• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2. Analisis Migrasi di Provinsi Jawa Tengah

Lucas, et al. (1984) menyatakan bahwa migrasi pada umumnya dilakukan oleh orang yang masih muda dan berpendidikan tinggi atau mereka yang putus sekolah dan sedang mencari pekerjaan dibandingkan oleh orang yang sudah lanjut atau orang yang kurang berpendidikan. Migrasi yang dilakukan seseorang dari desa ke kota (Urbanisasi) merupakan suatu bagian dari proses modernisasi yang sulit untuk diingkari dan merupakan komponen utama dari migrasi dalam negeri. Terlebih di era globalisasi ini, transportasi dan komunikasi yang efisien mudah diperoleh sehingga lebih memudahkan seseorang untuk melakukan migrasi. Pernyataan ini sejalan dengan hasil survei urbanisasi yang dilakukan BPS tahun 1995 seperti terlihat pada Gambar 5.3.

Gambar 5.3 menunjukkan bahwa komposisi umur pendatang yang berasal dari pedesaan menuju ke enam kota didominasi oleh pendatang yang berumur

muda (10-29 tahun). Persentase migran masuk yang berumur muda pada masing- masing kota adalah Medan (75,2); DKI Jakarta (77,8); Bandung (80,5); Semarang (82,8); Surabaya (81,2) dan Ujung Pandang (87,4).

0 10 20 30 40 50 60

M edan Jakarta Bandung Semarang Surabaya Ujung Pandang Kota Pe rs e n ta s e 10-19 20-29 30-39 40-49 50+ Sumber: BPS, 1997.

Gambar 5.3. Distribusi Persentase Migran Masuk dari Daerah Pedesaan Menurut Golongan Umur

Besarnya migrasi masuk dan keluar dari suatu Provinsi dapat menggambarkan keadaan mobilitas penduduk di suatu daerah. Pada Tabel 5.8 terlihat bahwa Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu Provinsi di Indonesia dengan jumlah migrasi keluar terbesar dibandingkan dengan Provinsi lainnya. Berdasarkan Hasil SUPAS (Survei Penduduk Antar Sensus) tahun 1995, jumlah migran keluar seumur hidup dari Jawa Tengah mencapai 5.014.822 jiwa, sedangkan pada hasil Sensus Penduduk tahun 2000 terlihat adanya kenaikan jumlah migran keluar yang mencapai 5.354.459 jiwa dan meningkat kembali tahun 2005 menjadi 5.538.952 jiwa. Hal ini sangat berbeda dengan Jawa Barat dan DKI Jakarta yang memiliki jumlah migrasi masuk terbesar di Indonesia. Jawa Barat dan DKI Jakarta menjadi daerah tujuan para migran karena merupakan daerah pusat bisnis dan industri yang dikenal dengan kawasan Jabodetabek sehingga berpeluang besar dalam menyerap tenaga kerja.

Tabel 5.8. Migrasi Seumur Hidup Tahun 1995, 2000 dan 2005

Provinsi

SUPAS 1995 SENSUS 2000 SUPAS 2005 Migran Masuk Migran Keluar Migran Masuk Migran Keluar Migran Masuk Migran Keluar DKI Jakarta 3.371.384 1.589.285 3.541.972 1.836.664 3.337.161 2.045.630 Jawa Barat 3.615.099 1.891.615 3.271.882 2.046.279 3.764.889 1.984.620 Jawa Tengah 672.978 5.014.822 708.308 5.354.459 741.588 5.538.952 Jawa Timur 808.995 2.879.389 781.590 3.063.297 660.663 3.220.158 Sumber: BPS, 2006a.

Menurut Ravenstein (1885) dalam Lucas, et al. (1984), umumnya migran berpindah dari wilayah yang keadaan ekonominya kurang baik ke wilayah yang keadaan ekonominya lebih baik dalam jarak yang relatif dekat dari daerah asal migran tersebut. Letak Jawa Tengah yang cukup strategis diantara Jabodetabek dan Surabaya yang juga merupakan salah satu daerah industri terbesar di pulau Jawa ini, memberikan kemudahan bagi masyarakat Jawa Tengah untuk melakukan migrasi ke daerah tersebut.

