• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Multivariat Determinan Loss to Follow Up pada Odha

HASIL PENELITIAN

5.4 Analisis Multivariat Determinan Loss to Follow Up pada Odha

Analisis multivariat diperlukan untuk melihat hubungan yang paling kuat dan berpengaruh terhadap LTFU dari beberapa variabel yang berhubungan pada analisis bivariat. Variabel yang masuk dalam analisis multivariat adalah variabel yang memiliki nilai p < 0,25 yaitu jenis kelamin, pendidikan, status pernikahan, pengawas minum obat, berat badan, infeksi oportunistik, kadar hemoglobin dan status TB. Sebelum melakukan analisis multivariat dilakukan uji kolinearitas untuk mengetahui adanya efek multikolinearitas. Kolinearitas dapat diketahui apabila terdapat variabel mempunyai angka koefisien korelasi lebih dari 0,6 (r>0,6), yang berarti ada korelasi yang kuat antar variabel (Sugiyono, 2011). Pada analisis ini tidak terdapat variabel yang mempunyai angka korelasi > 0,6 sehingga semua variabel kovariat yang memenuhi p < 0,25 dapat diikutkan dalam analisis multivariat dengan hasil tercantum pada lampiran 9.

Tabel 5.4

Analisis Multivariat Determinan Loss To Follow Up

Karakteristik Adj.Haz.Ratio 95% CI p

Jenis kelamin

Perempuan 1,95 1,13-3,36 0,016* Laki-laki 1,00 (reff)

Pendidikan

Pendidikan tinggi 1,00(ref)

Pendidikan rendah 1,19 0,52-2,68 0,668 Status pernikahan Menikah 1,00(ref) Belum menikah 3,04 1,69-5,47 0,001* PMO Ya 1,00(ref) Tidak 1,1 0,51-2,13 0.893 Berat badan 0,97 0,95-1,00 0,117 Hb 1,10 0,95-1,28 0,211 IO (infeksi opportunistik) Tidak 1,00(ref) Ya 0,72 0,35-1.47 0,366 Status TB TB Positif 1,00(ref) Suspect&Tidak TB 2,3 0,54-9,96 0,252 *p-value < 0,05

Tabel 5.4 menunjukkan bahwa dari delapan variabel yang memenuhi syarat analisis multivariat dengan menggunakan metode backward diperoleh dua variabel yang berhubungan dan signifikan secara statistik.Variabel tersebut yaitu jenis kelamin dan status pernikahan. Odha yang tidak memiliki pasangan memiliki risiko 3,04 kali lebih besar untuk mengalami LTFU dibandingkan odha yang memiliki pasangan (aHR=3,04; 95% CI 1,69-5,47; p=0,001). Perempuan lebih berisiko 1,95 kali untuk mengalami LTFU (aHR 1,95; 95% CI 1,13-3,36; p=0,016).

BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Besaran Masalah LTFU

Insiden rate odha yang mengalami LTFU dalam kurun waktu delapan tahun di RSUD Badung sebesar 11,6 per 100 person years. Insiden rate ini lebih tinggi dibandingkan dari penelitian sebelumnya di YKP yaitu 5,5 per 100 person years dalam kurun waktu 10 tahun (Widyantini, 2014). Perbedaan ini tejadi karena karakteristik odha dan layanan di kedua tempat layanan, dimana YKP sebagian besar pasiennya merupakan kelompok PS (pekerja seks) yang didukung dengan program

outreach dan adanya kelompok dukungan sebaya. Klinik yang memiliki outreach

cenderung memiliki LTFU yang rendah (Lamb et al., 2012). Insiden dalam penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan data TAHOD yang mencakup 18 site di kawasan Asia Pasifik yaitu 21,4 per 100 PY, namun lebih tinggi jika dibandingkan dnegan negara di Asia Tenggara seperti India (7,1 per 100 PY) dan Vietnam (8,9 per 100 PY) (Zhou et al., 2012; Alvarez-Uria et al., 2013; Tran et al., 2013). Demikian juga jika membandingkan dengan negara maju cenderung yang memiliki insiden yang lebih rendah seperti Perancis (4,3 per 100 person years) dan Eropa (3,272 per 100 person years) (Lebouche et al., 2006; Mocroft et al., 2008). Perbedaan ini juga disebabkan oleh cut off yang berbeda dalam mendefinisikan LTFU yaitu satu tahun dari kunjungan terakhir. Perbandingan dengan negara di Afrika dengan cut off yang sama (≥ tiga bulan dari kunjungan terakhir) bahwa temuan insiden rate dalam

penelitian ini lebih rendah yaitu 25,1 per 100 person years (Western Kenya) (Ochieng-Ooko et al., 2010), 51,1 per 100 person years (Guinea Bissau) (Hønge et

al., 2013) dan 94,6 per 100 person years (Cameroon) (Bekolo et al., 2013).

