukum. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan sebuah landasan yuridis yang mengatur tentang keberadaan Polri dalam sistem negara Indonesia.. 12. Polri sebagai alat negara penegak hukum yang bertugas menjaga. ketertiban masyarakat di dalam negeri, memberi rasa aman bagi seluruh warga, dan untuk dapat mencapainya diperlukan aparat kepolisian yang sungguh-sungguh commit pada keinginan untuk mencapai supremasi hukum yang berkeadilan.. 12. Mahmud Mulyadi dan Andi Sujendral, Op. Cit., hlm. 2.. Universitas Sumatera Utara.

(21) 7. Penegakan hukum ditujukan guna meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat. hal ini dilakukan antara lain dengan menertibkan fungsi, tugas dan wewenang lembaga-lembaga yang bertugas menegakkan hukum menurut proporsi ruang lingkup masing-masing, serta didasarkan atas sistem kerja sama yang baik dan mendukung tujuan yang hendak dicapai. 13 Kepolisian dalam melakukan suatu penegakan hukum pidana sebagai rangkaian dari sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia, diawali dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana. Oleh karena itu, proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana merupakan kunci utama penentuan dapat tidaknya suatu perkara pidana dilanjutkan ke penuntutan dan proses peradilan guna mewujudkan tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum dengan tetap mengedepankan asas peradilan yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan. Hukum acara pidana selalu dipahami sebagai ketentuan hukum yang berhubungan erat dengan adanya hukum pidana. Dengan demikian, hukum acara pidana sering diartikan hanya sebagai rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana aparatur penegak hukum bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana. Dalam suatu hukum pidana diatur “bila”, kepada “siapa” dan “bagaimana” penegak hukum dan akhirnya hakim dapat menjatuhkan pidana kepada seseorang yang diduga bersalah melakukan suatu tindak pidana. Oleh karena. 13. Sanyoto, Penegakan Hukum di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 8 No. 3 September 2008, hlm. 199.. Universitas Sumatera Utara.

(22) 8. itu orientasi hukum acara pidana yang demikian ialah punishment lebih sempit lagi pidana penjara. Padahal memasukkan orang lebih banyak ke penjara tidak identik dengan suatu keadilan telah tercapai. Padahal tujuan penegakan hukum adalah mencapai keadilan. 14 Dalam perkembangannya, konsep penyelesaian suatu kasus pidana tidak agar lebih banyak orang dimasukkan ke penjara, karena hal itu merupakan perwujudan dendam. Pada saat yang sama, pidana penjara itu sekaligus juga beban pada negara karena adanya suatu tindak pidana itu, negara harus menyediakan semua kebutuhan dasar terpidana dalam penjara. Oleh karena itu, hukum acara pidana dewasa ini lebih ke arah bagaimana merestorasi hubungan pelaku, korban dan masyarakat. Penjara merupakan the last resort. Seiring dengan perkembangan keilmuan hukum dan persentuhannya dengan berbagai ilmu sosial, muncul arus arus baru yang membawa gelombang paradigma restorative justice yang dikenal di indonesia sebagai keadilan secara musyawarah mufakat, yaitu satu konsep penyelesaian konflik yang terjadi dengan melibatkan para pihak yang berkepentingan dengan tindak pidana yang terjadi (korban, pelaku, keluarga korban, keluarga pelaku dan penengah (moderator) 15 . Dikemukakan oleh Howard Zehr sebagai pelopor teori restoratif secara umum mengatakan bahwa kejahatan adalah pelanggaran terhadap manusia dan hubungan-hubungannya. yang 14. Luhut M.P. Pangaribuan, et. all. Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Akusatorial dan Adversarial; Butir-butir Pikiran PERADI untuk Draft RUU-KUHAP, (Jakarta: Papar Sinar Sananti Bekerjasama dengan PERADI, 2010), hlm. 11-12 15 Marlina, Pengantar Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana, (Medan : USU Press, 2010), hlm. 2.. Universitas Sumatera Utara.

(23) 9. menciptakan kewajiban untuk membuat keadaan-keadaan tersebut menjadi kembali baik. Keadilan melibatkan korban, pelaku dan komunitas dalam rangka mencari solusi-solusi yang. mengedepankan perbaikan, rekonsiliasi dan meyakinkan. kembali. 16 Dilanjutkan oleh Walgrave yang mengatakan bahwa teori restorative justice adalah setiap perbuatan yang berorientasi pada penegakan keadilan dengan memperbaiki kerugian yang diakibatkan dari hasil tindak pidana. Teori ini menyatakan bahwa korban atau keluargannya dapat kembali pada keadaan yang semula seperti sebelum terjadi tindak pidana. 17 Menurut teori ini pemidanaan meliputi pelayanan masyarakat, ganti rugi dan bentuk-bentuk lain selain pidana penjara yang membiarkan terpidana untuk tetap aktif dalam masyarakat. Restorative Justice mendeskripsikan keadilan sebagai paradigma yakni lensa untuk memahami realitas yang terlihat.18 Dalam proses penegakan hukum di Indonesia, pada pelaksanaannya timbul berbagai permasalahan, dikutip dari website Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, untuk bulan Februari 2019 jumlah tahanan dan narapidana mencapai 267.274 Orang, yang tersebar di 33 Kanwil dengan kapasitas hanya 126.413 atau over kapasitas mencapai 111%. 19 sementara pada tahun 2018 Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyampaikan dalam refleksi akhir 16. Purwaning M. Yuniar, Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi (Bandung: PT Alumni, 2007), hlm. 90. 17 Ibid., 18 Ibid., 19 Sistem Database Pemasyarakatan, Jumlah Penghuni, Data Bulanan, http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly diakses 26 Februari 2019. Universitas Sumatera Utara.

