a. Karakteristik Pati
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik,
yang banyak terdapat pada tumbuhan terutama pada biji-bijian, dan umbi-umbian. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai atom karbonnya, serta lurus atau bercabang. Dalam bentuk aslinya secara alami pati merupakan butiran-butiran kecil yang sering disebut granula. Bentuk ukuran granula merupakan karakteristik setiap jenis pati, karena itu digunakan untuk identifikasi. Selain ukuran granula karakteristik lain adalah bentuk, keseragaman granula, lokasi hilum, serta permukaan granulanya (Hodge dan Osman, 1976).
Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama yaitu amilosa, amilopektin, dan protein serta lemak (Banks dan Greenwood, 1975). Umumnya pati mengandung 12 – 30% amilosa, 75 – 80% amilopektin dan 5 – 10% meliputi lemak dan protein. Struktur dan jenis material antara tiap sumber pati berbeda tergantung sifat-sifat botani sumber pati tersebut. Secara umum dapat dikatakan pati biji-bijian mengandung protein yang lebih besar dibandingkan pati batang dan pati umbi (Greenwood, 1979). Kandungan amilosa pada umumnya untuk jagung adalah 24% dan jumlah amilopektin 76%. Sementara kandungan
amilosa dan amilopektin pada kacang hijau berturut-turut adalah 28.2% dan 71.8% (Muchtadi dan Sugiono, 1973).
Pati mempunyai sifat dapat merefleksikan cahaya terpolarisasi, sehingga dibawah mikroskop akan terlihat hitam putih. Sifat ini disebut sifat birefringence. Pada waktu granula mulai pecah sifat birefrengence
ini akan hilang. Kisaran suhu yang menyebabkan 90% butir pati dalam air panas membengkak sedemikian rupa, sehingga tidak kembali ke
bentuk normalnya disebut birefrengence end point temperature atau
disingkat BEPT (Winarno, 1997).
Dalam keadaan murni granula pati berwarna putih, mengkilat, tidak berbau dan tidak berasa. Secara mikroskopik terlihat granula pati dibentuk oleh molekul-molekul yang membentuk lapisan tipis yang tersusun terpusat. Granula pati bervariasi dalam bentuk tidak beraturan demikian juga umurnya, mulai kurang dari 1 mikron sampai 150 mikron ini tergantung sumber patinya. Untuk pati jagung memiliki diameter berkisar antara 21 – 96 μm, kentang 15 – 10 μm, ubi jalar 15 – 55 μm, tapioka 6 – 36 μm, gandum 3 – 38 μm, dan beras 3 – 9 μm (Fennnema, 1976). Sementara untuk diameter pati kacang hijau berkisar antara 6 – 16 μm (Muchtadi dan Sugiono, 1973).
b. Granula Pati
Pati dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk granula (butiran) yang berbeda-beda. Penampakan mikroskopik dari granula pati seperti bentuk, ukuran, keseragaman letak hilum seperti bersifat khas untuk setiap jenis pati, oleh karena itu dapat digunakan untuk identifikasi, dan demikian juga sifat birefringencenya masing-masing pati berbeda.
Secara mikroskopik, dalam granula pati campuran molekul berstruktur linier dan bercabang tersusun membentuk lapisan-lapisan tipis yang berbentuk cincin atau lamela, dimana lamela tersebut tersusun terpusat mengelilingi titik awal yang disebut hilus atau hilum (Bouwkamp, 1985). Penampakan cincin atau lamela pada granula pati adalah akibat dari pengendapan lapisan molekul pati yang terjadi pada
waktu yang berlainan dan tidak sama kadarnya (Hodge et al., 1976).
Menurut Hodge et al., (1976) ikatan paralel yang terbentuk antara
molekul linier yang berdekatan atau dengan cabang yang terluar dari molekul bercabang. Ikatan ini dihubungkan dengan ikatan hidrogen, menghasilkan daerah kristalisasi atau misela. Daerah yang kurang padat
yang disebut daerah amorf yang mudah dimasuki air. Misela
menyebabkan granula pati memiliki sifat birefringence, yaitu sifat yang dapat merefleksikan atau memantulkan cahaya terpolarisasi, sehingga akan tampak seperti susunan kristal hitam putih di bawah mikroskop (Whistler et al., 1984).
