• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji organoleptik yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji hedonik dari atribut tekstur dan kelengketan. Hal tersebut bermaksud untuk menilai seberapa jauh preferensi atau kesukaan konsumen terhadap atribut tekstur dan kelengketan dari produk tersebut. Karakteristik produk pangan yang dikehendaki dari produk ekstrusi khususnya snack adalah tekstur yang renyah, mempunyai derajat pengembangan yang tinggi, mengembang dengan densitas yang rendah (ringan), dan tekstur rapat (Baik, Joseph dan Linhda, 2004). Menurut Guy (2001) salah satu aspek yang utama dalam memasarkan produk

snack ke pasar adalah aspek tekstur dan flavor yang digunakan dalam produk akhir. Berbagai atribut tekstur yang ada dalam penilaian organoleptik terhadap produk pangan.

Setiap produk pangan memiliki jenis atau atribut tekstur yang berbeda-

beda. Tekstur pada produk pangan menurut International Organization for

Standardization adalah sebagai suatu aspek keseluruhan atribut dari sifat reologi dan struktural (geometrik dan permukaan) produk pangan yang dapat

digambarkan dengan jelas secara mekanik, tactile (dapat dirasakan atau

diraba), dengan visual dan suara (auditory texture) (ISO, 1981).

Menurut Gimeno, Moraru dan Kokini (2004), sifat yang dimiliki oleh

produk ekstruder khususnya snack adalah renyah dan memiliki sifat

crunchiness (sifat garing) serta mempunyai sifat mengembang, sehingga akan

menimbulkan sifat crisp (renyah). Volume pengembangan adalah parameter

kualitas yang utama yang mempengaruhi kerenyahan dan sifat crunchiness

(Ali et al., 1996). Pengembangan produk tergantung pada komposisi bahan,

kualitas pemasakan dan laju bahan yang meleleh pada saat keluar dari die

(Desrumaux et al., 1998) pengembangan produk juga yang paling utama

Contoh produk ekstrusi hasil dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar berikut.

Gambar 8. Produk ekstrusi dengan formula 100% jagung QPM dan 0% kacang hijau

a. Uji Hedonik

1. Tekstur Produk

Hasil analisis sidik ragam atau uji anova dapat dilihat pada Lampiran 7 menunjukkan formula yang dibuat berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap skor tekstur yang diuji pada uji hedonik dengan

selang 95%. Analisis sidik ragam yang dilakukan oleh program Design

Expert version 7 pada nilai respon hedonik tekstur terhadap formula yang dibuat, menunjukkan model yang dibuat adalah signifikan (p<0,05), pada selang kepercayaan 95% dengan nilai p = 0.0036 dapat dilihat pada Lampiran 12, artinya formula yang dibuat berpengaruh nyata terhadap respon uji skor tekstur, sehingga nilai respon tersebut dapat digunakan untuk proses optimasi yaitu untuk mendapatkan produk dengan karakteristik yang optimum.

(1997) amilopektin dapat meningkatkan sifat pengembangan produk

dan kerenyahan (crispness), sedangkan amilosa dapat meningkatkan

sifat kering (crunchiness) dan kekuatan tekstur produk.

