• Tidak ada hasil yang ditemukan

Semiotika Model ‘Roland Barthes’

2.7. Suku Toraja

2.8.1. Semiotika Model ‘Roland Barthes’

Penelitian dengan pendekatan analisis tekstual ini menggunakan metode analisis semiotik dari Roland Barthes (1915-1980). Penelitian ini melihat acara televisi Ethnic Runaway sebagai sistem tanda dan bahasa , maka metode yang digunakan adalah metode semiotika. Dalam penelitian ini peneliti akan membaca

atau mengalihsandi tanda-tanda visual dalam rangka memahami sistem tanda dan ideologi yang tersimpan di dalamnya.

Roland Barthes adalah tokoh yang menarik. Ia dilahirkan pada 1915 di Cherbourg, Prancis Utara dan meninggal karena kecelakaan lalu lintas di Paris pada 1980. Barthes, dalam karyanya Mythologies (1957) menggunakan pengembangan teori tanda de Saussure, yakni penanda dan petanda, sebagai upaya menjelaskan bagaimana kita dalam kehidupan bermasyarakat didominasi oleh konotasi. Konotasi adalah pengembangan segi petanda (makna atau isi suatu tanda) oleh pemakai tanda sesuai dengan sudut pandangnya. Bila konotasi sudah menguasai masyarakat, maka akan menjadi mitos. Barthes mencoba menguraikan betapa kejadian keseharian dalam kebudayaan kita menjadi seperti “wajar”, padahal itu mitos belaka akibat konotasi yang menjadi mantap di masyarakat (Hoed, 2011).

Berikut ialah dua konsep yang dikembangkan oleh Barthes yang relevan dalam kaitan dengan semiotik. Pertama adalah konsep hubungan sintagmatik (sintagme) dan paradigmatik (sistem). Misalnya untuk menganalisis sistem busana. Dari aspek sistem, Barthes mengemukakan bahwa unsur-unsur yang membentuk busana menempati “gatra” tertentu pada tubuh manusia yang tidak dapat “diisi” oleh unsur yang terdapat dalam paradigma yang sama pada saat yang sama. Untuk aspek sintagme, unsur-unsur yang membentuk busana tersusun dalam urutan tertentu pada tubuh manusia, dari kepala sampai kaki. Kedua, adalah konotasi dan denotasi. Ini adalah pengembangan dari signifiant dan signifie. Bathers mengembangkan kedua konsep sebelumnya dengan expression (untuk signifiant) dan contenu (untuk signifie). Menurut Barthes, apa yang dikemukakan de Saussure masih berada pada tanda yang berlaku umum, yang terkendali secara sosial. Ini disebut denotasi, yang masih merupakan sistem tanda “sistem pertama”. Namun, manusia menggunakan tanda dengan dua kemungkinan lain pada apa yang disebutn sebagai “sistem kedua”. Pada sistem kedua ini, tanda dapat berkembang pada aspek expression-nya, yakni berkembangnya sejumlah expression yang merujuk pada contenu yang sama (Barthes, 1964 dalam Hoed, 2011: 65-66).

Universitas Indonesia Roland Barthes mengembangkan dua tingkatan pertandaan yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu tingkat denotasi dan konotasi (Piliang, 2003).

Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung, dan pasti. Makna denotasi dalam hal ini adalah makna pada apa yang tampak dan denotasi adalah tanda yang penandanya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi (Piliang, 2003).

Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makna-makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi, atau keyakinan. Konotasi dapat menghasilkan makna lapis kedua yang bersifat implisit, tersembunyi, yang disebut makna konotatif (Piliang, 2003).

Selain itu, Roland Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatannya, akan tetapi lebih bersifat konvensional, yaitu makna-makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos, dalam pemahaman semiotika Barthes, adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbiter atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah.