(24) 10. tahun bahwa penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) sebanyak 256.273 Orang dengan kapasitas hunian hanya 126.164 orang.20 Lapas sebagai bagian akhir dalam rangkaian sistem peradilan pidana di Indonesia dengan harapan untuk tercapainya tujuan mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya, tentu mengalami kesulitan atau gagal, Lapas kemudian dianggap sebagai sekolah untuk melakukan kejahatan (scholl of crime) karena tidak berjalannya program pembinaan kerja dan keterampilan sampai dengan rehabilitasi medis dan sosial yang buruk akibat dari pertumbuhan kenaikan narapidana yang berada di lapas tidak sebanding dengan kemampuan Pemerintah dalam membangun fasilitas dan sumber daya manusia untuk lapas. Selain permasalahan jumlah tahanan, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly juga menyampaikan biaya makan narapidana untuk tahun 2019 Pemerintah harus menganggarkan biaya yang mencapai 1,79 Triliun, yang mengalami peningkatan signifikan dari tahun sebelumnya, dimana tahun 2018 sebesar 1,391 Triliun, dan tahun 2017 sebesar 1,088 Triliun, 21 Kemudian dalam hal penyelesaian tindak pidana, di Sumatera Utara selama tahun 2018 dalam press release-nya Kapolda Sumatera Utara Irjen Pol. Agus Andrianto menyampaikan bahwa jajarannya telah menangani kejahatan atau Christoforus Ristianto, “Menkumham : Lapas Kelebihan Kapasitas Karena Napi Narkotika”, https://nasional.kompas.com/read/2018/12/27/13393091/menkumham-lapas-kelebihan-kapasitaskarena-napi-narkotika diakses 26 Februari 2019 21 Seli Andina Miranti, “Jumlah Narapidana Semakin Banyak, Biaya Makannya Capai 1,7 Trilliun”, http://jabar.tribunnews.com/2018/12/27/jumlah-narapidana-semakin-banyak-biayamakannya-capai-rp-17-triliun diakses 26 Februari 2019 20. Universitas Sumatera Utara.

(25) 11. gangguan Kamtibmas sebanyak 35.065 kasus dan menyelesaikan 23.523 kasus atau 67 persen, sementara tahun sebelumnya, Polda Sumut menangani 40.775 kasus kejahatan. 22 dari data tersebut dapat diketahui bahwa Kepolisian belum dapat menyelesaikan seluruh aduan kejahatan dari masyarakat. Secara umum konflik atau pertikaian dalam kehidupan masyarakat dewasa ini telah dan akan terus menjadi fenomena biasa dalam masyarakat, baik yang terkait konflik antar individu hingga antar kelompok. Situasi ini akan semakin mempersulit dunia hukum dan peradilan apabila semua konflik, sengketa atau pertikaian itu diproses secara hukum di peradilan. Restorative Justice dianggap sebagai bentuk pemikiran yang dapat digunakan untuk merespon berbagai kejahatan dan menjawab ketidakpuasan dari kinerja sistem peradilan pidana saat ini. 23 Berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Konsep Keadilan secara Musyarah Mufakat (Restorative justice) memang telah diatur dalam UndangUndang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), yaitu pada Pasal 1 angka 6 “Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada suatu keadaan semula, dan bukan pembalasan”. Namun pengaturan tersebut dikhususkan pada penanganan Peradilan Pidana Anak. Sementara untuk Peradilan Pidana Umum, DA, “Sepanjang 2018, Polda Sumut Tangani 35.065 Kasus Kejahatan”, https://harianandalas.com/kanal-hukum-kriminal/sepanjang-2018-polda-sumut-tangani-35-065-kasuskejahatan diakses 26 Februari 2019 23 Septa Candra, “Restorative Justice : Suatu tinjauan terhadap pembaharuan hukum pidana di Indonesia”, Jurnal Rechtvinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Volume 2 Nomor 2 Agustus 2013, hlm. 265. 22. Universitas Sumatera Utara.

(26) 12. ketentuan prinsip Restorative Justice masih dalam bentuk gagasan pada rancangan Undang-Undang KUHP. Pada tanggal 27 Juli 2018, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal Polisi M. Tito Karnavian menerbitkan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana, sebagai pedoman bagi aparatur penegak hukum Kepolisian dalam melakukan penegakan hukum dengan prinsip keadilan secara musyawarah mufakat, padahal secara legal normatif hukum acara pidana di Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengenal adanya prinsip keadilan secara musyawarah mufakat dalam penyelesaian perkara pidana. Berdasarkan pada realitas tersebut, maka tulisan yang berjudul “Analisis Hukum Terhadap Keadilan Secara Musyawarah Mufakat Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Di Tingkat Kepolisian (Studi Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/8/VII/2018)” menjadi penting untuk dilakukan. B.. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dikemukakan di atas dan. sekaligus untuk memberikan batasan penelitian, maka penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut. 1. Bagaimana kedudukan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018 dalam Hierarki Perundang-Undangan di Indonesia?. Universitas Sumatera Utara.