Tabel 8. Hasil uji hedonik tekstur

Formula Komposisi Formula Rata-rata

1 Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 100 : 0, suhu 60

5.0 2 Snack dengan komposisi jagung : Kacang

hijau = 50 : 50, suhu 60

5.5 3 Snack dengan komposisi jagung : Kacang

hijau = 100 : 0, suhu 62.5

4.8 4 Snack dengan komposisi jagung : Kacang

hijau = 75 : 25, suhu 62.5

5.1 5 Snack dengan komposisi jagung : Kacang

hijau = 100 : 0, suhu 65

3.7 6 Snack dengan komposisi jagung : Kacang

hijau = 50 : 50, suhu 65

5.1 7 Snack dengan komposisi jagung : Kacang

hijau = 75 : 25, suhu 67.5

4.4 8 Snack dengan komposisi jagung : Kacang

hijau =100 : 0, suhu 70

3.2 9 Snack dengan komposisi jagung : Kacang

hijau = 50 : 50, suhu 70

4.9 10 Snack dengan komposisi jagung : Kacang

hijau = 0 : 100, suhu 60

5.8 11 Snack dengan komposisi jagung : Kacang

hijau = 25 : 75, suhu 62.5

2.3 12 Snack dengan komposisi jagung : Kacang

hijau = 0 : 100, suhu 65

5.3 13 Snack dengan komposisi jagung : Kacang

hijau = 25 : 75, suhu 67.5

5.6 14 Snack dengan komposisi jagung : Kacang

hijau = 0 : 100, suhu 70

3.7

Hasil uji Duncan terhadap uji hedonik tekstur dengan selang kepercayaan 95% (Lampiran 7), menunjukkan subset 1 dengan formula 8, 5 dan 14 berbeda nyata dengan formula yang lainnya, karena formula tersebut memiliki perbedaan yang signifikan pada suhu awal pemanasan, sehingga menimbulkan pengaruh tekstur yang berbeda. Pada subset 2 menunjukkan formula 7, 3, 9, 1, 6 dan 4 tidak berbeda nyata berbeda nyata serta pada subset 3 dengan formula 3, 9,

1, 6, 4, 11, 12, 2 dan 13 juga tidak berbeda nyata, tetapi formula 7 berbeda nyata dengan formula 2, 11, 12 dan 13. Formula 7 berbeda dengan formula 2 karena formula memiliki suhu awal yang optimal dalam gelatinisasi pati.

Suhu awal pemanasan berpengaruh pada proses gelatinisasi pati. Serta berpengaruh pada sifat bahan pada waktu pemasakan dan juga berpengaruh pada pengembangan produk ekstrusi (Guy, 2001). Suhu terendah pada penelitian ini adalah 60 °C dan tertinggi adalah 70 °C. Oleh karena itu, dapat diperkirakan gelatinisasi pada suhu 60 °C akan lebih optimal daripada suhu yang lainnya, dengan kandungan air bahan yang sama.

Pada umumnya suhu gelatinisasi pati pada saat ekstrusi akan meningkat seiring dengan meningkatnya kandungan amilosa (Chinnaswamy dan Hanna, 1990). Sementara kandungan amilosa dan amilopektin bahan utama yaitu jagung QPM serta bahan campuran yaitu kacang hijau yang digunakan pada penelitian ini pada umumnya memiliki kandungan amilopektin yang lebih besar dari pada kandungan amilosanya (Muchtadi dan Sugiono, 1989), sehingga dapat menurunkan suhu gelatinisasi bahan pada saat ekstruder (Chinnaswamy dan Hanna, 1990).

Sementara formula 7 jika dibandingkan dengan 11, 12 dan 13 berbeda karena komposisi kacang hijau pada formula tersebut semakin tinggi. Kandungan protein pada kacang hijau dapat berpengaruh pada pengembangan produk. Sementara kandungan protein pada kacang hijau lebih tinggi dari pada jagung QPM. Pada formula 2 komposisi kacang hijau lebih banyak dari formula 7. Kacang hijau varietas betet yang digunakan pada penelitian ini mempunyai kandungan protein yang tinggi dibandingkan dengan jagung QPM (Tabel 12). Menurut

Gimeno et al., (2004) protein dapat meningkatakan derajat

pengembangan dan juga berpengaruh pada tekstur. Meningkatnya derajat pengembangan akan meningkatkan kerenyahan pada produk

dan meningkatkan daya terima produk bagi konsumen (Moraru dan Kokini, 2003).

Pada subset 4 formula 6, 4, 11, 12, 2, 13 dan 10 tidak berbeda nyata, tetapi formula 3, 9 dan 1 berbeda nyata dengan formula 10. Produk formula 10 memberikan nilai kesukaan tekstur yang tinggi dari yang lain karena selain diproses dengan suhu gelatinisasi yang optimal juga jika dilihat dari kandungan protein hasil dari analisis protein pada kacang hijau lebih banyak dibandingkan dengan kandungan protein pada jagung (Tabel 12). Formula 10 dengan komposisi jagung 0% dan

100% kacang hijau yang diolah pada suhu awal proses 60 °C

memberikan nilai tertinggi (5.81).

