• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

6.2 Faktor yang Menentukan Loss to Follow Up

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa determinan yang secara statistik berhubungan dengan LTFU adalah jenis kelamin dan status pernikahan. Perempuan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami LTFU dalam penelitian ini. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa perempuan yang mengalami LTFU dalam penelitian ini 71,5% terjadi dalam tiga bulan sampai satu tahun pertama mulai ARV dapat dilihat pada lampiran 15. Kondisi yang sama juga ditemukan pada penelitian oleh Saka et al. bahwa perempuan 1,8 kali lebih besar mengalami LTFU dalam enam bulan pertama pengobatan (Saka et al., 2013). Beberapa penelitian lain konsisten menyebutkan laki-laki lebih beresiko mengalami LTFU (Evans et al., 2013; Mugisha

et al., 2014; Odafe et al., 2012; Onoka et al., 2012; Tran et al., 2013; Weigel et al.,

2013). Perempuan pada penelitian ini merupakan ibu rumah tangga dari populasi umum dan sebagian besar merupakan pasangan suami istri, dimana status HIV perempuan baru diketahui setelah laki-laki atau suaminya ditest HIV terlebih dahulu dan suami biasanya datang dalam kondisi klinis yang lebih buruk daripada istrinya. Kondisi ini didukung dengan data yang menunjukkan bahwa laki-laki heteroseksual

(dari pasangan suami istri) 83,18% memulai terapi pada stadium 3 dan 4. Kemungkinan perempuan lebih berisiko mengalami LTFU karena laki-laki yang lebih banyak mengalami kematian (86,84%) sehingga perempuan yang merupakan pasangannya kehilangan dukungan dalam pengobatan. Ketidak pedulian keluarga dan pasangan, pendidikan dan penghasilan yang rendah merupakan kondisi yang meningkatkan risiko LTFU pada perempuan (Panditrao et al., 2011). Depresi dan adanya efek samping obat menjadi penghambat perempuan untuk patuh dalam pengobatan (Mirjam-colette et al., 2010). Sebuah studi menyatakan bahwa perempuan (p<0,002) memiliki insiden 1,5 kali untuk tidak patuh dalam pengobatan ARV karena perbedaan biologis, peran ganda yang dimiliki, akses terbatas ke layanan kesehatan dan memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki (Bonolo et al., 2013). Kepatuhan yang rendah dalam pengobatan memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami LTFU (Haile & Mekelle, 2014).

Penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan yang lebih beresiko mengalami LTFU memiliki hubungan signifikan dan berkontribusi untuk populasi umum di RSUD Badung sesuai dengan uji strata berdasarkan jenis tempat layanan yang dapat dilihat pada lampiran 10 tabel 2 dan lampiran 11. Perempuan di Asia masih memiliki akses yang terbatas dalam pengobatan akibat ketidakadilan gender yang masih melekat (UNAIDS, 2013b).Beban kerja ganda pada perempuan rumah tangga di Bali membuat mereka memiliki sedikit waktu untuk pengobatan sehingga kemungkinan memiliki kontribusi terhadap kejadian LTFU, namun kondisi ini belum

dapat menjelaskan lebih lanjut keterkaitan perempuan dengan LTFU. Seluruh odha di BMC merupakan laki-laki dari kelompok LSL sedangkan RSUD Badung sebagian besar merupakan odha dari populasi umum. Faktor jenis tempat layanan kemungkinan berkontribusi terhadap hasil yang diperoleh namun tidak dapat dianalisis ke dalam model karena variabel ini menunjukkan tidak signifikan secara statistik dan uji korelasi menunjukkan variabel ini memiliki korelasi yang kuat (0,6-0,9) dengan delapan variabel lain yaitu status pernikahan, PMO, hemoglobin, infeksi oportunistik, risiko penularan HIV, stadium klinis, status fungsional, dan CD4.