(27) 13. 2. Bagaimana Proses penyelesaian perkara pidana dengan penerapan keadilan secara musyawarah mufakat (Restorative Justice) di tingkat Kepolisian? 3. Bagaimana Kedudukan perkara pidana yang diselesaikan dengan keadilan secara musyawarah mufakat (Restorative Justice) di Kepolisian? C.. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian yang terdapat di dalam perumusan permasalahan, maka. adapun tujuan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Mendeskripsikan dan menganalisis kedudukan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018 dalam Hierarki Perundang-Undangan di Indonesia? 2. Mengungkap proses penyelesaian perkara pidana dengan penerapan keadilan secara musyawarah mufakat (Restorative Justice) di tingkat Kepolisian? 3. Menganalisis kedudukan perkara pidana yang diselesaikan dengan keadilan secara musyawarah mufakat (Restorative Justice) di Kepolisian? D.. Manfaat Penelitian Apabila tujuan penelitian sebagaimana tersebut di atas tercapai, penelitian. ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, sebagai berikut : 1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber referensi atau koleksi tambahan baik untuk perpustakaan kampus pascasarjana hukum Universitas Sumatera Utara maupun perpustakaan umum, sehingga penelitian ini dapat menambah wawasan bagi mahasiswa dan akademisi di bidang hukum pidana,. Universitas Sumatera Utara.

(28) 14. khususnya untuk pengembangan analisis tentang penerapan keadilan secara musyawarah mufakat (Restorative Justice) dalam penyelesaian perkara pidana pada tingkat Kepolisian. 2. Secara Praktis Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan hukum bagi para praktisi baik Kepolisian dan Advokat dalam pengambilan keputusan (decision making) khususnya dalam penerapan keadilan secara musyawarah mufakat (Restorative Justice) dalam penyelesaian perkara pidana pada tingkat Kepolisian. E.. Keaslian Penelitian Penelitian. ini. dilakukan dengan pertimbangan. bahwa. berdasarkan. pemeriksaan judul-judul penelitian yang ada baik di perpustakaan Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara serta di Universitas lain, belum pernah dilakukan penelitian dengan judul ”Analisis Hukum Terhadap Keadilan Secara Musyawarah Mufakat Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Di Tingkat Kepolisian (Studi Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/8/VII/2018)”. Namun terdapat beberapa penelitian terkait Restorative Justice, antara lain: 1. Ronni Bonic (NIM : 117005101), Mahasiswa Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Judul Penelitian : Peran Polri dalam mengimplementasikan Restorative justice dalam penanganan perkara (Studi di Kepolisian Resor Binjai), Rumusan Masalah :. Universitas Sumatera Utara.

(29) 15. a. Bagaimana pengaturan terkait restorative justice di dalam peraturan perundang-undangan? b. Bagaimana penerapan restorative justice yang dilakukan Polri di Polres Binjai dalam proses penanganan perkara pidana? c. Bagaimana hambatan dan upaya yang dilakukan oleh Polri khususnya Polres Binjai dalam penerapan restorative justice pada proses penanganan perkara pidana? 2. Rio Fabry (NIM : 1142011072), Mahasiswa Pascasarjana Magister Hukum Universitas Lampung, Judul Penelitian : Analisis Penerapan Prinsip Restorative justice Dalam Perkara Tindak Pidana Lalu Lintas Dengan Pelaku Anak, Rumusan Masalah : a. Bagaimanakah penerapan prinsip Restorative justice dalam Perkara Tindak Pidana Lalu Lintas dengan Pelaku Anak? b. Apakah yang mejadi faktor penghambat dalam penerapan prinsip Restorative justice dalam Perkara Tindak Pidana Lalu Lintas dengan Pelaku Anak? 3. Nofita Dwi Wahyuni (NIM : 1106031740), Mahasiswa Pascasarjana Magister Hukum Universitas Indonesia, Judul Penelitian : Penerapan Restorative justice Dalam Putusan Pengadilan Sebagai Tujuan Pemidaan (Studi Kasus Terhadap Perkara Yang Telah Diselesaikan Secara Adat, Analisa Putusan Nomor 21/PID.B/2009/PN.Srln. Dan. Nomor. 22/PID.B/2009/PN.Srln). Rumusan. Masalah :. Universitas Sumatera Utara.

(30) 16. a. Bagaimana eksistensi Restorative justice di pengadilan? Dan apakah Restorative justice dapat sebagai tujuan Pemidanaan? b. Bagaimana sistem penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme adat? Dan apakah ada hubungannya Restorative justice dengan nilai hukum adat? c. Bagaimana penerapan Restorative justice dalam putusan Pengadilan terhadap perkara yang telah diselesaikan secara adat? 4. Mohammad Fauzi Salam (NIM : P0902215003), Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin, Judul Penelitian : Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative justice) sebagai upaya penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Majene), Rumusan Masalah : a. Apakah majelis hakim Pengadilan Negeri Majene yang mengadili tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga menerapkan keadilan restoratif (restorative justice)? b. Bagaimanakah upaya yang dilakukan majelis hakim Pengadilan Negeri Majene menerapkan keadilan restoratif (restorative justice) dalam mengadili tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga? Perbandingan dari segi judul maupun rumusan masalah pada penelitian diatas menunjukkan dengan jelas perbedaannya, Oleh sebab itu, terhadap judul dan rumusan masalah di dalam penelitian ini tidak sama dengan judul dan permasalahan penelitian terdahulu, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini adalah asli dan jauh dari unsur plagiat terhadap karya tulis pihak lain, serta dapat dipertanggungjawabkan.. Universitas Sumatera Utara.