Hasil penelitian ini menunjukkan median time secara keseluruhan tidak tercapai karena sampel yang mengalami LTFU belum mencapai 50% sampai akhir pengamatan. Pengamatan delapan tahun pada penelitian menemukan 25% sampel yang bertahan dalam pengobatan dalam jangka waktu 3,26 tahun sampai akhirnya LTFU. Penelitian ini juga menunjukkan waktu yang lebih cepat untuk terjadi LTFU dibandingkan penelitian yang pernah dilakukan di YKP (25% IQR) yaitu 6 tahun dengan insiden yang lebih kecil (Widyantini, 2013). Sejalan dengan sebuah studi menyatakan beberapa program ART menunjukkan lebih dari sepertiga pasien mengalami LTFU dan berhenti pengobatan dalam waktu tiga tahun memulai terapi mengancam keberhasilan program ART (Chi et al., 2011). Melihat lebih spesifik pada kelompok yang mengalami LTFU bahwa median time LTFU yaitu tiga bulan artinya 50% kejadian LTFU terjadi pada tiga bulan pertama pengobatan. Sejalan dengan temuan pada penelitian lain menunjukkan bahwa LTFU banyak terjadi pada satu tahun pertama pengobatan baik pada tiga bulan dan enam bulan pertama pengobatan, WHO juga merekomendasikan persentase LTFU pada satu tahun pertama pengobatan sebagai indikator resistensi obat (Bennett et al., 2006; Odafe et

al. 2012; Alvarez-Uria et al., 2013; Mugisha et al. 2014). Penelitian ini juga

LTFU tercantum pada lampiran 15 tabel 2. Systematic review terkait pelacakan kondisi odha yang mengalami LTFU menunjukkan estimasi kematian 6,6-10,5% (McMahon et al., 2013), sejalan dengan penelitian di Malawi menyatakan bahwa dari 253 kejadian LTFU, 58% terdeteksi meninggal terhitung sejak tiga bulan dari terakhir kunjungan (Yu et al., 2007). Risiko kematian tinggi pada odha yang mengalami LTFU yaitu 1,8 kali (aOR 1,8 95% CI 1,2-2,7) dan 20 kali (aHR, 22,03; 95% CI: 20,05-24,21) (Weigel et al., 2 0 1 1 ; Cornell et al., 2 0 1 4 ). Kondisi ini mengisyaratkan bahwa estimasi LTFU yang tinggi juga mengindikasikan tingkat kematian yang tinggi (Brinkhof et al., 2009; Somi et al., 2012). Median time dalam penelitian ini lebih baik dibandingkan dengan penelitian di Ethiopia yaitu 9 bulan (IQR 5-18 bulan) dalam pengamatan delapan tahun dengan insiden rate LTFU 8,8 per 1000 person month (Berheto et al., 2014) namun berbeda dengan median time di Prancis Utara 11 bulan (IQR 5-25) dengan insiden yang lebih rendah (Ndiaye et al., 2009). Hasil temuan yang berbeda dan bervariasi ini terjadi karena perbedaan definisi LTFU yang digunakan, karakteristik odha, tingkat kepatuhan dan socialekonomi negara. Systematic review menunjukkan bahwa socialekonomi negara diperkirakan memiliki trend yang positif dengan tingkat kepatuhan dalam terapi ARV walaupun hubungannya secara spesifik belum dapat dibuktikan (Peltzer & Pengpid, 2013).

Hasil uji strata kondisi klinis odha yang mengalami LTFU di awal dan akhir pengamatan menunjukkan perbedaan yang bermakna pada jumlah CD4, infeksi oportunistik, berat badan dan status fungsional yang dapat dilihat pada lampiran 13.