Odha dengan status belum menikah, janda dan duda dalam artian tidak memiliki pasangan memiliki risiko tiga kali lebih besar untuk mengalami LTFU. Uji strata berdasarkan jenis tempat layanan juga menunjukkan status pernikahan berkontribusi untuk populasi umum di RSUD Badung sesuai pada lampiran 10 tabel 2 dan lampiran 11. Hal ini menunjukkan bahwa pada pasangan odha di RSUD Badung sekaligus merupakan PMO bagi mereka. Penelitian oleh Alvares et al. menemukan kondisi yang sama, dimana odha dengan status belum menikah dan bercerai lebih berisiko mengalami LTFU. Odha tanpa pasangan cenderung tidak memiliki dukungan sehingga mudah terpengaruh stigma dan hal negatif yang menjadi penghalang kepatuhan dalam terapi ARV (Merten et al., 2010; Alvarez-Uria et al., 2013). Peranan pasangan secara tidak langsung berhubungan dengan LTFU, dimana pasangan sebagai support mampu meningkatkan kepercayaan diri odha (Evangeli et

pencarian pengobatan terutama pada perempuan (Myer et al., 2014), pada kelompok LSL juga menunjukkan bahwa mereka lebih patuh ketika didampingi oleh pasangan dibandingkan teman dan keluarga (Stumbo et al., 2013). Temuan ini juga didukung dengan studi yang menyatakan tingkat kepatuhan odha yang memiliki dukungan dari keluarga dan pasangan dua kali lebih besar (Ayele et al., 2010). Studi lain juga mendukung bahwa peranan pasangan dan keluarga sangat penting untuk memberikan dukungan psikologis dan sosial pada odha, dimana odha yang tidak memiliki pasangan hampir dua kali berisiko lebih tinggi mempunyai kondisi klinis yang lebih buruk (peningkatan stadium klinis WHO) dibandingkan pasien dengan status menikah (Abyu et al., 2014). Keluarga dan pasangan memainkan peran penting dalam mendukung pasien ART, mengingatkan mereka untuk minum obat, meningkatkan rasa sosial kepada orang lain sehingga kepatuhan mereka terhadap pengobatan meningkat (Weaver et al., 2014). Sesuai dengan teori adaptasi Roy pada odha bahwa untuk mencapai respons adaptif positif dan mengembalikan optimisme odha perlu melibatkan berbagai orang dan transformasi lingkungan (Perrett & Biley, 2013).

Adanya dukungan dan keterlibatan dari pasangan dan keluarga menjamin keberlanjutan dari pengobatan (WHO, 2006). Peranan penting dari pasangan dan keluarga sebagai orang terdekat yang diharapkan memberikan dukungan dan perawatan (Kemenkes RI, 2011). Peranan pengawas minum obat sangat penting dalam keberlanjutan terapi pada odha dan meningkatkan penerimaan diri odha

melalui dukungan psikologis dan psikososial yang diberikan (Nasronudin, 2007). Penelitian ini menunjukkan sebagian besar (66,39%) PMO merupakan pasangan dan keluarga odha namun dalam penelitian ini menunjukkan PMO tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan LTFU. Uji strata berdasarkan jenis tempat layanan terhadap variabel PMO menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap kedua jenis tempat layanan. Berbeda dengan studi sebelumnya di YKP menunjukkan PMO berperan dalam menurunkan risiko LTFU. Perbedaan hasil ini disebabkan karena faktor jenis tempat layanan dan karakteristik odha yang berbeda dimana odha di Klinik Bali Medika sebagian besar LSL tidak memiliki pasangan sebagai PMO namun dalam pengobatannya didukung support group dan reminder tools. Klinik ini memiliki reminder tools berupa email dan sms reminder yang menjadi pengingat bagi odha untuk waktu pengambilan obat sehingga kondisi ini membantu petugas dalam

controling terapi odha dan melacak pasien yang mengalami LTFU.