Protein dapat menaikan derajat pengembangan yaitu dengan mengontrol pendistribusian air pada matriks bahan (bahan pada saat pemasakan) serta menguatkan interaksi antara amilopektin yang sudah terpotong-potong karena proses pelelehan yaitu dengan membentuk ikatan kovalen maupun interaksi non ikatan (tarik-menarik antar molekul), sehingga dapat meningkatkan kekuatan polimer amilopektin untuk mengembang tanpa putus (Gimeno et al., 2004).

Menurut Monaru dan Kokini (2003) pati yang kaya akan amilopektin akan menyebabkan lebih mengembang dibandingkan dengan pati yang kaya akan amilosa, karena rantai amilosa akan berikat satu sama lain pada proses pemasakan, sehingga proses saling terikatnya amilosa tersebut akan menyebabkan polimer-polimer amilosa tersebut sulit tertarik pada saat proses pengembangan (pada saat produk keluar dari die) yang menyebabkan produk ekstrusi kurang mengembang. Pada bahan yang mempunyai kadungan air yang sama amilopektin lebih mudah mengembang dari pada amilosa (Monaru dan Kokini, 2003). Pengembangan produk akan berdampak positif terhadap sifat kerenyahan produk (Wang, 1997).

Gelatinisasi yang optimal akan menghasilkan viskositas bahan yang optimal yaitu dengan viskositas yang tinggi, karena amilopektin dan amilosa terpecah, sehingga dapat meningkatkan viskositas bahan

dan suhu proses pemasakan hingga dua kali lipatnya (Kokini, Tangho dan Karwe, 1991). Kondisi pemasakan pada ekstruder yang terjadi pada alat ekstruder pada penelitian ini yaitu dalam kondisi kering atau kandungan air yang rendah. Kondisi tersebut dapat menyebabkan

gesekan antara bahan dengan barrel akan meningkat, sehingga dapat

meningkatkan suhu barrel ektruder secara keseluruhan (Chinnaswamy

dan Hanna, 1990).

Menurut Ozcan dan David (2005) proses ekstrusi dengan kadar air rendah terjadi pada suhu tinggi serta putaran ulir yang medium, menyebabkan pati tergelatinisasi dan meleleh, sehingga pati termasak

seluruhnya dan berubah menjadi berbentuk amorph. Dengan kondisi

tersebut tekstur akan lebih renyah dan mengembang (Chinnaswamy

dan Hanna, 1988). Bahan yang sudah meleleh tersebut bersifat amorph

(Wang, 1993), sehingga produk ketika keluar dari die memiliki sifat higroskopis yang tinggi (Adawiyah, 2002).

Persamaan model matematika untuk respon skor tekstur pada saat kondisi bahan yang nyata dan ketika suhu diatur pada kondisi tertentu. Dapat dilihat pada persamaan matematika sebagai berikut.

Skor Tekstur = -3097.39A + 3588.40B + 3665.34A B + 145.10AC -

167.16 BC -170.04ABC - 2.26AC2 + 2.60 BC2 + 2.62ABC2 +

0.012 AC3 - 0.013 BC3 - 0.013 ABC3

Komponen yang paling besar berkontribusi terhadap skor tekstur adalah interaksi antara komponen A (jagung) dan B (kacang hijau), kemudian di ikuti oleh kacang hijau (B) serta interaksi A dengan C. Hal ini disebabkan koefisien AB paling tinggi nilainya (3665.34) bila dibandingkan dengan komponen lainnya. Persamaan linear ini memiliki nilai R2 dan Adjusted R2 masing masing 0.9950 dan 0.9767. Oleh karena nilai R2 dan Adjusted R2 skor tekstur lebih besar dari 0.75, maka ketepatan model untuk memprediksi nilai tekstur sangat baik. Gambar 9 menunjukkan hasil uji skor tekstur terhadap 14 formula ekstrusi bentuk dua dimensi. Persamaan matematika untuk skor tekstur selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 14.