Perbedaan karakteristik pada masing-masing daerah menyebabkan adanya perbedaan karakteristik pada migran yang masuk ke daerah tujuan migran seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Lampung, Sumatra Selatan dan Riau. Sebagai pusat bisnis, industri dan pemerintahan, migran yang masuk ke Jakarta mempunyai karakteristik yang khusus, terutama sebagian diantaranya mempunyai pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan migran yang masuk ke daerah berbasis pertanian seperti Lampung. Masuknya migran potensial dan berkriteria khusus tersebut akan menguntungkan daerah tujuan karena memiliki sumberdaya manusia yang potensial pada pasar tenaga kerja. Namun disisi lain, terdapat kerugian di daerah asal migran tersebut karena kurangnya sumberdaya manusia

yang potensial sehingga penduduk yang tersisa hanyalah mereka yang kurang potensial dan tidak memiliki keahlian khusus.

Data migrasi lima tahun yang lalu pada Tabel 5.9 menunjukkan bahwa migrasi keluar tertinggi terdapat di Provinsi Jawa Tengah (Sensus 2000). Sedangkan pada SUPAS 1995 dan 2005, Jawa Tengah menempati urutan kedua dengan jumlah migran keluar sebesar 732.415 jiwa (SUPAS 1995) dan 662.193 jiwa (SUPAS 2005). Urutan pertama ditempati oleh DKI Jakarta dengan jumlah migran keluar sebesar 823.045 jiwa (SUPAS 1995) dan 734.584 jiwa (SUPAS 2005). Selain itu, pada Tabel 5.9 terlihat bahwa jumlah migran keluar dari DKI Jakarta lebih besar dibandingkan dengan jumlah migran masuknya. Berbeda dengan data pada Tabel 5.8 yang menunjukkan jumlah migasi seumur hidup, jumlah migran yang keluar dari DKI Jakarta selalu menunjukkan angka yang lebih kecil dibandingkan dengan migrasi masuknya. Lebih tingginya jumlah migran keluar pada data migrasi lima tahun yang lalu dimungkinkan selain dari faktor ekonomi (dipindah tugaskan di daerah lain) juga disebabkan dari faktor non ekonomi seperti pendidikan, karena banyak pelajar dari DKI Jakarta yang pindah ke daerah-daerah lain untuk meneruskan pendidikan terutama di tingkat perguruan tinggi.

Tabel 5.9. Migrasi Lima Tahun Yang Lalu Tahun 1995, 2000 dan 2005

Provinsi

SUPAS 1995 SENSUS 2000 SUPAS 2005 Migran Masuk Migran Keluar Migran Masuk Migran Keluar Migran Masuk Migran Keluar DKI Jakarta 594.542 823.045 702.202 850.343 575.173 734.584 Jawa Barat 1.117.615 448.779 1097021 631.753 730.878 443.039 Jawa Tengah 351.942 732.415 354204 1.017.494 327.604 662.193 Jawa Timur 438.446 410.609 185966 529.037 250.155 344.266 Sumber: BPS, 2006a.

Arus migrasi seumur hidup antar Provinsi berdasarkan SUPAS 2005 menunjukkan bahwa terdapat lima daerah tujuan utama migran dari Jawa Tengah untuk migrasi seumur hidup dan dua diantaranya berada di luar Jawa yaitu DKI Jakarta (1.274.304 jiwa), Jawa Barat (1.206.544 jiwa), Lampung (529.746 jiwa), Banten (401.401 jiwa), Sumatra Selatan (349.736 jiwa). Penduduk Jawa Tengah yang melakukan migrasi paling banyak adalah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki (2.853.909 jiwa), sedangkan jumlah perempuan yang melakukan migrasi seumur hidup adalah sebesar 2.685.043 jiwa (Tabel 5.10).