(31) 17. F.. Kerangka Teori dan Konseptual 1. Kerangka Teori Kerangka teori adalah bagian penting dalam penelitian. Artinya, teori hukum harus dijadikan dasar dalam memberikan preskripsi atau penilaian apa yang seharusnya memuat hukum.Teori juga bisa digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Kegunaan teori hukum dalam penelitian adalah sebagai pisau analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam masalah penelitian. 24 a. Teori Hierarki Perundang-Undangan Di dalam ilmu perundang-undangan dikenal dengan adanya teori hierarki. Teori Hierarki merupakan teori yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang. Hubungan antara norma yang mengatur perbuatan norma lain dan norma lain tersebut dapat disebut sebagai hubungan super dan sub-ordinasi dalam konteks spasial. 25 Norma yang menentukan pembuatan norma lain adalah superior, sedangkan norma yang dibuat inferior. Pembuatan yang ditentukan oleh norma yang lebih tinggi menjadi alasan validitas keseluruhan tata hukum yang membentuk kesatuan.. 24. Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 146. 25 JimlyAsshiddiqie dan M. AliSafa'at, Theory Hans Kelsen Tentang Hukum, Cet I, (Jakarta : Sekretariat Jendreral & Kepaniteraan Makamah Konstitusi RI, 2006), hlm.110.. Universitas Sumatera Utara.

(32) 18. Seperti yang diungkapkan oleh Kelsen dikutip oleh Rusdianto Sesung dan Muhammad Iqbal26, “The unity of these norms is constituted by the fact that the creation of the norm–the lower one-is determined by anotherthe higher-the creation of which of determined by a still higher norm, and that this regressus is terminated by a highest, the basic norm which, being the supreme reason of validity of the whole legal order, constitutes its unity”. Maka norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut Kelsen norma hukum yang paling dasar (grundnorm) bentuknya tidak kongkrit (abstrak), Contoh norma hukum paling dasar abstrak adalah Pancasila. Teori Hans Kelsen mengenai hierarki norma hukum ini diilhami oleh Adolf Merkl dengan menggunakan teori das doppelte rech stanilitz, yaitu norma hukum memiliki dua wajah, yang dengan pengertiannya: Norma hukum itu keatas ia bersumber dan berdasar pada norma yang ada diatasnya; dan Norma hukum ke bawah, ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma yang dibawahnya. Sehingga norma tersebut mempunyai masa berlaku (rechkracht) yang relatif karena masa berlakunya suatu norma itu tergantung pada norma hukum yang diatasnya, sehingga apabila norma hukum yang Rusdianto Sesung dan Muhammad Iqbal, “Legal Consequences Embedded on the Charity Institution Due to Uncompleted Synchronization Based on Constitution Number 28 Year 2014”, International Journal of Science and Research (IJSR), Volume 7 Issue 2, February 2018, hlm. 62. 26. Universitas Sumatera Utara.

(33) 19. berada diatasnya dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada dibawahnya tercabut atau terhapus pula. 27 Teori Hans Kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie). Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiasky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah: 28 1) Staats Fundamentalnorm/Grundnorm (norma fundamental negara ); 2) Staatsgrund Gesetz (aturan dasar negara); 3) Formell Gesetz (Undang-Undang); 4) Verordnung En Autonome Satzung; (peraturan pelaksanaan dan peraturan otonomi). Staats Fundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staats Fundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staats Fundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara. 29. 27 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan Dasar dan Pembentukannya, (Yogyakarta : Kanisius, 2007), hlm. 25. 28 Ibid., hlm. 39. 29 Attamimi, A, Hamid S,. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yangBerfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 287.,. Universitas Sumatera Utara.

(34) 20. Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai Staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi. 30 Berdasarkan teori Nawiaky tersebut, A. Hamid S. Attamimi membandingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:31 1) Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD RI tahun 1945). 2) Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan. 3) Formell gesetz: Undang-Undang. 4) Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota. Sedangkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan, dalam Pasal 7 menyebutkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:. 30 31. Ibid., Ibid.,. Universitas Sumatera Utara.

(35) 21. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. b. Teori Kepastian Hukum Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan. Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakukan dan adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat menjalankan fungsinya. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi.32 Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi tafsir) dan logis. Jelas dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaankeadaan yang sifatnya subjektif. Kepastian dan keadilan bukanlah sekedar. 32. Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, (Yogyakarta : Laksbang Pressindo, 2010), hlm.59.. Universitas Sumatera Utara.