Namun kondisi klinis tidak selalu menjadi jaminan kepatuhan odha dalam terapi karena faktor prilaku dan individu memiliki peranan yang besar (Mbuagbaw et al., 2012; Perrett & Biley 2013). Temuan ini menjadi catatan untuk monitoring program pengobatan HIV ke depannnya bahwa pencegahan LTFU melalui konseling kepatuhan dan informasi pengobatan perlu dilakukan kembali terutama pada odha di tiga bulan pertama pengobatan sebagai masa kritis yang berpeluang terjadi LTFU.

Melihat lebih spesifik insiden rate LTFU berdasarkan penerapan kebijakan bahwa kebijakan setelah tahun 2011 (17,2 per 100 person years) memiliki insiden rate LTFU yang lebih tinggi dibandingkan kebijakan sebelum tahun 2011 (7,6 per 100 person years) dengan risiko LTFU pada kebijakan setelah tahun 2011 yaitu 2.26 kali (CI 1,44-3,59) lebih besar dibandingkan dengan kebijakan sebelum tahun 2011 dan secara statistik bermakna dengan nilai p < 0.001 dengan hasil terlampir pada lampiran 8 tabel 2. Temuan dalam penelitian ini melalui uji strata berdasarkan penerapan kebijakan menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna kondisi klinis di akhir pengamatan pada penerapan kebijakan setelah tahun 2011 yaitu ada tidaknya infeksi oportunistik, CD4 dan berat badan yang dapat dilihat pada lampiran 12. Sejalan dengan penelitian di Prancis oleh Ndiaye et al., bahwa rata-rata waktu ketahanan terapi odha yang memulai terapi dengan CD4 ≥ 350 sel/mm3

yaitu 10 bulan, lebih rendah dari odha yang memulai dengan CD4 < 200 sel/mm3 yaitu 24 bulan (Ndiaye et al., 2009). LTFU lebih tinggi pada odha yang memulai terapi dengan CD4 lebih besar dari 250 sel/mm3 karena alasan gejala klinis yang belum

dirasakan diawal pengobatan sehingga kepatuhannya juga menurun (Cohen et al., 2013). Temuan ini diperkuat dengan penelitian di Uganda menemukan median CD4 saat odha mengalami LTFU lebih tinggi (401 sel/mm3) dibandingkan ketika odha tersebut datang kembali setelah mengalami LTFU (median CD4 205 sel/mm3 p<0,0001)(Alamo et al., 2013). Demikian juga dengan penelitian oleh Gabillard et

al., di Afrika (Benin, Burkina Faso, Cameroon, Cote d'Ivoire and Senegal) dan Asia

(Kamboja dan Laos) bahwa insiden rate LTFU lebih tinggi pada CD4 201-350 sel/mm3 (Gabillard et al., 2014).

Sebaliknya jika dikaitkan dengan harapan hidup, justru odha yang memulai terapi CD4 lebih rendah (≤ 200 sel/mm3) memiliki risiko kematian yang lebih besar (UNAIDS, 2013a). Sedangkan efektivitas dan ketahanan hidup odha yang memulai terapi ≤ 350 sel/mm3 lebih tinggi mencapai 87% (Walensky et al., 2010). Sejalan dengan penelitian oleh Fox et al. menemukan setiap kenaikan 10% CD4 dikaitkan dengan penurunan 2,8% kematian, dan justru memulai terapi dengan CD4 yang lebih tinggi akan mengurangi risiko kematian (Fox et al., 2013). Adanya temuan ini bukan berarti menyimpulkan bahwa kebijakan setelah tahun 2011 lebih buruk melainkan menjawab bahwa LTFU masih menjadi tantangan dan dilema dalam pengobatan ARV sehingga diperlukan kontrol dan evaluasi kembali berupa pemberian informasi atau konseling kepatuhan terutama di tiga bulan pengobatan. Penelusuran insiden rate LTFU dan median time berdasarkan kebijakan terapi yang diterapkan di Indonesia menjadi penting karena dapat digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan

evaluasi dari kebijakan yang telah diterapkan sehingga dapat berkontribusi pada perbaikan pemberian terapi ARV ke depannya. Temuan ini minimal dapat menjadi catatan untuk membantu memperbaiki sistem monitoring dan evaluasi dari penerapan kebijakan tahun 2011 bahwa kedepannya upaya monitoring keberlanjutan terapi ARV pada odha lebih ditingkatkan.

Dokumen terkait