Letak hilum dalam granula pati ada yang ditengah dan ada yang ditepi. Granula pati dari golongan tanaman Graminae (beras, jagung, dan gandum) mempunyai hilum yang terletak ditengah, sedangkan pada granula pati kentang dan sagu mempunyai letak hilum di tepi. Bentuk butir pati secara fisik berupa semikristalin yang terdiri dari unit kristal dan unit amorf (Banks dan Greenwood, 1975). Unit kristal lebih tahan terhadap perlakuan asam kuat dan enzim sedangkan amorf sifatnya labil terhadap asam kuat dan enzim. Bagian amorf dapat menyerap air dingin sampai 30% tanpa merusak struktur pati secara keseluruhan (Hodge dan Osman, 1976). Sampai saat ini diduga amilopektin merupakan komponen yang bertanggung jawab terhadap sifat-sifat kristal dari granula pati (Banks et al., 1975).
c. Amilosa
Amilosa merupakan homoglikan D-glukosa dengan ikatan α-(1,4)
dari struktur cincin piranosa, yang membentuk rantai lurus umumnya dikatakan sebagai linier dari pati. Meskipun sebenarnnya jika amilosa
dihidrolisa dengan β-amilase pada beberapa jenis pati tidak diperoleh
hasil hidrolisis yang sempurna (Banks et al., 1975). β-amilase
menghidrolisa amilosa menjadi unit-unit residu glukosa dengan
memutuskan ikatan α-(1,4) dari ujung non pereduksi rantai amilosa
Suatu karakteristik dari amilosa dalam suatu larutan adalah kecenderungan membentuk struktuk koil yang sangat panjang dan fleksibel yang selalu bergerak melingkar. Struktur ini yang mendasari terjadinya interaksi iod-amilosa membentuk warna biru, dan ini dapat ditentukan kadarnya dengan mengunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 – 660 nm (Manner, 1979 di dalam La Ega, 2002).
d. Amilopektin
Amilopektin seperti amilosa juga mempunyai ikatan α-(1,4) pada
rantai lurusnya, serta ikatan β-(1,6) pada titik percabangannya. Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4% – 5% dari seluruh ikatan yang ada pada amilopektin (Hodge dan Osman, 1976 ; Fennema, 1976).
Biasanya amilopektin mengandung 1000 atau lebih unit molekul glukosa untuk setiap rantai. Berat molekul bervariasi tergantung sumbernya. Amilopektin pada pati umbi-umbian mengandung sejumlah kecil ester fosfat yang terikat pada atom karbon yang ke 6 dari cincin glukosa (Greenwood dan Munro, 1979).
Dalam produk makanan amilopektin bersifat merangsang
terjadinya proses mekar (puffing) dimana produk makanan yang berasal
dari pati yang kandungan amilopektinnya tinggi akan bersifat ringan, porus, garing dan renyah. Kebalikannya pati yang mengandung amilosa yang tinggi, cenderung menghasilkan produk yang keras, pejal karena proses mekarnya terjadi secara terbatas (Muchtadi at al., 1988).
e. Gelatinisasi
Menurut Winarno (1995) peningkatan volume granula pati yang
terjadi di dalam air pada suhu 55 °C – 65 °C merupakan pembengkakan
yang sesungguhnya dan setelah pembengkakan ini granula pati dapat kembali pada kondisi semula. Granula pati dapat dibuat membengkak luar biasa tetapi bersifat tidak dapat kembali pada kondisi semula. Perubahan tersebut dinamakan gelatinisasi. Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi.