(36) 22. tuntutan moral, melainkan secara factual mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak pasti dan tidak mau adil bukan sekedar hukum yang buruk. 33 Kepastian hukum merupakan jaminan mengenai hukum yang berisi keadilan. Norma-norma yang memajukan keadilan harus sungguh-sungguh berfungsi sebagi peraturan yang ditaati. Menurut Gustav Radbruch sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali,. 34. keadilan dan kepastian hukum. merupakan bagian-bagian yang tetap dari hukum. Beliau berpendapat bahwa keadilan dan kepastian hukum harus diperhatikan, kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dan ketertiban suatu negara. Akhirnya hukum positif harus selalu ditaati. Berdasarkan teori kepastian hukum dan nilai yang ingin dicapai yaitu nilai keadilan dan kebahagiaan. Jika dikaitkan teori kepastian hukum dalam Surat Edaran Kapolri tentang Keadilan Restoratif (Restoratif Justice) dalam penyelesaian perkara, menekankan pada penafsiran yang jelas agar suatu perkara pidana dapat diketahui. kedudukan. hukumnya. setelah. dilakukannya. penghentian. penyelidikan dan atau penyelidikan di Kepolisian. c. Teori Restorative justice Restorative Justice merupakan filsafat, proses, ide, teori dan intervensi, yang menekankan dalam memperbaiki kerugian yang. 33. Cst Kansil, Christine , S.T Kansil, Engelien R, Palandeng dan Godlieb N Mamahit, Kamus Istilah Hukum, (Jakarta : Jala Permata Aksara 2009), hlm. 385. 34 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta : Penerbit Toko Gunung Agung, 2002), hlm. 95.. Universitas Sumatera Utara.

(37) 23. disebabkan atau diungkapkan oleh pelaku kriminal. 35 “Restorative Justice is a theory that emphasizes repairing the harm caused or revealed by criminal behavior. it is best accomplished throught cooperative processes that includes all stakeholders”, dengan arti Restorative Justice adalah teori yang menekankan perbaikan kerusakan yang disebabkan atau diungkapkan oleh perilaku kriminal. itu paling baik dicapai melalui proses kerja sama yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Adapun restorative justice menurut Muladi sebagaimana dikutip M. Sholehuddin36, yaitu: 1) Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seseorang terhadap orang. lain, dan diakui sebagai konflik. 2) Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan. 3) Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi 4) Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi seebagai tujuan utama. 5) Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil. 6) Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial. 7) Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif. 8) Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggungjawab. 9) Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik 10) Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis. Kuat Puji Prayitno, “Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif Yurids Filosofis dalam penegakan Hukum In Concreto)”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 3 September 2012, Hlm. 407. 36 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 65-66. 35. Universitas Sumatera Utara.

(38) 24. 11) Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.. Jika dikaitkan teori kepastian hukum dalam Surat Edaran Kapolri tentang Keadilan Restoratif (Restoratif Justice) dalam penyelesaian perkara, untuk mengetahui apakah proses penyelesaian perkara pidana yang dimaksud dalam Surat Edaran sudah sesuai dengan prinsip dari Teori Restorative Justice. 2. Kerangka Konseptual Pada hakikatnya Kerangka Konsep adalah mengenai defenisi operasional mulai dari judul sampai permasalahan yang diteliti. Bahwa peneliti mendapat stimulasi dan dorongan konseptualisasi untuk melahirkan suatu konsep baginya atau memperkuat keyakinan peneliti akan konsepnya sendiri mengenai suatu masalah, ini merupakan konstruksi konsep. 37 Dalam kerangka konseptual diungkapkan beberapa konsep atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.. 38. Selanjutnya konsep atau pengertian unsur pokok dari suatu penelitian, kalah masalah dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian dan suatu konsep sebenarnya adalah defenisi secar singkat dari sekelompok fakta atau gejala itu.. 37. Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum, Panduan Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi, (Yogyakarta : Genta Publishing, 2016), hlm. 65-66. 38 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 7.. Universitas Sumatera Utara.

(39) 25. Beranjak dari judul tesis ini, yaitu “Analisis Hukum Terhadap Keadilan Secara Musyawarah Mufakat Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Di Tingkat Kepolisian (Studi Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/8/VII/2018)” maka dapat dijelaskan konsep atau pengertian dari kata demi kata dalam judul tersebut, yaitu sebagai berikut : a. Keadilan Secara Musyawarah Mufakat (Restorative justice) yang akan dibahas dalam penulisan tesis ini adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama-sama bagaimana menyelesaiakan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan. 39 penyelesaian perkara pidana yang diselesaikan dalam tahap penyidikan Polri dan tidak dilanjutkan dalam tahap Pengadilan. Prinsip keadilan secara musyawarah mufakat (restorative justice) tidak bisa dimaknai sebagai metode penghentian perkara secara damai saja, namun lebih luas pada pemenuhan rasa keadilan semua pihak yang terlibat dalam perkara pidana melalui upaya yang melibatkan korban, pelaku dan masyarakat setempat serta penyelidik/penyidik sebagai mediator40.. 39 40. Marlina, Op.Cit., hlm. 28. Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/8/VI/2018, hlm. 3.. Universitas Sumatera Utara.