Implikasi terhadap program pengobatan selanjutnya yaitu perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut peranan pasangan terdekat sebagai pendukung pengobatan dan adanya monitoring terutama bagi odha yang tidak memiliki pasangan. Sejalan dengan penelitian di enam negara Afrika dan Karibia yang menunjukkan bahwa konseling (pasangan dan individual), peranan penjangkau atau relawan melakukan kunjungan rumah dan adanya supervisi dari petugas kesehatan langsung mampu menurunkan rata-rata kejadian LTFU hingga 13% (Etienne et al., 2010). Semakin kompleks dukungan kepatuhan yang diberikan maka risiko LTFU juga dapat diturunkan.

Penelitian ini menemukan bahwa umur tidak terbukti berhubungan dengan LTFU dimana pada analisa bivariat menyatakan setiap peningkatan umur satu tahun menurunkan risiko LTFU sebesar dua persen, sejalan dengan penelitian oleh Bekolo

et al., bahwa umur memiliki hubungan yang lemah untuk dikaitkan dengan LTFU

namun tetap masuk akal untuk diamati karena melihat dari tingkat kematangan emosi seseorang (Bekolo et al., 2013). Demikian pula peneliti menemukan hasil yang tidak signifikan pada jumlah CD4 maupun kebijakan terapi dengan dasar memulai terapi dengan CD4 ≤ 350 sel/mm3

dan ≤ 200 sel/mm3. Jumlah CD4 dalam beberapa penelitian menyebutkan bahwa jumlah CD4 ≥ 200 sel/mm3

lebih beresiko mengalami LTFU (Onoka et al., 2012; Somi et al., 2012; Tran et al., 2013; Fleishman et al., 2013 Mugisha et al., 2014). Namun beberapa penelitian menyatakan kondisi yang berbeda dimana odha dengan jumlah CD4 yang rendah (<100-200 sel/mm3) yang lebih beresiko mengalami LTFU (Gerver et al., 2010; Schöni-Affolter et al., 2011; Alvarez-Uria et al.,2013; Bekolo et al., 2013; Evans et al., 2013). Peningkatan CD4 menunjukkan kesehatan yang membaik, dalam masa ini perlu adanya kontrol dan konseling kembali terkait kepatuhan odha karena peluang untuk LTFU meningkat dengan kondisi yang semakin sehat (Ndiaye et al., 2009). Kondisi ini menunjukkan masih adanya temuan yang tidak konsisten terkait jumlah CD4 sehingga perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut.

Secara deskriptif ditemukan tiga jenis infeksi oportunistik terbanyak yang diamati saat awal dan akhir pengamatan yaitu candida, PCP (pneumonia

pneumocystis) dan toxoplasmosis. Proporsi tertinggi odha yang mengalami infeksi oportunistik di awal pengamatan terdapat di Layanan VCT Sekar Jepun yaitu 96,24%, hasil tercantum pada tabel 2 (lampiran 7). Hasil ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan di Togo, Vietnam dan Nothwest Ethiopia dimana adanya infeksi oportunistik meningkatkan risiko LTFU karena adanya kemungkinan untuk mencari pengobatan alternatif lain (Saka et al., 2013; Tran et al., 2013; Wubshet et al., 2013). Penelitian lain menunjukkan bahwa odha dengan ADI (aids defining illness) memiliki risiko yang lebih rendah untuk mengalami LTFU karena masih merasa kurang sehat sehingga lebih rajin untuk datang ke klinik mendapatkan pengobatan (Lanoy et al., 2006; Lebouche et al., 2006; Mocroft et al., 2008; Ndiaye et al., 2009). Penelitian ini menunjukkan infeksi oportunistik tidak memiliki hubungan dengan LTFU demikian pula pada variabel lain seperti pendidikan, pekerjaan, PMO, risiko penularan HIV, jenis tempat layanan, kebijakan terapi, infeksi oportunistik, berat badan, kadar haemoglobin, status fungsional, stadium klinis, golongan NRTI, dan golongan NNRTI. Penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi klinis tidak terbuki berhubungan dengan LTFU sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk karakteristik klinis odha dikaitkan dengan LTFU karena masih ditemukan hasil yang tidak konsisten untuk semua karakteristik klinis tersebut.

Dokumen terkait