Design-Expert® Sof tware Skor Tekstur DesignPoints X1 = A: A X2 = B: B Actual Factor C: Suhu = 65.00 3.7 4.15 4.6 5.05 5.5 0 100 25 75 50 50 75 25 100 0 Ac tual A Ac tual B S ko r T e kst u r

Two Component Mix

Gambar 9. Kurva Skor Tekstur Terhadap Produk

Hasil uji sidik ragam juga menunjukkan interaksi antara komponen A (jumlah jagung) dengan B (jumlah kacang hijau) secara berpengaruh nyata terhadap respon skor tekstur. Selain itu juga terdapat beberapa interaksi yang berpengaruh nyata yaitu interaksi antara komponen B (jumlah kacang hijau) dengan C (suhu) dan interaksi antara konponen A (jumlah jagung) dengan C (suhu proses)

dikuadratkan (AC2). Oleh karena itu, faktor-faktor tersebut perlu

diperhatikan dalam penambahan dan pengurangan nilai atau jumlah dari perlakuan pada penelitian ini.

Komponen jagung dan kacang hijau berpengaruh nyata karena kandungan amilopektinnya dari ke dua bahan tersebut yang berperan dalam membentuk struktur produk yang renyah (Wang 1997).

Selanjutnya suhu awal pemanasan barrel akan berpengaruh pada

komponen biopolimer yang ada pada kacang hijau. Kacang hijau memiliki kandungan protein yang tinggi (Tabel 12), sehingga dapat membantu kekuatan ikatan antara amilopektin yang terdegradasi atau terpecah-pecah (pelelehan) (Guy, 2001) dan akan membentuk tekstur pengembangan produk yang juga mengakibatkan produk renyah

(Wang, 1997). Suhu yang optimum dibutuhkan untuk memperoleh gelatinisasi yang optimum (Chinnaswamy dan Hanna, 1990), sehingga membentuk viskositas bahan yang optimal yang mengkibatkan suhu

pelelehan tinggi dan membentuk bahan yang bersifat amorph (Ozcan

dan David, 2005), mengembang serta renyah (chrispy) (Chinnaswamy

dan Hanna, 1988).

Berdasarkan tema pada penelitian ini yaitu pengembangan produk ekstruder berbasis jagung QPM. Maka formula yang dipilih adalah formula dengan komposisi jagung paling kecil 50%, sehingga didapatkan produk ekstruder berbasis jagung QPM yang mempunyai karakteristik yang optimal.

2. Kelengketan Produk

Kelengketan menurut Ana (2003) mempunyai arti mudah ditelan atau tidaknya produk pada saat dikunyah di mulut (tidak menempel di gigi dan langit-langit). Menurut Rosenthal (1999) jika suatu produk pangan memiliki tekstur yang sangat kering berada di dalam mulut, maka produk tersebut akan sulit ditelan karena membutuhkan banyak kelenjar mulut atau saliva karena fungsi saliva pada mulut yaitu untuk membasahi produk supaya produk tersebut mudah ditelan. Oleh karena itu, dibutuhkan waktu untuk membasahi produk.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8) pada uji hedonik yang dilakukan pada atribut kelengketan terhadap ke empat belas formula. Menunjukkan formula yang dibuat berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap skor kelengketan pada selang kepercayaan 95%.

Analisis sidik ragam yang dilakukan oleh program Design Expert

version 7 pada nilai respon hedonik kelengketan terhadap formula yang dibuat, menunjukkan model yang dibuat adalah signifikan (p<0,05), pada selang kepercayaan 95% dengan nilai p = 0.0001 (Lampiran 15), artinya formula yang dibuat berpengaruh nyata terhadap respon uji skor kelengketan, sehingga nilai respon tersebut

dapat digunakan dalam proses optimasi yaitu untuk mendapatkan produk dengan karakteristik yang optimum.

Hasil uji Duncan terhadap uji hedonik kelengketan dengan selang kepercayaan 95% (Lampiran 8), menunjukkan pada subset 1 formula 8, 5 dan 14 tidak berbeda nyata serta pada subset 2 formula 14, 5, 1, 3, dan 7 tidak berbeda nyata, tetapi formula 8 berbeda nyata dengan formula 5, 1, 3 dan 7. Perbedaan tersebut karena pada formula 7 mempunyai suhu awal pemanasan yang tinggi. Jika suhu awal pemanasan tinggi dan juga kandungan amilopektin pada bahan yang tinggi, maka proses gelatinisasi kurang optimal (Chinnaswamy dan Hanna, 1990), sehingga menurunkan viskositas bahan ketika pemasakan. Viskositas turun menyebabkan gesekan antara bahan

dengan barrel turun yang dapat menurunkan suhu untuk pelelehan

bahan menurun, sehingga pelelehan bahan tidak optimum (Chinnaswamy dan Hanna, 1990).