(40) 26. b. Penyelesaian Perkara dalam penelitian ini dimaksud dengan dihentikannya penyelidikan/penyidikan atas suatu perkara karena telah dilakukannya suatu bentuk perjanjian perdamaian dan pencabutan hak menuntut dari korban. 41 c. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, pelindung, pengayom dan pelayanan kepada masyarakat. Pengertian kepolisian sebagai lembaga adalah organ pemerintah yang ditetapkan sebagai suatu lembaga yang diberikan kewenangan menjalankan. fungsinya. berdasarkan. Peraturan. Perundang-undangan.. Pembicaraan terkait persoalan kepolisian berarti berbicara tentang fungsi dan lembaga kepolisian. “Fungsi Kepolisian” harus memperhatikan semangat penegakan hak asasi manusia, hukum dan keadilan.42 d. Kapolri merupakan singkatan dari Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kapolri adalah Pimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penanggungjawab penyelenggaraan fungsi Kepolisian sebagaimana tertuang pada Pasal 1 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. e. Surat Edaran dalam buku Perihal Undang-Undang karya Prof. Jimmly Asshidiqie Surat Edaran diklasifikasikan dalam aturan kebijakan atau quasi. 41. Ibid., H.Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian. Profesionalisme dan Reformasi Polri, (Surabaya : Laksbang Mediatama, 2007), hlm. 55. 42. Universitas Sumatera Utara.

(41) 27. legislation 43 . Oleh karena itu, jika kita lihat dari segi penamaan dengan mengacuhkan dasar hukum keberlakuan tiap-tiap surat edaran. Maka dapat diasumsikan bahwa Surat Edaran Kapolri adalah sebuah peraturan kebijakan. G.. Metode Penelitian Penelitian merupakan sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologi dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisis dan konstruksi data yang telah dikumpulkan. 44 Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metodelogi penelitian yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya. 45 Dengan demikian metode penilitian merupakan upaya ilmiah untuk memakai dan memecah suatu permasalahan berdasarkan metode tertentu. 1. Jenis dan Sifat Penelitian Penelitian hukum adalah proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu. 43. Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta : Rajawali pers, 2010) hlm. 393. Soerjono Soekanto, Pengantar Penilitian Hukum, (Jakarta : UIPress, 1986), hlm. 3. 45 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit., hlm. 64. 44. Universitas Sumatera Utara.

(42) 28. hukum yang dihadapi. 46 Jenis yang digunakan dalam penyusunan tesis ini adalah yuridis normatif (legal research) dan didukung dengan wawancara sebagai data penunjang, penelitian yuridis normatif (legal research) yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif yang berlaku. Tipe penelitian normatif dilakukan dengan cara mengkaji berbagai aturan hukum yang bersifat formili seperti Undang-Undang, Peraturan-peraturan, serta literatur yang berisi konsepkonsep teoritis yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian tesis ini. Penelitian hukum di lakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori, atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah isu hukum yang di hadapi. 2. Pendekatan Penelitian Pada penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, metode pendekatan penelitian yang digunakan dalam proposal ini antara lain : a. Pendekatan Undang-Undang (State Aprroach) 47 yaitu menelaah semua Undang-Undang yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Adapun Peraturan Perundang-undangan yang digunakan untuk memecahkan isu hukum yang timbul.. 46. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Revisi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2017), hlm.47. 47 Ibid., hlm. 133.. Universitas Sumatera Utara.

(43) 29. b. Pendekatan Konseptual (Conceptual Aprroach)48 merupakan pandanganpandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Ditemukannya ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu hukum, pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin merupakan sandaran dalam membangun argumentasi hukum dalam pemecahan isu hukum yang dihadapi. 3. Data Penelitian (Bahan Hukum) Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Jenis penelitian yuridis normatif digunakan penulis dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian adalah tinjauan hukum terhadap Surat Edaran Kapolri dimana saat ini keberadaanya sangat strategis dalam penyelesaian tindak pidana yang lebih responsif Penelitian hukum normatif yang dikenal hanya data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, maka dalam mengolah dan menganalisis bahan hukum tersebut tidak bisa melepaskan diri dari berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum. 49 Sehingga sumber data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah bersumber dari data sekunder, yaitu daru buku-buku yang secara langsung 48. Ibid., hlm. 135-136. Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 163. 49. Universitas Sumatera Utara.

(44) 30. atau tidak langsung berkaitan dengan prinsip-prinsip dari peraturan yang berkaitan dengan penelitian yang diteliti, melalui penelusuran data yang diperileh atau studi literatur terdiri dari : a. Bahan hukum primer, adalah bahan hukum yang bersifat autoitatif artinya memiliki otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari Peraturan Perundangundangan yang diurut secara hirearki 50 seperti Peraturan Perundangundangan yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu : 1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia 3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan 4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak 5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa bahan-bahan hukum yang bersifat pelengkap bagi bahan hukum primer dan bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer yang dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini berupa : 50. Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., hlm. 181.. Universitas Sumatera Utara.

