UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11
TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN
KUH PIDANA
(Studi: Putusan Nomor 7/Pid.Sus/2017/PN.Snb)
TESIS
OLEH:
LIBERT HAMONANGAN HABEAHAN NIM : 177005069/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2020
UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11
TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN
KUH PIDANA
(Studi: Putusan Nomor 7/Pid.Sus/2017/PN.Snb)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi
Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH :
LIBERT HAMONANGAN HABEAHAN NIM : 177005069/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2020
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H.,M.S Anggota : 1. Dr. M.Hamdan S.H.,M.H
2. Dr. M.Ekaputra, S.H.,M.Hum
3. Dr. Edy Yunara, S.H.,M.Hum
4. Dr. Jelly Leviza, S.H.,M.Hum
Banyaknya kasus pemerasan dan atau penganncaman yang menggunakan sarana teknologi infromasi yang terjadi membuat penulis tertarik melakukan penelitan dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Pemerasan Dan Atau Pengancaman Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dan KUH Pidana‖ (Studi: Putusan Nomor 7/Pid.Sus/2017/Pn.Snb)
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana tindak pidana pemerasan dan atau pengancaman menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan KUH Pidana, (2) Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pemerasan dan atau pengancaman melaui media elektronik menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik dan KUH Pidana. (3) Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam Putusan Nomor 7/Pid.Sus/2017/PN.Snb ?
Penelitian ini bersifat normatif dan deskriptif analisis.Teori hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Pertanggungjawaban Pidana. Data yang digunakan adalah data sekunder dapat terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data adalah library research (penelitian kepustakaan). Analisis data adalah kulitatif.
Kesimpulan: (1) Perumusan ketentuan Pasal 27 ayat (4) yang menggabungkan tindak pidana pemerasan dan/atau pengancaman dalam satu ketentuan padahal dalam KUH Pidana tindak pidana pemerasan diatur dalam Pasal 368 sedangkan pengancaman diatur dalam Pasal 369 KUH Pidana. Pemerasan merupakan tindak pidana biasa. Pemerasan cara melakukan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan. Pengancaman merupakan pidana aduan absolut.
(2) Pertanggungjawaban pidana terhadap pemerasan dan atau pengancaman melaui media elektronik menurut UU ITE dan KUH Pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh KUH Pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran perbuatan tertentu
(3) Pertimbangan Pertimbangan hukum hakim dalam Putusan Pengadilan 7/Pid.Sus/2017/PN.Snb, bahwa berdasarkan fakta-fakta di persidangan, dan keterangan saksi-saksi, terdakwa telah terbukti dengan sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pemerasan dan pengancaman melanggar Pasal 27 ayat 4 UU ITE UU ITE Jo Pasal 45 ayat (4) Dalam persidangan, Majelis Hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan atau alasan pemaaf, maka Terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Terdakwa mampu bertanggung jawab, maka harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana
Kata kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Pemerasan dan Pengancaman,
UU ITE, KUH Pidana
Due to the large number of cases of extortion and/or threats using information technology, the author is interested in conducting research with the title "Criminal Liability Against Extortion and Or Threats Perpetrators According to Law Number 19 Year 2016 concerning Amendments to Law Number 11 Year 2008 concerning Information and Electronic Transactions and the Criminal Code ”(Study: Decision Number 7 / Pid.Sus / 2017 / Pn.Snb).
There are three research questions in this study. They are (1) What are the law provisions of the criminal act of extortion and / or threats according to Law Number 19 of 2016 concerning Amendments to Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions and acoording the Criminal Code, (2) Is there a criminal responsibility towards extortion and / or threats through electronic media according to Law Number 19 of 2016 concerning Amendments to Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions and the Criminal Code. (3) What are the judges' legal considerations in Decision Number 7 / Pid.Sus / 2017 / PN.Snb?
This research is normative and descriptive analysis. The legal theory used in this research is the Criminal Liability Theory. The data used is secondary data consisting of primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. The data collection technique is library research (library research). Data analysis is qualitative.
Conclusion: (1) Article 27 paragraph (4) combines the criminal act of extortion and / or threats in one provision, whereas, in the Criminal Code, the criminal act of extortion is regulated in Article 368 while threatening is regulated in Article 369 of the Criminal Code. Extortion is a common crime using violence or threats of violence. Threatening is an absolute complaint.
(2) There is a criminal liability for extortion and / or threats through electronic media according to the ITE Law and the Criminal Code because someone has committed a criminal act. Criminal liability is essentially a mechanism established by the Criminal Code to react to violations of certain acts
(3) Judges' legal considerations in Court Decision 7 / Pid.Sus / 2017 / PN.Snb:
Based on the facts at the trial, and the testimony of witnesses, the defendant has been legally and convincingly proven to have committed the crime of extortion and threats of violating Article 27 paragraph 4 UU ITE UU ITE Jo Article 45 paragraph (4). In the trial, the Panel of Judges did not find anything that could eliminate criminal responsibility, either as a justification and / or excuse. As a result, the Defendant had to be accountable for his actions. The defendant is able to be responsible, so he must be found guilty and sentenced to crime.
Keywords: Criminal Accountability, Extortion and Threats, ITE Law, Criminal
Code
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan karunia, kekuatan, kesehatan, dan kemudahan yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian tesis ini sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan studi di program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, yang berjudul ―PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEMERASAN DAN ATAU PENGANCAMAN MENURUT UNDANG-UNADANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG—UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN KUH PIDANA (Studi:
Putusan Nomor 7/Pid.Sus/2017/PN.Snb)
Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr.
Alvi Syahrin, S.H.,M.S, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan ilmu, meluangkan waktu untuk memberikan masukan, bimbingan kepada penulis hingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Terima kasih kepada Bapak Dr.M.Hamdan, S.H.,M.H, selaku dosen Pembimbing kedua yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. M.Ekaputra,
S.H.,M.H, selakuk pembimbing ketiga yang dengan sabar membimbing,
mengarahkan, mengoreksi tulisan penulis, menyediakan waktu berdiskusi dalam
penulisan tesis ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas segala kebaikan
Bapak Dosen dalam bimbingan dan ilmu yang telah diberikan.
1. Bapak Prof.Dr.Runtung, S.H.,M.Hum, selaku Rektor Univeritas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof.Dr.Budiman Ginting, S.H.,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Prof.Dr.Sunarmi, S.H.,M.Hum, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H.,M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Dr. Edy Yunara,S.H.,M.Hum, selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukan dan saran yang membangun dalam penyusunan tesis ini.
6. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H.,M.Hum, selaku Dosen Penguji kedua yang telah memberikan masukan dan saran yang membangun dalam penyusunan tesis ini.
7. Seluruh Dosen, Staf Tata Usaha, Tenaga Pendukung Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah melancarkan segala urusan yang berkenaan dengan administrasi dan informasi selama studi berlangsung dan juga pada saat dilakukan penelitian ini.
8. Pimpinan PT.Pertamina Patra Niaga, tempat penulis bekerja, yang telah
mendukung dan memberikan izin kepada penulis untuk menempuh
pendidikan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.
Tesis ini penulis dedikasikan kepada kedua orang tua tercinta, Bapak Pangasian Habeahan dan Martha Naibaho, yang telah melahirkan, mendidik dan mendoakan,memotivasi penulis.
Penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi teknik penulisan maupun dari segi pembahasannya, karena itu kritik dan saran dari berbagai pihak yang membangun sangat diharapkan untuk kesempurnaan pada masa yang akan datang. Semoga tesis ini bermmanfaat bagi dunia pendidikan dan masyarakat luas.
Medan, 11 September 2020 Penulis
LIBERT HAMONANGAN HABEAHAN
1. Data Pribadi
Nama : Libert Hamonangan Habeahan Tempat,tanggal lahir : Medan,2 Juli 1993
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen Protestan
Status : Belum Menikah
Alamat : Jalan Abadi No.60 Medan 2. Keluarga
Ayah : Pangasian Habeahan
Ibu : Martha Naibaho
3. Pendidikan
a. SD Santo Yoseph 2 Biak ( 1999-2005) b. SMP Negeri 1 Jayapura (2005-2008) c. SMA Negeri 2 Jayapura ( 2008-2011)
d. Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Presiden, Bekasi (2011-2015)
e. Strata Dua (S2) Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara ( 2017-2020)
4. Pekerjaan :
a. PT.Pertamina Patra Niaga ( 2015 – Sekarang)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemanfaatan teknologi komputer yang terus berevolusi, telah menyebabkan proses konvergensi antara teknologi informasi, media dan komunikasi hingga pada akhirnya menghasilkan sarana baru yang dikenal sebagai internet
1sekaligus menjadi awal lahirnya peradaban di dunia maya
2Keberadaan informasi dan transaksi elektronika tidak dapat terhindar dari permasalahan. Permasalahan yang sangat rentan ialah menyinggung aspek pidana Tindak pidana siber ini merupakan kejahatan yang berdimensi baru.
Kejahatan ini jenis maupun bentuknya banyak sekali. Dalam Perspektif KUH Pidana, kejahatan ini ada yang merupakan kejahatan konvesional tetapi dengan modus baru, pornografi, penipuan, pencemaran nama baik, pemerasan/pengancaman dan sebagainya yang mengunakan media internet sebagai sarana untuk melakukan kejahatan
.Kejahatan yang mempergunakan dunia maya sabagai sarana telah berlangsung di setiap negara dengan berbagai karekteristik, termasuk di Indonesia. Sehingga bentuk kejahatan dunia maya yang ditimbulkan oleh pelaku membawa dampak dalam kehidupan kemasyarakatan dewasa ini.
1 Internet merupakan istilah umum yang dipakai untuk menunjuk network tingkat dunia yang terdiri dari komputer dan layanan servis atau sekitar 30 sampai 50 juta pemakai komputer dan puluhan sistem informasi termasuk e-mail, Gopher, FTP dan World Wide Web (WWW). Andino Maseleno, Kamus Istilah Komputer dan Informatika, (Yogyakarta: IlmuKomputer.Com, 2003).
hlm. 102.
2 Internet merupakan istilah umum yang dipakai untuk menunjuk network tingkat dunia yang terdiri dari komputer dan layanan servis atau sekitar 30 sampai 50 juta pemakai komputer dan puluhan sistem informasi termasuk e-mail, Gopher, FTP dan World Wide Web (WWW).
Ibid, hlm 102
Pertanggungjawaban pidana merupakan bentuk perbuatan dari pelaku tindak pidana terhadap kesalahan yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena ada kesalahan yang merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang, dan telah ada aturan yang mengatur tindak pidana tersebut.
Tindak pidana pemerasan dan pengancaman suatu tindakan oleh pelaku yang disertai kekerasan dan ancaman terhadap seseorang dengan maksud agar seseorang yang menguasai barang dengan mudah untuk menyerahkan sesuatu barang yang dikuasai di bawah kekerasan dan ancaman, seseorang menyerahkan barang tidak ada jalan lain kecuali untuk menyerahkan sesuatu barang kepada pelaku kekerasan dan dengan disertai ancaman. Dalam Kitab Undang-Undang KUH Pidana diatur dalam Bab XXII, pasal 368- 371 KUH Pidana
3Pengaturan tindak pidana informasi dan transaksi elektronik atau cybercrime diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. (Selanjutnya dalam penelitian ini disebut dengan UU ITE).
Salah satu bentuk cybercrime, termuat dalam pasal 27 ayat 4 ―Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman. Pasal 29
―Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut- nakuti yang ditujukan secara pribadi‖.
3 Ismu Gunadi, Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami KUH Pidana, (Jakarta : Kencana, 2014) hlm136
Ketentuan pasal 27 ayat 4 UU ITE tersebut merupakan ketentuan yang mengatur tindak pidana yang diatur dalam KUH Pidana yaitu mengenai tindak pidana kesusilaan (Pasal 282 dan Pasal 283 KUH Pidana), perjudian (Pasal 303 KUH Pidana), penghinaan atau pencemaran nama baik (Pasal 310 dan Pasal 311 KUH Pidana), dan pemerasan atau pengancaman (Pasal 368 dan Pasal 369 KUH Pidana). Perumusan perbuatan dalam Pasal 27 UU ITE pada dasarnya merupakan reformulasi tindak pidana yang terdapat dalam pasal-pasal KUH Pidana tersebut.4
Perumusan ketentuan Pasal 27 ayat (4) UU ITE yang menggabungkan tindak
pidana pemerasan dan/atau pengancaman dalam satu ketentuan padahal dalam KUH Pidana tindak pidana pemerasan diatur dalam Pasal 368 sedangkan pengancaman diatur dalam Pasal 369 KUH Pidana.