Gambar 2.5. Skema Mitos dalam Tataran Pertandaan Kedua (Sumber: Mythologies. Barthes, 1991)

Piliang (2003) menjelaskan tingkatan tanda makna Barthes dapat digambarkan sebagai berikut:

Tanda  Denotasi  Konotasi (Kode)  Mitos Gambar 2.6. Tingkatan Tanda dan Makna Barthes (Piliang, 2003)

Menurut Barthes (1990: 17-18, 19; Hawkes, 1978: 116-118) dalam Budiman (2011) di dalam teks setidaknya beroperasi lima kode pokok yang di dalamnya semua penanda tekstual (baca: leksia) dapat dikelompokkan. Setiap atau masing-masing leksia dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari lima buah kode ini. Kelima kode tersebut ialah:

(1) Kode hermeneutik adalah satuan-satuan yang dengan pelbagai cara berfungsi untuk mengartikulasikan suatu persoalan, penyelesaiannya, serta aneka peristiwa yang dapat memformulasi persoalan tersebut, atau yang justru menunda-nunda penyelesaiannya, atau bahkan yang menyusun semacam teka-teki (enigma) dan sekadar memberi isyarat bagi penyelesaiannya (Barthes, 1990).

(2) Kode semik atau konotasi adalah kode yang memanfaatkan isyarat, petunjuk, atau “kilasan makna” yang ditimbulkan oleh penanda-penanda tertentu. Pada tataran tertentu kode konotatif ini agak mirip dengan apa yang disebut oleh para kritikus sastra Anglo-Amerika sebagai “tema” atau “struktur tematik (Barthes, 1990).

(3) Kode simbolik merupakan kode “pengelompokkan” atau konfigurasi yang gampang dikenali karena kemunculannya yang berulang-ulang secara teratur melalui pelbagai cara dan sarana tekstual, misalnya berupa serangkaian antitesis: hidup dan mati, di luar dan di dalam, dingin dan panas, dan seterusnya. Kode ini memberikan dasar bagi suatu stuktur simbolik (Barthes, 1990)

(4) Kode proairetik merupakan kode “tindakan” (action). Kode ini didasarkan atas konsep proairesis, yakni “kemampuan untuk menentukan hasil atau akibat dari suatu tindakan secara rasional (Barthes, 1990)”.

(5) Terakhir ialah kode kultural atau kode referensial yang berwujud sebagai semacam suara kolektif yang anonim dan otoritatif; bersumber dari

Universitas Indonesia pengalaman manusia, yang mewakili atau berbicara tentang sesuatu yang hendak dikukuhkannya sebagai pengetahuan atau kebijaksanaan yang “diterima umum”. Kode ini bisa berupa kode-kode pengetahuan atau kearifan (wisdom) yang terus-menerus dirujuk oleh teks, atau yang menyediakan semacam dasar autoritas moral dan ilmiah bagi suatu wacana (Barthes, 1990).

Selanjutnya, Barthes memang tidak banyak membahas ideologi secara khusus dalam bukunya Mythologies. Menurut Althusser (dalam Piliang, 1998), fungsi ideologi adalah mereproduksi hubungan produksi, hubungan di antara kelas dan hubungan manusia dengan dunia, “ideologi merupakan satu praktik yang di dalamnya individu-individu dibentuk, dan pembentukan ini sekaligus menentukan orientasi sosial mereka, agar mereka dapat bertindak dalam struktur ini dalam berbagai cara yang selaras dengan ideolog.” Ideologi dalam pemahaman tersebut adalah sebuah proses pembentukan makna tempat lembaga-lembaga dominan berfungsi membangun ideologi yang diinginkan.

Walau berangkat dari paradigma linguistik, Barthes mampu mengembangkan semiotik menjadi pendekatan ilmiah dalam membaca proses pemaknaan sistem tanda visual pada media massa, sebagai satu sistem tanda paling dominan di era komunikasi modern. Selain itu, Barthes menempatkan proses pembacaan makna dalam sistem pertandaan tersebut sebagai kritik ideologis terhadap dominasi kelas tertentu dalam susunan masyarakat borjuis. Barthes mencoba dan berhasil menempatkan semiotik sebagai salah satu metode ilmiah yang kontekstual dengan kondisi zaman, bukan sekedar metode yang steril (Adityawan, 2008: 12).