• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pandangan Hukum Islam dan Undang Undang ITE tentang Tindak Pidana Pemalsuan data

TINDAK PIDANA PEMALSUAN DATA SERTA PENANGGULANGAN DALAM UNDANG-UNDANG ITE DAN HUKUM ISLAM

E. Analisis Pandangan Hukum Islam dan Undang Undang ITE tentang Tindak Pidana Pemalsuan data

Pemalsuan Data atau bisaa disebut Data Forgery merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang tersimpan sebagai scriptless document melalui internet. Kejahatan ini bisaannya ditujukan pada dokumen-dokumen e-commerce dengan membuat seolah-olah terjadi salah ketik yang pada akhirnya akan menguntungkan pelaku.

Hal ini memberikan terror bagi para pemegang data, ketakutan akan pencurian dan pemalsuan data telah diminimalisir dengan hadirnya UU. No 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik. UU ini memeberikan perlindungan bagi pemegang data.

Di samping itu juga dalam hukum Islam, pemalsuan data digolongkan ke dalam jarimah takzir, karena berdasarkan kesesuain dengan jarimah pemalsuan tanda tangan, pemalsuan stempel dan pemalsuan Al-quran. Oleh karenanya terhadap tindak pidana pemalsuan data maka akan dijatuhkan hukuman takzir kepada setiap pelakunya.

Asas kemaslahatan hidup adalah salah satu asas-asas hukum mendasarkan pelaksanaan hukum pidana Islam. Asas yang mendasari segala pekerjaan yang mendatangkan kebaikan, berguna, dan bermanfaat pada kehidupan pribadi manusia dan kehidupan social kemasyarakatan.

Adapun tujuan hukum pada umumnya adalah untuk menegakkan keadilan berdasarkan kemauna Pencipta manusia sehingga terwujud ketertiban dan ketentraman masyarakat. Tujuan syara’ secara substansial adalah terciptanya kemaslahatan umum dalam kehidupan manusia.

Oleh karena itu, pandangan hukum Islam terhadap tindak pidana pemalsuan data dapat dilihat dari unsur-unsur sebuah kejahatan yang terkandung dalam tindak pidana pemalsuan data. Bahwa, didapatkan adanya perbuatan dusta (bohong), karena pada dasarnya di dalam perbuatan tersebut dengan tidak memberikan keterangan yang sebenarnya di dalam data-data yang dipalsukan tersebut, baik mengenai tanda tangan, isi data-data, stempel maupun cara memperoleh data-data tersebut.

Al-Qur’an melarang dengan tegas agar tidak berbuat dusta (al-Kazb). Dengan demikian berbohong adalah sifat tercela dan berbahaya, dan dalam konteks pemalsuan data yang berarti berbohong dalam memberikan keterangan yang sebenarnya di dalam isi data tersebut.

Oleh karena itu, untuk penjatuhan hukuman menurut perundang hukum Islam terhadap pemalsuan data yang bukan termasuk dalam jarimah kisas dan diyat yaitu ketentuan hukuman yang pasti mengenai berat ringannyahukuman yang tercantum di dalam Al-Qur’an dan Hadits. Maka jenis hukuman terhadap pemalsuan data dalam hukum pidana Islam yaitu yang bentuk dan ancaman hukumannya ditentukan oleh penguasa (hakim) sebagai pelajaran kepada pelakunya disebut hukuman takzir.

Kemaslahatan yang menjadi asas dalam hukum Islam bersifat dinamis dan fleksibel yang seiring dengan perkembangan zaman. Maka dalam konteks pemalsuan data yang berkembang pesat pada zaman sekarang ini untuk penerapan hukuman bagi pelaku tindak pidana pemalsuan data dapat mengandung unsur asas kemaslahatan umum yang harus terdapat dalam hukum positif di Indonesia.