(45) 31. 1) Buku-buku teks hukum 2) Karya Ilmiah dan hasil penelitian berupa skripsi, tesis, dan disertasi yang terkait dengan objek penelitian 3) Jurnal-Jurnal hukum 4) Buku-buku yang relevan dengan materi yang diteliti c. Bahan hukum tersier, yaitu berupa bahan hukum yang memberikan penjelasan atau informasi dan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang relevan dengan materi yang diteliti, seperti : 1) Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) 2) Kamus Hukum 3) Ensiklopedia 4) Indeks Kumulatif 5) Internet 4. Teknik dan Alat Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan pengumpulan data studi dokumen, yaitu dilakukan dengan menginventarisir berbagai bahan hukum yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier melalui penelusuran kepustakaan (library research),. yakni. dengan. cara. membaca,. mempelajari,. meneliti,. mengidentifikasi, dan menganalisis literature-literatur, baik Peraturan Perundang-undangan, dokumen-dokumen maupun buku-buku teks, serta. Universitas Sumatera Utara.

(46) 32. karya ilmiah lainya dengan cara menyalin atau memindahkan data yang relevan dengan kebutuhan dalam penelitian ini. 5.. Analisis Data Menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dan mengelolah secara sistematis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tersebut dengan mengunakan analisis kualitatif. Analisis secara kualitatif dimaksudkan dengan menganalisis data berdasarkan pandangan teori dan bahan hukum yang ada maka dapat ditarik kesimpulan sehingga dapat dikemukakan yang perlu dalam penelitan ini.. Universitas Sumatera Utara.

(47) BAB II KEDUDUKAN SURAT EDARAN KAPOLRI NOMOR SE/8/VII/2018 DALAM HIERARKI PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA. A.. Peraturan Perundang-Undangan 1. Pengertian Peraturan Perundang-undangan Istilah ”Peraturan perundang-undangan” merupakan terjemahan dari kata ”wetgeving”, sebagaimana dikutip oleh I Gde Pantja dan Suprin Na’a dari kamus Hukum Fockema Andreae ”wetgeving” diartikan51 : a. Perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan negara, baik tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah.; b. Perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan–peraturan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Proses Pembentukan peraturan-peraturan negara dan hakikat Peraturan negara yang telah dihasilkan melalui proses Pembentukan Perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun daerah merupakan pembahasan dalam Perundangundangan. Pengertian Peraturan Perundang-undangan juga dapat ditemukan pada buku Peranan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Pembinaan Hukum Nasional yaitu sebagai setiap putusan tertulis yang dibuat, ditetapkan, dan. I Gde Pantja dan Suprin Na’a, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-Undangan di Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 2008), hlm. 14. 51. 33 Universitas Sumatera Utara.

(48) 34. dikeluarkan oleh lembaga dan atau pejabat negara yang mempunyai dan/atau menjelmakan fungsi legislatif sesuai dengan tata cara yang berlakux.52 Pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa: “Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.” 2. Karakteristik Peraturan Perundang-undangan Dari sisi teoretis, peraturan perundang-undangan mempunyai sifat-sifat khusus, yaitu53: a. b. c. d. e. f.. Norma hukum (rechtsnormen); Berlaku keluar (naar buiten werken); Bersifat umum dalam arti luas; Bersifat futuristik; Berlaku terus menerus (dauerhaftig); Bersifat hierarkis (stufenbau des rechts). Satjipto Rahardjo menyebutkan pandangannya bahwa suatu peraturan. perundang-undangan menghasilkan peraturan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut54: a. Bersifat umum dan komprehensif, sehingga merupakan kebalikan dari sifat-sifat khusus yang terbatas; b. Bersifat universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk konkretnya. Oleh karena itu, ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja; dan 52. Bagir Manan dan Kunta Magnar, Peranan Peraturan Perundang-Undangan dalam Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Armico, 1987), hlm. 16. 53 I Gde Pantja dan Suprin Na’a, Op.Cit., hlm. 18. 54 Satjipto Rahadjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 83-84.. Universitas Sumatera Utara.

(49) 35. c. Memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Dalam setiap peraturan, lazimnya mencantumkan klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali. Ditinjau dari aspek materi muatannya, peraturan perundang-undangan bersifat mengatur (regeling) secara umum dan abstrak, tidak konkrit dan individual seperti keputusan penetapan. Sifat umum dan abstrak yang dilekatkan sebagai ciri peraturan perundang-undangan dimaksudkan untuk membedakan dengan keputusan tertulis pejabat atau lingkungan yang berwenang yang bersifat individual dan konkret, yakni ketetapan (beschikking). Kaidah umum selalu bersifat abstrak karena ditujukan kepada semua subjek yang terkait tanpa menunjukkan atau mengaitkannya dengan subjek konkret, pihak atau individu tertentu. Sementara kaidah hukum individual selalu bersifat konkret karena ditujukan kepada orang tertentu, pihak atau subjek-subjek hukum tertentu atau peristiwa dan keadaan-keadaan tertentu.55 Di dalam. Undang-Undang. Nomor. 10. Tahun 2004. tentang. Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pada Bab II Asas Peraturan Perundang-undangan pada Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7, ditentukan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, antara lain:56 a. Kejelasan tujuan; adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. 55 56. Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., hlm. 4. Ibid., hlm. 139.. Universitas Sumatera Utara.

(50) 36. b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memerhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundangundangannya d. Dapat dilaksanakan; adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang betul-betul dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara f. Kejelasan rumusan; adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundangundangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya g. Keterbukaan; adalah bahwa dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk seluasluasnya memberikan masukan dalam proses pembuatan atau pembentukan peraturan perundang-undangan 3. Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan Hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Hirarki peraturan perundang-undangan sebelum diatur dalam bentuk Undang-Undang, mengacu pada dua Ketetapan Majelis Permusyawaratan. Universitas Sumatera Utara.