Pelelehan tidak optimum menyebabkan berat molekul dari amilopektin tinggi, sehingga menurunkan laju pendistribusian uap air dalam bahan dan menurunkan pengembangan (Guy, 2001). Produk yang dihasilkan akan tidak kokoh (kempes atau mengkerut) karena rendahnya tekanan pada bahan setelah keluar dari die rendah (Guy, 2001). Hal tersebut menyebabkan produk kurang garing atau kering, sehingga mudah ditelan. Namun panelis lebih menyukai produk yang garing.

Pada subset 3 formula 5, 1, 3, 7, 12, 11, 13 dan 9 tidak berbeda nyata, tetapi formula 14 berbeda nyata dengan formula 12, 11, 13, dan 9 karena suhu gelatinisasi yang tidak optimal yang menyebabkan produk kurang disukai oleh panelis. Pada subset 4 formula 1, 3, 7, 12, 11, 13, 9, 6 dan 4 tidak berbeda nyata, tetapi formula 5 berbeda nyata dengan formula 6 dan 4. Hal tersebut, karena formula 6 dan 4 mempunyai tambahan protein dari kacang hijau, sehingga dapat meningkatkan daya terima produk (Moraru dan Kokini, 2003).

Formula 12, 11, 13, 9, 6, 4 dan 2 tidak berbeda nyata pada subset 5, namun formula 1, 3, dan 7 berbeda nyata dengan formula 2, karena formula 2 memiliki suhu pemanasan awal yang optimal untuk gelatinisasi, sehingga dapat meningkatkan kulitas tekstur dari produk ekstrusi (Chinnaswamy dan Hanna, 1988). Berikut Tabel 9 menunjukkan hasil uji hedonik kelengketan

Tabel 9. Hasil uji hedonik kelengketan

Formula Komposisi Formula Rata-rata

1 Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 100 : 0, suhu 60

4.1 2 Snack dengan komposisi jagung : Kacang

hijau = 50 : 50, suhu 60

5.0 3 Snack dengan komposisi jagung : Kacang

hijau = 100 : 0, suhu 62.5

4.1 4 Snack dengan komposisi jagung : Kacang

hijau = 75 : 25, suhu 62.5

4.8 5 Snack dengan komposisi jagung : Kacang

hijau = 100 : 0, suhu 65

3.9 6 Snack dengan komposisi jagung : Kacang

hijau = 50 : 50, suhu 65

4.7 7 Snack dengan komposisi jagung : Kacang

hijau = 75 : 25, suhu 67.5

4.3 8 Snack dengan komposisi jagung : Kacang

hijau =100 : 0, suhu 70

3.1 9 Snack dengan komposisi jagung : Kacang

hijau = 50 : 50, suhu 70

4.6 10 Snack dengan komposisi jagung : Kacang

hijau = 0 : 100, suhu 60

5.8 11 Snack dengan komposisi jagung : Kacang

hijau = 25 : 75, suhu 62.5

4.5 12 Snack dengan komposisi jagung : Kacang

hijau = 0 : 100, suhu 65

4.4 13 Snack dengan komposisi jagung : Kacang

hijau = 25 : 75, suhu 67.5

4.5 14 Snack dengan komposisi jagung : Kacang

hijau = 0 : 100, suhu 70

3.6

Oleh karena itu, dapat disimpulkan formula 8 berbeda dengan formula 5, 1, 3, dan 7, formula tersebut juga berbeda dengan formula 12, 11, 13 dan 9, juga akan berbeda dengan formula 6 dan 4 serta berbeda dengan formula 2 dan berbeda dengan formula 10. Untuk nilai

Design-Expert® Sof tware Skor Kelengketan DesignPoints X1 = A: A X2 = B: B Actual Factor C: Suhu = 65.00 3.72 3.965 4.21 4.455 4.7 0 100 25 75 50 50 75 25 100 0 Actual A Actual B S k or K e le ng k e ta n

Two Component Mix

hedonik kelengketan tertinggi dimiliki oleh formula 10 dengan nilai 5.78 dan pada subset 6 berbeda nyata dengan formula yang lain, karena formula tersebut mempunyai suhu pemanasan awal yang optimal dan kandungan protein pada bahan yang optimal. Uji hedonik untuk atribut kelengketan dapat disimpulkan panelis lebih menyukai produk yang kering dan kelengketan yang tinggi.

