• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Mitos Scene 12 & Scene 27

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA REPRESENTASI ETNIS pdf (Halaman 108-114)

SCENE SHOT VISUAL AUDIO

4.3. Analisis Leksia

4.3.2. Scene Kuburan di Tebing (Sc. 22-24)

4.3.3.3. Analisis Mitos Scene 12 & Scene 27

Universitas Indonesia Dalam bukunya Mythologies (1991) Barthes menerangkan apa yang ia maksud sebagai mitos. Mitos memiliki ciri-ciri mengubah sebuah makna menjadi bentuk. Pada kenyataannya, apa yang memungkinkan pembaca (dalam hal ini pemirsa) mengonsumsi mitos secara naif adalah bahwa dia tidak melihatnya sebagai sistem semiologis melainkan sebagai satu sistem induktif. Ketika yang terjadi hanya ekuivalensi, maka pembaca (pemirsa) akan melihatnya sebagai proses kausal: penanda dan petanda, dalam pandangannya, memiliki hubungan alamiah. Pencampuradukan ini dapat diekspresikan sebaliknya: segala sistem semiologis adalah sebuah sistem nilai; kini konsumen mitos mempergunakan penandaan untuk sistem fakta: mitos dibaca sebagai sebuah sistem faktual, padahal mitos hanyalah sebuah sistem semiologis.

Seperti mitos yang akhirnya muncul dari scene 12 dan scene 27, yakni makanan dan proses memasak pada Suku Toraja yang menjijikan dan tidak praktis. Fakta yang tampil ini tampak innocent. Teks tersebut akhirnya tampil sebagai pengukuh Kejakartaan, karena sebenarnya jijik dan ketidakpraktisan lahir dari pemaknaan Tengku sebagai orang Jakarta terhadap kebiasaan yang ia anggap aneh dan tidak biasa tersebut. Terlebih lagi pengambilan gambar yang dilakukan menunjukkan mana yang penting dan mana yang tidak dalam adegan tersebut. Tengku memiliki tingkat keseringan yang tinggi untuk diambil gambarnya sedangkan tidak bagi orang Toraja.

Sumber lain dalam buku Psikologi Lingkungan Perkotaan (Halim, 2008:125-132) disebutkan bahwa Jakarta sebagai kota mal. Mal mampu menjadi ikon dan simbol budaya baru bagi sebuah wilayah kota di mana di dalamnya mengandung banyak ritual yang memberikan warga kota beragam pilihan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya hingga menciptakan gaya hidup yang baru. Ini juga berarti mal telah menjadi kebutuhan baru yang harus dipenuhi. Pemerintah kota pun berlomba-lomba membangun mal walaupun harus mengorbankan ruanh publik dan menghilangkan budaya lama yang hidup di tengah-tengah warga demi sebuah budaya baru, yang katanya lebih praktis, hemat waktu, dan memberikan banyak pilihan serta kebebasan. Mal telah menjadi budaya yang secara tidak langsung telah menghilangkan budaya-budaya yang telah ada sebelumnya. Misalnya, ritual belanja di pasar tradisional, ritual dalam pertemuan di ruang rapat

kantor, atau ritual tradisional lainnya. Mal telah menjadi pilihan baru dalam memenuhi kebutuhan hidup warga kota saat ini. Semuanya ada di mal mulai dari kebutuhan primer, sekunder, bahkan yang tersier sekalipun tersedia. Budaya mal secara sadar telah mengajarkan warganya untuk hidup lebih pragmatis dan praktis; tidak perlu membuang waktu dan berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan sesuatu karena semuanya telah memiliki label harga yang tidak perlu ditawar lagi.

Hal yang dapat digarisbawahi di sini ialah kepraktisan. Dalam teks atau scene yang telah dibahas sebelumnya kebiasaan orang Toraja dianggap tidak praktis. Ketidakpraktisan itu terlihat dari pengeksploran pada pengolahan makanan. Tampak pengolahan yang bermula dari memotong-motong ikan, atau pada scene-scene selanjutnya yang menceritakan proses memasak dengan menggunakan bambu untuk dibakar. Tengku yang dianggap penting dalam teks ini, karena Suku Toraja sendiri kurang mendapat tempat untuk bicara, melihat proses yang tidak praktis itu dengan salah satunya menunjukkan kejijikannya pada salah satu proses memasak. Ini mungkin karena bila dibandingkan dengan kebiasaan Tengku yang hidup di kota, semua serba mudah dan praktis dan untuk mendapatkan sesuatu tidak perlu lagi susah-susah atau membuang waktu karena salah satunya, semua telah memiliki label harga di supermarket-supermarket yang bahkan tidak perlu ditawar lagi. Mitos yang muncul tentang masyarakat Suku Toraja akhirnya ialah bahwa makanan dan proses memasak dalam kebiasaan Suku Toraja menjijikan dan tidak praktis.

