• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III YUSRIWAL DAN KARYANYA

ANALISIS ORAL NOETICS

Pada bagian ini semua kisah tentang Malin Kundang, baik yang berupa ceita lisan maupun cerita tulis seperti cerpen dan naskah drama akan dianalisis dengan teori oral noetics seperti yang dikemukakan oleh Ong (dalam Oplan, 1983). Ong mengemukakan tujuh kategori yang mungkin terdapat dalam sebuah cerita. Ketujuh kategori tersebut akan digunakan untuk menganalisis cerita Malin Kundang.

V

Stereotype or Formulaic Expression

Cerita Malin Kundang merupakan salah satu sastra lisan yang memiliki formula tersendiri dan formula tersebut sering diinterpretasikan oleh masyarakat, bahwa cerita tersebut mengisahkan seorang anak yang mendurhakai ibunya.

Tabel-1

Kemudian berangkat dari kisah tersebut, para penikmat sastra membuat formula baru yang tentunya melahirkan interpretasi baru pula dari karya-karya yang mereka tulis itu. Perbedaan formula antara cerita Malin Kundang dalam bentuk lisan dengan cerita Malin Kundang dalam bentuk tulisan dapat dilihat pada analisis berikut ini.

Bertolak dari cerita Malin Kundang, Wisran Hadi menulis drama ―Malin Kundang‖. A.A Navis: ―Malin Kundang Ibunya Durhaka, Syarifuddin Arifin: ―Malin‖, dan Irman Syah: ―Negeri Malin Kundang‖. Mereka memperlakukan cerita tersebut berbeda dari apa yang telah

mentradisi dalam kehidupan masyarakat (Minangkabau), yaitu

sebagaimana diasumsikan anak yang telah mendurhakai ibunya.

Dalam drama ―Malin Kundang‖, Wisran Hadi bercerita tentang tokoh Malin Kundang hidup dengan ibunya karena ditinggal ayahnya pergi merantau. Kepergian ayah merantau disebabkan oleh ibu yang meminjamkan sertifikat kepada saudara laki-lakinya tanpa pengetahuan ayah.

Setelah mulai dewasa, Malin Kundang berangkat merantau menyusul ayah, tapi sang ayah tidak ditemukan. Kemudian dia bertemu dengan seorang perempuan yang juga sama kehilangan ayah. Akhirnya mereka menikah dan pulang ke kampung Malin Kundang.

Sesampai di kampung Malin Kundang, ibu tidak percaya kalau yang datang tersebut adalah Malin Kundang anaknya. Ibu beranggapan bahwa Malin Kundang telah dia kutuk menjadi batu. Formula dari drama tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel-2

Irman Syah dalam cerpennya yang berjudul ―Negeri Malin Kundang‖ yang bercerita tentang negeri pesisir yang dilanda marabahaya, angin badai, kebakaran sehingga kematian tidak dapat dihindari. Demikianlah dari hari ke hari, negeri pesisir itu ditimpa musibah.

Sebagian masyarakat ada yang berpendapat, kenyataan alam yang demikian adalah salah satu kutukan balasan Malin Kundang yang mereka kira arwahnya masih gentayangan di angkasa. Menurut mereka, Malin Kundang adalah putra negeri ini yang mati berdarah. Jadi arwahnya tidak dapat diterima bumi dan langit. Walaupun begitu, sebagian masyarakat ada juga yang menolak. Mereka menyatakan ini adalah takdir yang telah digariskan oleh Tuhan.

Formula dari cerpan karya Irman Syah tersebut tidak lazim dan sangat jauh bedanya dengan formula yang terdapat dalam cerita Malin Kundang yang merupakan sastra lisan.

Syarifuddin Arifin dengan judul ―Malin‖, yang menceritakan tokoh Malin (diasumsikan Malin Kundang) digambarkannya sebagai laki-laki ―play boy‖ (laki-laki rambang mato) yang mencari kesenangan dari pangkuan wanita satu ke wanita lainnya. Diibaratkan ―di mana kapal berlabuh di situlah cintanya mendarat‖. Ibu Malin Kundang diinterpretasikannya sebagai wanita gelandangan, yang hidup dari hasil mengumpulkan sisa kotoran kapal.