Persamaan model matematika untuk respon skor kelengketan pada saat kondisi bahan yang nyata dan ketika suhu diatur pada kondisi tertentu. Dapat dilihat pada persamaan matematika sebagai berikut. Skor Kelengketan = +10.56A + 19.17B - 28.44AB - 0.11AC - 0.22B C

+ 0.47ABC + 71.23AB(A-B) - 1.07ABC(A-B) Persamaan matematika untuk skor kelengketan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 17. Kurva skor hedonik kelengketan dengan suhu dan formulasi dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 10. Kurva Skor Kelengketan Terhadap Produk

Komponen yang paling besar berkontribusi terhadap skor kelengketan adalah interaksi A (komponen jagung) B (kacang hijau) (A-B), kemudian diikuti oleh kacang hijau (B), dan komponen A

(jagung). Hal ini disebabkan koefisien AB(A-B) paling tinggi nilainya (71.23) bila dibandingkan dengan komponen lainnya. Persamaan linear

ini memiliki nilai R2 dan Adjusted R2 masing masing 0.9756 dan

0.9511. Oleh karena nilai R2 dan Adjusted R2 skor tekstur lebih besar dari 0.75, maka ketepatan model untuk memprediksi nilai kelengketan sangat baik. Gambar 10 menunjukkan hasil uji skor kelengketan terhadap 14 formula ekstrusi bentuk dua dimensi.

Hasil uji sidik ragam juga menunjukkan interaksi antara komponen A (jumlah jagung) dengan B (jumlah kacang hijau) secara berpengaruh nyata terhadap respon skor kelengketan. Selain itu juga terdapat beberapa interaksi yang berpengaruh nyata yaitu interaksi antara komponen A (jumlah jagung) dengan C (suhu), B (jumlah kacang hijau) dengan C (suhu), interaksi antara konponen A (jumlah jagung) serta B (jumlah kacang hijau) dengan C (suhu proses) (ABC), A (jumlah jagung) dengan B (jumlah kacang hijau) yang diinteraksikan dengan (A – B) dan interaksi antara konponen A (jumlah jagung) serta B (jumlah kacang hijau) dengan C (suhu proses) (ABC) juga diinteraksikan dengan (A – B). Oleh karena itu, faktor penelitian ini serta interaksi antara faktor-faktor tersebut perlu diperhatikan dalam penambahan dan pengurangan nilai atau jumlah dari perlakuan pada penelitian ini.

Kelengketan juga dipengaruhi oleh kandungan amilosa dan amilopektin dari kedua bahan jagung dan kacang hijau. Kedua biopolimer tersebut sangat berpengaruh bagi kelengketan diakibatkan oleh suhu awal pemanasan yang berdampak pada suhu pelelehan bahan yang tidak optimum jika suhu awal gelatinisasi tidak optimum (Chinnaswamy dan Hanna, 1988). Kejadian tersebut menimbulkan struktur yang tidak stabil, sehingga produk tidak kokoh setelah mengembang dan mengkerut yang menyebabkan menurunkan kualitas produk, sehingga produk kurang kering.

Namun menurut Rosenthal (1999) suatu produk pangan memiliki tekstur yang sangat kering dan produk tersebut berada di dalam mulut,

produk tersebut akan sulit ditelan karena membutuhkan banyak kelenjar mulut atau saliva karena digunakan untuk membasahi produk supaya produk tersebut mudah ditelan, sehingga membutuhkan waktu untuk membasahi produk tersebut. Oleh karena itu, dapat diperkirakan panelis memilih produk yang dapat menimbulkan kelengketan apabila produk dikunyah dalam mulut.

F. ANALISIS UJI FISIK

Dokumen terkait