Pada proses gelatinisasi terjadi pengrusakan ikatan hidrogen intramolekuler. Ikatan hidrogen ini berfungsi untuk mempertahankan struktur integritas granula. Terdapatnya gugus hidroksil yang bebas akan menyerap molekul air, sehingga selanjutnya terjadi pembengkakan granula pati (Greenwood dan Murno, 1979). Winarno (1995) menambahkan karena jumlah gugus hidroksil dari molekul pati sangat besar maka kemampuan menyerap air juga sangat besar. Terjadinya peningkatan viskositas disebabkan oleh air yang sebelumnya berada di luar granula pati dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kini berada dalam granula dan tidak dapat bergerak bebas lagi. Kenaikan dan penurunan viskositas selama gelatinisasi dapat diikuti dengan
menggunakan Brabender amilograph.
Mekanisme gelatinisasi terdiri dari tiga tahap (Fennema, 1996). Tahap pertama air berpenetrasi secara bolak-balik ke dalam granula,
kemudian pada suhu 60 – 85 °C granula akan mengembangkan dengan
cepat dan polimer yang lebih pendek akan larut, sehingga pati
kehilangan sifat birefrigentnya. Keperluan air pada suhu awal
gelatinisasi tergantung pada jenis patinya. Proses pembengkakan granula oleh pemanasan akan menyebabkan perubahan yang nyata dalam viskositas dan sifat reologi dari pasta. Hal tersebut merupakan karakteristik dari masing-masing jenis pati (Damardjati, 1987). Sedangkan pada pati mentah, jika dimasukan ke dalam air dingin, granula pati akan menyerap air dan membengkak. Namun demikian jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas. Pembengkakan granula tersebut dapat kembali ke pada kondisi semula (Winarno, 1997).
Pada tahap kedua, jika suhu tetap naik, maka molekul-molekul pati akan terdifusi keluar granula (Fennema, 1996). Selama gelatinisasi suspensi yang tadinya menyerupai susu menjadi berkurang daya tembus sinarnya dan berubah menjadi transparan. Pembengkakan menyebabkan
hilangnya birfringence dan menstimulasi terbentuknya larutan yang
pembengkakan maksimum, tetapi tingkat pengentalan belum sempurna, karena penambahan panas akan meningkatkan kekentalan.
Pada tahap ketiga pengembangan granula-granula terjadi secara cepat akibat dari molekul-molekul pati yang terdispersi keluar granula (McCormick et al., 1991). Suhu gelatinisasi tergantung pada konsentrasi pati. Semakin kental larutan, suhu tersebut semakin lambat tercapai, sampai suhu tertentu kekentalan tidak bertambah, bahkan kadang-kadang turun (Winarno, 1997). Schoch (1969) mengemukakan mekanisme pembentukan gel dan retrogradasi diakibatkan oleh terbentuknya ikatan hidrogen antara gugus OH terutama pada rantai amilosa dengan molekul amilosa yang lain. Pada proses oksidasi gugus OH ini mencegah ikatan hidrogen mengisi rantai polimer dan gel yang dihasilkan mempunyai konsistensi lembek dan tekstur yang lunak dibandingkan pati alami.
Pati dengan amilopektin yang tinggi akan lebih sukar membentuk gel, karena percabangan amilopektin akan mencegah terjadinya ikatan antar molekul yang dibutuhkan utuk pembentukan gel, sedangkan pati dengan amilosa tinggi pembentukan ikatan antar molekul lebih mudah,, sehingga terbentuklah struktur dua dimensi yang disebut gel (Osmon, 1972). Terjadinya struktur dua dimensi akan mengakibatkan air bebas akan terperangkap dalam jaringan tersebut.
Selain konsentrasi, pembentukan gel dipengaruhi oleh pH larutan. Pembentukan gel optimum pada pH 4 – 7. pada pH yang terlalu tinggi pembentukan gel berlangsung dengan cepat tetapi juga cepat menurun. Sedangkan bila pH terlalu rendah, gel terbentuk secara lambat dan apabila pemanasan diteruskan viskositas akan kembali turun.
D. EKSTRUSI