Ketika Malin kembali ke kampung halamannya, ia sangat berharap ibunya masih hidup setelah ditinggalkannya beberapa lama. Tapi, sayang ibu tidak dapat mengenalinya lagi karena menurut ibu anaknya telah mati disebabkan oleh kemiskinan yang dideritanya. Meskipun demikian Malin masih berharap wanita tua itu mau mengakuinya sebagai anak karena ia sangat merindukan kasih sayang seorang ibu, tetapi ibu tetap pada pendiriannya. Walau sebenarnya sang ibu juga sangat merindukan kehadiran seorang anak. Tetapi kerinduan tersebut tidak dapat dipertemukan. Dengan berat hati Malin terpaksa meninggalkan wanita (ibu) itu. Meskipun demikian, Malin masih dapat berbahagia sebab ia tidak menjadi anak yang durhaka, karena cerita tidak berakhir dengan pengutukan atas dirinya.

Tabel-3

A.A Navis dalam cerpennya yang berjudul ―Malin Kundang

Ibunya Durhaka‖. Cerpen yang dimuat di Kompas, Minggu 2 Februari

1986 dan dibukukan pada tahun 1990 dalam kumpulan cerpen Navis yang berjudul Bianglala. Cerpen ini menceritakan tentang sekelompok remaja yang sedang mencari naskah drama yang akan dipentaskan. Setelah lama mencari, akhirnya diputuskan untuk mengambil legenda Malin Kundang dengan akhir cerita ibunya yang dikutuk.

Dalam cerita ini Navis, mencoba melihat bahwa setelah kepergian ayah Malin Kundang ibu merasa kesepian. Oleh sebab itu, ibu mencari pasangan selingkuh guna menghilangkan kesepian tersebut.

Setelah Malin Kundang pulang dan mengetahui keadaan ibunya, ia marah dan mengutuk dirinya sendiri karena telah terlahir dari rahim yang salah.

Formulanya dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel-4

Standardization of Themes

Jika dilihat dari fungsi cerita Malin Kundang ini, maka dapat disimpulkan tema dari cerita Malin Kundang tersebut, yaitu ―pendurhakaan seorang anak terhadap ibu‖ (sastra lisan). Tema ini kemudian berkembang menjadi tema baru lewat kreativitas pembaca-penikmatnya. Sebagaimana yang dilakukan oleh Wisran Hadi dalam

dramanya ―Malin Kudang‖ yang bertema kritik terhadap sistem sosio

-budaya yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Salah satunya, yaitu sistem matrilineal yang telah menimbulkan tragedi terhadap masyarakatnya.

A.A. Navis juga hadir dengan tema yang baru, yaitu ―pendurhakaan seorang ibu terhadap anak‖. Dalam cerita ini tersirat bahwa orangtua (ibu-ayah) tidak selalu berada pada posisi benar dan bahkan bisa terjadi sebaliknya. Seperti yang dilakukan ibu terhadap Malin Kundang, ia telah mengkhianati anaknya sendiri dan tidak bisa menjaga marwah dirinya sehingga Malin Kundang merasa malu dan kecewa memiliki ibu seperti itu. Oleh sebab itu, ia mengutuki dirinya menjadi batu.

Irman Syah, mengemukakan tema tentang adanya perpaduan kepercayaan lama dengan agama Islam. Dalam cerpen ini tersirat bagaimana sulitnya membuang kebiasaan yang telah berakar dalam hati sanubari seseorang. Syarifuddin Arifin dengan tema cerpennya keteguhan hati seorang wanita (ibu) dalam menjalani kehidupan. Meskipun ditawari kemewahan harta benda oleh Malin yang mengaku sebagai anaknya, dia tidak mau menerima.

Epithetic Identification for “Disambiguation” of Classes of

Individuals

Berbagai interpretasi yang muncul tentang cerita Malin Kundang, tentu tidak semua orang dapat memahaminya dengan baik.

Sebab masing-masingnya mempunyai audience (kelasnya) sendiri,

meskipun dalam setiap interpretasi tidak dijelaskan kelas mana yang dituju. Dengan demikian, untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan kelas apa yang dituju dari masing-masing interpretasi yang muncul.

Interpretasi yang dikemukan oleh A.A. Navis, Wisran Hadi, Syarifuddin Arifin, dan Irman Syah dapat dinyatakan bahwa kelas yang ditujunya adalah masyarakat terpelajar dan memahami sastra. Jika tidak terpelajar dan memahami sastra, maka masyarakat tersebut menganggap salah atau keliru bila tidak sesuai dengan apa yang mereka dengar selama ini maka itu akan dianggap suatu kesalahan.