Kejahatan ini dinamakan pemerasan dengan menista (afdreiging atau chantage).
Bedanya Pasal 368 dengan Pasal 369 terletak dalam alat yang digunakan untuk memaksa, ialah dalam Pasal 368 digunakan kekerasan atau ancaman kekerasan sedangkan dalam Pasal 369 digunakan akan menista dengan surat atau akan membuka rahasia.
Perumusan ketentuan Pasal 27 ayat (4) UU ITE yang menggabungkan tindak pidana pemerasan dengan pengancaman dalam satu ketentuan tetap menimbulkan masalah karena kedua tindak pidana tersebut jenis deliknya berbeda. Ketentuan tindak pidana pemerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 368 KUH Pidana adalah delik biasa sedangkan tindak pidana pengancaman dalam Pasal 369 KUH Pidana adalah delik aduan.5
4 Sigit Suseno, Yurisdiksi Tindak Pidana Siber, (Bandung: Refika Aditama, 2012), hlm. 166
5 Ibid, hlm 166
Ketentuan Pasal 27 UU ITE mensyaratkan perbuatan mendistribusikan, mentransformasikan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten yang dilarang tersebut dilakukan dengan sengaja dan tanpa hak.6
Pasal 29 UU ITE tersebut menentukan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Yang dimaksud dengan secara pribadi adalah orang perseorang (manusia atau natural person) sehingga dengan demikian tidak termasuk korporasi. Penjelasan yang tidak memberikan keterangan apapun tindak pidana tersebut hanya dapat dipertanggungjawabkan secara pidana kepada pelakunya apabila sasaran atau korban tindak pidana tersebut adalah orang perseorangan karena yang dapat merasa takut adalah manusia7
Pasal 1 UU ITE menyebutkan ―Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan menggunakan Teknologi Informasi, jaringan teknologi informasi, dan/atau media elektronik lainya‖. Ini berarti handphone dengan layanan SMS, internet dengan facebook dan media sebagai media elektronik lainnya termasuk dalam UU ITE. SMS digunakan untuk menyampaikan pesan singkat kepada seseorang untuk berbagai kepentingan. Begitu banyak kasus seputar penggunaan handphone dengan layanan ShortMessage Service (SMS), seperti kasus Nomor. 7 /Pid.Sus/2017/PN.Snb, bahwa pelaku dengan menggunakan media telekomunikasi diaawali dengan berkenalan melalui akun facebook pasu dengan media internet, selanjutnya menggunakan handphone dengan layanan SMS mengirimkan pesan singkat berupa pemerasan dan pengancaman terhadap korbannya. Kasus tersebut diatas merupakan kasus yang berkenaan degan teknologi informasi, maka terhadap setiap orang dengan sengaja
6 Asri Sitompul, Hukum Internet Pengenalan Mengenai Masalah Hukum Cyberspace, (Bandung:
PT. Citra Adiyta Bakti, 2001), hlm 32
7 Ibid, hlm 32
dan tanpa hak mengirim pesan atau informasi elektronik seperti diuraikan diatas, maka orang itu akan dijerat dengan pasal-pasal perbuatan yang dilarang dalam UU ITE, yaitu Pasal 27 sampai Pasal 29 serta Pasal-pasal di dalam KUHP yaitu tindak pidana pemerasan dan pengancaman.
Tindak pidana pemerasan diatur dalam Pasal 368 KUH Pidana sedangkan pengancaman diatur dalam Pasal 369 KUH Pidana.
Pasal 368 KUH Pidana berbunyi:
―Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun”
8Pasal 369 KUH Pidana berbunyi:
―Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa orang supaya memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang atau menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun‖
9Penerapan Pasal 368 dan 369 KUHP dan UU ITE dalam tindak pidana pemersan dan pengancaman lewat SMS telah memenuhi unsur objektif suatu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 yaitu: memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena pemerasan dan dalam Pasal 369 KUHP, yaitu memaksa orang lain untuk menyerahkan suatu benda dengan cara ancaman pencemaran, baik lisan maupun tulisan, dan juga telah
8 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang KUH Pidana (KUH PIDANA) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1988), hlm. 286
9 Op.cit, hlm 286
memenuhi unsur objektif yaitu dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, sedangkan tindakan hukum yang dapat dilakukan terhadap pelaku tindak pidana pemersan dan pengancaman lewat SMS adalah dengan menggunakan Pasal 368 dan Pasal 369 KUHP. Berdasarkan penafsiran ekstensif dapat pula dijerat dengan Pasal 29 juncto Pasal 43 ayat (3) UU ITE
Pemerasan dan pengancaman diatur juga dalam KUH Pidana. Pemerasan
terdapatdalam Pasal 368 KUH Pidana. Pengancaman terdapat dalam Pasal 369 KUH Pidana. Berdasarkan urain tersebut di atas, maka akan dilakukan penelitian dengan judul ―
Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Pemerasan Dan Atau Pengancaman Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dan KUH Pidana (Studi: Putusan Nomor 7/Pid.Sus/2017/PN.Snb
)‖ sangat penting dilakukan.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dibahas dalam latar belakang di atas, penulis membuat perumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana tindak pidana pemerasan dan atau pengancaman menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan KUH Pidana?
2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pemerasan dan atau
pengancaman melaui media elektronik menurut Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik dan KUH Pidana
3. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam Putusan Nomor 7/Pid.Sus/2017/PN.Snb?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang dan pokok-pokok permasalahan seperti yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengkaji dan menganalisis tindak pidana pemerasan dan atau pengancaman menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dan KUH Pidana serta peraturan perundang-undangan lainnya.
2. Untuk mengkaji dan menganalisis pertangggungjawaban pidana terhadap pemerasan dan atau pengancaman melaui media elektronik menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dan KUH Pidana
3. Untuk mengkaji dan menganalisis pertimbangan hukum hakim dalam putusan Nomor 7/Pid.Sus/2017/PN.Snb?
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan pada umumnya serta memiliki kegunaan praktis pada
khususnya, sehingga penelitian ini bermanfaat secara teoritis dan praktis.
