• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III YUSRIWAL DAN KARYANYA

DERAI-DERAI CEMARA cemara menderai sampai jauh

N. MANUSKRIP MINANGKABAU Berawal dari Surau

Banyak penulis dan sastrawan Indonesia yang berasal dari Minangkabau, namun Minangkabau adalah salah satu kebudayaan diSumatera yang tidak memiliki aksara. Setidaknya, belum pernah ditemukan manuskrip yang menggunakan aksara Minangkabau. Bukan berarti di Minangkabau tidak pernah ada tradisi tulis.

Diperkirakan bahwa tradisi tulis di Minangkabau dibawa oleh agama Islam. Hal itu dapat dilihat, misalnya pada manuskrip Minangkabau yang pernah ada, yang ditulis dalam bahasa Arab dan dalam bahasa Minangkabau atau Melayu, tetapi menggunakan aksara Arab yang dikenal dengan aksara Arab Melayu atau huruf Jawi.

Manuskrip Alquran Taram yang berada di Masjid Taram-FOTO BREWOK

Jika perkiraan di atas benar, maka surau—salah satu institusi pendidikan berbasis Islam di Minangkabau—mempunyai peranan penting. Surau adalah basis pengembangan Islam bagi para ulama. Syekh Burhanuddin Ulakan, salah seorang pengembang Islam di Minangkabau, selesai belajar dengan Abdurrauf Singkel di Aceh dan pulang ke Pariaman, yang pertama dilakukannya adalah mendirikan surau di Tanjung Medan. Begitu juga dengan ulama-ulama yang lain, masing-masing mereka memiliki sebuah surau dan sekaligus menjadi guru di sana.

Dengan demikian, sebagai basis pengembangan Islam, sangat kuat kemungkinannya, surau adalah pusat penyalinan dan penulisan manuskrip atau dengan kata lain dapat disebut sebagai skriptorium Minangkabau.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, kemung-kinan itu ada benarnya. Sampai sekarang, masih banyak surau yang menyimpan manuskrip. Sebagai contoh, dapat dikemukakan di sini, misalnya Surau

Bintungan Tinggi (Pariaman) , memiliki sekitar 40 buah naskah, Surau Paseban (Padang) memiliki sekitar 30 buah naskah, Surau Syekh Daud Rasyidi (Balingka, Agam) dan Surau Tabek Gadang (Payakumbuh) masing-masing memiliki 2 buah naskah, Surau Tuo Taram (Payakumbuh) memiliki 10 buah naskah, dan Surau Sumani (Solok) memiliki sekitar 15 buah naskah.

Di samping surau, masyarakat pun banyak yang menyimpan manuskrip sebagai koleksi pribadi, antara lain Yulizal Yunus dan Jafrizal (keduanya dosen IAIN Imam Bonjol Padang) masing-masing memiliki 1 buah naskah, Rusydi Ramli dan Yusriwal masing-masing memiliki 2 buah naskah, Dt. Rajo Malano Nan Gopuang memiliki 3 buah naskah, dan keluarga Rendra (bukan WS Rendra) memiliki 4 buah naskah.

Kemungkinan, masih banyak surau dan perorangan yang

memiliki koleksi manuskrip, namun banyak kesulitan untuk

mengetahuinya secara pasti.

Walaupun tradisi tulis di Minangkabau tersebut terkait dengan tradisi Islam dan surau, dalam perkembangan selanjutnya, penulisan di Minangkabau tidak hanya terkait dengan persoalan keislaman, melainkan juga menyentuh kebudayaan dan kesenian. Aksara Arab Melayu juga

digunakan untuk menyalin atau menulis tambo (historigrafi

Minangkabau), kaba (cerita rakyat), monografi kerajaan, surat-surat perdagangan. Bahkan di zaman Belanda, surat pengangkatan penghulu oleh Belanda juga menggunakan aksara Arab Melayu. Manuskrip tertua yang pernah ditemukan adalah tambo dan kaba, disalin sekitar tahun 1800-an dan sekarang tersimpan di Belanda.