(51) 37. Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPR/MPRS), yaitu sebagai berikut : a. Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR Mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundangundangan RI: 1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; 2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 3) Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 4) Peraturan Pemerintah; 5) Keputusan Presiden; dan 6) Peraturan-peraturan Pelaksana lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lainnya. b. Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan: 1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; 2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; 3) Undang-undang; 4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 5) Peraturan Pemerintah; 6) Keputusan Presiden; dan 7) Peraturan Daerah. c. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; 1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; 2) Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 3) Peraturan Pemerintah; 4) Keputusan Presiden; dan 5) Peraturan Daerah: a) Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama dengan Gubernur; b) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya. d. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; 1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; 2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;. Universitas Sumatera Utara.

(52) 38. 3) Undang-undang/Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah; 4) Peraturan Presiden; 5) Peraturan Daerah Provinsi; dan 6) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.. Pengganti. Undangundang;. Sejak tahun 1966 sampai dengan tahun 2011 telah terjadi empat kali perubahan terhadap hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia yang mengindikasikan dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan Republik Indonesia, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan merupakan suatu hal yang mendasar. B.. Peraturan Kebijakan 1. Pengertian Peraturan Kebijakan Konsep peraturan kebijakan dalam sistem hukum di Indonesia berkaitan dengan kekuasaan bebas (freies Ermessen atau diskresi 57 ) yang dimiliki oleh pemerintah. Tugas-tugas pemerintahan dalam memenuhi kesejahteraan rakyat (Welfare State) dapat diselenggarakan jika pemerintah diberi kebebasan untuk mengambil kebijakan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Kebijakan-kebijakan pejabat administrasi negara itu kemudian dituangkan dalam bentuk peraturan kebijakan. Dengan demikian maka Eksistensi peraturan kebijakan tersebut merupakan konsekuensi atas negara hukum kesejahteraan. 57. Diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. (Lihat, Pasal 1 angka 9 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan). Universitas Sumatera Utara.

(53) 39. Peraturan kebijakan (beleidsregel) pengertiannya tidak dapat dirujuk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, karena tidak memberikan pengertian yang komprehensif tentang peraturan kebijakan. Mengacu pada pendapat ahli hukum Laica Marzuki yaitu Peraturan kebijakan dengan mengacu pada tiga komponen peraturan kebijakan. Pertama, peraturan kebijakan dibuat oleh badan atau pejabat tata usaha negara sebagai perwujudan penggunaan diskresi dalam bentuk tertulis yang diumumkan keluar lalu mengikat para warga. Kedua, isi peraturan kebijakan memuat aturan umum tersendiri yang melampaui cakupan kaidah peraturan perundang-undangan yang dibuatkan pengaturan operasional. Ketiga, badan atau pejabat tata usaha negara yang membuat peraturan kebijakan tidak memiliki kewenangan perundangundangan. 58 Bagir Manan memberikan pandangan bahwa salah satu ciri utama peraturan kebijakan adalah tidak adanya wewenang pemerintah membuat peraturan. tersebut.. Tidak. adanya. wewenang. dalam. hal. ini. perlu. diinterpretasikan sebagai tidak adanya peraturan perundang-undangan yang secara tegas memberikan kewenangan pada pemerintah untuk mengeluarkan peraturan kebijakan tersebut. Walaupun tidak ada kewenangan yang diberikan namun seringkali permasalahan yang ada membuat pemerintah tidak dapat. 58. Laica Marzuki, Peraturan Kebijakan (Beleidsregel): Hakikat serta Fungsinya Selaku Sarana Hukum Pemerintahan, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2010), hlm. 58.. Universitas Sumatera Utara.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

35 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT.. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,

Dalam hal laporan pertanggungjawaban tersebut ditolak atau tidak diterima oleh RUPS, maka berdasarkan Pasal 97 ayat (6) UU Perseroan Terbatas, direksi tersebut

Perselisihan tersebut terjadi sejak adanya pengumuman/aanmaning yang dilakukan oleh VN selaku kuasa hukum dari ahli waris pemilik tanah yang pada intinya menyatakan terhadap tanah

Dalam hal iuran, telah terdapat sanksi pidana bagi perusahaan yang menunggak iuran BPJS Ketenagakerjaan yaitu diancam 8 (delapan) tahun kurungan penjara atau denda sebesar

Kondisi ini disebabkan PPNS Kantor Imigrasi Kelas I Semarang tidak memberikan pemberitahuan secara tertulis tentang dimulainya dan diakhirinya penyidikan kepada Korwas

Perbuatan materilnya masing-masing berupa memaksa. Perbuatan memaksa ditujukan kepada orang tertentu. Tujuan yang sekaligus merupakan akibat perbuatan memaksa agar

Ketentuan dalam annex yang menyangkut perundingan di bidang angkutan laut dalam ayat (1) menyatakkan bahwa Pasal 2 dan annex tentang pengecualian Pasal 2 termasuk keharusan

PERUSAHAAN ANGKUTAN LAUT INDONESIA PADA PERDAGANGAN BEBAS DALAM KERANGKA WTO, Tesis ini bertujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan yang harus dilengkapi dalam rangkaian