Tabel 5.10. Arus Migrasi Seumur Hidup Antar Provinsi (SUPAS 2005) dengan Tempat Lahir di Jawa Tengah

No. Tempat Tinggal Sekarang Laki-laki Perempuan Laki-laki + Perempuan

1 Sumatra Utara 64.059 55.791 119.850 2 Sumatera Barat 29.439 22.743 52.172 3 Riau 98.751 83.987 182.738 4 Jambi 94.128 78.113 172.241 5 Sumatera Selatan 183.116 166.620 349.736 6 Bengkulu 40.605 33.447 74.052 7 Lampung 285.053 244.693 529.746 8 Bangka Belitung 10.208 7.244 17.452 9 Kepulauan Riau 38.471 38.493 76.964 10 DKI Jakarta 616.418 657.886 1.274.304 11 Jawa Barat 622.720 583.824 1.206.544 12 DI Yogyakarta 107.948 116.440 224.388 13 Jawa Timur 122.103 116.259 238.362 14 Banten 205.082 196.319 401.401 15 Bali 11.396 7.943 19.339

16 Nusa Tenggara Barat 5.744 4.090 9.834

17 Nusa Tenggara Timur 5.201 5.328 10.529

18 Kalimantan Barat 48.581 38.079 86.660 19 Kalimantan Tengah 48.153 35.842 83.995 20 Kalimantan Selatan 52.220 43.264 95.484 21 Kalimantan Timur 65.094 58.886 123.980 22 Sulawesi Utara 5.239 3.646 8.885 23 Sulawesi Tengah 13.780 11.202 24.982 24 Sulawesi Selatan 25.257 24.621 49.878 25 Sulawesi Tenggara 6.416 5.485 11.901 26 Gorontalo 1.255 737 1.992 27 Maluku 6.308 6.670 12.978 28 Maluku Utara 3.163 2.989 6.152 29 Papua 38.011 34.402 72.413 Total 2.853.909 2.685.043 5.538.952 Sumber: BPS, 2006b.

Berbeda dengan hasil SUPAS 2005 pada arus migrasi seumur hidup, arus migrasi risen (migrasi lima tahun yang lalu) pada Tabel 5.11 menunjukkan bahwa terdapat lima daerah tujuan utama migran dan kelimanya berada di pulau Jawa yaitu DKI Jakarta (215.617 jiwa), Jawa Barat (145.599 jiwa), D.I. Yogyakarta (71.927 jiwa), Jawa Timur (48.860 jiwa) dan Banten (38.182 jiwa). Penduduk yang paling banyak melakukan migrasi risen ini adalah penduduk perempuan dengan jumlah 336.434 jiwa. Sedangkan jumlah laki-laki yang melakukan migrasi risen adalah 325.759 jiwa. Lebih besarnya jumlah perempuan yang melakukan migrasi risen dapat disebabkan karena alasan ikut suami pindah, pendidikan, maupun pekerjaan.

Hasil SUPAS 2005 mengenai arus migrasi keluar Jawa Tengah ini sejalan dengan pernyataan Ravenstein mengenai jarak sebagai pertimbangan utama dalam menentukan daerah tujuan migrasi, dimana pada data tersebut terlihat bahwa rata- rata para migran Jawa Tengah yang melakukan migrasi seumur hidup banyak menempati daerah di pulau Jawa lainnya atau luar Jawa yang jaraknya masih relatif dekat seperti Lampung dan Sumatra Selatan. Sedangkan dalam melakukan migrasi risen, para migran lebih memilih ke pulau Jawa.

Tabel 5.11. Arus Migrasi Risen Antar Provinsi (SUPAS 2005) dengan TempatTinggal Lima Tahun yang Lalu di Jawa Tengah

No. Tempat Tinggal Sekarang Laki-laki Perempuan Laki-laki + Perempuan

1 Sumatra Utara 1.805 1.357 3.162 2 Sumatera Barat 2.177 1.404 3.581 3 Riau 9.525 6.083 15.608 4 Jambi 4.459 3.592 8.051 5 Sumatera Selatan 3.906 2.496 6.402 6 Bengkulu 2.607 2.087 4.694 7 Lampung 7.557 5.597 12.154 8 Bangka Belitung 699 566 1.265 9 Kepulauan Riau 7.576 15.114 22.690 10 DKI Jakarta 88.124 127.493 215.617 11 Jawa Barat 79.681 65.918 145.599 12 DI Yogyakarta 32.865 39.062 71.927 13 Jawa Timur 30.751 18.109 48.860 14 Banten 16.484 21.698 38.182 15 Bali 3.473 2.869 6.342