Diperkirakan, dulunya manuskrip Minangkabau tersebut terdapat dalam jumlah yang cukup banyak. Selain manuskrip yang masih tersebar di tengah masyarakat di atas, banyak pula yang sudah menjadi koleksi negara tertentu. Pada saat ini, Belanda adalah negara yang paling

banyak menyimpan manuskrip Minangkabau: di perpustakaan

Universitas Leiden terdapat 400 lebih manuskrip dan di KITLV ada puluhan manuskrip. Selain di Belanda, manuskrip Minangkabau juga tersimpan di Malaysia, Singapura, Perpustakaan Nasional Jakarta, dan di SOAS (University of London) Inggris.

Manuskrip yang tersimpan di perpustakaan dan perorangan berada dalam kondisi yang cukup baik. Namun, yang memprihatinkan kondisinya adalah manuskrip yang tersimpan di surau-surau. Di Paseban dan Bintungan Tinggi misalnya, manuskrip tersebut disimpan di lemari kayu dalam sebuah kamar yang jarang dibuka. Akibatnya, manuskrip

menjadi lembab, mengundang rayap, dan rusak. Banyak dari naskah tersebut bolong-bolong, bahkan ketika dibuka per halaman, tulisannya tertinggal di halaman belakangnya.

Kondisi ini sebenarnya tidak bisa dibiarkan. Namun, kendala utamanya adalah masalah pemiliharaan. Penjaga atau pengurus surau tidak mempunyai keahlian dalam hal perawatan. Di samping itu, mereka tidak memiliki cukup dana untuk perawatan. Menurut penjaga Surau Bintungan Tinggi, yang biasa dipanggil Tuanku Mudo, untuk menjaga naskah-naskah dia hanya menggunakan kapur ajib. Keempat kaki dari lemari tempat penyimpanan naskah tersebut dilingkari dengan kapur sehingga rayap atau semut tidak bisa masuk. Jika rayap atau semut mencoba lewat di atas goresan kapur ajaib tersebut, maka rayap atau semut tersebut akan mati.

Menurut M. Yusuf, pakar filologi dari Universitas Andalas, yang dibutuhkan oleh sebuah manuskrip itu adalah konservasi atau

perawatan, tidak hanya sebatas pemeliharaan. Suhu tempat

penyimpanannya harus diatur, yaitu antara 18 sampai 25 derjat celcius. Naskah harus dibersihkan dari debu dan kalau dapat sesering mungkin dibuka.

Cuma, menurut M. Yusuf selanjutnya, di Minangkabau tidak ada tradisi membaca naskah kuno seperti jamasan di Jawa dan mabasan di Bali. ―Dengan seringnya manuskrip dibaca tentu akan terhindar dari debu karena tidak mungkin orang mau membaca naskah yang banyak debu,‖ kata M Yusuf.

Pemerintah “Curi” Naskah

Pemerintah pun belum mempunyai perhatian ke arah itu. Apakah hal itu disebabkan ketidaktahuan mereka, juga kurang jelas. Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya-Ed) Universitas Andalas misalnya, pernah merencanakan untuk membuat mikrofilm naskah-naskah tersebut. Tetapi ketika dikomunikasikan dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, tidak mendapat tanggapan yang baik. Kasus lain terjadi pencurian naskah oleh oknum pejabat. Kata salah seorang penjaga surau di Kampuang Dalam (Pariaman) yang juga banyak menyimpan manuskrip, acap kali manuskrip yang dipinjam pemerintah untuk keperluan pameran, beberapa di antaranya tidak pernah dikembalikan. Pendapat ini juga dibenarkan oleh Kepala Dusun Kampung Dalam.

Hal itu diperparah lagi dengan ketidaktahuan mereka dengan arti sebuah manuskrip. Bahkan mereka memperlakukan manuskrip

tersebut seperti memperlakukan benda keramat, yang tidak boleh disentuh tanpa melalui ritual tertentu. Jika ingin membacanya terlebih dahulu harus mengerjakan salat 40 rakaat. Hal itu terjadi ketika penulis ingin melihat sebuah manuskrip yang berada di Surau Tuo Taram.

Perlakuan seperti itu tidak membuat kondisi naskah menjadi lebih baik, malah memperburuh kondisi. Jika ini dibiarkan, beberapa puluh tahun lagi naskah tersebut akan hilang. Bersamanya, hilang pula sebuah periode kebudayaan dan sejarah penulisan di Minangkabau.