1. Dari segi Teoritis
a. Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu di bidang hukum pada umumnya, khususnya yang berkenaan dengan tindak pidana pemerasan dan atau pengancaman melalui media elektronik.
b. Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah referensi mahasiswa fakultas hukum pada umumnya dan pada khususnya bagi penulis sendiri dalam menambah pengetahuan tentang ilmu hukum.
2. Dari segi Praktis
a. Diharapkan dari hasil penelitian mampu memberikan informasi kepada instansi, lembaga, akademisi dan masyarakat secara umum mengenai gambaran tentang penanggulangan tindak pidana pemerasan dan pengancaman melalui media elektronik dan juga dapat dijadikan kontribusi pemikiran aparat penegak hukum dalam melakukan untuk keamanan masyarakat
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran keaslian penelitian yang dilakukan oleh di
perpustakaan Sumatera Utara dan melalui media online, penelitian tesis dengan
judul ―
Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Pemerasan Dan Atau Pengancaman Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dan KUH Pidana (Studi: Putusan Nomor 7/Pid.Sus/2017/PN.Snb)‖
), belum pernah ada yang meneliti. Ada penelitian Tesis
yang masih berhubungan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik dan KUH Pidana, yang dilakukan oleh mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum, yaitu:
1. Nara Palentina Naibaho (NIM : 137005109-Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara), dengan judul tesis: ―Sistem Pembuktian Pada Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronika Dalam Kaitannya Dengan Hukum Acara Pidana‖. Perumusan masalah dalam penelitian tersebut:
a. Bagaimana pengaturan tindak pidana informasi dan transaksi elektronik yang terdapat dalam undang-undang?
b. Bagaimana kekuatan pembuktian alat bukti elektronik pada tindak pidana informasi dan transaksi elektronik dalam kaitannya dengan hukum acara pidana?
c. Bagaimana peran alat bukti elektronik dalam mengungkap kebenaran hukum pada Putusan Pengadilan Negeri Muara Teweh No.194/Pid.Sus/2013/PN.Mtw dan Putusan Pengadilan Negeri Ranai No.20/Pid.B/2013/PN.Rni
2. Philemon Ginting (NIM: B04.007.030-Ilmu Hukum Universitas Diponegoro), dengan judul tesis: ―Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidanateknologi Informasi Melalui Hukum Pidana‖. Perumusan masalah dalam penelitian tesis ini adalah:
a. Bagaimana kebijakan formulasi hukum pidana terhadap tindak pidana
teknologi informasi saat ini?
b. Bagaimana kebijakan aplikatif yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam upaya penanggulangan tindak pidana teknologi informasi?
c. Bagaimana sebaiknya kebijakan formulasi dan kebijakan aplikatif hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana teknologi informasi di masa yang akan datang ?
3. Marissa Amalina Shari Harahap (NIM: 1006789324-Ilmu Hukum Universitas Indonesia), dengan judul tesis :
Analisis Penerapan Undang – Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Dalam Tindak Pidana Siber.
Perumusan masalah dalam penelitian tesis ini adalah:
a. Bagaimana penyelesaian tindak pidana siber di Indonesia menurut Undang – Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ?
b. Apakah ketentuan pidana pada Undang – Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan ketentuan yang mampu mengikuti perkembangan tindak pidana siber?
c. Kendala apa sajakah yang dapat dijumpai dalam menegakkan Undang – Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam pemberantasan tindak pidana siber ?
Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa perumusan masalah yang
diteliti berbeda dengan penelitian sebelumnya. Sehingga penelitian ini dapat
dikategorikan sebagai penelitian yang asli dan dapat dipertanggung jawabkan
secara akademis dam ilmiah sesuai dengan asas-asas keilmuwan yang jujur,
rasional dan objektif dalam menemukan kebenaran. Hal ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsional 1. Kerangka Teori
Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu sektor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan.
10Adanya teori yang dipergunakan atau yang dijadikan pisau analisis dalam penelitian tentunya bertujuan untuk menerangkan atau menjelaskan gejala spesifik tertentu terjadi
11dan suatu kerangka teori harus diuji untuk menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.
12Fungsi dari teori dalam penelitian adalah untuk menyusun dan mengklasifikasikan atau mengelompokkan penemuan-penemuan dalam sebuah peneltian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori merupakan suatu penjelasan rasional yang sesuai dengan objek yang harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.
13Bertolak dari uraian di atas maka teori yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah teori Pertanggungjawaban Pidana.
Hukum pidana, masalah pertanggungjawaban pidana merupakan persoalan yang pelik, karena pada akhirnya akan sampai pada penjatuhan pidana. Untuk menjatuhkan pidana pada seorang pelaku pun harus dipenuhi berbagai
10M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian,( Medan:Softmedia, 2012), hlm.30.
11Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Azas-azas, Penyunting : M.Hisyam, (Jakarta: FE-UI, 1996), hal 203
12Ibid, hal 216
13M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm 17
persyaratan. Asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld) merupakan suatu penyaring bahwa hanya mereka yang mempunyai kesalahan saja yang patut dipidana
14Artinya meskipun seseorang telah melakukan perbuatan yang melawan hukum, tidak serta merta membuatnya dapat dijatuhi pidana. Hanya apabila ia dapat dipersalahkan, barulah yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu. Jadi terlihat betapa tidak mudahnya untuk mempertanggungjawabkan seseorang atas perbuatan pidana yang telah dilakukannya sendiri
Untuk sampai pada kesimpulan bahwa seorang pelaku dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana, hakim harus menilai beberapa hal. Pertama-tama ia harus menentukan bahwa pelaku perbuatan melawan hukum itu adalah orang yang normal mampu untuk bertanggungjawab; selanjutnya membuktikan pelaku melakukan perbuatan itu dengan kesalahan (berupa kesengajaan atau kealpaan) dan yang terakhir, pelaku tidak memiliki dasar penghapus kesalahan.
15Pertanggungjawaban adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya. Untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan, ini berarti harus dipastikan terlebih dahulu yang dinyatakan sebagai pembuat suatu tindak pidana
16. Roeslan Saleh mengatakan bahwa:‖Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan
14Utrecht, Hukum Pidana 1, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986), hlm. 288-289.
15 Ibid, hlm 289
16 Roeslan Saleh. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. (Jakarta Aksara Baru), 1990, hlm 80
secara pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau tindak pidana‖
17Pelaku tindak pidana dapat dipidana apabila memenuhi syarat bahwa tindak pidana yang dilakukannya memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-Undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dan dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatanya. Dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan seperti melawan hukum tergantung dari apakah dalam melakukan perbuatan ia mempunyai kesalahan dan apabila orang yang melakukan perbuatan itu memang melawan hukum, maka ia akan dipidana.