16 Nusa Tenggara Barat 1.159 527 1.686

17 Nusa Tenggara Timur 2.497 1.617 4.114

18 Kalimantan Barat 2.872 2.194 5.066 19 Kalimantan Tengah 3.551 2.106 5.657 20 Kalimantan Selatan 6.893 3.417 10.310 21 Kalimantan Timur 6.061 5.236 11.297 22 Sulawesi Utara 356 173 529 23 Sulawesi Tengah 671 705 1.376 24 Sulawesi Selatan 4.861 4.397 9.258 25 Sulawesi Tenggara 354 266 620 26 Gorontalo 182 182 27 Maluku 1.022 284 1.306 28 Maluku Utara 687 271 958 29 Papua 2.904 1.796 4.700 Total 325.759 336.434 622.193 Sumber: BPS, 2006b.

Sebelum diimplementasikannnya Undang-Undang No 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah PP No 25 tahun 2000, pengerahan atau pengendalian mobilitas penduduk menjadi wewenang pemerintah pusat sehingga berbagai masalah yang ditimbulkannya juga ditangani secara nasional. Namun sejak diberlakukannya dua undang-undang mengenai otonomi daerah, permasalahan- permasalahan tersebut akan ditanggulangi sendiri oleh daerah terutama dalam upaya pengendalian mobilitas penduduk melalui berbagai kebijakan di bidang

lainnya, misalnya di bidang kependudukan, ketenagakerjaan, ekonomi dan lingkungan. Hal ini sesuai dengan PP No 25 tahun 2000 yang menyatakan bahwa daerah tidak mempunyai wewenang dalam penetapan pedoman mobilitas penduduk, maka kebijakan langsung mengenai pengendalian mobilitas penduduk tidak mungkin dilakukan.

Setiap daerah memerlukan perlakuan yang berbeda-beda karena kondisi ekonomi, sosial, budaya dan kepentingan setiap daerah terhadap mobilitas penduduk yang berbeda. Daerah yang miskin dan padat penduduknya memiliki kepentingan dengan adanya migrasi keluar dalam upaya mengurangi beban daerah sekaligus mendapatkan remitan. Sebaliknya daerah yang berstatus kota besar dan metropolitan memiliki kecenderungan untuk menghambat migrasi masuk (terutama migran dengan kualitas kurang baik) karena kota tersebut akan menghadapi persoalan yang lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh dari kedatangan migran tersebut. Karenanya, arus migrasi masuk ke kota-kota besar pada umumnya diarahkan pada mereka yang memiliki ketrampilan tertentu, sehingga mampu bersaing dan memiliki kontribusi terhadap pembangunan wilayah.

Ketimpangan yang terjadi antara satu daerah dengan daerah lainnya menyebabkan penduduk terdorong atau tertarik untuk melakukan pergerakan dari satu daerah ke daerah lainnya. Oleh karena itu pembangunan daerah perlu diarahkan untuk lebih mengembangkan dan menyerasikan laju pertumbuhan antara daerah perkotaan dan daerah pedesaan, serta mampu membuka daerah

terisolasi dan mempercepat pembangunan kawasan yang tertinggal, seperti Kawasan Timur Indonesia (Tjiptoherijanto, 2000).

Penelitian ILO (2004) menyebutkan bahwa krisis ekonomi yang terjadi tahun 1997-1998 telah mempengaruhi pola mobilitas tenaga kerja serta memicu mobilitas baru. Migrasi internal ke daerah-daerah perkotaan dapat dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi makro serta merupakan strategi peningkatan pendapatan bagi masyarakat miskin. Sementara itu, migrasi sementara dianggap sebagai satu cara untuk memaksimalkan pendapatan keluarga dan meminimalkan resiko (Stark, 1991 dalam ILO, 2004).

Maraknya jumlah migran yang keluar dari Jawa Tengah menyebabkan berkurangnya sumberdaya manusia potensial dalam membangun Jawa Tengah. Terbukti dari data migrasi seumur hidup dan migrasi lima tahun yang lalu pada Tabel 5.8 dan 5.9 yang menunjukkan bahwa jumlah migrasi keluar dari Jawa Tengah selalu memiliki jumlah terbanyak.