Adanya Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi dan Elektronik yang berlaku di Indonesia membuktikan adanya tindakan pemerintah terhadap berkembangnya pelaku tindak pidana pemalsuan data dalam memberikan sanksi hukuman. Adapun tujuannya sebagai perlindungan setiap orang agar dapat memberikan rasa aman bagi setiap masyarakat.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pandangan penulis tindak pidana pemalsuan data dalam UU ITE dan hukum Islam, maka dapat disimpulakn sebagai berikut:

1. Dalam hukum positif khususnya dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik maupun dalam hukum Islam berpandangan sama bahwa tindak pidana pemalsuan data termasuk ke dalam suatu tindak kejahatan atau jarimah. Karena, menurut hukum positif khususnya dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik perbuatan tersebut dianggap melanggar ketentuan hukum yang terdapat dalam UU RI No. 11 Th. 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 30 ayat (1) (2) dan (3), pasal 31 (1) (2) (3) dan (4), dan pasal (1) (2) dan (3) sebagai hukum umum (Lex Generalis). Sedangkan menurut hukum Islam, perbuatan maksiat yang dapat membahayakan atau merugikan kepentingan umum tersebut, maka perbuatan pemalsuan data dalam hukum Islam dianggap sebagai suatu jarimah atau jinayah.

2. Teknologi informasi membuka peluang untuk terjadinya bentuk-bentuk kejahatan baru (cybercrime) yang khusus nya dalam kasus pemalsuan data

yang lebih canggih dibandingkan dengan kejahatan konvensional. Untuk mengatasi hal ini, tidak cukup dilakukan pendekatan melalui system hukum konvensional, mengingat kegiatannya tidak lagi dibatasi oleh territorial suatu Negara, dalam arti aksesnya dengan mudah dapat dilakukan dari belahan dunia manapun. Dampak negatif berupa kerugian dapat terjadi oleh berbagai macam pihak. Karenanya, Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang telah ditandatangani Presiden Republik pada 21 April 2008 sangat diperlukan, mengingat saat ini Indonesia adalah salah satu Negara yang memanfaatkan teknologi Informasi secara luas. Secara umum, tindak pidana pemalsuan data yang terdapat pada Undang- Undang ITE adalah kejahatan yang memanfaatkan teknologi informasi. Media yang dipakai dalam kejahatan ini adalah media internet sebagai alat untuk berkoordinasi dengan pelaku cyber lainnya dan sekaligus sebagai media untuk melakukan aksi tindakan-tindakan yang merugikan pihak lain. Sehingga dampak yang ditimbulkan tentu saja bukan berupa kerusakan berupa kerusakan data-data penting yang terhubung dengan internet, pencurian data, pencurian informasi oleh para hacker, dan rusaknya program komputer akibat serangan virus. Hal demikian dapat terjadi dikalangan masyarakat informasi di zaman modern seperti ini, seperti masyarakat sipil yang memakai internet sebagai media komunikasi, dapat juga dialami oleh kalangan pengusaha bisnis, dan lembaga pemerintahan.

3. Di dalam hukum Islam belum ditemukan pembahasan yang khusus mengenai tindak pidana pemalsuan data. Akan tetapi, secara umum perbuatan memalsukan adalah termasuk ke dalam kebohongan (al-Kidzb), penipuan dan pengelabuan, dan merupakan perbuatan zalim. Akan tetapi, berdasarkan adanya kesesuaian antara tindak pidana pemalsuan data termasuk dengan pemalsuan tanda tangan dan jarimah pemalsuan stempel Bait al-Maal, maka tindak pidana pemalsuan data bisa digolongkan kedalam jarimah takzir, mengingat tindak pidana ini baik jenis maupun hukumannya tidak disebutkan di dalam nash syara.

B. Saran-saran

Atas beberapa hal yang penulis tulis dalam skripsi ini, maka penulis mencoba menyampaikan beberapa saran-saran, sebagai berikut:

1. Untuk mencegah terjadinya tindak pidana pemalsuan data diharapkan kepada para penegak hukum dan masyarakat agar lebih diperhatikan lagi mengenai tindakan tersebut, khususnya hukuman yang akan diberikan pada pelaku. 2. Untuk bisa mengantisipasi atau sekurang-kurangnya meminimalisir tindak

pidana pemalsuan data, maka pemerintah terutama hakim harus lebih tegas dan memberikan sanksi yang diberikan tersebut benar-benar bisa memberikan efek jera bagii yang telah melakukannya (fungsi keprensif), dan bisa membuat takut untuk melakukan bagi orang yang belum melakukan tindak pidana pemalsuan data (fungsi preventif), mengingat dampak dari pelaku pemalsuan

data dapat merugikan masyarakat dan Negara atau dapat merugikan berbagai pihak, karena kasus pemalsuan data ini merupakan salah satu jenis tindak pidana dengan derajat keseriusan yang cukup tinggi dan memberikan sanksi yang berarti dapat memberikan efek jera bagi pelakunya.

Dokumen terkait