Sehubungan dengan masalah tersebut di atas maka Romli Atmasasmita menyatakan sebagai berikut:
―Berbicara tentang konsep liability atau ―pertanggungjawaban‖ dilihat dari segi falsafat hukum, seorang filosof besar dalam bidang hukum pada abad ke-20, Roscou Pound, dalam An Introduction to the Philosophy of Law, telah mengemukakan pendapatnya ‖I …. Use the simple word “liability”
for the situation whereby one exact legally and other is legally subjected to the exaction
18‖
Agar dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. maka harus memenuhi 3 (tiga) unsur, yaitu:
1. Adanya kemampuan bertanggungjawab;
17 Ibid, hlm 75
18 Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama (Jakarta:
Yayasan LBH, 1989), hlm 79
2. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan;
3. Tidak adanya alasan penghapus kesalahan (alasan pemaaf)
19. Dipidananya seseorang tidaklah cukup dengan membuktikan bahwa orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Untuk dapat dipertanggungjawabkan orang tersebut perlu adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt).
20Menurut Roeslan Saleh dalam KUH Pidana dikenal dengan adanya tiga unsur pokok, yaitu:
a) Unsur perbuatan
Unsur pertama adalah perbuatan atau tindakan seseorang. Perbuatan orang ini adalah titik penghubung dan dasar untuk pemberian pidana.
b) Unsur orang atau pelaku
Orang atau pelaku adalah subjek tindak pidana atau seorang manusia.
Hubungan unsur orang atau pelaku mengenai hal kebatinan, yaitu hal kesalahan si pelaku tindak pidana. Hanya sengan hubungan batin ini, perbuatan yang dilarang dapat dipertanggungjawabkan pada si pelaku dan baru akan tercapai apabila ada suatu tindak pidana yang pelakunya dapat dijatuhi hukuman.
c) Unsur pidana, melihat dari pelaku
19 Tongkat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang : UMM Press, 2004), hal. 225
20 Nikmah Rosidah, Asas-Asas KUH Pidana, (Semarang:Pustaka Magister, 2011), hlm.40
Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat tertentu itu.
21Seorang pembuat dalam melakukan suatu tindak pidana dalam menentukan adanya pertanggungjawaban harus ada sifat melawan hukum dari tindak pidana yang merupakan sifat terpenting dari tindak pidana. Sifat melawan hukum dihubungkan dengan keadaan psikis (jiwa) pembuat terhadap tindak pidana yang dilakukannya dapat berupa kesengajaan (opzet) atau karena kelalaian (culpa).
Menurut pandangan para ahli, KUH Pidana ada 3 (tiga) bentuk kesengajaan (opzet), yakni
22:
1) Kesengajaan sebagai Maksud
Kesengajaan ini bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas di kenakan hukuman.
2) Kesengajaan dengan Keinsafan Pasti
Kesengajaan ini ada apabila si pelaku (doer or dader) dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik dan mengetahui pasti atau yakin benar bahwa selain akibat dimaksud akan terjadi suatu akibat lain.
3) Kesengajaan dengan Keinsafan Kemungkinan (Dolus Eventualis)
Kesengajaan ini juga dsebut kesengajaan dengan kesadaran kemungkinan, bahwa seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu. Akan tetapi, si pelaku menyadari
21 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta:Aksara Baru, 1999) hlm. 52
22 Leden Mapaung. Asas-Teori-Praktik KUH Pidana..( Jakarta: Sinar Grafrika. 2005), hlm. 15
bahwa mungkin akan timbul akibat lain yang juga dilarang dan diancam oleh UndangUndang.
Pada umumnya, kelalaian (culpa) dibedakan menjadi 2, yaitu
23: 1) Kelalaian dengan kesadaran (bewuste schuld)
Dalam hal ini, si pelaku telah membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat, tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegah tetap timbul tersebut.
2) Kelalaian tanpa kesadaran (onbewuste schuld)
Dalam hal ini, si pelaku tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang dilarang dan diancam hukuman oleh UndangUndang. Sedangkan ia seharusnya memperhitungkan akan timbulnya suatu akibat.
Suatu perbuatan dikatakan telah melanggar hukum, dan dapat dikenakan sanksi pidana maka harus dipenuhi 2 (dua) unsur yakni adanya unsur perbuatan pidana (actrus reus) dan keadaan sifat batin pembuat (mens rea). Kesalahan (schuld) merupakan unsur pembuat delik, jadi termasuk unsur pertanggungjawaban pidana yang mana terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Dalam hal kesalahan tidak terbukti, berarti bahwa perbuatan pidana (actus reus) sebenarnya tidak terbukti, karena tidak mungkin hakim akan membuktikan adanya kesalahan jika ia telah mengetahui lebih dahulu bahwa perbuatan pidana tidak ada atau tidak terbukti diwujudkan oleh terdakwa
24 Ketentuan Pasal 27 UU ITE mensyaratkan perbuatan mendistribusikan, mentransformasikan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten yang dilarang tersebut23 Ibid. hlm. 26
24 Andi Zainal Abidin. Asas-Asas KUH Pidana Bagian Pertama. (Bandung:Alumni. 1987), hlm.
72
dilakukan dengan sengaja dan tanpa hak
.