Berdasarkan data migrasi keluar tersebut, menunjukkan bahwa otonomi daerah belum cukup berperan dalam menurunkan jumlah migran keluar dari Jawa Tengah. Meningkatnya jumlah migran keluar ini diindikasikan dari kesempatan kerja yang ada di Jawa Tengah, dengan menganggap motif migrasi non ekonomi cenderung konstan. Kesempatan kerja terbesar di Jawa Tengah adalah pada lapangan usaha pertanian. Namun pada era otonomi daerah pertumbuhan kesempatan kerjanya lambat dan daya saingnya kurang baik dalam hal kesempatan kerja. Artinya, sebagian besar angkatan kerja di Jawa Tengah lebih memilih bekerja di luar pertanian dan bermigrasi ke daerah lainnya. Hal ini

mengindikasikan bahwa kesempatan kerja yang tersedia di Jawa Tengah untuk angkatan kerja yang berpendidikan cenderung rendah, sedangkan rata-rata pencari kerja di Jawa Tengah memiliki latar belakang pendidikan yang cukup tinggi.

Pilihan untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan tingkat pendidikan yang dimiliki dan memperoleh pendapatan yang diharapkan menyebabkan mereka meninggalkan desa untuk bermigrasi menuju kota, terutama daerah industri seperti Jabodetabek dan Surabaya. Salah satu pertimbangannya adalah relatif dekatnya jarak yang dapat ditempuh para migran untuk menuju daerah pusat industri dan bisnis tersebut. Hasil penelitian ini relevan dengan teori migrasi Harris-Todaro yang menyatakan bahwa selisih upah desa-kota mendorong arus migrasi desa-kota. Walaupun kesempatan kerja di Jawa Tengah meningkat namun kesempatan kerja terbesar terdapat pada sektor pertanian dimana imbalan kerja pada sektor tersebut kurang menarik, sehingga migrasi keluar tetap meningkat.

Pemerintah Jawa Tengah pada masa otonomi daerah ini telah merancang program pembangunan yang terdiri dari (1) perencanaan pembangunan yang bertumpu pada kapasitas daerah, (2) peningkatan kemampuan sumberdaya manusia dan akuntabilitas aparatur pemerintah, (3) identifikasi, intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber pendapatan daerah, (4) peningkatan koordinasi dan kerjasama antar daerah, dan (5) peningkatan kerjasama antara DPRD dan Pemda berdasar atas asas kesetaraan. Sedangkan kebijakan dalam bidang ketenagakerjaan berdasarkan rencana strategis Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 antara lain adalah:

1. Mengembangkan ketenagakerjaan komprehensif yang diarahkan pada : a). Perluasan kesempatan kerja dan berusaha,

b). Peningkatan kompetensi, daya saing dan kemandirian tenaga kerja, c). Peningkatan kesejahteraan tenaga kerja dan purna kerja,

d). Peningkatan pengupahan,

e). Peningkatan perlindungan dan pengembangan hubungan industrial, f). Pembinaan fasilitas kesejahteraan pekerja.

2. Meningkatkan kualitas dan kuantitas penempatan tenaga kerja dalam negeri melalui:

a). Penyusunan perencanaan tenaga kerja daerah (PTKD) yang komprehensif,

b). Koordinasi penanggulangan pengangguran,

c). Peningkatan relevansi pelatihan dengan kebutuhan pasar kerja, d). Penyusunan master plan pelatihan,

e). Peningkatan kualitas dan kuantitas penempatan tenaga kerja melalui, mekanisme Angkatan Kerja Lokal (AKL) dan Angkatan Kerja Antar Daerah (AKAD).

Kebijakan pemerintah Jawa Tengah mengenai otonomi daerah dan ketenagakerjaan tersebut dapat dipandang cukup efektif dalam mengatasi masalah otonomi dan ketenagakerjaan. Namun mobilitas penduduk dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan akan terus berlangsung selama terdapat perbedaan pertumbuhan dan ketidakmerataan fasilitas pembangunan antar daerah pedesaan dan perkotaan.

Dokumen terkait