4.3.3. Scene Mencari Siput di Sawah (Sc. 1 & Sc. 20)

SCENE SHOT VISUAL AUDIO

1 1 Siput yang di close up sebagai

pembuka acara.

Tengku: Iiiih... mencari siput

di sawah?

20 1 Long shot Harry Pantja menggoda

Tengku yang takut untuk turun ke sawah.

Tengku: Hayo, takut kan sendiriya.

Universitas Indonesia (nada menggoda)

Tengku: Nyebelin ih. Geliii! Itu pasti masuk ke dalem tu kayak Indok.

2 Medium shot Harry Pantja

menggoda Tengku dengan

menirukan Tengku yang tidak mau turun ke sawah kepada Indok Dapi.

HP: Duh Ibuu, ada keceboong .. Ibu: Masaaa...

Tengku: Tu kan masuk ke dalem, gak mau aaah. HP: Yuk, yuk... gendong gendong.

Tengku: Iya, entar diturunin di bawah ya!

3 Medium shot Harry Pantja akhirnya

memutuskan untuk membantu Indok Dapi sendiri karena Tengku masih tidak mau turun ke sawah karena jijik.

HP: Waduh, karena Tengku gak mau turun ni pemirsa, saya aja deh yang bantuin Indok untuk nyari Suso.

4 Long shot saat Tengku berusaha

kabur dari pinggir sawah, Harry Pantja memegang kaki Tengku dan menahannya, Tengku pun akhirnya menjerit-jerit ketakutan akan ditarik ke sawah.

Lagu latar mencekam

Tengku: Aaaaargh, gak mauuuu. Bang Icong iiiiih, gak mau atu ah.

HP: Diambilin ni kecebongnya.

yang ketakutan karena diajak turun ke sawah untuk mencari siput.

udahan udahan. Itu dalem tau.

6 Medium close up Indok Dapi yang

menggerutu.

HP: Tu kan dimarahin Indok! Kamu si Ku, manja!

7 Close up tampah tempat

menampung siput sawah yang berhasil ditangkap Indok Dapi.

Indok: Dicuci dulu baru dimasak.

HP: Pake apa? Gigi ya... Indok: Pake gigi. Nanti keluar dia

8 Long shot Harry Pantja yang masih

berusaha mengajak Tengku untuk ikut turun ke sawah.

HP: Tengku ayo, let’s go! Tengku: Nyebelin sumpah ih. HP: Ayo dibantu, prok prok prok.

Tengku: Tu, ada yang napas... HP: Iya emang, ada yang napas, orang ada orang di bawah (nada meledek). Yuk, satu dua... mau nyelem langsung?

9 Medium shot Tengku yang

ketakutan sedang dibimbing oleh Harry Pantja untuk ikut turun ke sawah.

Tengku: Ya Allah, iiiiih geliiiiiiiiiiii. Aaaaaaaah. Geli geli geli sumpah. Geli, udah ah.

Universitas Indonesia

10 Long shot Indok Dapi akhirnya

memegang tangan Tengku untuk membimbingnya turun ke sawah pelan-pelan.

Indok: Jangan manja! Dua tangan!

HP: Tuh, jangan manja! Indok: Ayo, satu dua tiga Tengku: Kenapaaa sih iiih... HP: Tiga

11 Big close up Tengku yang

berteriak-teriak ketakutan ketika berhasil turun ke sawah namun langsung naik lagi ke tepi sawah.

Tengku: Aaaaaah aaaaah aaaah, gak mau gak mau. Geli geli geli geli. Sumpah ih!

12 Long shot Tengku yang akhirnya

naik lagi ke tepi sawah setelah sebentar menginjakkan kakinya ke sawah.

HP: Hahahaha, oke kan? Tos dulu dong!

13 Medium shot Tengku yang

bercerita ke kamera bahwa dia ketakutan dan merasa disiksa dengan hal-hal yang menjijikan.

Tengku: Aku di mana-mana disiksa. Di sini juga, iiih amit-amit tau gak, geli banget. Aku gak berani sumpah.

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA REPRESENTASI ETNIS pdf (Halaman 108-114)