Pasal 29 UU ITE tersebut menentukan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.Tindak pidana pemerasan dan pengancaman suatu tindakan oleh pelaku yang disertai kekerasan dan ancaman terhadap seseorang dengan maksud agar seseorang yang menguasai barang dengan mudah untuk menyerahkan sesuatu barang yang dikuasai di bawah kekerasan dan ancaman, seseorang menyerahkan barang tidak ada jalan lain kecuali untuk menyerahkan sesuatu barang kepada pelaku kekerasan dan dengan disertai ancaman. Dalam Kitab Undang-Undang KUH Pidana diatur dalam Bab XXII, pasal 368- 371
Bertitik tolak dari urain tersebut, maka penelitian dengan judul
―
Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Pemerasan Dan Atau Pengancaman Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dan KUH Pidana sangat tepat menggunakan Teori Pertanggungjawaban Pidana.2. Kerangka Konsepsional
Kerangka konsepsi atau konsepsional perlu dirumuskan dalam penelitian sebagai pegangan ataupun konsep yang digunakan dalam penelitian. Biasanya kerangka konsepsional dirumuskan sekaligus dengan defenisi-defenisi tertentu yang dapat dijadikan pedoman opersional di dalam proses pengumpulan, pengoahan, analisis dan konstruksi data
25Berdasarkan judul yang merupakan suatu syarat dalam penelitian dan agar tidak terjadinya kesalah pahaman dalam materi penulisan tesis ini, maka judul
25 Soejono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaedah Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti,1993) hlm 137
harus ditegaskan dan diartikan. Judul yang dikemukakan adalah
―Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Pemerasan Dan Atau Pengancaman Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik dan KUH Pidana, maka kerangka konsep yang menjadi defenisi operasional dalam penelitian ini adalah:
a. Pertanggungjawaban Pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang.
Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh KUH Pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran perbuatan tertentu
26b. Tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum serta dengan dengan kesalahan yang dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab.
27c. Pemerasan adalah tindakan melawan hukum memaksa seseorang dengan kekerasan atau pencurian yang didahului disertai kekerasan atau ancaman kekerasan, baik diambil sendiri oleh tersangka maupun penyerahan barang oleh korban
28.
26 Chairul Huda, ―Dari „Tiada Pidana Tanpa Kesalahan „Menuju Kepada „Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan‖, (Jakarta:Kencana , Jakarta, 2011), hlm.68
27E.Y Kanter dan S.R.Sianturi, Asas-Asas KUH Pidana di Indonesia dan Penerapannya ( Jakarta: Storia Grafika, 2002,) hlm 211
28http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5056a2c308a48/bahasa-hukum--tindak- pidanapemerasan. (diakses pada tanggal 22 April 2019, pukul 15.40 WIB).
d. Pengancaman adalah suatu tindakan yang menyatakan maksud (niat, rencana) untuk melakukan sesuatu yang merugikan, menyulitkan, menyusahkan, atau mecelakakan pihak lain
29e. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminyaDosen tidak tetap adalah dosen yang bekerja secara tidak penuh waktu pada perguruan tinggi.
30f. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
31g. Internet adalah jaringan komunikasi elektronik yang menghubungkan jaringan komputer dan fasilitas komputer yang terorganisasi di seluruh dunia melalui telepon atau satelit
3229 Yayasan Lembaga Sabda, Pengancam (Kamus Besar Bahasa Indonesia), http://kamus.sabda.org/kamus/pengancam, (diakses pada tanggal 22 April 2019, pukul. 16.05 WIB 30
Undang-Undang No 11 tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1)
31 Undang-Undang No 11 tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (2)
32 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),Kamus versi online/daring (dalam jaringan), diakses pada tanggal 22 April 2019, pukul 16.30 WIB)
G. Metode Penelitian
Metode penelitian diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam penelitian. Metodologi penelitian adalah sebuah materi pengetahuan untuk mendapatkan pengertian yang lebih dalam mengenai sistimatisasi atau langkah-langkah penelitian.
33Penelitian adalah sebagai bagian dari proses pengembangan ilmu pengetahuan dengan menggunakan metode tertentu yang bertujuan untuk mengetahui apa yang telah dan akan sedang terjadi serta memecahkan masalahnya atau suatu kegiatan pencarian kembali pada kebenaran.
34Dengan demikian metode penelitian hukum adalah suatu cara kerja atau upaya ilmiah untuk memahami, menganalisis, memecahkan, dan mengungkapkan suatu permasalahan hukum berdasarkan metode tertentu.
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif (normative law research), yaitu penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan, tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau implementasinya.
35Penelitian ini dilakukan dengan mengkaji
33Syahrum dan Salim, Metodologi Penelitian Kuantitatif, (Bandung : Citapustaka Media , 2012), hlm 37
34Mukti Fajar N.D., dan Yulianto Ahmad , Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,(Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm 19
35Abdulkadir Muhammad
, Hukum dan Penelitian Hukum, (
Bandung PT. Citra Aditya Bakti, ,2004),hlm 105―Pertanggungjawaban Pidana terhadap pelaku Pemerasan dan atau pengancaman yang berkaitan peraturan perudang-undangan yang menjadi objek penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian.
36Penelitian yuridis normatif atau penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder dan disebut juga penelitian hukum kepustakaan.
37Dalam penelitian tesis ini, akan menguraikan tentang Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Pemerasan Dan Atau Pengancaman Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik dan KUH Pidana berdasarkan kondisi yang ada dan dianalisis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
38. Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui pertama studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan ini dilakukan untuk memperoleh data sekunder.
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka. Data sekunder dapat terdiri atas: :
36Ibid, hlm105
37Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994, cet.ke 5), hlm 9
71Soerjono Soekamto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif:Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2001), hlm 23-24
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum mempunyai kekuatan mengikat
39, atau bahan hukum yang bersifat autoratif artinya yang bersifat mengikat
40.Adapun landasan utama bahan hukum primer yang dipakai dalam rangka penelitian ini, yaitu :
i. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
ii. Kitab Undang-Undang KUH Pidana;
iii. Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku yang berkaitan dengan ilmu hukum, hasil-hasil seminar, jurnal-jurnal ilmiah, majalah, surat kabar, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan ahli hukum sepanjang relevan dengan objek telaah penelitian ini.
41c. Bahan hukum tersier yaitu bahan data yang memberikan petunjuk maupun penjelasan lebih mendalam terhdap bahan-bahan data primer dan data sekunder. Bahan data tersier yang digunakan dalam penelitian ini seperti kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar, dan sebagainya.
423. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengupulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah library research. Studi ini dilakukan dengan data dan informasi. yang ada, yaitu dengan mengumpulkan data dan informasi baik berupa buku, karangan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan penelitian
39 BambangSunggono, Metodologi Penenlitan Hukum Jurumetri,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998 ), hlm 194
40 Piter Marzuki,Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Media), hlm 141
41 Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Peneitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia, 2006) hlm 192
42 Ibid, hal 192
ini, yaitu dengan cara mencari,mempelajari, dan mencatat serta menginterpretasikan hal-hal yang berhubungan dengan obyek penelitian
43.
4. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini adalah analisis data kulitatif.Menurut Soerjono Soekanto, analisis data kualitatif adalah suatu cara ananlisis yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilaku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh
44Deskriptif kualitatif, yaitu mengambil data-data yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti sehingga dapat diuraikan secara deskriptif, kualitatif, dan komprehensif, yaitu menggambarkan kenyataan yang berlaku dan masih ada kaitannya dengan aspek-aspek hukum yang berlaku.
43 Ronny Hanitijo Soemitro, Op.cit., hlm 225
44 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,, (Jakarta,: UI Press 2008), hlm. 153
PERUBAHAN ATAS UNDANG –UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN KUH
PIDANA
A. Istilah, Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana di Indonesia
1. Istilah Tindak Pidana
Istilah tindak pidana dalam Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Belanda yaitu ―strafbaar feit‖. Pembentuk undang-undang menggunakan kata ―strafbaar feit‖ untuk menyebut apa yang di kenal sebagai ―tindak pidana‖ tetapi dalam Undang-Undang Hukum Pidana tidak memberikan suatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan ―strafbaar feit‖
Perkataan ―feit‖ itu sendiri dalam bahasa Belanda berarti ―sebagian dari suatu kenyataan‖ atau ―een gedeelte van de werkelijkheid‖, sedang ―strafbaar‖
berarti ―dapat dihukum‖, hingga secara harafiah perkataan ―strafbaar feit‖ itu dapat diterjemahkan sebagai ―sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum‖, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan maupun tindakan.
45Selain istilah ―strafbaar feit‖ dalam bahasa Belanda juga dipakai istilah lain yaitu ―delict‖ yang berasal dari bahasa Latin ―delictum‖ dan dalam bahasa Indonesia dipakai istilah ―delik‖. Dalam bahasa Indonesia dikenal juga dengan istilah lain yang ditemukan dalam beberapa buku dan undang-undang hukum
45Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (: PT. Citra Aditya Bakri, 1997), hlm.181.
pidana yaitu peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, dan pelanggaran pidana.
Pemetaan berkaitan dengan istilah dari tindak pidana, perbuatan pidana hingga peristiwa pidana sebegai berikut:
a. Strafbaar Feit
adalah peristiwa pidanab.
Strafbare Handlung diterjemahkan dengan Perbuatan Pidana, yang digunakan oleh para sarjana Hukum Pidana Jerman; danc.
Criminal Act diterjemahkan dengan istilah Perbuatan Kriminal.46Delik menurut Andi Hamzah dalam ialah suatu perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang (pidana).47 Lanjut Moeljatno mengartikan Strafbaarfeit itu sebenarnya adalah suatukelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.48
2. Pengertian Tindak Pidana
Para pembentuk undang-undang tidak memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan kata ―strafbaar feit‖, maka timbullah didalam doktrin berbagai pendapat mengenai apa sebenarnya maksud dari kata ―strafbaar feit‖.
Simons, merumuskan Strafbaar feit adalah ―suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat
dihukum.49
Menurut Pompe strafbaar feit merupakan suatu pelanggaran norma
46 Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana, Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP Indonesia, Yogyakarta, 2012, hlm 18
47Ibid, hlm 19.
48Chazawi Adami, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1; Stelsel Pidana, Teori-Teori Pemidanaan
&Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta, PT Raja Grafindo, 2002), hlm. 72.
49 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Cetakan Pertama, (Jakarta,PT. RajaGrafindo Persada,2002.hlm.72)
yang tidak hanya dilakukan dengan sengaja tetapi dapat juga dilakukan dengan tidak sengaja. Sebagai contoh pelanggaran norma yang dilakukan dengan sengaja dirumuskan dalam Pasal 338 KUHP yaitu ―Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, karena bersalahnya telah melakukan pembunuhan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Tidak semua pembunuhan dilakukan dengan sengaja. Dapat dilihat pada Pasal 359 KUHP yaitu karena salahnya menyebabkan matinya orang. Dikatakan selanjutnya oleh Pompe, bahwa menurut hukum positif, suatu ―strafbaar feit‖ itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang dapat dihukum.
50Selain apa yang dikemukakan oleh para ahli di Eropa, pengertian ―strafbaar feit” dikemukakan juga oleh sarjana-sarjana Indonesia. Seperti pendapat yang dikemukakan oleh Moeljatno.
Moeljatno berpendapat bahwa, setelah memilih ―perbuatan pidana‖ sebagai terjemahan dari ―strafbaar feit‖, beliau memberikan perumusan (pembatasan) sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barangsiapa melanggar larangan tersebut dan perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau menghambat akan terciptanya tata pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu
51.
3. Unsur –Usur Tindak Pidana
Dalam rumusan tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang
50 Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung PT. Citra Aditya Bakti,.
1997, hlm.183
51 S.R. Sianturi,Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya di Indonesia ,Cetakan ke- 2, (Jakarta,Alumni Ahaem-Petehaem, 1988). hlm.208
terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.
Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus di lakukan.52
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana meliputi:
a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau Culpa); Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging ;
b. seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat(1) KUHP;
c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachteraad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
e. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.53
Unsur unsur Objektif dari suatu tindak pidana meliputi:
a. Sifat melawan hukum atau wederrechtelicjkheid;
b. Kualitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP; dan
c. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengansesuatu kenyataan sebagai akibat.54
52 Muhammad Ikbal, dkk, Hukum Pidana, (Banten:Unpam Press, 2019), hlm 35
53 Lamintang, P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung,Citra Aditya Bakti, 1997) hlm. 193-194
Menyikap hal tersebut unsur objektif dan unsur subjektif, Loebby Loqman juga memberikan pendapatnya tentang unsur-unsur tindak pidana. Menurut beliau unsurunsur tindak pidana meliputi:
a. Perbuatan manusia baik aktif maupun pasif
b. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang- undang;
c. Perbuatan tersebut telah di anggap melawan hukum;
d. Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan; dan e. Pelakunya dapat dipertanggungjawabkan.55
B. Pembagian Jenis Delik Dalam Hukum Pidana
Y. Kanter dan S.R. Sianturi menjelaskan dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia berpendapat bahwa Delik formal berhadapan dengan delik material.56 Uraian tentang Delik Formal dan Delik Material adalah, sebagai berikut:
1. Delik Formil
Delik Formil, dijelaskan bahwa yang dirumuskan merupakan tindakan yang dilarang (beserta hal/keadaan lainnya) dengan tidak mempersoalkan akibat dari tindakan itu. Contoh: Pasal-Pasal: 160 (penghasutan), 209 (penyuapan), 247 (sumpah palsu), 362 (pencurian). Pada pencurian misalnya, asal saja sudah dipenuhi unsur-unsur dalam Pasal 362 KUHP, tindak pidana pencurian sudah terjadi dan tidak dipersoalkan lagi, apakah orang yang kecurian itu merasa rugi atau tidak.
2. Delik Materil
Delik Materil, dijelaskan bahwa yang dirumuskan adalah akibat yang tidak diinginkan yang timbul, barulah dapat dikatakan telah terjadi tindak pidana tersebut sepenuhnya (voltooid).Contoh: Pasal-Pasal : 187 (pembakaran dan sebagainya),
54 Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana, Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP Indonesia, Yogyakarta, 2012,, hlm 46.
55Erdianto Effndi,. Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar.(Bandung:Refia Aditama, 2011) hlm.99
56Muhammad Ikbal, dkk, Op.Cit, hlm. 31
338 (pembunuhan), 378 (penipuan), harus timbul akibat akibat secara berurutan yakni, kebakaran, matinya korban, pemberian sesuatu barang. Perbedaan seperti ini sangat penting, dihubungkan dengan ajaran-ajaran locus dan tempus delicti, percobaan, penyertaan dan kadaluarsa57
C. Urgensi Hukum dan Regulasi Teknologi Informasi di Indonesia
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi
58(Information and Communication Technology-ICT) yang begitu pesat dengan segala fasilitas penunjangnya dalam peradaban manusia modern saat ini, telah membawa kita memasuki era baru yang disebut sebagai era digital (digital age). Berbagai bidang kehidupan akhirnya dirambah oleh kemajuan ICT tersebut. Perkembangan teknologi komunikasi massa yang menekankan pada komunikasi antar individu manusia secara langsung, seperti halnya pada penggunaan telpon, mengalami kemajuan yang sangat berarti dengan dikenal dan digunakannya telepon bergerak atau yang lebih dikenal dengan ‟cellular phone‟.
Perlu pula terlebih
dulu dipahami peristilahan dan ruang lingkup Cyberlaw yang telah membentuk rezim hukum baru di Indonesia khususnya dalam kegiatan teknologi dan informasi
59. Pemerintah Indonesia berupaya untuk memberikan dukungan terhadap pengembangan teknologi informasi khususnya pengelolaan informasi dan transaksi elektronik berserta infrastruktur hukum dan pengaturannya, sehingga kegiatan pemanfaatan teknologi informasi dapat dilakukan secara aman sengan menekan akibat-akibat negatifnya seminimal mungkin. Mendasarkan kepada
57 Kanter E.Y & S.R. Sianturi, Op. Cit. hlm. 237.
58 Teknologi informasi adalah suatu teknologi yang berhubungan dengan pengolahan data menjadi informasi dan proses penyaluran data/informasi tersebut dalam batas-batas ruang dan waktu. (Cahyana Ahmadjayadi, Cyberlaw sebagai Sarana Sangat Penting bagi Perkembangan Sistem Informasi Nasional Berbasis Teknologi Komunikasi dan Informasi, dalam Laporan Forum Dialog Nasional Bidang Hukum dan Non Hukum, BPHN, September 2004, hlm.180.
59 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
hal-hal di atas, maka Pemerintah Indonesia merasa perlu mengusulkan rancangan undang-undang yang mengatur kegiatan informasi dan transaksi elektronik, karenanya Departemen Komunikasi dan Informatika RI melalui Direktorat Jenderal Aplikasi Telematika telah menyiapkan dan menyusun Rancangan undang-undang yang mengatur kegiatan informasi dan transaksi elektronik (RUU ITE).
Setelah melalui perjalanan panjang semenjak tahun 1999, pada akhirnya RUU ITE disetujui menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 25 Maret 2008. Presiden RI kemudian menetapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Presiden RI kemudian menetapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektonik dan berlakunya semenjak tanggal 21 April 2008
60.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka untuk mengatur pemanfaatan teknologi informasi, media dan komunikasi yang telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global, termasuk di Indonesia, maka untuk melindungi masyarakat telah diterbitkan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843. Setelah diberlakukan, kemudian mengalami beberapa ayat mengalami perubahan, sehingga diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 19 Thun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952.
60 Dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomer 58
Departement komunikasi dan informasi mengeluarkan undang-undang baru tentang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE). Hadirnya Undang Undang ini disambut positif berbagai kalangan masyarakat namun tidak sedikit juga yang menentangnnya. Bagi yang tidak setuju, UU ITE dianggap sebagai upaya untuk membatasi hak kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat serta bisa menghambat kreatifitas seseorang didunia maya. Bagi yang setuju, kehadirannya dinilai sebagai langkah yang tepat untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan penyalahgunaan internet yang tak terkendali sehingga bisa merugikan orang lain
61.
Teknologi dan masyarakat bersifat dinamis karena terus berkembang, sedangkan hukum bersifat statis. Teknologi menuntut respon hukum dan hukum berada di persimpangan; di satu sisi berusaha mengakomodir perkembangan teknologi demi kepentingan masyarakat, tetapi di sisi lain hukum memiliki tanggung jawab untuk tetap menjaga teknologi yang ada sekarang. Sehingga tetap menjaga berbagai kepentingan atau kebutuhan masyarakat luas yang telah terpenuhi dengan teknologi yang telah ada itu.
62Harapan pembentukan UU ITE, yang memuat delik pidana khusus terhadap setiap perbuatan melawan hukum yang berhubungan dengan perangkat teknologi informasi salah satunya adalah dapat menciptakan kebaikan, dari segala aktifitas yang membutuhkan perangkat teknologi informasi. Idealisme ini tentu bukan sesuatu yang berlebihan, di tengah kehidupan yang serba sangat maju, sebagai suatu kejanggalan, manakala lingkungan masyarakat yang seyogyanya dapat
61 Shinta, Cyberlaw Praktik Negara-negara Dalam Mengatur Privasi Dalam ECommerce, (Bandung:Widya Padjadjaran, 2009), hlm., 2
62 Josua Sitompul, Cyberspace CyberCrime Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum Pidana, (Jakarta: PT Tatanusa, 2012), hlm. 32